Anda di halaman 1dari 18

MATA KULIAH FIQH DAN USHUL FIQH

MASA KEMUNDURAN ILMU FIQH

Oleh
Dian Safitri 160103009
Linda Rosmawati 160103019

Jurusan Tadris Matematika


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM
2016

ii
Kata pengantar

Bismillahirrohmanirrohim
Kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan hidayah dan inayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang masa kemunduran fiqih.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari brerbagai pihak, diantaranya Dosen pembimbing kami dan segenap teman-
teman kami, sehingga dapta memperlancar pembuatan makalah. Untuk itu kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa banyak kekurang
kekurangan yang terkandung di dalamnya baik dari segi kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran
dan kriti dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat
untuk umat muslim dalam mempertahankan kemajuan islam di dunia.
Amin
Mataram, senin 10 oktober 2016

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….

1.1 latar belakang


1.2 rumusan masalah
1.3 tujuan

BAB II ISI…………………………………………………………………

2.1. masa kemunduran fiqh………… ……………………………….

2.2 kemunculan taqlid pada masa kemunduran………. ………………

2.2.1. faktor kemunculan taqlid………………………………..

2.2.2. Kontribusi Para Ulama’ dan Fuqoha’ pada Fase Taqlid …


2.3 kemunculan jumud pada masakemunduran…………………….
2.3.1 Kontribusi Fuqoha’ pada Periode Ini………………….
2.3.2   Dampak Kejumudan ini terhadap Fiqh Islam………….

BAB III PENUTUP………………………………………………………

3.1 kesimpulan dan saran……………………………………….

3.1.1 kesimpulan…………………………………………..

3.1.2 saran…………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
       Sejak permulaan abad ke-4 Hijriyah atau abad ke-10-13 Masehi, Ilmu fiqh
mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir (penghujung) pemerintahan atau
dinasti Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri
mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah dituangkan ke dalam
buku berbagai madzhab yang dipermasalahkan tidak lagi soal-soal dasar atau soal-
soal pokok, tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut dengan istilah furu’ (ranting).
       Sejak itu mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya
(Ittiba’-Taqlid). Para ahli hukum dalam masa ini tidak lagi menggali hukum fiqh
Islam dari sumbernya yang asli, tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat
yang telah ada dalam madzhabnya masing-masing. Kalau orang menulis masalah
hukum tulisan itu biasanya hanya merupakan komentar atau catatan-catatan
terhadap pikiran-pikiran hukum yang terdapat dan telah ada dalam madzhabnya
sendiri. Era taqlid ini kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan (kebekuan).
       Periode ini disebut dengan periode taqlid karena para fuqaha’ pada zaman
tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan
madzhab yang sudah ada, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali
serta madzhab lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan
bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Kapan ilmu fiqh mengalami kemunduran?
2.      Bagaimana kemunculan taqlid pada masa kemunduran ilmu fiqh?
3.      Bagaimana kemunculan jumud pada masa kemunduran ilmu fiqh?
4.      Apa faktor kemunduran ilmu fiqh?

v
1.3 Tujuan
1.  Untuk mengetahui waktu fiqh mengalami kemunduran.
2.  Untuk mengetahui sejarah kemunculan taqlid.
3.  Untuk mengetahui sejarah kemunculan jumud.
4.  Untuk mengetahui faktor kemunduran fiqh.

vi
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Masa Kemunduran Ilmu Fiqh


Masa kemunduran fiqih dimulai pada pertengahan abad ke-7 H, sampai
munculnya Majalah al-ahkam al-‘Adliyyah (hukum perdata kerajaan turki usmani)
pada 26 sya’ban 1293. Perkembangan fiqih pada periode ini merupakan lanjutan
dari perkembangan fiqih yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode
ini dalam sejarah perkembangan fiqih juga dikenal dengan periode taqlid secara
membabi buta.
2.2 Kemunculan Taqlid pada Masa Kemunduran
       Faktor yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah
pergolakan politik yang menyebabkan Negara Islam terpecah menjadi Negara
kecil, dimana setiap negeri mempunyai penguasa sendiri yang diberi gelar amirul
mukminin. Di timur ada Negara Sasan denga ibu kota Bukhara, dan di Andalusia
ada Negara kecil yang didirikan oleh Abdurrahman An-Nashir, demikian juga
Negara Fatimiyah yang ada di utara Afrika. Sehingga memudahkan musuh islam
untuk menghancurkan Negara Islam dan terjadilah perang salib.
2.2.1 Faktor Kemunculan Taqlid
Dari penjelasan diatas kita tau bahwa ada sebagian fuqaha’ yang memiliki
kapasitas untuk memahami, ber-istinbat dan berijtihad secara mutlak, hanya saja
mereka berpaling dari kemandirian berfikir dan tidak mau membuat madzhab baru,
serta merasa sudah cukup dengan madzhab yang ada. Kemudian mereka pun
bertaqlid dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah cabang
yang ada dalam madzhab. Adapun sebab terjadinya taqlid, diantaranya sebagai
berikut

vii
1.    Pembukuan kitab madzhab
Yang mendorong para ulama’ untuk berijtihad pada zaman itu karena ingin
mengetahui hukum dari sebuah masalah yang baru muncul ditengah masyarakat
yang belum ada hukumnya. Maka ketika para ulama’ mujtahid terdahulu sudah
menulisnya kemudian datanglah para ulama’ pada periode ini dan  mendapatkan
segalanya sudah tersedia dan lengkap sehingga tidak ada lagi keinginan untuk
berijtihad. Semua permasalahan yang dicari sudah ada jawabanya, baik masalah
yang besar atau kecil sehingga tidak ada lagi hajat untuk mencari kembali, semua
madzhab sudah menyediakan hidangan fiqhnya.
2.    Fanatisme madzhab
Para ulama’ pada periode ini sibuk dengan menyebarkan ajaran madzhab
dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha’.
Bahkan sampai kepada tingkat dimana seseorang tidak berani berbeda pendapat
dengan imamnya, seakan kebenaran semuanya ada pada sang guru kecuali
beberapa ulama’ yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari
ulama’ Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan “setiap ayat yang
bertentangan dengan pendapat madzhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau
dihapuskan”, termasuk juga hadist nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar
pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan, yang
kemudian menutup mata mereka dari ijtihad. Sebab, jika ia sudah menyakini
sebuah doktrin, berlabuh dalam lautanya, berdiri tegak tidak mau beranjak, segala
keputusan ada padanya, dan pada akhirnya inilah bentuk sebuah kejumudan
(kebuntuan) berfikir.
3.    Jabatan hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada
mereka yang memang mumpuni dalam bidang ilmu Al-quran dan sunnah Rasullah
serta memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj
para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus
viii
berdasarkan pada Al-quran, sunnah Rasul-Nya, dan logika yang dekat dengan
kebenaran. Buktinya, surat yang ditulis oleh Umar bin Khattab kepada hakimnya,
Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata kepadanya, “jabatan hakim itu adalah sebuah
kewajiban yang sudah ditetapkan dan warisan yang diikuti, maka pahami dan
pahami setiap masalah yang disampaikan kepadamu yang tidak ada dalam Al-
quran dan sunnah, kemudian tetapkanlah yang ada kemiripan, dan carilah yang
sepadan, kemudian peganglah yang kamu lihat lebih dicintai Allah dan lebih dekat
dengan kebenaran. Namun, ketika kondisi sosial sudah berubah bersama dengan
pergeseran waktu, para khalifah pun lebih mengutamakan para hakim yang hanya
bisa ber-taqlid, ikut pada pendapat madzhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh
khalifah. Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai
hakim harus mengikuti salah satu madzhab dan tidak melangkahinya.
4.    Ditutupnya pintu ijtihad
Petaka besar menimpa fiqh islam pada periode ini dimana kesucian ilmu
ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat
jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil fiqh yang pada akhirnya
mereka berbicara tentang agama tanpa ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa
dan ulama’ untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan ayat keempat hijriyah
agar mereka mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan
menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi
sangat disayangkan, larangan ini telah member efek yang negative terhadap fiqh
islam sehingga menjadi ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqaha’ periode ini
meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat
ulama’ gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang
menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk
mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan
penutuppintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan, niscaya mereka telah

ix
memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan fiqh islam dan lebih baik
dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali.
2.2.2 Kontribusi Para Ulama’ dan Fuqoha’ pada Fase Taqlid

Bagi mereka yang mempelajari apa yang terjadi pada periode ini, dapat
membuat kesimpulan bahwa bentuk upaya itu terhimpun dalam beberapa hal
sebagai berikut
1.    Ta’lil (rasionalisasi hukum-hukum fiqh)
Pada zaman ini para ulama’ menemukan banyak sekali khazanah fiqh yang
diwariskan oleh generasi sebelumnya, namun mayoritas warisan fiqh ini masih
belum menyebutkan illat-nya (hikmah atau alasanya). Kemudian masing-masing
fuqaha’ madzhab mengkaji, berijtihad, dan mengistinbat illat hukum fiqh yang
diwariskan oleh imamnya. Melalui cara ini mereka bisa menentukan hukum bagi
masalah baru yang tidak sempat dibahas oleh para imam madzhab sebelumnya.
Mereka menambahkan hukum-hukum syar’I baru tersebut kedalam fiqh
madzhab yang tidak terdapat didalamnya nash imam madzhab, kemudian hasil
kajian ini dinisbatkan kepada pendapat madzhab karena dasarnya diambil dari fiqh
madzhab.
Tentu inisebuah  hasil ijtihad dari mereka namun bukan ijtihad mutlak. Ini
merupakan ijtihad khusus yang berputar disekitar madzhab-madzhab tertentu, yaitu
apa yang dinamakan ushul takhrij dan mereka dinamakan ulama’takhrij.
Fuqaha’ hanafiyah paling banyak menggunakan konsep eksplorasi illat-illat
hukum dan membahas tentang ushul madzhab Imam Abu Hanifah,karena madzhab
mereka dibangun diatas apa yang pernah ditulis oleh Muhammad bin Al-Hasan
Asy-Syaibani yang sarat dengan masalah fiqh. Akan tetapi makalah ini tidak
menyebutkan illat-illat (hikamah) lalu mereka berijtihad mencarinya dan berupaya
mengetahui ushul madzhabnya.

x
Adapun yang mendorong para ulama’ Hanafiyah untuk melakukan hal ini
adalah adanya debat dan diskusi ilmiah yang mereka lakukan dengan ulama’-
ulama’ Syafi’iyah tentang beberapa masalah fiqh. Sudah tentu masing-masing
madzhab akan berupaya memenangkan madzhabnya dengan dalil yang kuta
sehingga tidak dapat dipatahkan oleh lawan.a
Sedangkan para fuqaha’ Syafi’iyah, mereka mendapati semua pendapat
imam mereka penuh dengan dalil dan ada illat-nya. Selain itu, juga ada ushul
madzhabnya yang ditulis dalam kitab Ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Asy-
Syafi’I dan ialah yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh.
Oleh karena itu, mereka tidak perlu lagi mencari prinsip dasar madzhab sang
imam dan illat-illat hukum pada masyarakat.
Adapun fuqaha’ madzhab Malikiyah dan Hanabilah, mereka belum
memberikan perhatian dalam masalah ini secara serius karena mereka jauh dari
medan debat dan diskusi ilmiah seperti yang dialami oleh para fuqaha’ pada
umumnya pada periode ini.
2.    Tarjih
Para fuqaha’ periode ini mempunyai jasa yang besar dalam men-tarjih
(menguatkan) antara pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam madzhab yang
diriwayatkan dari imam madzhab dan tarjih ini terdiri dari dua jenis. Pertama,
tarjih dari aspek riwayat, dan kedua, tarjih dari aspek dirayah.
3.    Upaya pembelaan madzhab dan penulisan fiqh perbandingan
Seperti yang sudah kami jelaskan diatas, betapa debat dan diskusi ilmiah
diantara para ulama’ telah memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan ilmu
pengetahuan secara umum dan fiqh islam khususnya. Ini terjadi ketika debat dan
diskusi bertujuan untuk mencari kebenaran dan inilah yang terjadi pada zaman
imam-imam madzhab.
Akan tetapi, fiqh pada fase  ini telah berubah haluan. Masing-masing
fuqaha’ madzhab sibuk memperjuangkan madzhabnya sendiri dengan menempuh
dua cara berikut.
xi
Pertama, menulis buku tentang keutamaan imam
Masing-masing pihak menulis buku tentang kelebihan yang dimiliki oleh
sang imam dalam bentuk syair dan prosa yang disebarkan kepada masyarakat
umum dengan harapan agar mereka memberikan loyalitas kepada imamnya.
Penulisan ini tidak hanya terbatas kepada fuqaha’ satu madzhab, namun juga
dilakukan oleh semua pengikuta madzhab. Pengikut Imam Abu Hanifah menulis
tentang keutamaan Imam Abu Hanifah dalam beberapa buku untuk menjelaskan
keluasan ilmu, ke-wara’an, kejujuran, dan kemampuan sang imam dalam meng-
istinbat hukum dari  Al-quran dan sunnah.
Demikian juga dengan ulama’-ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah,
mereka semua menulis buku tentang imam untuk mempromosikanya sehingga
mempunyai pengikuta yang banyak. Dengan demikian menyebarlah fiqh madzhab
dan muncul kepermukaan bersama dengan para pengikutnya, menjadi kebanggaan
umat, dan tertuang dalam berbagai jenis kitab-kitab yang tidak terhitung
jumlahnya.
Kedua, penulisan kitab-kitab fiqh perbandingan
Hal ini mencakup semua masalah khilafiyah diantara para fuqaha’ madzhab
dengan metode sebagai berikut.
a.       Menyebutkan satu masalah dan hukumnya pada setiap madzhab.
b.      Menyebutkan dalil hukumnya dari setiap imam.
c.       Kemudian membandingkan semua dalil yang ada dan lalu men-tarjih  dalil
madzhab mereka apapun kondisinya. Upaya ini kemudian dinamakan dengan
penulisan kitab fiqh komparasi.
Tentu usaha ini   sangat baik dan dapat membantu kita untuk memahami
pendapat yang kuat secara pasti, jika memang bertujuan mencari kebenanrana
tanpa ada rasa fanatic madzhab. Akan tetapi pada kenyataanya hal ini sangat
berbeda sekali, yang tampak bagi para penulis kitab sejarah tasyri’ islam pada
zaman ini adalah rasa fanatic dan ingin memenangkan madzhad sendiri.

xii
Mereka berdalil bahwa perbuatan ini mengandung unsure berlebih-lebihan
dan sangat terlihat pada banyak masalah yang dikaji dalam fiqh madzhab.
Dan terkadang mereka terbawa perasaan saling menghujat dan melampaui
batas, suatu kondisi yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi diantara para
imam madzhab itu sendiri, yaitu kompetisi ilmiah yang mulia untuk mencari
kebenaran tanpa fanatic dan berlebih-lebihan, yang mereka lakukan sama dengan
apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in.

2.3 Kemunculan Jumud Pada Masa Kemunduran


       Arti jumud secara bahasa adalah kebekuan. Periode ini dimulai sejak tahun
656 hijriyah, kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada akhir
abad ketiga belas.
Pada era ini kondisi perjalanan fiqh Islam saangat buruk sekali. Padahal
periode ini adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami
kemunduran dan jumud. Jika di zaman generaasi pertama kita bisa melihat para
fuqoha’ yang sibuk menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode
ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka
memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya.
 Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlak, semangat untuk menulis buku
juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqoha’ juga sangat minim, dan
hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu
difafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapaa penjelasan
singkat.

Akibatnya, apa yang mereka hasilkan berbeda sekali dengan hasil karya para
pendahulu. Jika para pendahulu membuat uraian, talil hukum, mentarjih pendapat
yang kuat dan memilih pendapat yang ditopang olegh dalil, namun pada masa ini

xiii
semuanya serba ringkas dan terbatas. Tujuan para fuqoha’ pada masa ini adalah
mewujudkan dua hal: Pertama, agar masyarakat mudah memahami masalah fiqh.
Kedua, memudahkan para pelajar menghafal kandungan fiqh madzhab dan
menjadi wasilah untuk mengkaji kitab-kitab besar sedikit demi sedikit.

2.3.1 Kontribusi Fuqoha’ pada Periode Ini

Usaha yang dilakukan para fuqoha’ pada periode ini akan terlihat pada
beberapa hal sebagai berikut
1.    Penulisan Matan (Teks)
Yaitu tulisan ringkas. Penulisan matan menjadi tren sepanjang periode ini,
bahkan menjadi konsentrasi fuqoha’, hingga ada yang mengatakan, “Siapa yang
menghafal matan (teks), maka ia akan mendapat ilmu banyak.
Jenis penulisan seperti ini belum muncul kecuali pada fase kedua dari
periode ini, menjadi hobi para fuqoha’ sampai kepada tingkat rumus-rumus
tertentu.
2.    Penulisan syarh (penjelasan). Hasyiyah (Catatan Pinggir) dan ta’liq (komentar)
Untuk memahami makana sebuah matan, diperlukan adanya syarh 
(penjelasan) yang bisa menjelaskan maksud dari teks tersebut dan terkadang
penjelasan tidak cukup sehingga perlu ada catatan kaki yang bisa mengurai
kalimat-kalimat yang asig dan dapat menjadi catatan ini pun belum cukup sehinnga
perlu ada ulasan tersendiri.
Tentu cara ini dapat mencapai harapan dan tidak sapat mentransformasikan
ilmu pengetahuan kepada pelajar dengan mudah, perlu usaha gigih untuk
memahami metode yang penuh dengan rumus dan menghabiskan stamina, dan
waktu para pelajar hanya untuk memecahkan susunan bahasanya.

xiv
Metode ini banyak menghaviskan waktu, menjauhkan para penimba ilmu
fiqh dari kitab-kitab yang sebenarnya sangat bermutu yang pernah ditulis para
fuqoha’ pada zaman ulama madzhab pada fase pertama dari periode ini.

2.3.2   Dampak Kejumudan ini terhadap Fiqh Islam


Kejumudan yang menimpa fiqh Islam sepanjang perjalanan periode ini telah
memberikan dampak sebagai berikut:
1.    Ketidajkberdayaan fiqh Islam untuk menjawab segala persoalan yang muncul.
2.    Jalan menjadi terpecah di depan para pengkaji ilmu fiqh disebabkan
banyaknya karya-karya yang sulit untuk dipahami, dan adanya aturan-aturan fiqh
madzhab sehingga membuat para pelajar tidak mampu menunjukkan kemampuan
mereka sendiri, yang pada akhirnya tiadak ada pembaruan dan penemuan baru.
3.     Masyarakat dan para penguasa sebagian negeri Islam menjadi berpaling dari
fiqh Islam dan memakai konsep undang-undang konvensional sebagai rujukan
dalam urusan pribadi, termasuk juga urusan pemerintahan. Dengan demikian,
syari’at Islam menjauh daari kehidupan, padahal sebelumnya syari’at Islam
menjadi sumber perundangan.

2.4    Faktor Kemunduran Fiqh Pada Periode Ini

Ada beberapa sebab terjadinya kemunduran ilmu fiqh pada zaman ini di
antaranya sebagai berikut:
1.Pergolakan politik dalam tubuh Negara Islam, musuh menguasai kaum muslimin
dan orang asing menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Hal tersebut
menyebabkan negara Islam menjadi lemah, yang berdampak pada lemahnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan di antaranya adalah fiqh Islam.
xv
2.      Pada zaman ini para fuqoha’ yang lebih memperhatikan warisan fiqh
madzhab dan mengajak masyarakat untuk mengikutinya, fanatik, dan menghujat
orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
3.      Para fuqoha’ membatasi ruang geraknya dan tidak mau berijtihad seperti
yang kami jelaskan sebelumnya.
4.      Munculnya beberapa buku yang syarat dengan rumusan yang perlu
dipecahkan, sehingga masyarakat melupaka buku-buku warisan yang berharga,
gaya bahasanya mudah dipahami dan penjelasannya mudah untuk dicerna.
5.      Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa
Negara baru, baik Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di kawasan Timur Tengah, dan
Asia. Munculnya Negara-Negara baru itu membawa ketidakstabilan politik. Hal ini
mempengaruhi pula kegiatan pemikiran dan pemantapan hukum.
6.      Pecahnya kesatuan kenegaraan/pemerintahan itu menyebabkakn merosotnya
pula kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
7.      Timbulnya gejala kelesuan dimana-mana. Karena kelesuan berfikir itu, para
ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan
mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab.

      

xvi
BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
       Fase kemunduran berawal dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir
abad ketiga belas hijriah. Periode ini mencakup dua fase yang bertautan, tentang
era taqlid kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan (kebekuan).
       Taqlid mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah. Faktor
yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik
yang menyebabkan Negara Islam terpecah menjadi Negara kecil, sebagian fuqaha’
yang memiliki kapasitas untuk memahami, ber-istinbat dan berijtihad secara
mutlak, hanya saja mereka berpaling dari kemandirian berfikir dan tidak mau
membuat madzhab baru, serta merasa sudah cukup dengan madzhab yang ada.
Adapun sebab terjadinya taqlid, diantaranya sebagai berikut:
1.      Pembukuan kitab madzhab
2.      Fanatisme madzhab
3.      Jabatan hakim
4.      Ditutupnya pintu ijtihad
            Begi mereka yang mempelajari apa yang terjadi pada periode ini,
dapat membuat kesimpulan bahwa bentuk khidmat atau upaya itu terhimpun dalam
beberapa hal yaitu ta’lil, tarjih, dan upaya pembelaan madzhab dan penulisan fiqih
perbandingan.
     Arti jumud secara bahasa adalah kebekuan. Periode ini dimulai sejak tahun
656 hijriyah, kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada akhir
abad ketiga belas. Pada era ini kondisi perjalanan fiqh Islam saangat buruk sekali.
Padahal periode ini adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami
kemunduran dan jumud.

xvii
Jika di zaman generaasi pertama kita bisa melihat para fuqoha’ yang sibuk
menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para ulamanya
sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka memiliki kemampuan
untuk menempuh jalan para pendahulunya.
Usaha yang dilakukan para fuqoha’ pada periode ini akan terlihat pada beberapa
hal sebagai berikut: penulisan matan dan penulisan Syah, Hasyiyah, dan Ta’liq.
     Ada beberapa sebab terjadinya kemunduran ilmu fiqh pada zaman ini di
antaranya sebagai berikut:
1.      Adanya pergolakan politik dalam tubuh Negara islam
2.      Para fuqaha’ lebih memperhatikan warisan fiqh madzhab dan berfanatik
3.      Para fuqaha’ tidak mau berijtihad
4.      Munculnya buku-buku yang sarat dengan rumusan yang perlu dipecahkan

3.2    Saran

       Dengan adanya peristiwa yang digambarkan di makalah ini semoga kita
mampu berijtihad dan bukan hanya bertaqlid yang menyebabkan kita menjadi
jumud sehingga pemikiran orang islam terus mengalami kemandekan dan tidak
berkembang.

xviii
Daftar pustaka

Anwar,Syahrul.2010.ilmu fiqhdan ushul fiqh.bogor:Ghalia Indonesia


Rahmat,Syafe’i.1999.ilmu ushul fiqh.Bandung:pustaka setia
Ismatullah,Dedi.2009.fiqh dan ushul fiqh.bandung:Pustaka Setia

xix

Anda mungkin juga menyukai