Anda di halaman 1dari 12

Tugas Kelompok

“Tarikh Tasyri’ Masa Sahabat’’


Dosen Pengampu: Ahmad Syaerozi, S.Q.,M.H.

Oleh:
Kelompok 4
1. M Syarif Hidayatullah
2. Muhammad Haerurrozi
3. Aperta Dayu S W Sn

Program Studi Hukum Ekonmi Syari’ah


Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Hamzanwadi
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhitung jumlahnya,
Sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, Sholawat beserta salam
semoga tetap tercurahkan kepada naabi kita, Nabi Muhammad SAW, Keluarga , para sahabatnya,
maupun kita semua yang mengikuti jejak langkahnya hingga hari akhirat kiamat kelak.

Penulis menyadari sekali, dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta
sangat banyak kekurang-kurangnya, untuk itu besar harapan kami agar teman-teman dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun supaya kami dapat menyempurnakan makalah-makalah kami di lain
waktu.

Harapan yang paling besar bagi penulis adalah bahwa makalah yang berjudul “Tarikh
Tasyri’masa sahabat” ini dapat memberi manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman serta orang lain
yang ingin mengambil hikmah dari makalah ini, atau sebagai tambahan dalam menambah refrensi yang
telah ada.

Pancor, 4 April 2023

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................

KATA PENGANTAR ......................................................................................................

DAFTAR ISI .....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................................


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................
C. Tujuan Pembahasan ................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................

A. Sumber Hukum di Masa Sahabat............................................................................


B. Kondisi Al-Qur’an dan Sunnah ..............................................................................
C. Langkah-langkah Sahabat Dalam Tasyrik...............................................................
D. Sistem Hukum Pada Masa Bani Ummayyah ..........................................................
E. Sistem Hukum Pada Masa Bani Abbasiyyah..........................................................
F. Aliran Pemikiran dan Pengaruhnya Dalam Fiqih....................................................

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................

A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dengan terjadinya perluasan wilayah Islam semakin kompleks pula permasalahan yang
dihadapi, dari situ muncul berbagai macam problematik yang belum pernah teriadi sebelumnya,
yang tidak ditunjuk secara langsung oleh nash, baik dalam kitab maupun Sunnah. IniIah pertama
kalinya fiqh berhadapan dengan persoalan baru, yakni menyelesaikan atas masalah kemanusiaan
dalam suatu masyarakat yang pluralistik. Para sahabat khususnya pada periode ini memainkan
peran yang sangat penting dalam membina hukum Islam. Para sahabat dengan kapasistas
pemahaman yang komprehensif terhadap Islam karena lamanya bergaul dengan Nabi, dan
menyaksikan sendiri proses turunnya syariat, menyikapi setiap persoalan yang muncul dengan
merujuk kepada Al- Qur'an dan Sunnah Nabi.Mereka melakukan interpretsi terhadap sebahagian
wahyu yang bersifat global dan menggali kandungan-kandungan moral yang terdapat di dalam
Al-Qur'an. Ada kalanya mereka menemukan nash Al-Qur'an atau petunjuk Nabi yang secara jelas
menunjuk pada persoalan, tetapi dalam banyak hal mereka harus menggali kaedah-kaedah dasar
dan tujuan moral dari berbagai tema dalam Al-Qur'an untuk diaplikasikan terhadap persolan-
persolan baru yang tidak dijumpai ketentuan nashnya.

Berbicara tentang tasyrik di masa sahabat ini akan menuntut untuk berbicara panjang
lebar, tetapi di dalam makalah ini pembicaraamnya hanya pada apa yang menjadi faktor
perkembangan hukum islam, bagaimana sumber hukum di masa sahabat, langkah-langkah
sahabat dalam tasyrik, khasanah, bagaimana keadaan system hukum di bani Ummayyah dan bani
Abbasiyyah,serta bagaimana aliran pemikiran dan pengaruhnya dalam fiqih. Bagian inilah yang
akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya .

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi sumber hukum dimasa sahabat?
2. Bagaiamana kondisi Al-Qur’an dan sunnah ?
3. Apa sajakah langkah-langkah sahabat dalam tasyri?
4. Bagaimana system hukum islam pada bani Ummayyah?
5. Bagaimana system hukum islam pada bani Abbasiyyah?
6. Bagaimana aliran pemikiran dan pengaruhnya dalam fiqih?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sumber hukum di masa sahabat
2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi Al-Qur’an dan Sunnah
3. Untuk mengetahui langkah-langkah sahabat dalam tasyri
4. Untuk mengetahui tentang system hukum islam pada bani Ummayyah
5. Untuk mengetahui tentang system hukum islam pada bani Abbasiyyah
6. Untuk mengetahui bagaimana aliran pemikiran dan pengaruhnya dalam fiqih

4
BAB II

PEMBAHASAN

A.Faktor Perkembangan Hukum Islam


Hukum tidak berada dalam ruang kosong, selalu bersinambungan dan berubah sesuai
dengan kondisi zaman. Dalam doktrin Islam pun dikenal kuat bahwa hukum selalu berubah
seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Dari konsep ini juga dapat dipahami mengapa Imam
Syafi’i merumuskan dua produk ijtihad yang berbeda, qaul qadim dan qaul jadid. Dalam hal ini,
perkembangan hukum Islam pada fase kodifikasi inipun tidak luput dari pengaruh kondisi sosial
budaya masyarakat Arab, di antaranya:

1. Makin luasnya wilayah Islam, upaya ekspansi ini dimulai sejak zaman Umar bin Khattab,
Mu’awiyyah, dan penerusnya sampai ke Tunisia, al-Jazair, Maroko sampai ke Samudera Atlantik.
Penaklukan Andalusia dilakukan tahun 705-715 pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik.
Di sebelah utara daerah Transoxiania (Uzbekistan), Sind, Sekitar Sungai Syir Darya, dan Sungai
Indus menjadi batas kerajaan Islam. Perlu dicatat pula, Muawiyah memindahkan ibu kota dari
Madinah ke Damaskus dengan alasan karena di Damaskuslah para pendukungnya tinggal. Orang
yang masuk Islam meliputi bermacam bangsa dengan berbagai tradisi dan strata sosial, serta
kepentingan yang berbeda-beda.

2. Ketika menduduki suatu daerah tentu saja penduduk dari daerah yang ditaklukan itu ada yang
belum beragama dan ada juga yang telah memeluk agama, kemudian secara berangsur-angsur
mereka-baik yang belum mempunyai agama maupun yang telah beragama – banyak yang
memeluk Islam. Dengan banyaknya penduduk yang masuk Islam, banyak persoalan-persoalan
yang timbul dan memerlukan pemecahan (jawaban). Sebagian dari para muallaf itu ada yang
sangat serius terhadap pemikiran Islam dan tidak sedikit dari mereka – khususnya dari ahli kitab
(Yahudi dan Nasrani) – yang menjadi tokoh penting dalam khazanah pemikiran Islam.

3. Lahirnya dua madzhab pemikiran fiqh, yakni ahli hadis yang berpusat di Madinah dan ahli
ra’yu yang berpusat di Kufah.Ahli Hadis adalah ulama yang lebih banyak menggunakan hadis
dan sangat hati-hati serta selektif dalam menggunakan ra’yu, sedangkan ahli ra’yu adalah ulama
yang banyak menggunakan nalar fikiran dibanding hadis. Penggunaan hadis terbatas pada hadis
yang mutawattir dan shahih saja. Munculnya dua kelompok ini memicu perbedaan pendapat di
kalangan para ulama dan secara signifikan mendorong lajunya perkembangan fiqh.

B. Sumber Hukum

Seperti telah disebutkan di atas bahwa perkembangan baru yang muncul mengiringi
perluasan wilayah Islam sangat membantu memperkaya khasanah fiqhiyah. Setiap ada persoalan
baru para sahabat menyelesaikmya secara baik dan teliti yaitu dengan merujuk kepada sumber
dasar yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Bila mereka tidak menemukan hukumnya pada kedua sumber
tersebut mereka berkumpul musyawarah guna membicarakan persoalan itu dan bila terjadi
kesepakatan barulah diputuskan persoalan yang mereka hadapi yang kemudian dikenal dengan
ijtihad.

5
Cara seperti ini banyak diguanakan Khulafaur-rasyidin dalam memutuskan hukum. Suatu
ketika khalifah Umar bin Khattab mengirim surat kepada salah seorang hakim bernama Syuraih :
"Jika kamu temukan dalam Al-Qur'an putuskanlah dengannya dan jangan menoleh kepada yang
lain, jika kamu berhadapan dengan apa yang tidak ada dalam Al-Qur'an putuskanlah dengan apa
yang menjadi Sunnah Nabi, jika kepada kedua warisan itu juga tidak ada putuskanlah dengan apa
yang telah menjadi keputusan orang banyak. Akan tetapi jika tidak ada dalam Al-Qur'an dan
Sunnah serta tidak ada pula seseorang memutuskan, maka kamu boleh memilih antara ijtihad
dengan pendapatmu sendiri, atau mengakhirkan putusamu.

Oleh karena itu selain Al-Qur'an dan sunnah, ijtihad digunakan dalam upaya menetapkan
hukum jika tidak dijumpai nash yang tegas.

C. Langkah-langkah Sahabat dalam Tasyri'

Kamil Musa secara lebih rinci menjelaskan bahwa langkah-langkah yang ditempuh oleh
sahabat dalam menerapkan hukum dari suatu perasolan yang dihadapinya. Pertama ia menelaah
kitab Allah, bila ditemukan nash Al-Qur'an yang cukup jelas dan rinci menunjuk hukum tersebut,
maka ia tidak mencari lagi sumber yang lain. Kedua, andai tidak ditemukan dalam Al-Qur'an ia
mencarinya dalam Sunnah yang bisa dipercayai periwayatannya. Begitu ditemukan hukumnya
dalam Sunnah Rasul maka ia tidak menoleh kepada ra'yu. Ketiga, bila tidak juga ditemukan
dalam Al-Qur'an dan Sunnah, ia akan bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain apakah pernah
mereka menjumpai Rasulullah membuat putusan tentang masalah tersebut. Jika ada salah seorang
sahabat yang mengiyakan, maka dibuatlah putusan.Keempat, baru setelah tidak menjumpai
jawaban yang bisa dijadikan pedoman, ia melakukan ijtihad baik secara jama'i dengan sahabat-
sahabat yang lain maupun secara fardi dengan selalu memperhatikan maqashid al-tasyri'.

Untuk lebih jelasnya bagaimana langkah-langkah sahabat dalam menetapkan hukum antara lain :

1. Bila mereka menemukan kasus, mereka akan mencarinya dalam Al-Qur'an.

2. Bila di dalam Al-Qur'an tidak ditemukan jawabannya mereka mencari jawabannya dalam
sunnah Rasulullah SAW.

3. Bila di dalam kedua sumber di atas tidat ditemukan jawabannya maka mereka akan melahirkan
ijtihad dengan cara scbagai berikut.

a. Mereka mengumpulkan para tokoh untuk bermusyawarah guna memutuskan perkara yang
sedang dihadapi, dikenal dengan ijtihad jamai.

b. Bila ha1 ini sulit untuk dilakukan maka mereka melahirkan ijtihad sendiri yang dikenal dengan
ijtihad fardi, dengan menggunakan ra'yu.

D. Sitem Hukum Pada Masa Bani Umayyah

6
Perkembaraga politik tidak sebatas menguasai wilayah kekuasaannya, melainkan
bertujuan merubah tatanan dan sistem hukum kenegaraan. Organisasi negara Islam di bawah
regim Umayyah tidak secara tegas memisahkan antara fungsi eksekutif dan fungsi
legislatif.Dalam kedua hal ini kekuasaan tertinggi tetap berada pada khalifah. Dan melalui
pendelegasian otoritasnyalah, banyak pejabat (bawahannya) yang memiliki wewenang yudikatif
dalam batas-batas daerah teritorial atau fungsional dari tugas administrasi mereka.Gubernur
propinsi, komandan tentara, pejabat kas negara (bayt al-mal),inspektur (pengawas) pasar, dan
bahkan pejabat pengairan memiliki hak dan kewenangan dalam konteks hukum untuk mengadili
setiap perbuatan yang dianggap telah melanggar.

Sementara itu, pejabat polisi (syurthah) merangkum aneka ragamwewenang. Sebab ruang
lingkup tugasnya meliputi penyelidikan atas kejahatan, penangkapan, pemeriksaan (dalam
pengadilan) dan hukuman bagi terhukum.Sementara penyelesaian dalam perbuatan perkara
perdata (keagamaan), yang oleh penguasan (pemerintah) didelegasikan kepada qadhi. Posisi
qadhi lambat laun menjadi penting dan dipandang sebagai jabatan strategis dalam sistem
pemerintahan Umayyah. Aktivitas para qadhi yang diangkat oleh pemerintah dengan sejumlah
rekomendasi pihak-pihak tertentu tidaklah bersifat netral atas perkara-perkara yang akan
diputuskan. Meski kemudian, para qadhi yang diangkat oleh pemerintah memiliki wewenang
yudikatif secara umum, menembus sistem pemisahan administrasi negara yang bersifat subsider
(tambahan). Dan ketika masa pemerintahan Umayyah berakhir,mereka telah menjadi alat negara
yang sentral dalam hal menangani hukum. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, mereka
bukanlah para pemutus hukum yang sama sekali independen dan keputusan-keputusan hukum
mereka dapat ditinjau kembali oleh penguasan politik atau lebih dikenal dengan hukum
Umayyah.

Meski pengaruh kekuasaan yudikatif semakin disempurnakan, hanya saja tidak ada
perubahan yang cukup signifikan terhadap pembaharuan peradilan, sehingga tidak banyak
informasi tentang peradilan yang didapatkan pada masa itu. Pemerintahan Bani Umayyah lebih
banyak disibukkan dalam urusan politik kenegaraan, sehingga hampir segenap kekuasaan
difokuskan pada upaya pembasmian terhadap para pemberontak dan penentang pemerintahan.
Bahkan dalam pandangan Hasbi Asshiddiqie, bahwa salah satu perkembangan yang dicapai era
Umayyah dalam sistem peradilan adalah mulai dibukukannya putusan-putusan hakim. Demikian
juga sidang-sidang sudah dilaksanakan di gedung yang memang diperuntukan untuk proses
peradilan. Proses lembaga peradilan era Umayyah telah terorganisasikan secara mandiri, lembaga
peradilan pada masa ini dikenal dengan Nizham al-Qadha (organisasi kehakiman) yang sudah
dipisahkan dari kekuasaan politik.

Dalam konteks kebijakan administrasi hukum, pemerintahan Umayyah mengambil


langkah yang siginifikan, yakni menjadikan hakim sebagai pembentuk hukum yang hanya
berlaku terhadap orang Islam. Para hakim diperkenankan untuk menggunakan kreasinya dalam
mengkombinasikan hukum lokal dengan semangat Alquran dan norma-norma hukum temporer
yang berlaku di dalam masyarakat muslim pada waktu itu. Pada saat itu, mazhab belum lahir dan
belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan hakim, maka jika tidak didapatkan nash dan
ijma, hakim diperkenankan untuk memutuskan perkara dengan hasil ijtihadnya sendiri. Kebijakan
tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada ketentuan khusus yang harus dilakukan oleh para

7
hakim berkaitan dengan bagaimana ia memutuskan perkara, sepanjang tidak bertentangan dengan
Alquran. Hakim diberi kewenangan untuk memformulasikan hukum secara kreatif.

Tugas hakim hanyalah mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara yang diserahkan


kepadanya. Pada masa itu belum ada hakim khusus yang memutuskan perkara pidana dan
hukuman penjara. Kekuasaan ini masih dipegang oleh khalifah sendiri. Adapun ciri peradilan
pada masa ini adalah :

1. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri dalam hal-hal yang tidak ada nash
atau ijma’.

2. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Putusan putusan mereka
berlaku untuk rakyat biasa dan penguasa. Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan
memecat hakim-hakim yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah ditentukan.

3. Putusan-putusan hakim belum lagi disusun dan dibukukan secara sempurna dan permulaan
hakim yang mencatat putusannya dan menyusun yurisprudensi adalah hakim Mesir dimasa
Pemerintahan Mu’awiyyah.

E. Sistem Hukum Pada Masa Bani Abbasiyah


Perkembangan dan kemajuan hukum Islam pada masa ini di tandai dengan kemajuan di
bidang ilmu fiqih yang menunjukkan dinamika ummat Islam dalam menjawab tantangan dan
masalah yang dihadapinya. Sejak Rasulullah SAW wafat keputusan hukum-hukum baru
berkembang pesat, ini dikarenakan sejak kekuasaan Islam di tangan Bani Umayyah dan
Abbasiyah terus mengalami perluasan. Pada masa dinasti Bani Ummayyah mahzab-mahzab fiqih
belum terbentuk meskipun sebagian imam pendiri mahzab yang empat hidup pada masa Dinasti
Ummayyah. Ketika Dinasti Abbasiyah menguasai pusat-pusat peradaban dan mengambil
khasanah atau kekayaan warisan budaya yang dimiliki bangsa-bangsa itu, maka muncullah cara-
cara baru membuat ijtihad hukum. Ijtihad hukum adalah upaya mencari ketetapan hukum suatu
masalah dengan mendasarkan pada ayat-ayat Alqur’an dan Hadits-hadits.

Setelah dilakukan pengumpulan hadits Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin
Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah, maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani
Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadits. Kemudian lahirlah
mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad ketujuh masehi yaitu Abu Hanifah (w.
767 M) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq dan mazhab ini telah melahirkan al-Auza’i
(w.774 M) dan al-Zahiri (w.883 M). Kemudian Imam Malik bin Anas (w.795 M) sebagai ulama
mazhab Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqoha’ dengan karya monumentalnya al-
Mutawattho’. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.820 M) yang muncul sebagai
jalan tengah antara mazhab Irak yang liberal dan Mazhab Madinah yang konservatif dan
mendominasi daerah Mesir. Selanjutnya lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.855 M) yang ahli dalam
bidang fiqh dan hadits.

Secara umum empat mazhab tersebut yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai
Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini.Dan oleh karena itu, masa Abbasiyah ini dikenal
dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pula disusun ilmu Ushul

8
Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Quran dan al-Sunnah.
Sebenarnya perkembangan suatu hukum memiliki hubungan antara madzhab fiqh dengan
penguasa politik sangat erat. Artinya, bahwa kebutuhan penguasa terhadap suatu bentuk sistem
hukum negara yang berdasarkan syara’ cukup memacu perkembangan hukum fiqh. Sebaliknya,
suatu aturan atau pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh para mujtahid tidak serta merta
dilaksanakan oleh mujtahid lain sebelum ada tekanan atau pemberlakuan secara resmi oleh
penguasa. Oleh karena itu, sesunggguhnya perkembangan suatu hukum tergantung kepada
kebutuhan praktis masyarakat, yang dalam hal ini terformulasi dalam bentuk pengusa. Apabila
penguasa menghendaki suatu hukum tertentu, maka jadilah. Begitu pula sebaliknya, bila
penguasa bermaksud menghapus suatu hukum tertentu, maka gugurlah hukum itu.

F. Aliran Pemikiran dan Pengaruhnya Dalam Fiqih


1.Khawarij
Adapun Pemikiran fiqhnya antara lain:

a. Khalifah tidak harus orang Quraish, tapi siapa saja yang mampu memimpin. Berbeda dengan
sunni yang mengharuskan pemimpin dari suku Quraish. Selain itu, orang yang melakukan dosa
besar, seperti halnya Utsman, Ali, Abu Musa, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, tergolong kafir. Mereka
pun berpendapat bahwa wajib hukumnya untuk menentang pemerintahan zalim, termasuk Ali dan
Muwiyah.

b. Amalah ibadah, berupa shalat, puasa, zakat, dan lainnya, termasuk dalam rukun iman, sehingga
iman tidak hanya cukup dengan penetapan di dalam hati (tashdiq) dan iqrar di lisan saja.

c. Hukuman zina cukup dipukul 100 kali sesuai dengan ajaran Al-Qur’an,sedangkan rajam adalah
ajaran hadis sebagai tambahan dari al-Qur’an.

d. Banatukum dalam ayat larangan nikah (Nisa 23-34), diartikan cukup anak perempuan, jadi
cucu boleh dinikahi oleh kakeknya.

e. Selain kelompoknya (khawarij) adalah kafir, dan kafir haram dinikahi.

f. Yang disebut ghanimah adalah senjata, kuda dan perlengkapan perang lainnya, selain itu
bukanlah ghanimah.

g. La wasiyata liwarisin, tidak berlaku. Sehingga ahli waris boleh mendapatkan warisan.

h. Radha’ah tidak menghalangi perkawinan sehingga saudara satu susu boleh dinikahi.

j. Thaharah adalah suci lahir dan batin, konsekuensi logisnya adalah apabila ketika akan shalat
atau dalam shalat berpikir sesuatu yang kotor dan membuat batin kotor maka shalat itu batal.

Khawarij hanya mengakui al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber tasyri’, sehingga


mereka tak mengakui adanya sunnah, ijma’ atau yang lainnya. Akibatnya adalah mereka selalu
menentang dan tidak sependapat ketika salah satu paham berbeda dengan al-Qur’an. Hal ini
terlihat ketika mereka menilai bagaimana para sahabat atau tabi’in menggunakan sunah atau
berijma’. Dalam satu hadis yang digunakan sebagai hujjah bahwa “Tidak ada wasiat pada ahli

9
waris”, mereka justru mempertanyakan: “bagaimana dengan firman Allah yang berbunyi:
‘Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf”. Maka itu, kelompok ini menolak hadis atau pendapat yang menyatakan bahwa ahli waris
tidak boleh diberi wasiat.

2.Syiah
Seperti halnya dengan Khawarij, Syiah tidak mengakui adanya ijma’ atau qiyas. Qiyas
ditolak karena didasarkan pada akal, bukan nash. Syiah hanya mengakui Allah, Rasul-Nya, dan
Imam sebagai sumber otoritas pembentukan hukum Islam, sehingga pendapat kelompok ini
banyak berbeda dengan pendapat Sunni, baik dalam ushul atau furu’. Dalam Ushul misalnya,
mereka menolak adanya naskh dan mansukh, sehingga mereka membolehkan adanya nikah
mut’ah sampai hari kiamat kelak.

Diantara contoh pemikiran hukum golongan syi’ah adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an (nash) mempunyai dua arti: lahir dan batin, yang mengetahui keduanya hanya Allah,
Rasul dan Imam. Imam mengetahui makna batin al-Qur’an, karena para imam tersebut dianggap
ma’sum oleh mereka dan diberikan ilmu yang setaraf dengan kenabian, masyarakat umum hanya
mengetahui zahir-nya saja.

b. Hadis nabi yang dipandang shahih oleh kelompok ini hanyalah hadishadis yang diriwayatkan
dengan jalur-jalur para imam mereka. Hadis yang diriwayatkan oleh kalangan ahlu sunnah,
meskipun derajat keshahihannya tinggi tidak akan diterima oleh mereka. Demikian pula,dalam
masalah furu’ dan ushul mereka akan menerima jika disetujui oleh imam mereka.

c. Dalam adzan: setelah hayya alal falah dalam pandangan Syiah ditambah satu kalimat lagi yaitu:
hayya ala khairil amal.

d. Masalah warisan bagi perempuan, perempuan hanya pendapatkan benda bergerak saja, tidak
seluruh jenis harta.

e. Waktu shalat hanya tiga, Dzuhur dan Ashar (dhuluqi syamsi), Magrib dan Isya (ghosyaqillail)
dan Subuh (Al-Qur’anal fajr).

10
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Sebagaimana telah digambarkan di atas, fiqh pada periode sahabat ini sangat hidup dan marak.
Selain Al-Qur'an dan sunnah ijtihd mulai menjadi rujukan fuqahak. Perluasan wilayah Islam telah
menghadirkan masalah-masalah baru yang belum muncul sebelumnya. Dan ha1 ini sangat berperan dalam
memperkaya khazanah fiqhiyah.
Namun jika ditelusuri lebih jauh, kebutuhan akan melakukan ijtihad tidak semata-mata untuk
menjawab masalah-masalah yang baru muncul, tetapi juga untuk memahami nash yang ada dalarn Al-
Qur'an dan sunnah. Sedang ra'yu dan ijtihad pada periode ini biasanya dipakai dalam bentuk qiyas.Yang
jelas, intensitas ijtihad sahabat perlu mendapat perhatian khusus. Maksudnya, meskipun ijtihad itu
membuka ruang ikhtilaf, tetapi karena sering dilakukan sccara bersarna dan musyawarah, di mana pada
saat itu para sahabat belum tersebar luas, ijtihad sahabat banyak mendatangkan suatu kesepakatan Umum
dari satu generasi atau yang disebut dengan ijtihad jamai, di samping itu sikap mereka yang berbeda
pendapat tidak bisa dielakkan lagi.

B. Saran

Dengan kerendahan hati, penulis merasakan tulisan ini sangat sederhana dan jauh dari
sempurna.Saran, kritik yang konstuktif sangat diperlukan demi kesempurnaan tulisan ini. Demikian
pula, perlu penyempurnaan di segala aspek agar tulisan ini menjadi lebih lengkap dan lebih
bermanfaat bagi pembaca.

11
Daftar Pustaka

Sopyan, Dr. Yayan, S.H.,M.A.,M.H.(2018)”Tarikh Tasyri’sejarah pembentukan hukum islam”. Depok :


Rajawali Pers

Suduthukum.2016.”Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Bani Abbasiyyah.”.


https://suduthukum.com/2016/01/perkembangan-hukum-islam-pada-masa-bani.html, diakses pada 3 April
2023 pukul 16.05.

Riswadi. 2016.”Kerangka Epistemologi Pemikiran Hukum Islam Pada Era Dinasti Umayyah-Tabi’in”.
Substantia,Volume 18 Nomor 1 (hlm. 7-10). Banda Aceh: Alumni PPs UIN Ar-Raniry.

12

Anda mungkin juga menyukai