Kelompok 2
Oleh:
1. Harun Yoga Perwira (10.1.2022.0003)
2. Mohammad Rizal Anadi (10.1.2022.0002)
1
KATA PENGANTAR
Shalawat beserta salam tak lupa pula kita persembahkan kepada junjungan
alamyakni Nabi Muhammad SAW, yang mana beliau telah membawa kita dari
zaman kebodohan hingga zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti
sekarang ini. Adapun selama penulisan dan penyusunan makalah ini kelompok
mendapatkan banyak bimbingan, bantuan serta dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi kelompok untuk mengucapkan
terimakasih kepada berbagai pihakyang telah membantu kelancaran dalam
penyusunan makalah ini. Demikianlah kata pengantar dari kelompok, dengan
harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Penyusun
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1LATAR BELAKANG...............................................................................................4
1.3. TUJUAN.................................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
2.1 Pengertian Sahabat.............................................................................................6
2.5. Faktor Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri’ Islam masa........7
BAB III..................................................................................................................27
PENUTUP..............................................................................................................27
A. Kesimpulan.............................................................................................................27
B. Saran........................................................................................................................28
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Perundang-undangan pada zaman khulafaurrasyidin dibentuk dengan metode
yang unik dan kaedah yang khas, yang sumbernya dari kitab Allah dan sunnah
Rasul yang terdiri dari kaidah kulliyah (global) dan dasar-dasar yang kokoh
sehinggan bisa membuka peluang dan memudahkan para mujtahid untuk
memunculkan masalah- masalah furu’iyah sesuai dengan aturan yang ada dapat
dijalankan dengan baik , serasi untuk setiap waktu dan keadaan yang pada
akhirnya memudahkan jalan bagi kaum muslimin untuk menghadapi semua
problematika yang muncul, memberikan terapi, dan menjelaskan hukumnya.
Fase pembinaan dan penyempurnaan syari’at secara umumnya dihiasi dengan
berbagai bentuk ijtihad, mengistinbath hukum dari nash. Jika tidak ada nash
mereka menggunakan pendapat kolektif ketika ada kesempatan untuk
bermusyawarah, atau kembali kepada pendapat pribadi jika memang tidak bias. Di
dalam maklah ini akan dijelaskan pembentukan-pembentukan hukum pada masa
khulafaurrasyidin setelah pembentukan hukum pada masa Rasulullah.
1.3. TUJUAN
Sehubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pembentukan hukum pada masa khulafaurrasyidin.
4
2. Untuk mengetahiu perkembangan hukum pada masa khulafaurrasyidin.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat dikalangan
4. Untuk mengetahui kondisi sosial Masyarakat Muslim pada Masa Tabi’in
5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rasionalis (ahlu al-
ra’yi) dan kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits)?
6. Untuk mengetahui metodologi Hukum Islam yang dikembangkan di antara
kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan kelompok tradisionalis (ahlu al-
hadits)?
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sahabat
Sahabat menurut terminology ulama fiqh dan ushul fiqh adalah setiap orang
yang pernah bertemu dengan Rasulullah dalam status iman kepadanya, dan
meninggal dalam keadaan Beriman pula.
2.2. Kelebihan Para Sahabat Dalam Memahami Syari’at
Para sahabat memiliki keistimewaan tersendiri dalam memahami syari’at
Islam dibandingkan orang lain, disebabkan beberapa faktor berikut :
a. Mereka sangat dekat dan bertemu langsung dengan Rasulullah sehungga
memudahkan mereka untuk mengetahui asbabun nuzul ayat dan asbabul
wurudhadits. Mereka juga mengetahui penafsiran Rasulullah tentang beberapa
ayat selain juga mengetahui illat hukum dan hikmahnya yang hasilnya dapat
memudahkan mereka untuk melakukan qiyas nash-nash yang ada kemiripan lalu
menetapkanhukumnya.
b. Mereka memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa Arab
yang merupakan bahasa Al-Quran sehingga memudahkan untuk memahami
makna Al-Quran sebab diturunkan dalam bahasa Arab.
c. Mereka menghafal Al-Quran dan Sunnah Rasul, mereka menjadi orang
yang pertama mempelajari ilmu syariat dan hukumnya.
2.3 Perbedaan dalam Memahami Syariat di Kalangan Sahabat
Perbedaan pendapat disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya sebagai
berikut :
a. Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa.
b. Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah, sebab bergaul
dengan rasulullah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbabun
nuzul ayat dan asbabulwurud hadits.
c. Kemampuan dan kapasitas individu yang berbeda-beda, diantaranya
perbedaan dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengistinbatkan hukum, dan
kemampuan menerjemahkan isyarat dari nash-nash syariat
d. Timbulnya perbedaan pandangan terhadap otoritas kepemimpinan umat
Islam.
6
2. 4 Sumber Tasyri’ pada Masa Sahabat
Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban setelah
Rasulullah wafat untuk menjelaskan tentang syariat Islam dan
mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul. Diantara
masalah yang muncul ada yang sudah disebutkan dalam nash dan ada yang belum
disebutkan hukumnya. Oleh karena itu, para sahabat dituntut untuk mengeluarkan
hukum dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk Nabi sehinggan hukum
yang ditetapkan tidak kontradiktif. Sumber pensyariatan (perundang-undangan)
pada masa sahabat adalah
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Ijma’
d. Logika (ra’yu)
Dalam aplikasinya, sumber-sumber hukum perundang-undangan ini dapat di
urutkan dalam langkah-langkah sebagai berikut:
a. Meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
b. Meneliti dalam sunnah Rasulullah jika tidak ada nash dalam kitab Allah
c. Ijma’, yaitu jika todak ada nash dalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah
atau ditemukannya namun bersifat global, atau nashnya banyak dan setiap
naas memberikan hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Dan
ketika itukhalifah mengundang para sahabat untuk melakukan ijma’. Jika
mereka sepakat dan menyetujui suatu pendapat maka itulah yang akan
mereka putuskan dan menjadi sebuah hukum yang pasti dan mengikat.
d. Ra’yu (pendapat pribadi), yaitu setiap hukum yang ditetapkan bukan
berdasarkan petunjuk nash termasuk qiyas, istihsan, masalih mursalah,
bara’ah adz-dzimmah, dan sad adz-dzari’ah.
8
terjadi, maka Zaid memberikan fatwanya, namun bila kasusnya belum
terjadi ia berkata,
“biarkanlah sampai kasusnya terjadi.“
3. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat yang
mengeluarkan
fatwa dan ra’yu (pendapat) pada masa ini adalah khalifah dan para
pembantunya. Disamping kesibukan mengatur negara Islam dan politik kaum
muslimin, baik keagamaan maupun keduniaan. Inilah yang membuat mereka
sibuk sehingga menjauhi menentukan dan mengira-ngira.Para ulama shahabat
mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kebenaran riwayat diantaranya;
Para sahabat, termasuk sahabat Abu Bakar tidak menerima hadist yang
tidak disaksikan lebih dari satu orang.
Para sahabat tidak membukukan hadist sehingga terbagilah hadist-hadist
berdasarkan perawi-perawinya.
Para sahabat tidak membukukan hasil ijtihad mereka. Sehingga sulit sekali
bagi generasi seterusnya kesulitan untuk mengetahui pendapat mereka.
9
orang yang terbaik diantara kalian. Kerena itu, jika aku melakukan sesuatu yang
benar, ikutilah, dan bantulah aku. Tetapi jika aku melakukan kesalahan,
perbaikilah. Sebab menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah
amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianat.” Selanjutnya beliau
berkata,“Ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasulnya.
Kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut
kepatuhan kalian.” Kata-katanya itu sangat penting artinya dipandang dari sudut
hukum ketatanegaraan dan pemikiran politik islam. Sebab, kata-katanya itu dapat
dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa,
antara pemerintah dan warga negara.
b. Cara yang dilakukan dalam memecahkan persoalan yang timbul
dimasyarakat.Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu
tuhan. Kalu dalamwakyu tuhan tidak ada, dicarinya dalam wahyu nabi.
Kalau dalam sunnah nabi tidak diperoleh pemecahan masalah, Abu bakar
bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkan dalam majelis.
Mejelis ini melakukan ijtihad lalu timbullah konsesus bersama yang
disebut ijma’ mengenai masalah tertentu. Dalam masa abu bakar inilah apa
yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat.
c. Pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-
ayat Alquran yang telah ditulis pada zaman Nabi pada bahan-bahan
darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, kemudian
dihimpun dalam satu naskah yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit yang
merupakan sekretaris Nabi Muhammad.
d. Berkenaan dengan bagian harta warisan seorang nenek, Abu Bakar tidak
menemukan ketentuannya dalam Al-Quran, ia kemudian bertanya kepada
sahabat. Mugirah seorang sahabat member tanggapan, ia berkata bahwa
Nabi memberikan seper enam harta bagi nenek.
10
2. Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah khalifah Abu bakar meninggal dunia, Umar bin Khattab menjadi
khalifahtahun 13 H/634 M. Dalam masanya daerah islam berkembang dan meluas
antaralain : Mesir, Iraq, Adjebijan, Parsi, Siria. Umar telah mengusir orang-
orangYahudi dan Jazirah Arab. Dan Umar lah yang pertama kali menyusun
adsministrasi pemerintahan, menetapkan peradilan dan perkantoran, serta kalender
penanggalan. Umar dkenal sebagai Imam Mujtahiddin. Pada masanya ia
berijtihadantara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak
ada illatuntuk memotongnya. Pencuri itu merupakan pegawai dari majikannya
yang kayaraya yang tidak memberikan gaji secara wajar. Maka umar menjalankan
istislah,yang kemudian dinamai almaslahatul mursalah. Umat tidak memberikan
zakat kepada almullafatu qulubuhum karena tidak ada illat untuk
memberikannya,maqashid yang terdapat dalam ayat ma’qulun-nash itu tidak
terdapat. Yang kemudian dianamai dengan al-ihtihsaan dan lain-lain.
Tindakan-tindakan Khalifah Umar
a. Turut aktif menyiarkan agama Islam sampai ke Palestina, Syiria, Irak,dan
Persia serta ke Mesir.
b. Menentukan tahun Hijriyah sebagai tahun islam yang terkenal berdasarkan
peredaran bulan (qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi yang
didasarkan pada peredaran matahari (syamsiyahh), tahun Huijriyah lebih pendek.
Perbedaan pergeserannya 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya.Penetapan
tahun hijriyah ini dilakukan pada tahun 638 M dengan bantuan paraahli hisab
(hitung) pada waktu itu.
c. Menetapkan kebiasaan shalat tarawih., yaitu salat sunnah malam yangdilakukan
sesudah shalat isya’, selama bulan Ramadlan dan dilakukannyasecra berjamaah
yang dipimpin oleh seorang imam. Umar berpendapat bahwashalat tarawih
berkamaah hukumnya sunat.
12
meningga setelah masa iddah, maka istri tersebut tidak mendapat harta
warisan.
d. Meluaskan daerah pemerintahan sampai ke baros, Maroko, India dan
Konstantinopel.
16
sebagai gantinya, mereka mengangkat para tokoh pemimpin mereka sendiri dalam
membuat sistem hukum.
Khawarij, misalnya, berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah
kafir —dalam hal ini, para Sahabat yang terlibat dalam peristiwa Tahkim—.
Sementara Syi’ah, misalnya, dalam menetapkan hukum hanya berpegang pada
hadits yang diriwayatkan Ahlu al-Bait —keturunan Nabi Saw dari Fatimah, serta
Hasan dan Husein—, dan mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hukum,
dengan alasan bahwa qiyas berdasarkan kepada pemikiran manusia.
17
Banyak dari para ulama pada masa ini yang melarikan diri dari pusat-pusat
pemerintahan Bani Umayyah untuk menghindari konflik, kekacauan, serta
pertikaian dari berbagai faksi. Hal ini mengakibatkan rusaknya prinsip ijma’.
Seiring dengan tersebarnya para ulama ke seluruh pelosok wilayah Muslim yang
letaknya berjauhan antara satu dengan yang lain, maka kesepakatan pandangan
tentang hukum menjadi mustahil untuk disatukan. Hal seperti ini pada akhirnya
memicu tumbuhnya ijtihad-ijtihad individual dari para ulama ketika mereka
berhadapan dengan keanekaragaman adat istiadat, cara hidup dan permasalahan
baru di wilayah mereka.
Pada perkembangan berikutnya, kondisi di atas mempengaruhi lahirnya berbagai
madzhab di masa Tabi’in. Sebagai contoh, ketika seorang ulama fiqh terkemuka
hadir di suatu wilayah, para pelajar dan para ulama di daerah tersebut
berbondong-bondong mengelilinginya. Bahkan, para pelajar dan para ulama yang
berasal dari daerah lain acapkali turut bergabung. Dengan cara seperti inilah
sejumlah madzhab menjadi berkembang.
18
fiqh yang salah disusun, dan lebih jauh lagi, ditopang dengan keputusan-
keputusan fiqh yang dibuat oleh para ulama yang telah menolak hadits-hadits
yang benar sebab ketentuan-ketentuan fiqh itu hanya mereka ketahui lewat para
pembuat hadits di wilayahnya.
19
kecenderungan mereka dalam membuat asumsi-asumsi dan perincian, karena
kebutuhan dalam mendapatkan tambahan pengetahuan keilmuan Islam.
Secara umum, yang dimaksud dengan aliran rasional (ahlu al-ra’yi) adalah aliran
ijtihad yang berpandangan bahwa hukum syara’ merupakan sesuatu yang dapat
ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan doktrinnya yang
mengacu pada kemaslahatan kehidupan manusia. Dalam hal ini, para mujtahid
rasionalis mengkaji illat untuk setiap norma hukum dengan melihat pada sisi yang
memungkinkannya untuk memperoleh illat sebanyak-banyaknya, sehingga
mereka dapat leluasa melakukan kajian analogis dengan memelihara kepentingan
kehidupan manusia dan masyarakat secara keseluruhan.
Tradisi kajian hukum seperti ini telah dimulai oleh Umar bin Khattab di Madinah,
yang banyak melakukan kajian maslahah dalam berbagai masalah
kemasyarakatan. Dalam hal ini, Umar bin Khattab seringkali mempertimbangkan
kemaslahatan umat dibanding sekedar menerapkan nash secara dzahir, sementara
tujuan hukum tidak tercapai. Kemudian kajian hukum seperti ini juga diikuti oleh
Abdullah bin Mas’ud yang mengembangkannya di Irak, setelah diutus oleh
khalifah Umar untuk menjadi wazir Kufah yang sekaligus menjadi guru —tempat
berlajar dan bertanya— bagi penduduknya.
Pola-pola kajian hukum dan fatwa-fatwa fiqh tersebut kemudian diserap oleh para
ulama dari kalangan Tabi’in, salah satunya Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i (w. 96
H). Selain dari Abdullah bin Mas’ud, al-Nakha’i juga menyerap ilmu-ilmu
keagamaan Islam, khususnya fatwa-fatwa fiqh dan pola-pola kajian hukumnya
dari Syuraih bin Harits (w. 78 H), yang diangkat menjadi qadhi Kufah oleh
khalifah Umar bin Khattab. Juga dari fatwa-fatwa Ali bin Abi Thalib pada saat
menjadi khalifah yang berkedudukan di Kufah.
Informasi dan tradisi keagamaan serta pola-pola kajian hukum dari ketiga tokoh
tersebut sangat mempengaruhi pola kajian hukum al-Nakha’i dan para ulama
kalangan Tabi’in pada generasinya, yang menyebabkan berkembangnya suatu
pola pengkajian hukum yang lebih bercorak anthrophosentris warisan Umar bin
Khattab. Inilah yang oleh para ulama ushul fiqh disebut sebagai madrasah al-
ra’yu.
20
Madrasah al-ra’yu menampilkan dua madrasah besar, yaitu pertama, madrasah
Kufah, dengan tokoh-tokoh seperti Alqamah bin Qais (w. 62 H), Masruq bin al-
Ajda (w. 63 H), Aswad bin Yazid (w. 75 H) Syuraih bin Harits (w. 78 H), Ibrahim
bin Yazid al-Nakha’i (w. 95 H), Al-Sya’bi (w. 103 H), Hammad bin Abi
Sulaiman (w. 120 H), dan Nu’man bin Tsabit bin Zautha yang populer dengan
nama Abu Hanifah (80-150 H). Kedua, madrasah Basrah, dengan tokoh-tokoh
seperti Muslim bin Yasar (w. 108 H), Hasan bin Yasar (w. 110 H), dan
Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Di samping aliran rasional (ahlu al-ra’yi) yang dikembangkan madrasah al-ra’yu
di Irak, dalam istilah ijtihad fiqh dikenal juga aliran tradisional (ahlu al-hadits),
yaitu mereka yang dalam ijtihad fiqhnya senantiasa merujuk nash-nash al-Qur’an
dan Sunnah, serta tidak mau melangkah jauh dari keduanya, tidak senang
melakukan kajian nalar rasional, dan sangat berhati-hati dalam berfatwa. Mereka
berpendapat bahwa yang berhak menetapkan hukum itu hanyalah Allah dan
Rasul-Nya. Di samping itu, ketentuan-ketentuan hukum hanya terdapat dalam al-
Qur’an dan Sunnah. Maka, berbagai persoalan aktual harus senantiasa
dikembalikan pada keduanya. Untuk itulah mereka memperluas pemakaian hadits,
termasuk hadits-hadits ahad sejauh memenuhi persyaratan sebagai sebagai hadits
yang ma’bul bih.
Tradisi kajian hukum dengan prinsip di atas telah dimulai oleh para sahabat yang
berpikir idealistik dan amat berhati-hati dalam berfatwa mengenai soal hukum,
antara lain adalah Abdullah bin Umar, ‘Aisyah, dan Ibnu Abbas. Kemudian
diikuti oleh para Tabi’in yang mayoritas berdomisili di Madinah, antara lain Sa’id
ibnu Musayyab dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka mengembangkan suatu teori
kajian hukum yang senantiasa merujuk pada Al-Qur’an dan al-Sunnah, serta
menghindari pemakaian akal secara bebas, baik melalui pendekatan istihsan
maupun mashlahah al-mursalah . Kecenderungan seperti ini dikembangkan oleh
para ulama Hijaz yang kemudian terkenal sebagai madrasah al-hadits.
Madrasah al-hadits dengan pola kajian hukumnya yang tradisional dan ortodoks
ini, berkembang di sekitar Makkah dan Madinah, karena tingginya perputaran
hadits-hadits nabi di dua kota ini, dan kecenderungan pada ulamanya untuk lebih
memperluas pemakaian hadits-hadits Nabi Saw dalam berfatwa. Di antara tokoh-
21
tokoh yang muncul dari madrasah Makkah seperti Atha bin Abi Rabiah (w. 114
H) dan Amr bin Dinar (w. 126 H). Sementara dari madrasah Madinah antara lain,
yaitu Said bin Musayyab (w. 94 H), Urwah bin Zubair (w. 94 H), Abu Bakar bin
Abdurrahman (w. 95 H), Ubaidiah bin Abdullah (w. 98 H), Kharijah bin Zaid (w.
99 H), Sulaiman bin Yasar (w. 107 H) —mereka terkenal dengan sebutan fuqaha
sab’ah atau tujuh ulama fiqh dari Madinah—, serta Salim bin Abdillah bin Umar
(w. 107 H), Ibn Syihab al-Zuhry (w. 124 H), dan lain-lain.
Tipologi yang menjelaskan bahwa kalangan Hijaz adalah kelompok tradisionalis
(ahlu al-hadits) —karena banyak berpegang kepada penuturan masa lampau,
seperti Hadits—, dan kalangan Irak adalah kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) —
dengan ditandai tidak banyak mementingkan riwayat atau hadits—, sesungguhnya
hal ini hanya merupakan karakteristik corak intelektual kedua wilayah tersebut.
Sedangkan pada tataran individu, cukup banyak dari masing-masing daerah yang
tidak mengikuti karakteristik umum itu. Sebagai contoh, di kalangan ulama Hijaz
terdapat seorang sarjana bernama Rabi’ah ibn Abi Rahmah di Madinah yang
tergolong kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan di kalangan ulama Irak, kelak,
tampil seorang penganut dan pembela kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits),
yaitu Ahmad ibn Hanbal. Di samping itu, membuat generalisasi bahwa satu
kelompok hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasyri’, apakah itu
penalaran (ra’yu) atau penuturan riwayat (hadits), adalah tidak tepat. Terdapat
persilangan antara keduanya, meskipun masing-masing tetap dapat dikenali ciri
utamanya dari kedua katagori tersebut. Kondisi ini semakin memperkaya
pemikiran hukum Islam pada masa Tabi’in.
23
norma hukum Islam yang harus ditaati sejauh tidak bertentangan dengan nash, dan
sejalan dengan prinsip-prinsip mashlahah.
Sementara kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits), dalam metodologinya lebih
berorientasi untuk memahami kemauan-kemauan syara’ dengan doktrin-doktrin
syariahnya serta berusaha untuk mengaplikasikan doktrin tersebut dalam
kehidupan sosial.
Dalam melakukan ijtihadnya, kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) hanya
bertumpu kepada qiyas untuk ijtihad aqli-nya, dan beberapa kaidah dalam ijtihad
lafdzi. Secara tegas, mereka menyatakan bahwa ijtihad adalah qiyas, dengan
alasan bahwa Allah telah menentukan semua ketentuan hukum untuk perbuatan-
perbuatan mukallaf. Oleh karena itu, kalau ketentuan tersebut telah dinyatakan
secara jelas, maka harus segera diikuti dan ditaati, sementara kalau tidak, harus
ditelaah lewat ijtihad, yaitu qiyas.
Lebih jauh, kelompok ini berargumentasi bahwa ketentuan-ketentuan hukum
hanya bersumber pada nash, dan tidak pada akal. Maka, kalau ada persoalan-
persoalan baru yang tidak ditunjuk oleh nash, harus dikaji ketentuan hukumnya
dengan mendekatkan persoalan tersebut kepada nash. Metode semacam itu hanya
dapat dilakukan dengan qiyas. Sehubungan dengan prinsip ini, mereka menolak
istihsan, dengan alasan bahwa dominasi akal dan subyektifitas mujtahid dalam
ber-istihsan itu lebih besar daripada berdalil dengan nash.
Selain dalam ijtihad aqli, kelompok rasional (ahlu al-ra’yi) dan kelompok
tradisional (ahlu al-hadits) juga berbeda dalam proses ijtihad lafdzi. Kendati amat
dipengaruhi oleh wawasan kebahasaan mereka, tetapi kelompok rasionalis (ahlu
al-ra’yi) senantiasa berusaha memberikan makna terhadap nash-nash hukum
dalam konotasi yang realistik. Sementara kelompok tradisional (ahlu al-hadits)
senantiasa memberikan makna apa adanya sesuatu apa yang dikehendaki nash itu
sendiri.
Perbedaan dalam orientasi dan metodologi hukum kedua kelompok ini dapat
dikaji dalam beberapa sebab, di antaranya adalah kombinasi antara faktor-faktor
politik dengan perbedaan latar belakang sosial budaya. Pusat atau ibu kota
pemerintahan kekhalifahan Islam untuk pertama kalinya —sejak masa Ali bin Abi
Thalib— berpindah dari Madinah ke Kufah, dan kemudian ke Syria (Damaskus).
24
Hal ini, praktis menyebabkan wilayah Hijaz menjadi relatif aman dari berbagai
pergolakan dan gelombang budaya serta ide-ide dari luar yang memasuki pusat
pemerintahan. Kehidupan di Hijaz berlangsung mudah dan sederhana, karena
relatif terisolasi. Hijaz juga merupakan tempat hidup Nabi Saw dan tempat
lahirnya pemerintahan Islam. Oleh sebab itu, terdapat banyak sekali hadits di
wilayah ini, selain ketetapan-ketetapan hukum yang dibuat oleh tiga khalifah
pertama, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Di sisi lain,
Irak merupakan daerah baru dan asing bagi umat Islam. Ketika pemerintahan
Islam berpusat di sini, beragam kebudayaan dari berbagai daerah bercampur-baur
sehingga memunculkan beragam situasi dan peristiwa baru yang berada di luar
pengalaman para ulama Islam pada masa ini. Di samping itu, hadits-hadits tidak
mudah didapatkan —sebagaimana di Hijaz—, karena jumlah Sahabat yang tinggal
di Irak relatif sedikit.
Pada dasarnya, Irak merupakan tempat lahirnya hadits-hadits palsu, dan juga di
kemudian hari menjadi tempat tumbuhnya sebagian besar sekte yang
menyimpang. Karena tidak mau percaya begitu saja pada keabsahan hadits yang
dikutip, para ulama Irak cenderung lebih sedikit menggunakan hadits
dibandingkan dengan para ulama Hijaz. Beberapa hadits yang dianggap akurat
oleh para ulama Irak hanya diterima setelah terpenuhinya persyaratan yang sangat
cermat. Akibat dari keadaan ini adalah corak pemikiran hukum Irak dan para
ulamanya yang lebih cenderung bergantung pada akal dan logika daripada Sunnah
Nabi Saw.
Di samping itu, lingkungan hidup di Irak berbeda situasinya dengan di Hijaz. Hal
ini disebabkan kerajaan Persia yang sebelumnya menguasai Irak, telah
meninggalkan bermacam hubungan-hubungan keperdataan dan adat istiadat yang
tidak dikenal di Hijaz. Oleh karena itu, lapangan ijtihad di Irak begitu luas dan
kemampuan untuk menggali atau membahas hukum-hukum Islam lebih banyak
dimiliki oleh ulama-ulama Irak. Sementara lingkungan hidup di Hijaz, mulai dari
masa Sahabat hingga masa imam madzhab, hampir tidak mengalami perubahan
yang mendasar, serta hampir semua kejadian atau peristiwa telah terdapat
hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah, maupun fatwa Sahabat. Di sini, dapat
dikatakan bahwa lapangan ijtihad hampir tidak ada di Hijaz, sehingga para ulama
25
Hijaz menjadi terbiasa memahami nash-nash secara lahiriyah, dan merasa tidak
perlu untuk mencari dan mendalami illat untuk diadakannya suatu ketentuan
hukum Islam.
Tantangan kultural yang dihadapi oleh ulama pada masa ini juga mempengaruhi
metodologi dan kaidah-kaidah ijtihad mereka. Kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi),
pada umumnya, adalah para ulama yang selalu berhadapan dengan permasalahan
masyarakat. Pada tahap awal, rasionalisme ini dikembangkan oleh para pejabat
pemerintah yang berhadapan dengan masyarakat luas, seperti Umar bin Khattab
sebagai Khalifah, Abdullah bin Mas’ud sebagai wazir, Syuraih dan Ibnu Abi Laila
sebagai qadhi. Selanjutnya Abu Hanifah sebagai pedagang yang banyak kontak
dengan masyarakat konsumennya.
Sementara kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits), pada umumnya, adalah para
ulama idealis yang kurang punya akses kepada masyarakat luas, sehingga
pemikirannya kurang berapresiasi dengan tuntutan dinamika masyarakat.
Sebaliknya, mereka berhadapan dengan doktrin-doktrin syara’ yang ideal yang
menurut mereka harus dapat diterapkan kepada masyarakat apa adanya. Pada
tahap awal, tradisionalisme ini dikembangkan oleh Abdullah bin Umar, Abdullah
bin Abbas dan Aisyah, yakni para sahabat yang berada di luar struktur
pemerintahan. Berikutnya fuqaha sab’ah atau tujuh ulama fiqh Madinah dan
tokoh-tokoh lainnya yang kesemuanya merupakan ulama-ulama shalih, ahli
ibadah, dan tidak banyak terlibat dalam urusan-urusan keduniaan.
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sumber pensyariatan (perundang-undangan) pada masa sahabat adalah
•Al-Quar an
•As-Sunnah
•Ijma’
• Logika (ra’yu)
2. Pengistimbatan pada masa khulafaurrasyidin sebatas kasus-kasus yang
terjadi saja. Mereka tidak memprediksikan masalah-masalah yang belum
terjadi dan tidakmengira-ngira bahwa hal itu akan terjadi lalu meneliti
hukumnya sebagaimana ulamamutaakhirin. Sahabat membatasi pada
kasus-kasus yang perlu difatwakan saja.Mereka tidak menyenangi hal itu
dan mereka tidak menampakkan pendapat tentangsesuatu sebelum sesuatu
itu terjadi, jika sesuatu itu terjadi mereka ijtihad untukmengistimabtkan
hukumnya.
3. Perkembangan tasyrik pada masa khulafaurrasyidin itu disesuakan dengan
masakekhalifahannya, karena semakin berkembangnya zaman semakin
benyak masalah baru yang ditimbulkan, sehingga khlalifah atau para
mijtahid memerlukan untuk berijtihad memenumak jalan keluar dari
sebuah masalah. Masing-masing khlalifah memiliki kebijakan sendiri
dalam memnyelasaikan sebuah masalah yang muncul.
4. masa Tabi’in merupakan masa peralihan dari masa Sahabat kepada masa
eksistensi para imam madzhab. Masa ini ditandai dengan pergolakan sosial
yang cukup besar, di antaranya adalah perpecahan di kalangan umat Islam,
penyimpangan para khalifah Bani Umayyah, persebaran para ulama ke
daerah-daerah luar, dan maraknya praktik pemalsuan hadits.
5. dalam metodologinya, kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) lebih
berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan kemaslahatan dalam kehidupan
manusia, sedangkan kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) lebih
berorientasi untuk memahami kemauan-kemauan syara’ dengan doktrin-
27
doktrin syariahnya, dan berusaha mengaplikasikan doktrin tersebut dalam
kehidupan sosial.
6. perbedaan orientasi kedua kelompok ini pada tataran berikutnya
melahirkan perbedaan dalam metodologi dan perumusan kaidah-kaidah
ijtihadnya, sehingga dalam konteks ijtihad, kelompok rasionalis (ahlu al-
ra’yi) lebih mengandalkan metode istihsan dan maslahah al-mursalah,
sedangkan kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) berusaha membatasi
dominasi akal dan subyektifitas mujtahid dengan tidak membuka peluang
akal untuk berperan selain dalam qiyas. Selain itu, kelompok rasionalis
(ahlu al-ra’yi) berani mengangkat tradisi masyarakat sebagai ketentuan
hukum yang sah —sejauh tidak bertentangan dengan nash—, sementara
kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) menolak sikap tersebut.
B. Saran
Makalah yang kami buat masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami
berharap pembaca terutama Ibu Dosen dapat memberikan kritik dan saran
konstruktif kepada kami untuk perbaikan makalah agar lebih bagus
28
DAFTAR PUSTAKA
Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Rosda Karya,
2000.Muhammad Zuhri, Terjemahan Tarikh Tasyrik Al-Islam, Semarang: Darul
Ikhya, 1980.Ra
Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosda
Karya,2001.
Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Rosda Karya,
2000), hal45.Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung:
Remaja Rosda Karya,2001), hal 289.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam, terj. E. Kusnadiningrat dan Abdul
Haris bin Wahid dari A History of Islamic Legal Theories, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2001
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1995
29
Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl
Jadid, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002
Philips, Abu Ameenah Bilal, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis
atas Madzhab, Doktrin dan Kontribusi, terj. M. Fauzi Arifin dari The Evolution of
Fiqh: Islamic Law and the Madhabs, Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2005
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial: Dirasah Islamiyah III, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1996
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, terj. Moh. Said, dkk., An Introduction
to Islamic Law, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama RI, 1985
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah
Gusti, 1995
Syaltut, Mahmud, Akidah dan Syari’ah Islam 2, terj. Fachruddin HS dari Al-Islam
Aqidah wa Syariah, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
30
31