Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

HUKUM ISLAM PADA SAHABAT, TABIIN


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Pengantar Hukum Islam
Dosen Pengajar: Niswatun Faizah,.S.Hi.,M.H.I

Kelompok 2
Oleh:
1. Harun Yoga Perwira (10.1.2022.0003)
2. Mohammad Rizal Anadi (10.1.2022.0002)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BILLFATH LAMONGAN
2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan


kesempatan dan kemampuan kepada kelompok kami sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar. Makalah ini berjudul

Hukum Islam Pada Sahabat,tabiin.

Shalawat beserta salam tak lupa pula kita persembahkan kepada junjungan
alamyakni Nabi Muhammad SAW, yang mana beliau telah membawa kita dari
zaman kebodohan hingga zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti
sekarang ini. Adapun selama penulisan dan penyusunan makalah ini kelompok
mendapatkan banyak bimbingan, bantuan serta dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi kelompok untuk mengucapkan
terimakasih kepada berbagai pihakyang telah membantu kelancaran dalam
penyusunan makalah ini. Demikianlah kata pengantar dari kelompok, dengan
harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi para pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Lamongan, 08 November 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1LATAR BELAKANG...............................................................................................4

1.2. RUMUSAN MASALAH........................................................................................4

1.3. TUJUAN.................................................................................................................4

BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
2.1 Pengertian Sahabat.............................................................................................6

2.2. Kelebihan Para Sahabat Dalam Memahami Syari’at...............................................6

2.3 Perbedaan dalam Memahami Syariat di Kalangan Sahabat......................................6

2.5. Faktor Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri’ Islam masa........7

2.6. Keputusan-keputusan yang Ditetapkan pada Masa Khulafaur Rasyidin.............9

1. Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.............................................................9

2. Masa Khalifah Umar bin Khattab.....................................................................11

3. Masa Khalifah Utsman bin Affan.....................................................................11

4. Masa khalifah Ali bin Abi Thalib.....................................................................13

2.7. Hukum islam pada masa tabiin.........................................................................14

1. Kondisi Sosial Masyarakat pada Masa Tabi’in.................................................15

2. Identifikasi antara Kelompok Rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan Kelompok


Tradisionalis (ahlu al-hadits)....................................................................................19

3. Metodologi Hukum Islam antara Kelompok Rasionalis dan Kelompok


Tradisionalis.............................................................................................................22

BAB III..................................................................................................................27
PENUTUP..............................................................................................................27
A. Kesimpulan.............................................................................................................27

B. Saran........................................................................................................................28

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Perundang-undangan pada zaman khulafaurrasyidin dibentuk dengan metode
yang unik dan kaedah yang khas, yang sumbernya dari kitab Allah dan sunnah
Rasul yang terdiri dari kaidah kulliyah (global) dan dasar-dasar yang kokoh
sehinggan bisa membuka peluang dan memudahkan para mujtahid untuk
memunculkan masalah- masalah furu’iyah sesuai dengan aturan yang ada dapat
dijalankan dengan baik , serasi untuk setiap waktu dan keadaan yang pada
akhirnya memudahkan jalan bagi kaum muslimin untuk menghadapi semua
problematika yang muncul, memberikan terapi, dan menjelaskan hukumnya.
Fase pembinaan dan penyempurnaan syari’at secara umumnya dihiasi dengan
berbagai bentuk ijtihad, mengistinbath hukum dari nash. Jika tidak ada nash
mereka menggunakan pendapat kolektif ketika ada kesempatan untuk
bermusyawarah, atau kembali kepada pendapat pribadi jika memang tidak bias. Di
dalam maklah ini akan dijelaskan pembentukan-pembentukan hukum pada masa
khulafaurrasyidin setelah pembentukan hukum pada masa Rasulullah.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana pembentukan hukum pada masa khulafaurrasyidin?
2. Bagaimana perkembangan hukum pada masa khulafaurrasyidin?
3. Apa sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat?
4. Bagaimana Kondisi Sosial Masyarakat pada Masa Tabi’in?
5. siapakah yang dimaksud dengan kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan
kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits)?
6. bagaimana metodologi Hukum Islam yang dikembangkan di antara
kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan kelompok tradisionalis (ahlu al-
hadits)?

1.3. TUJUAN
Sehubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pembentukan hukum pada masa khulafaurrasyidin.

4
2. Untuk mengetahiu perkembangan hukum pada masa khulafaurrasyidin.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat dikalangan
4. Untuk mengetahui kondisi sosial Masyarakat Muslim pada Masa Tabi’in
5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rasionalis (ahlu al-
ra’yi) dan kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits)?
6. Untuk mengetahui metodologi Hukum Islam yang dikembangkan di antara
kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan kelompok tradisionalis (ahlu al-
hadits)?

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sahabat
Sahabat menurut terminology ulama fiqh dan ushul fiqh adalah setiap orang
yang pernah bertemu dengan Rasulullah dalam status iman kepadanya, dan
meninggal dalam keadaan Beriman pula.
2.2. Kelebihan Para Sahabat Dalam Memahami Syari’at
Para sahabat memiliki keistimewaan tersendiri dalam memahami syari’at
Islam dibandingkan orang lain, disebabkan beberapa faktor berikut :
a. Mereka sangat dekat dan bertemu langsung dengan Rasulullah sehungga
memudahkan mereka untuk mengetahui asbabun nuzul ayat dan asbabul
wurudhadits. Mereka juga mengetahui penafsiran Rasulullah tentang beberapa
ayat selain juga mengetahui illat hukum dan hikmahnya yang hasilnya dapat
memudahkan mereka untuk melakukan qiyas nash-nash yang ada kemiripan lalu
menetapkanhukumnya.
b. Mereka memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa Arab
yang merupakan bahasa Al-Quran sehingga memudahkan untuk memahami
makna Al-Quran sebab diturunkan dalam bahasa Arab.
c. Mereka menghafal Al-Quran dan Sunnah Rasul, mereka menjadi orang
yang pertama mempelajari ilmu syariat dan hukumnya.
2.3 Perbedaan dalam Memahami Syariat di Kalangan Sahabat
Perbedaan pendapat disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya sebagai
berikut :
a. Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa.
b. Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah, sebab bergaul
dengan rasulullah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbabun
nuzul ayat dan asbabulwurud hadits.
c. Kemampuan dan kapasitas individu yang berbeda-beda, diantaranya
perbedaan dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengistinbatkan hukum, dan
kemampuan menerjemahkan isyarat dari nash-nash syariat
d. Timbulnya perbedaan pandangan terhadap otoritas kepemimpinan umat
Islam.

6
2. 4 Sumber Tasyri’ pada Masa Sahabat
Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban setelah
Rasulullah wafat untuk menjelaskan tentang syariat Islam dan
mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul. Diantara
masalah yang muncul ada yang sudah disebutkan dalam nash dan ada yang belum
disebutkan hukumnya. Oleh karena itu, para sahabat dituntut untuk mengeluarkan
hukum dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk Nabi sehinggan hukum
yang ditetapkan tidak kontradiktif. Sumber pensyariatan (perundang-undangan)
pada masa sahabat adalah
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Ijma’
d. Logika (ra’yu)
Dalam aplikasinya, sumber-sumber hukum perundang-undangan ini dapat di
urutkan dalam langkah-langkah sebagai berikut:
a. Meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
b. Meneliti dalam sunnah Rasulullah jika tidak ada nash dalam kitab Allah
c. Ijma’, yaitu jika todak ada nash dalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah
atau ditemukannya namun bersifat global, atau nashnya banyak dan setiap
naas memberikan hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Dan
ketika itukhalifah mengundang para sahabat untuk melakukan ijma’. Jika
mereka sepakat dan menyetujui suatu pendapat maka itulah yang akan
mereka putuskan dan menjadi sebuah hukum yang pasti dan mengikat.
d. Ra’yu (pendapat pribadi), yaitu setiap hukum yang ditetapkan bukan
berdasarkan petunjuk nash termasuk qiyas, istihsan, masalih mursalah,
bara’ah adz-dzimmah, dan sad adz-dzari’ah.

2.5. Faktor Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri’ Islam


masa Khulafaur Rasyidin
a. Akar masalah yang terjadi dalam pengambilan tasyri’
1. Luasnya wilayah islam masa khulafaurrasyidin. Periode kekuasaan
pemerintahan nabi Muhammad SAW hanya meliputi semenanjung Arabia
7
tetapi periode khulafaur Rasyidin meliputi wilayah arab dan non arab
sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara
ketetapanhukum yang rinci di dalam alquran dan alhadis terbatas
jumlahnya. Oleh karena itu khulafaurrasyidin mengahadapi banyak
masalah yang tadinya tidak terdapat dimasyarakat Arab. Misalnya masalah
pengairan, keuangan, cara menetapkan hukum di pengadilan dan budaya
hukum di Damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkand, Andalusia.
2. Sahabat khawatir akan kehilangan Alquran karena banyaknya sahabat
yang hafal alquran meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang
murtad, Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap
alquran akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya,
Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah
SAW, Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
Sahabat menghadapi Perkembangan kehidupan yang memerlukan
ketentuan syariat kerena islam petunjuk bagimereka tetapi belum
ditetapkan ketentuannya dalam Alquran.
b. Pendapat sahabat dalam pengistimbatan tasyri’ Pengistimbatan pada masa ini
sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka tidak memprediksikan masalah-
masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira bahwa hal itu akan terjadi
lalu meneliti hukumnya sebagaimana ulama mutaakhirin. Sahabat membatasi pada
kasus-kasus yang perlu difatwakan saja. Mereka tidak menyenangi hal itu dan
mereka tidak menampakkan pendapat tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi,
jika sesuatu itu terjadi mereka ijtihad untuk mengistinbatkan hukumnya. Mereka
berpendapat bahwa :.
1. Sesungguhnya menyibukkan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi
adalah sia-sia, membuang-buang waktu untuk perbuatan baik dan bajik
serta menyia-nyiakan waktu yang berharga
2. Mereka memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain
untuk berfatwa karena takut meleset dan salah. Oleh karena itu mereka
menjauhi perluasan fatwa terhadap kasus-kasus yang belum
terjadi.Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwasanya apabila ia apabila
dimintai fatwa dalam masalah yang ditanyakan. Bila kasusnya telah

8
terjadi, maka Zaid memberikan fatwanya, namun bila kasusnya belum
terjadi ia berkata,
“biarkanlah sampai kasusnya terjadi.“
3. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat yang
mengeluarkan
fatwa dan ra’yu (pendapat) pada masa ini adalah khalifah dan para
pembantunya. Disamping kesibukan mengatur negara Islam dan politik kaum
muslimin, baik keagamaan maupun keduniaan. Inilah yang membuat mereka
sibuk sehingga menjauhi menentukan dan mengira-ngira.Para ulama shahabat
mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kebenaran riwayat diantaranya;
 Para sahabat, termasuk sahabat Abu Bakar tidak menerima hadist yang
tidak disaksikan lebih dari satu orang.
 Para sahabat tidak membukukan hadist sehingga terbagilah hadist-hadist
berdasarkan perawi-perawinya.
 Para sahabat tidak membukukan hasil ijtihad mereka. Sehingga sulit sekali
bagi generasi seterusnya kesulitan untuk mengetahui pendapat mereka.

2.6. Keputusan-keputusan yang Ditetapkan pada Masa Khulafaur Rasyidin

1. Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq


Khalifah Abu Bakar adalah seorang ahli hukum yang tinggi mutunya dan dikenal
sebagai orang yang jujur dan disegani. Ia memerintah dari tahun 632 sampai
634M. sebelum masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani
Ikutaktif mengembangkan dan menyiarkan islam. Atas usaha dan seruannya
banyakorang-orang terkemuka yang memeluk agama Islam dan kemudian
terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan kerena
hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai
pengertian yang dalam tentang islam dibanding yang lain. Karena itu pula
pemilihannya sebagai khalifa pertama tepat sekali.
Tindakan-tindakan Penting yang Dilakukan Abu Bakar:
a. Pidatonya pada waktu pelantikan yang berbunyi :
“Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara. Tetapi aku bukanlah

9
orang yang terbaik diantara kalian. Kerena itu, jika aku melakukan sesuatu yang
benar, ikutilah, dan bantulah aku. Tetapi jika aku melakukan kesalahan,
perbaikilah. Sebab menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah
amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianat.” Selanjutnya beliau
berkata,“Ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasulnya.
Kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut
kepatuhan kalian.” Kata-katanya itu sangat penting artinya dipandang dari sudut
hukum ketatanegaraan dan pemikiran politik islam. Sebab, kata-katanya itu dapat
dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa,
antara pemerintah dan warga negara.
b. Cara yang dilakukan dalam memecahkan persoalan yang timbul
dimasyarakat.Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu
tuhan. Kalu dalamwakyu tuhan tidak ada, dicarinya dalam wahyu nabi.
Kalau dalam sunnah nabi tidak diperoleh pemecahan masalah, Abu bakar
bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkan dalam majelis.
Mejelis ini melakukan ijtihad lalu timbullah konsesus bersama yang
disebut ijma’ mengenai masalah tertentu. Dalam masa abu bakar inilah apa
yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat.
c. Pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-
ayat Alquran yang telah ditulis pada zaman Nabi pada bahan-bahan
darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, kemudian
dihimpun dalam satu naskah yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit yang
merupakan sekretaris Nabi Muhammad.
d. Berkenaan dengan bagian harta warisan seorang nenek, Abu Bakar tidak
menemukan ketentuannya dalam Al-Quran, ia kemudian bertanya kepada
sahabat. Mugirah seorang sahabat member tanggapan, ia berkata bahwa
Nabi memberikan seper enam harta bagi nenek.

10
2. Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah khalifah Abu bakar meninggal dunia, Umar bin Khattab menjadi
khalifahtahun 13 H/634 M. Dalam masanya daerah islam berkembang dan meluas
antaralain : Mesir, Iraq, Adjebijan, Parsi, Siria. Umar telah mengusir orang-
orangYahudi dan Jazirah Arab. Dan Umar lah yang pertama kali menyusun
adsministrasi pemerintahan, menetapkan peradilan dan perkantoran, serta kalender
penanggalan. Umar dkenal sebagai Imam Mujtahiddin. Pada masanya ia
berijtihadantara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak
ada illatuntuk memotongnya. Pencuri itu merupakan pegawai dari majikannya
yang kayaraya yang tidak memberikan gaji secara wajar. Maka umar menjalankan
istislah,yang kemudian dinamai almaslahatul mursalah. Umat tidak memberikan
zakat kepada almullafatu qulubuhum karena tidak ada illat untuk
memberikannya,maqashid yang terdapat dalam ayat ma’qulun-nash itu tidak
terdapat. Yang kemudian dianamai dengan al-ihtihsaan dan lain-lain.
Tindakan-tindakan Khalifah Umar
a. Turut aktif menyiarkan agama Islam sampai ke Palestina, Syiria, Irak,dan
Persia serta ke Mesir.
b. Menentukan tahun Hijriyah sebagai tahun islam yang terkenal berdasarkan
peredaran bulan (qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi yang
didasarkan pada peredaran matahari (syamsiyahh), tahun Huijriyah lebih pendek.
Perbedaan pergeserannya 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya.Penetapan
tahun hijriyah ini dilakukan pada tahun 638 M dengan bantuan paraahli hisab
(hitung) pada waktu itu.
c. Menetapkan kebiasaan shalat tarawih., yaitu salat sunnah malam yangdilakukan
sesudah shalat isya’, selama bulan Ramadlan dan dilakukannyasecra berjamaah
yang dipimpin oleh seorang imam. Umar berpendapat bahwashalat tarawih
berkamaah hukumnya sunat.

3. Masa Khalifah Utsman bin Affan


Panitia pemilihan khalifah memilih Utsman menjadi khalifah ketiga
menggantikanUmar bin khattab. Pemerintahan Utsman ini berlangsung dari tahun
644 sampai655 M. Ketika dipilih, Utsman telah berusia 70 tahun. Ia seorang yang
11
Mempunyai kepribadian yang lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-
orang di sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kekayaan dan
kemewahan. Hal inidimanfaatkan utamanya oleh keluarganya sendiri dan
golongan Umayyah. Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-jabatan penting
dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini dalam bahas orang-
orang sekarang disebutnepotisme(kecendrungan untuk mengutamakan atau
menguntungkan sanaksaudara/ keluarga sendiri). Timbullah klik system dalam
pemerintahan.
Tindakan-tindakan Khalifah Utsman
a. Membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan
Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harrits
menyalin Kembali naskah-naskah Alquran kedalam lima mushaf
(kumpulan lembaran-lembaranyang ditulis, dan alquran itu sendiri juga
disebut mushaf), kemudian dikirim keibukota provinsi (Makkah, Kairo,
Damaskus, Bagdad). Naskah itu disimpan dimasjid besarnya masing-
masing seperti umat Indonesia menyimpan Alquran pusakanya di masjid
Baiturrahim di komplek Istana Merdeka Jakarta. Satunaskah disimpan di
Madinah untuk mengenang jasa Utsman. Hal itu terjadi pada tahun 30 H/
650 M. Naskah mushaf Usmany adalah naskah yang dikirim pada
masanya. Sebagai kenang-kenangan atas jasa-jasanya, Utsman disebut
juga Al-imam. Mushaf Usmany di salin dan diberi tanda-tanda bacaan
diMesir seperti yang kita liat sekarang ini.
b. Menyalin dan membuat Alquran standar yang disebut dengan
kodifikasiAlquran.. Standarisasi Alquran ini perlu diadakan. Karena, pada
masa itu,wilayah Islam sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa
dan dialekyang tidak sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama islam
terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayat alquran yang
disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengungkapakan itu
menimbulkan perbedaanarti.
c. Umar berijtihad bahwa istri yang dicerai suaminya yang sedang sakit dan
suaminya itu meninggal dunia, maka istri tersebut mendapat harta pusaka
jika suaminya meninggal dalam masa tunggu (iddah), apabila suaminya

12
meningga setelah masa iddah, maka istri tersebut tidak mendapat harta
warisan.
d. Meluaskan daerah pemerintahan sampai ke baros, Maroko, India dan
Konstantinopel.

4. Masa khalifah Ali bin Abi Thalib


Setelah Utsman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali binAbi
Thalib menjadi khalifah keempat. Ia memerintah dari tahun 656 sampai tahun662
M. Sejak kecil ia diasuh dan didik oleh Nabi Muhammad, oleh karena
itu,hubungannya rapat sekali dengan Nabi. Ali adalah keponakan dan menantu
NabiSAW, setelah ia menikah dengan putri Nabi, Fathimah Az-zahra. Ketika
Nabi Muhammad masih hidup, Ali sering ditunjuk oleh Nabi menggantikan
beliaumenyelesaikan masalah-masalah penting. Nabi Muhammad sendiri pernah
menyatakan bahwa hubungan Nabi dengan Ali dapat dimisalkan seperti Nabi
Musa dan Harun. Dan karena itu pula, orang berkata bahwa Ali telah mengambil
suri teladan, ilmu pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan hati Nabi
MuhammadSaw. Karena itu banyak orang yang berpendapat bahwa ia lebih
berhak menjadikhalifah dari pada yang lainnya. Yang berpendapat demikian
terkenal dengan golongan syi’ah.
Diantara ijtihad Ali adalah tentang seorang yang menikah dengan seorang
perempuan. Ketika ia bermaksud melakukan perjalanan tanpa membawa
isterinya,keluarga istrinya mengancam bahwa pernikahan dengan isterinya talah
berakhirr,istri itu belum memperoleh kiriman. Hal itu kemudian diadukan ke Ali,
Ali berkata bertindaklah bijaksana sampai suaminya menyataka talak, Ali
menolaknya, Ali bermaksut bahwa sumpah atau akad talak yang dibarengi dengan
syarat tidak sah. Semasa pemerintahan Ali, tidak banyak yang diperbuat untuk
mengembangkan hukum islam. Hal ini dikarenakan keadaan Negara tidak stabil.
Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam
yang bermuara pada perang saudara dan timbulnya kelompok-kelompok
besarumat islam sekarang ini, antara lain:
 Kelompok Ahlussunnah waljamaah (suni), yaitu kelompok atau jamaah
yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad
13
 Kelompok syiah yaitu pengikut Ali bin Abi Thalib. Dasar perpecahan
adalah perbedaan pendapat mengenai masalah politik,yakni siapa saja
yang berhak menjadi khalifah, masalah pemahaman akidah, pelaksanaan
ibadah, system hukum dan kekeluargaan. Golongan syiah banyak terdapat
di Lebanon, Irak, Pakistan, dan India. Bekas pengaruhnya terdapat
diIndonesia, tepatnya di Tanjung Priok, di Pasar Koja.

2.6. Hukum islam pada masa tabiin


Pada masa para sahabat yang kemudian dilanjutkan masa para Tabi’in, prinsip-
prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan dalam menopang
ditegakkannya kekuasaan politik kekhalifahan Islam yang meliputi daerah antara
Nil sampai Amudarya, kemudian meluas dan membentang dari semenanjung
Iberia hingga lembah sungai Indus. Daerah-daerah tersebut, merupakan daerah-
daerah berperadaban yang telah mempunyai tradisi sosial-politik yang tinggi dan
sangat mapan, termasuk tradisi hukumnya. Pada umumnya, tradisi tersebut
merupakan warisan Yunani-Romawi dan Indo-Iran. Oleh karena itu, dapat
dipahami apabila kemudian timbul semacam tuntutan intelektual dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat yang harus dijawab oleh kalangan ulama dan
pemimpin politik Muslim.
Tuntutan intelektual tersebut, selanjutnya mendorong tumbuhnya suatu genre
kegiatan keilmuan yang memiliki corak khas, yaitu Islam —bahkan Arab— yaitu
Ilmu Fiqh. Namun sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya yang telah
terjadi pada masa Tabi’in itu ialah semacam pendekatan ad hoc dan praktis-
pragmatis terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-
prinsip umum yang ada dalam al-Qur’an, dan dengan melakukan rujukan pada
tradisi Nabi Saw, manhaj para Sahabat serta masyarakat mereka yang secara ideal
terdekat, khususnya masyarakat Muslim Madinah.
Dalam kaitannya tersebut, keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum
Islam yang ada pada masa Nabi Saw dan masa Sahabat, tetap dipertahankan pada
masa Tabi’in. Perbedaannya, jika pada masa Nabi, tempat rujukannya ialah Nabi
sendiri dengan otoritas yang diakui semuanya, kemudian pada masa Sahabat,
tradisi Nabi itu diwarisi oleh banyak tokoh dari kalangan Sahabat —yang
14
kemudian bertindak sebagai tempat rujukan—, pada masa Tabi’in ditandai dengan
muncul perselisihan di antara tempat rujukan tersebut, terutama sejak pertikaian
politik atas peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Keadaan tersebut
mengakibatkan juga munculnya berbagai gejala kekacauan pemahaman
keagamaan tertentu dengan tumbuhnya faksi-faksi politik yang berjuang keras
untuk memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti
Khawarij, Syi’ah, Umawiyyah, dan sebagainya, yang mendorong berbagai
pertikaian paham, yang pada gilirannya menjadi salah satu faktor yang signifikan
atas maraknya praktik pemalsuan hadits atau penuturan dan cerita tentang Nabi
Saw serta para Sahabat.
Dalam situasi dan kondisi penuh pergolakan dan kekacauan inilah, para tokoh di
kalangan Tabi’in berusaha mengembangkan metodologi hukum Islam yang secara
umum dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan
kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) dengan corak metodologis yang khas dan
pada tataran berikutnya turut melahirkan madzhab-madzhab Fiqh dalam Islam.
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut, yaitu pertama, bagaimana kondisi sosial Masyarakat Muslim pada
Masa Tabi’in? Kedua, siapakah yang dimaksud dengan kelompok rasionalis (ahlu
al-ra’yi) dan kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits)? Ketiga, bagaimana
metodologi Hukum Islam yang dikembangkan di antara kelompok rasionalis (ahlu
al-ra’yi) dan kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits)?

1. Kondisi Sosial Masyarakat pada Masa Tabi’in


Dalam bidang Hukum Islam —begitu pula dengan bidang keilmuan Islam lainnya
—, masa Tabi’in merupakan masa peralihan dari masa Sahabat kepada masa
eksistensi para imam madzhab. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa masa ini
merupakan kelanjutan yang wajar dari masa Sahabat, yang di dalamnya ditandai
dengan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang relatif lebih mandiri dengan
mengarah pada spesialisasi dalam bidang keilmuan Islam.
Secara historis, masa Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi dengan
kompleksitas permasalahan. Perkembangan wilayah politik Islam yang semakin
luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan kompleks. Dalam hal ini,
15
pemeluk Islam bukan hanya dari bangsa Arab, tetapi sudah berbaur dengan
bangsa lain yang berbeda-beda bahasa dan tradisinya. Perkembangan ini
menyebabkan pengetahuan umat Muslim terhadap sumber ajaran Islam, yaitu al-
Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, tidak lagi sesempurna generasi
sebelumnya. Di samping itu, permasalahan kehidupan yang memerlukan jawaban
hukum semakin meningkat yang lebih menuntut pelaksanaan ijtihad.
Dalam melakukan ijtihad, para ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis
sebelumnya oleh para Sahabat. Mereka menggunakan al-Qur’an dan Sunnah
sebagai rujukan utama. Selanjutnya mereka mengikuti ijma’ Sahabat. Apabila
tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari
Sahabat yang dianggap kuat dalilnya. Di samping itu, mereka menggunakan ra’yu
sebagaimana yang dilakukan Sahabat. Dalam penggunaan ra’yu, mereka sedapat
mungkin menempuhnya melalui qiyas, jika mereka menemukan padanan
masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila tidak mungkin,
mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan
dalam ijtihad.
Di antara faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam
pada masa ini, yaitu sebagai berikut:

a. Perpecahan di kalangan umat Islam


Pada awal masa ini, umat Islam mengalami berbagai gejolak politik yang
menyebabkan munculnya faksi-faksi. Pemberontakan yang paling serius adalah
pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, dan kelompok
Abdullah bin Zubair. Persaingan dan pertikaian terus-menerus antar faksi yang
saling bertentangan tersebut dalam memperebutkan hegemoni politik
mengakibatkan kekacauan dalam pemahaman keagamaan.
Dua faksi pertama, yaitu Khawarij dan Syi’ah, berkembang ke dalam sekte-sekte
keagamaan yang kemudian mengembangkan sistem hukum Islam tersendiri.
Dengan bersandar pada interpretasi terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang
disesuaikan dengan pandangannya sendiri, mereka menolak kontribusi sebagian
besar Sahabat. Bahkan mereka menyebut para Sahabat sebagai kaum murtad, dan

16
sebagai gantinya, mereka mengangkat para tokoh pemimpin mereka sendiri dalam
membuat sistem hukum.
Khawarij, misalnya, berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah
kafir —dalam hal ini, para Sahabat yang terlibat dalam peristiwa Tahkim—.
Sementara Syi’ah, misalnya, dalam menetapkan hukum hanya berpegang pada
hadits yang diriwayatkan Ahlu al-Bait —keturunan Nabi Saw dari Fatimah, serta
Hasan dan Husein—, dan mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hukum,
dengan alasan bahwa qiyas berdasarkan kepada pemikiran manusia.

b. Penyimpangan para khalifah Bani Umayyah


Para khalifah Umayyah memperkenalkan sejumlah praktek yang lazim berlaku di
negeri-negeri non-Muslim pada waktu itu, seperti Byzantium, Persia dan India.
Banyak dari praktek-praktek tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fiqh pada
periode sebelumnya. Sebagai contoh, bait al-mal digeser menjadi kepemilikan
pribadi para khalifah dan keluarganya, dan pajak yang tidak diperbolehkan Islam
diberlakukan untuk meningkatkan keuntungan mereka. Musik, gadis-gadis penari,
tukang sulap, para ahli nujum, secara resmi diperkenalkan sebagai bentuk hiburan
istana kekhalifahan.
Lebih jauh, dengan dukungan kekuasaan Yazid sebagai putra mahkota yang
ditetapkan oleh khalifah Muawiyah pada tahun 679 M, khalifah diubah menjadi
jabatan turun-temurun. Ikatan fiqh-negara dihancurkan dan faktor pemersatu
madzhab yang cukup penting pun lenyap. Karena faktor-faktor tersebut, para
ulama pada periode ini menghindari beraudiensi dengan para khalifah, sehingga
prinsip syura (dewan penasehat pemerintahan) menjadi hilang. Lewat pergantian
khalifah, pemerintahan semakin diperburuk dengan sistem monarkhi diktatorial
yang serupa dengan pemerintahan non-Muslim pada masa itu. Akibatnya,
sebagian khalifah berupaya memanipulasi fiqh untuk menjustifikasi
penyimpangan-penyimpangannya. Untuk memberantas distorsi ini, dan
memelihara fiqh otentik untuk generasi berikutnya, para ulama mulai
mengumpulkan dan menghimpun fiqh yang berasal dari periode sebelumnya.

c. Persebaran para ulama ke daerah-daerah luar

17
Banyak dari para ulama pada masa ini yang melarikan diri dari pusat-pusat
pemerintahan Bani Umayyah untuk menghindari konflik, kekacauan, serta
pertikaian dari berbagai faksi. Hal ini mengakibatkan rusaknya prinsip ijma’.
Seiring dengan tersebarnya para ulama ke seluruh pelosok wilayah Muslim yang
letaknya berjauhan antara satu dengan yang lain, maka kesepakatan pandangan
tentang hukum menjadi mustahil untuk disatukan. Hal seperti ini pada akhirnya
memicu tumbuhnya ijtihad-ijtihad individual dari para ulama ketika mereka
berhadapan dengan keanekaragaman adat istiadat, cara hidup dan permasalahan
baru di wilayah mereka.
Pada perkembangan berikutnya, kondisi di atas mempengaruhi lahirnya berbagai
madzhab di masa Tabi’in. Sebagai contoh, ketika seorang ulama fiqh terkemuka
hadir di suatu wilayah, para pelajar dan para ulama di daerah tersebut
berbondong-bondong mengelilinginya. Bahkan, para pelajar dan para ulama yang
berasal dari daerah lain acapkali turut bergabung. Dengan cara seperti inilah
sejumlah madzhab menjadi berkembang.

d. Maraknya praktik pemalsuan hadits


Periwayatan hadits-hadits meningkat ketika kebutuhan informasi juga meningkat.
Karena negara telah berhenti bersandar pada Sunnah Nabi Saw, para ulama
dengan beragam kapasitasnya bergerak mencari laporan-laporan individual
tentang Sunnah yang diriwayatkan oleh para Sahabat dan murid-muridnya untuk
membuat ketentuan hukum. Pada saat yang sama berkembang fenomena baru,
yaitu untuk pertama kalinya hadits-hadits palsu, baik yang berupa ucapan maupun
tindakan dinisbahkan kepada Nabi Saw.
Bagi seorang pembuat hadits, agar dipercaya, dia harus menyiarkan beberapa
hadits yang sesungguhnya bersama-sama dengan hadits-hadits bikinannya sendiri.
Dengan adanya peristiwa ini, untuk pertama kalinya mulai dilakukan upaya
pengumpulan hadits dan mulai berkembang ilmu tentang kritik hadits, yang
kemudian membantu para ulama dalam melakukan ijtihad. Namun, sebelum ilmu
hadits berkembang, beragam hadits yang benar dan palsu sudah masuk ke dalam
kerangka keilmuan Islam yang terkadang secara gegabah digunakan oleh sebagian
ulama untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum. Dengan cara inilah, bangunan

18
fiqh yang salah disusun, dan lebih jauh lagi, ditopang dengan keputusan-
keputusan fiqh yang dibuat oleh para ulama yang telah menolak hadits-hadits
yang benar sebab ketentuan-ketentuan fiqh itu hanya mereka ketahui lewat para
pembuat hadits di wilayahnya.

2. Identifikasi antara Kelompok Rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan


Kelompok Tradisionalis (ahlu al-hadits)
Sejak masa Sahabat, kegiatan ijtihad dapat dikategorikan dalam dua aliran, yaitu
aliran rasional (ahlu al-ra’yi) dan tradisional (ahlu al-hadits). Akan tetapi secara
institusional, kedua aliran ini terbentuk pada masa Tabi’in, di mana aliran rasional
(ahlu al-ra’yi) berkembang di Irak, sedangkan aliran tradisional (ahlu al-hadits)
berkembang di Hijaz —Makkah dan Madinah—. Meskipun demikian, tidak
menutup kemungkinan adanya ulama tradisionalis (ahlu al-hadits) di Irak dan
ulama rasionalis (ahlu al-ra’yi) di kawasan Hijaz.
Hijaz merupakan tempat tinggal kenabian, di mana Nabi Saw menetap,
menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau menyambut,
mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan menerapkannya. Hijaz juga
menjadi tempat tinggal kalangan para Sahabat yang datang sampai Nabi Saw
wafat. Selanjutnya, para Sahabat ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui
kepada generasi berikutnya, yaitu kalangan Tabi’in.
Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem pemerintahannya,
kompleksitas kehidupannya, dan tidak mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali
melalui para Sahabat dan Tabi’in yang pindah ke sana. Di samping itu, tradisi
yang dibawa pindah oleh mereka itu pun masih lebih sedikit dibandingkan dengan
yang ada di Hijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu, —disebabkan
masa lalunya—, lebih kaya daripada yang ada di Hijaz. Begitu pula dengan
kebudayaan penduduknya dan keahlian kepada penalaran. Oleh karena itu,
kebutuhan mereka kepada penalaran tampak lebih kuat, dan lebih luas
penggunaannya. Penyandaran kepada penalaran kritis ini menjadi lebih dominan,
mengingat sedikitnya Sunnah yang beredar di Irak tidak cukup memadai untuk
semua kebutuhan mereka. Hal tersebut masih ditambah pula dengan

19
kecenderungan mereka dalam membuat asumsi-asumsi dan perincian, karena
kebutuhan dalam mendapatkan tambahan pengetahuan keilmuan Islam.
Secara umum, yang dimaksud dengan aliran rasional (ahlu al-ra’yi) adalah aliran
ijtihad yang berpandangan bahwa hukum syara’ merupakan sesuatu yang dapat
ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan doktrinnya yang
mengacu pada kemaslahatan kehidupan manusia. Dalam hal ini, para mujtahid
rasionalis mengkaji illat untuk setiap norma hukum dengan melihat pada sisi yang
memungkinkannya untuk memperoleh illat sebanyak-banyaknya, sehingga
mereka dapat leluasa melakukan kajian analogis dengan memelihara kepentingan
kehidupan manusia dan masyarakat secara keseluruhan.
Tradisi kajian hukum seperti ini telah dimulai oleh Umar bin Khattab di Madinah,
yang banyak melakukan kajian maslahah dalam berbagai masalah
kemasyarakatan. Dalam hal ini, Umar bin Khattab seringkali mempertimbangkan
kemaslahatan umat dibanding sekedar menerapkan nash secara dzahir, sementara
tujuan hukum tidak tercapai. Kemudian kajian hukum seperti ini juga diikuti oleh
Abdullah bin Mas’ud yang mengembangkannya di Irak, setelah diutus oleh
khalifah Umar untuk menjadi wazir Kufah yang sekaligus menjadi guru —tempat
berlajar dan bertanya— bagi penduduknya.
Pola-pola kajian hukum dan fatwa-fatwa fiqh tersebut kemudian diserap oleh para
ulama dari kalangan Tabi’in, salah satunya Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i (w. 96
H). Selain dari Abdullah bin Mas’ud, al-Nakha’i juga menyerap ilmu-ilmu
keagamaan Islam, khususnya fatwa-fatwa fiqh dan pola-pola kajian hukumnya
dari Syuraih bin Harits (w. 78 H), yang diangkat menjadi qadhi Kufah oleh
khalifah Umar bin Khattab. Juga dari fatwa-fatwa Ali bin Abi Thalib pada saat
menjadi khalifah yang berkedudukan di Kufah.
Informasi dan tradisi keagamaan serta pola-pola kajian hukum dari ketiga tokoh
tersebut sangat mempengaruhi pola kajian hukum al-Nakha’i dan para ulama
kalangan Tabi’in pada generasinya, yang menyebabkan berkembangnya suatu
pola pengkajian hukum yang lebih bercorak anthrophosentris warisan Umar bin
Khattab. Inilah yang oleh para ulama ushul fiqh disebut sebagai madrasah al-
ra’yu.

20
Madrasah al-ra’yu menampilkan dua madrasah besar, yaitu pertama, madrasah
Kufah, dengan tokoh-tokoh seperti Alqamah bin Qais (w. 62 H), Masruq bin al-
Ajda (w. 63 H), Aswad bin Yazid (w. 75 H) Syuraih bin Harits (w. 78 H), Ibrahim
bin Yazid al-Nakha’i (w. 95 H), Al-Sya’bi (w. 103 H), Hammad bin Abi
Sulaiman (w. 120 H), dan Nu’man bin Tsabit bin Zautha yang populer dengan
nama Abu Hanifah (80-150 H). Kedua, madrasah Basrah, dengan tokoh-tokoh
seperti Muslim bin Yasar (w. 108 H), Hasan bin Yasar (w. 110 H), dan
Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Di samping aliran rasional (ahlu al-ra’yi) yang dikembangkan madrasah al-ra’yu
di Irak, dalam istilah ijtihad fiqh dikenal juga aliran tradisional (ahlu al-hadits),
yaitu mereka yang dalam ijtihad fiqhnya senantiasa merujuk nash-nash al-Qur’an
dan Sunnah, serta tidak mau melangkah jauh dari keduanya, tidak senang
melakukan kajian nalar rasional, dan sangat berhati-hati dalam berfatwa. Mereka
berpendapat bahwa yang berhak menetapkan hukum itu hanyalah Allah dan
Rasul-Nya. Di samping itu, ketentuan-ketentuan hukum hanya terdapat dalam al-
Qur’an dan Sunnah. Maka, berbagai persoalan aktual harus senantiasa
dikembalikan pada keduanya. Untuk itulah mereka memperluas pemakaian hadits,
termasuk hadits-hadits ahad sejauh memenuhi persyaratan sebagai sebagai hadits
yang ma’bul bih.
Tradisi kajian hukum dengan prinsip di atas telah dimulai oleh para sahabat yang
berpikir idealistik dan amat berhati-hati dalam berfatwa mengenai soal hukum,
antara lain adalah Abdullah bin Umar, ‘Aisyah, dan Ibnu Abbas. Kemudian
diikuti oleh para Tabi’in yang mayoritas berdomisili di Madinah, antara lain Sa’id
ibnu Musayyab dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka mengembangkan suatu teori
kajian hukum yang senantiasa merujuk pada Al-Qur’an dan al-Sunnah, serta
menghindari pemakaian akal secara bebas, baik melalui pendekatan istihsan
maupun mashlahah al-mursalah . Kecenderungan seperti ini dikembangkan oleh
para ulama Hijaz yang kemudian terkenal sebagai madrasah al-hadits.
Madrasah al-hadits dengan pola kajian hukumnya yang tradisional dan ortodoks
ini, berkembang di sekitar Makkah dan Madinah, karena tingginya perputaran
hadits-hadits nabi di dua kota ini, dan kecenderungan pada ulamanya untuk lebih
memperluas pemakaian hadits-hadits Nabi Saw dalam berfatwa. Di antara tokoh-

21
tokoh yang muncul dari madrasah Makkah seperti Atha bin Abi Rabiah (w. 114
H) dan Amr bin Dinar (w. 126 H). Sementara dari madrasah Madinah antara lain,
yaitu Said bin Musayyab (w. 94 H), Urwah bin Zubair (w. 94 H), Abu Bakar bin
Abdurrahman (w. 95 H), Ubaidiah bin Abdullah (w. 98 H), Kharijah bin Zaid (w.
99 H), Sulaiman bin Yasar (w. 107 H) —mereka terkenal dengan sebutan fuqaha
sab’ah atau tujuh ulama fiqh dari Madinah—, serta Salim bin Abdillah bin Umar
(w. 107 H), Ibn Syihab al-Zuhry (w. 124 H), dan lain-lain.
Tipologi yang menjelaskan bahwa kalangan Hijaz adalah kelompok tradisionalis
(ahlu al-hadits) —karena banyak berpegang kepada penuturan masa lampau,
seperti Hadits—, dan kalangan Irak adalah kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) —
dengan ditandai tidak banyak mementingkan riwayat atau hadits—, sesungguhnya
hal ini hanya merupakan karakteristik corak intelektual kedua wilayah tersebut.
Sedangkan pada tataran individu, cukup banyak dari masing-masing daerah yang
tidak mengikuti karakteristik umum itu. Sebagai contoh, di kalangan ulama Hijaz
terdapat seorang sarjana bernama Rabi’ah ibn Abi Rahmah di Madinah yang
tergolong kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) dan di kalangan ulama Irak, kelak,
tampil seorang penganut dan pembela kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits),
yaitu Ahmad ibn Hanbal. Di samping itu, membuat generalisasi bahwa satu
kelompok hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasyri’, apakah itu
penalaran (ra’yu) atau penuturan riwayat (hadits), adalah tidak tepat. Terdapat
persilangan antara keduanya, meskipun masing-masing tetap dapat dikenali ciri
utamanya dari kedua katagori tersebut. Kondisi ini semakin memperkaya
pemikiran hukum Islam pada masa Tabi’in.

3. Metodologi Hukum Islam antara Kelompok Rasionalis dan Kelompok


Tradisionalis
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) lebih
berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan mashlahah dalam kehidupan manusia.
Dalam metodologinya, kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) memiliki corak kajian
yang anthroposentris dengan penggunaan qiyas, istihsan, maslahah-nya. Hal ini
disebabkan oleh adanya beberapa asumsi dasar dalam pandangan mereka, antara
lain yaitu, pertama, nash-nash syari’ah sifatnya terbatas, sedang peristiwa-
22
peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap
peristiwa-peristiwa yang tidak ada nash-nya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu.
Kedua, setiap hukum syara’ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk
tujuan tertentu. Tugas utama seorang mujtahid ialah menemukan illat ini. Oleh
karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus
lain karena illat-nya, atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga
tidak ada illat-nya.
Di samping corak kajian tersebut yang merupakan ciri utama dalam kelompok ini,
ciri-ciri lainnya sebagai berikut, yaitu pertama, mereka berani mengembangkan
alternatif-alternatif hukum sebelum ditetapkan dengan mengangkat pertanyaan-
pertanyaan antisipatif. Kedua, mereka sangat selektif dalam pemakaian hadits,
dengan meneliti rangkaian sanadnya sampai atau tidak kepada Nabi Saw dan juga
meletakkan persyaratan pemakaian hadits yang tidak lazim dipakai oleh kelompok
tradisionalis (ahlu al-hadits), yaitu di samping harus diteliti tingkat ke-tsiqah-an
para perawinya, juga harus dilihat jumlah perawi pada tiap thabaqat-nya. Kalau
hanya satu atau dua orang saja pada tiap thabaqat atau pada sebagian thabaqat-nya
—yang biasa disebut hadits ahad— maka hadits-hadits tersebut langsung mereka
tinggalkan. Hal ini dilakukan karena Kufah —yang menjadi pusat kelompok ini—
penuh dengan berbagai fitnah dan kebohongan sebagai dampak dari pergolakan
politik yang terus memanas, sejak peralihan Ali bin Abi Thalib kepada
Mu’awiyah hingga pertengahan dinasti Bani Umayyah. Keadaan ini menjadikan
tingkat kecurigaan yang cukup besar kepada orang lain.
Sebagai pembahasan lebih jauh, metodologi hukum Islam Abu Hanifah dapat
dikatakan sebagai bentuk akhir yang mewakili kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi),
dengan identitas yang lebih maju, dan lebih mengarah pada kepentingan
sosiologis. Dalam hal ini, Abu Hanifah menggeser hadits-hadits ahad dalam
konteks penyelesaian masalah-masalah hukum untuk berbagai kejadian aktual,
dan menggantikannya dengan qiyas serta istihsan, melalui pengembangan qiyas
dengan mencari illat sebanyak-banyaknya sehingga leluasa baginya untuk
mengembalikan furu’ tersebut kepada berbagai hukum ashal yang sesuai dengan
kemaslahatan masyarakatnya. Kemudian, satu langkah berani yang dilakukan oleh
Abu Hanifah adalah mengangkat ‘urf atau adat serta tradisi masyarakat sebagai

23
norma hukum Islam yang harus ditaati sejauh tidak bertentangan dengan nash, dan
sejalan dengan prinsip-prinsip mashlahah.
Sementara kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits), dalam metodologinya lebih
berorientasi untuk memahami kemauan-kemauan syara’ dengan doktrin-doktrin
syariahnya serta berusaha untuk mengaplikasikan doktrin tersebut dalam
kehidupan sosial.
Dalam melakukan ijtihadnya, kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) hanya
bertumpu kepada qiyas untuk ijtihad aqli-nya, dan beberapa kaidah dalam ijtihad
lafdzi. Secara tegas, mereka menyatakan bahwa ijtihad adalah qiyas, dengan
alasan bahwa Allah telah menentukan semua ketentuan hukum untuk perbuatan-
perbuatan mukallaf. Oleh karena itu, kalau ketentuan tersebut telah dinyatakan
secara jelas, maka harus segera diikuti dan ditaati, sementara kalau tidak, harus
ditelaah lewat ijtihad, yaitu qiyas.
Lebih jauh, kelompok ini berargumentasi bahwa ketentuan-ketentuan hukum
hanya bersumber pada nash, dan tidak pada akal. Maka, kalau ada persoalan-
persoalan baru yang tidak ditunjuk oleh nash, harus dikaji ketentuan hukumnya
dengan mendekatkan persoalan tersebut kepada nash. Metode semacam itu hanya
dapat dilakukan dengan qiyas. Sehubungan dengan prinsip ini, mereka menolak
istihsan, dengan alasan bahwa dominasi akal dan subyektifitas mujtahid dalam
ber-istihsan itu lebih besar daripada berdalil dengan nash.
Selain dalam ijtihad aqli, kelompok rasional (ahlu al-ra’yi) dan kelompok
tradisional (ahlu al-hadits) juga berbeda dalam proses ijtihad lafdzi. Kendati amat
dipengaruhi oleh wawasan kebahasaan mereka, tetapi kelompok rasionalis (ahlu
al-ra’yi) senantiasa berusaha memberikan makna terhadap nash-nash hukum
dalam konotasi yang realistik. Sementara kelompok tradisional (ahlu al-hadits)
senantiasa memberikan makna apa adanya sesuatu apa yang dikehendaki nash itu
sendiri.
Perbedaan dalam orientasi dan metodologi hukum kedua kelompok ini dapat
dikaji dalam beberapa sebab, di antaranya adalah kombinasi antara faktor-faktor
politik dengan perbedaan latar belakang sosial budaya. Pusat atau ibu kota
pemerintahan kekhalifahan Islam untuk pertama kalinya —sejak masa Ali bin Abi
Thalib— berpindah dari Madinah ke Kufah, dan kemudian ke Syria (Damaskus).

24
Hal ini, praktis menyebabkan wilayah Hijaz menjadi relatif aman dari berbagai
pergolakan dan gelombang budaya serta ide-ide dari luar yang memasuki pusat
pemerintahan. Kehidupan di Hijaz berlangsung mudah dan sederhana, karena
relatif terisolasi. Hijaz juga merupakan tempat hidup Nabi Saw dan tempat
lahirnya pemerintahan Islam. Oleh sebab itu, terdapat banyak sekali hadits di
wilayah ini, selain ketetapan-ketetapan hukum yang dibuat oleh tiga khalifah
pertama, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Di sisi lain,
Irak merupakan daerah baru dan asing bagi umat Islam. Ketika pemerintahan
Islam berpusat di sini, beragam kebudayaan dari berbagai daerah bercampur-baur
sehingga memunculkan beragam situasi dan peristiwa baru yang berada di luar
pengalaman para ulama Islam pada masa ini. Di samping itu, hadits-hadits tidak
mudah didapatkan —sebagaimana di Hijaz—, karena jumlah Sahabat yang tinggal
di Irak relatif sedikit.
Pada dasarnya, Irak merupakan tempat lahirnya hadits-hadits palsu, dan juga di
kemudian hari menjadi tempat tumbuhnya sebagian besar sekte yang
menyimpang. Karena tidak mau percaya begitu saja pada keabsahan hadits yang
dikutip, para ulama Irak cenderung lebih sedikit menggunakan hadits
dibandingkan dengan para ulama Hijaz. Beberapa hadits yang dianggap akurat
oleh para ulama Irak hanya diterima setelah terpenuhinya persyaratan yang sangat
cermat. Akibat dari keadaan ini adalah corak pemikiran hukum Irak dan para
ulamanya yang lebih cenderung bergantung pada akal dan logika daripada Sunnah
Nabi Saw.
Di samping itu, lingkungan hidup di Irak berbeda situasinya dengan di Hijaz. Hal
ini disebabkan kerajaan Persia yang sebelumnya menguasai Irak, telah
meninggalkan bermacam hubungan-hubungan keperdataan dan adat istiadat yang
tidak dikenal di Hijaz. Oleh karena itu, lapangan ijtihad di Irak begitu luas dan
kemampuan untuk menggali atau membahas hukum-hukum Islam lebih banyak
dimiliki oleh ulama-ulama Irak. Sementara lingkungan hidup di Hijaz, mulai dari
masa Sahabat hingga masa imam madzhab, hampir tidak mengalami perubahan
yang mendasar, serta hampir semua kejadian atau peristiwa telah terdapat
hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah, maupun fatwa Sahabat. Di sini, dapat
dikatakan bahwa lapangan ijtihad hampir tidak ada di Hijaz, sehingga para ulama

25
Hijaz menjadi terbiasa memahami nash-nash secara lahiriyah, dan merasa tidak
perlu untuk mencari dan mendalami illat untuk diadakannya suatu ketentuan
hukum Islam.
Tantangan kultural yang dihadapi oleh ulama pada masa ini juga mempengaruhi
metodologi dan kaidah-kaidah ijtihad mereka. Kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi),
pada umumnya, adalah para ulama yang selalu berhadapan dengan permasalahan
masyarakat. Pada tahap awal, rasionalisme ini dikembangkan oleh para pejabat
pemerintah yang berhadapan dengan masyarakat luas, seperti Umar bin Khattab
sebagai Khalifah, Abdullah bin Mas’ud sebagai wazir, Syuraih dan Ibnu Abi Laila
sebagai qadhi. Selanjutnya Abu Hanifah sebagai pedagang yang banyak kontak
dengan masyarakat konsumennya.
Sementara kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits), pada umumnya, adalah para
ulama idealis yang kurang punya akses kepada masyarakat luas, sehingga
pemikirannya kurang berapresiasi dengan tuntutan dinamika masyarakat.
Sebaliknya, mereka berhadapan dengan doktrin-doktrin syara’ yang ideal yang
menurut mereka harus dapat diterapkan kepada masyarakat apa adanya. Pada
tahap awal, tradisionalisme ini dikembangkan oleh Abdullah bin Umar, Abdullah
bin Abbas dan Aisyah, yakni para sahabat yang berada di luar struktur
pemerintahan. Berikutnya fuqaha sab’ah atau tujuh ulama fiqh Madinah dan
tokoh-tokoh lainnya yang kesemuanya merupakan ulama-ulama shalih, ahli
ibadah, dan tidak banyak terlibat dalam urusan-urusan keduniaan.

26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sumber pensyariatan (perundang-undangan) pada masa sahabat adalah
•Al-Quar an
•As-Sunnah
•Ijma’
• Logika (ra’yu)
2. Pengistimbatan pada masa khulafaurrasyidin sebatas kasus-kasus yang
terjadi saja. Mereka tidak memprediksikan masalah-masalah yang belum
terjadi dan tidakmengira-ngira bahwa hal itu akan terjadi lalu meneliti
hukumnya sebagaimana ulamamutaakhirin. Sahabat membatasi pada
kasus-kasus yang perlu difatwakan saja.Mereka tidak menyenangi hal itu
dan mereka tidak menampakkan pendapat tentangsesuatu sebelum sesuatu
itu terjadi, jika sesuatu itu terjadi mereka ijtihad untukmengistimabtkan
hukumnya.
3. Perkembangan tasyrik pada masa khulafaurrasyidin itu disesuakan dengan
masakekhalifahannya, karena semakin berkembangnya zaman semakin
benyak masalah baru yang ditimbulkan, sehingga khlalifah atau para
mijtahid memerlukan untuk berijtihad memenumak jalan keluar dari
sebuah masalah. Masing-masing khlalifah memiliki kebijakan sendiri
dalam memnyelasaikan sebuah masalah yang muncul.
4. masa Tabi’in merupakan masa peralihan dari masa Sahabat kepada masa
eksistensi para imam madzhab. Masa ini ditandai dengan pergolakan sosial
yang cukup besar, di antaranya adalah perpecahan di kalangan umat Islam,
penyimpangan para khalifah Bani Umayyah, persebaran para ulama ke
daerah-daerah luar, dan maraknya praktik pemalsuan hadits.
5. dalam metodologinya, kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) lebih
berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan kemaslahatan dalam kehidupan
manusia, sedangkan kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) lebih
berorientasi untuk memahami kemauan-kemauan syara’ dengan doktrin-

27
doktrin syariahnya, dan berusaha mengaplikasikan doktrin tersebut dalam
kehidupan sosial.
6. perbedaan orientasi kedua kelompok ini pada tataran berikutnya
melahirkan perbedaan dalam metodologi dan perumusan kaidah-kaidah
ijtihadnya, sehingga dalam konteks ijtihad, kelompok rasionalis (ahlu al-
ra’yi) lebih mengandalkan metode istihsan dan maslahah al-mursalah,
sedangkan kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) berusaha membatasi
dominasi akal dan subyektifitas mujtahid dengan tidak membuka peluang
akal untuk berperan selain dalam qiyas. Selain itu, kelompok rasionalis
(ahlu al-ra’yi) berani mengangkat tradisi masyarakat sebagai ketentuan
hukum yang sah —sejauh tidak bertentangan dengan nash—, sementara
kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) menolak sikap tersebut.

B. Saran
Makalah yang kami buat masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami
berharap pembaca terutama Ibu Dosen dapat memberikan kritik dan saran
konstruktif kepada kami untuk perbaikan makalah agar lebih bagus

28
DAFTAR PUSTAKA

Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Rosda Karya,
2000.Muhammad Zuhri, Terjemahan Tarikh Tasyrik Al-Islam, Semarang: Darul
Ikhya, 1980.Ra

syad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Jakarta: Amzah, 2011.

Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosda
Karya,2001.

www.TARIKH TASYRI’ MASA KHULAFAUR RASYIDIN _ lailynurarifa


site's.htm.

Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tas

yri’, (Jakarta: Amzah, 2011), hal 57

-63.Muhammad Zuhri, Terjemahan Tarikh Tasyrik Al-Islam, (Semarang: Darul


Ikhya, 1980), hal256.

www.TARIKH TASYRI’ MASA KHULAFAUR RASYIDIN _ lailynurarifa


site's.htm.

Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Rosda Karya,
2000), hal45.Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung:
Remaja Rosda Karya,2001), hal 289.

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam, terj. E. Kusnadiningrat dan Abdul
Haris bin Wahid dari A History of Islamic Legal Theories, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2001

Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1995

Haroen, Nasrun, Usul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Khallaf, Abdul Wahhab, Sejarah Legislasi Islam: Perkembangan Hukum Islam,


terj. A.S. Djamaluddin dari Tarikhut Tasyri’ al-Islami, Surabaya: Al-Ikhlas, 1994

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000

29
Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl
Jadid, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002

Nuruddin, Amiur, Ijtihad Umar Ibn al-Khaththab: Studi tentang Perubahan


Hukum dalam Islam, Jakarta: Rajawali, 1991

Philips, Abu Ameenah Bilal, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis
atas Madzhab, Doktrin dan Kontribusi, terj. M. Fauzi Arifin dari The Evolution of
Fiqh: Islamic Law and the Madhabs, Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2005

Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial: Dirasah Islamiyah III, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1996

Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, terj. Moh. Said, dkk., An Introduction
to Islamic Law, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama RI, 1985

Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah
Gusti, 1995

Syaltut, Mahmud, Akidah dan Syari’ah Islam 2, terj. Fachruddin HS dari Al-Islam
Aqidah wa Syariah, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

——, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2008

Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos,


1999

*) A. Syauqi Sumbawi, tinggal di Jotosanur Rt 2 Rw 3 No.319 Tikung Lamongan.

30
31

Anda mungkin juga menyukai