PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suami istri harus memahami hak dan kewajibannya sebagai upaya membangun
sebuah keluarga. Kewajiban tersebut harus dimaknai secara timbal-balik, yang berarti
bahwa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak istri dan yang menjadi kewajiban
istri adalah menjadi hak suami. Suami istri harus bertanggung jawab untuk saling
memenuhi kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga yang harmonis dan
tentram.1
Namun dalam perjalanan suatu pernikahan pastilah ada hal-hal yang menerjang
sehingga mengganggu keharmonisan rumah tangga, baik datangnya masalah itu dari sisi
suami maupun datang dari pihak istri. Adakalanya suami membenci istri atau sebaliknya,
dalam kondisi ini, islam berpesan agar bersabar dan berusaha mencari jalan keluar yang
terbaik.
Dalam hal ini jika kebencian ada pada pihak suami, maka suami mempunyai hak yaitu
talak. Suami boleh menggunakan hak itu jika masih dalam batasan yang telah ditentukan
oleh syariat. Dan jika kebencian ada pada pihak istri, maka islam membolehkannya untuk
menebus dirinya dengan cara khulu’. Yaitu dengan cara mengembalikan mahar yang telah
diberikan suami kepadanya untuk mengakhiri ikatan sebagai suami istri.
B. Rumusan Masalah
1
http://www.scribd.com/doc/24070797/KHULU, Diakses 09-03-2011 jam 21.40 wib
1
Adapun yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini yaitu :
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khulu’
Pengertian khulu’ menurut bahasa, kata khulu’ dibaca dhammah huruf kho yang
bertitik dan sukun lam dari kata khila’ dengan dibaca fathah artinya naza’ (mencabut). 2
Khulu’ yang diperbolehkan dalam islam seperti kalimat Khal’a ats-tsaub artinya melepas
pakaian. Wanita diibaratkan pakaian bagi laki-laki. Sebaliknya, laki-laki juga diibaratkan
pakain bagi wanita. Allah swt. berfirman,
Artinya : … mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka... (Q.S. Albaqarah : 187).
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari
(ikatan) suaminya.3
Istilah lain khulu’ adalah tebusan. Karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan
mengembalikan apa yang pernah dia terima. Khulu’ dalam pandangan ulama di bidang
fikih adalah istri yang memisahkan diri dari suaminya dengan memberikan sesuatu
kepadanya.4
2. Secara Istilah; Tuntutan cerai yang diajukan oleh istri dengan mengembalikan
mahar yang diberikan kepadanya .
2
Prof. Dr. Abdul Aziz M. azzam, Prof. Dr. Abdul wahhab Sayed Hawwas, Fiqh Munakahat, Amzah, 2009,
Jakarta, h. 297
3
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, 2006, Jakarta. H. 456
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, Cakrawala Publishing, 2009, Jakarta. H. 77
5
http://www.scribd.com/doc/24070797/KHULU, Diakses 09-03-2011 jam 21.40 wib
3
Landasan diberlakukannya khulu’ berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dan Nasai dari Ibnu Abbas, dia berkata, Istri Tsabit bin Qais bin Syammas
menemui Rasullah saw. Seraya berkata, wahai Rasulullah, saya sebenarnya tidak mencela
akhlak dan agamanya, tetapi saya idak ingin menjadi kafir dari ajaran Islam. Rasulullah
saw. Lantas menimpali , “Apakah engkau berkenan mengembalikan kebunnya (tsabit)?
Dia menjawab, Iya, saya bersedia. Kemudian Rasulullah saw. Berkata, “terimalah kebun
itu, wahai Tsabit dan talaklah dia satu kali”.6
…
Artinya : “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah : 229)
B. Hukum Khulu’
Sebagaimana talak itu status hukumnya boleh jadi menjadi wajib, adakalanya menjadi
haram, adakalanya menjadi makruh, adakalanya menjadi sunnah dan adakalanya menjadi
mubah, sesuai dengan kondisinya, maka demikian pula hukum melakukan khulu’.7
Khulu itu wajib dilakukan ketika permintaan istri karena suami tidak mau member
nafkah atau menggauli istri, sedangkan istri menjadi tersiksa.8 Khulu’ menjadi wajib
hukumnya pada sebagian keadaan seperti orang yang tidak pernah melakukan sholat,
padahal telah diingatkan. Demikianlah juga pada masalah, seandainya sang suami
memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari islam dan
menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya dihadapan hakim
6
Sayyid Sabiq, Op.Cit. h. 79
7
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Fiqh Munakahat, kencana, 2008, Jakarta. H. 224
8
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Op.Cit.
4
peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim
peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban berpisah. Maka wajib
bagi wanita tersebut dalam keadaan seperti ini untuk meminta dari suaminya tersebut
khulu’ walaupun harus menyerahkan harta. Karena tidak patut seorang muslimah menjadi
istri orang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur.9
Khulu’ itu hukumnya haram jika dimaksudkan untuk menyengsarakan istri dan anak-
anaknya.10 Dan juga apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:11
1. Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab
yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang
dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'.
"Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang
meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya
untuk mencium wangi surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
…
...
5
menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib
hukumnya.13
Khulu’ menjadi mubah apabila ketika ada keperluan yang membolehkan istri
menempuh jalan ini.
Hukum asal khulu’, ada yang berpendapat dilarang (haram) ada yang mengatakan
makruh, dan ada ynag mengatakan haram kecuali karena darurat. Ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa hukum asal melakuka khulu’ itu makruh, hanya dia menjadi sunnah
hukumnya bila istri ternyata tidak baik dalam pergaulan terhadap suaminya. Khulu’ itu
tidak dapat menjadi haram dan tidak dapat pula menjadi wajib.14
Khulu dapat dipandang syah dan jatuh akan hukumnya jika memenuhi syarat dab
rukunnya. Rukun khulu’ ada empat15, yaitu :
1. Suami
Syarat suami sah talaknya yaitu baligh, berakal, dan berdsarkan pilihan sendiri
sebagaiman keterangan dalam talak. Demikian itu karena khulu’ juga talak, suami
menjadi rukun bukan syarat. Suami yang sah talaknya merupakan syarat dalam
diri suami. Khulu’ tidak sah dari suami yang masih anak kecil, suami gila, dan
terpaksa, sperti talak mereka.16
2. Istri
13
http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/05/gugat-cerai-khulu.html. diakses 31-03-2011
14
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. H. 225
15
Prof. Dr. Abdul Aziz M. azzam, Prof. Dr. Abdul wahhab Sayed Hawwas, Fiqh Munakahat, Amzah, 2009,
Jakarta, h. 300
16
Prof. Dr. Abdul Aziz M. azzam, Prof. Dr. Abdul wahhab Sayed Hawwas, Op.Cit. H. 301
17
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, 2006, Jakarta. H. 462
18
http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/05/gugat-cerai-khulu.html 31-03-2011
6
a. Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena
Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya
posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan
dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si
isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah
boleh mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:
1) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj'i,
maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu', lantaran
wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih dipandang
sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk
mengajukan Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
2) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba'in, maka
tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila tetap mengajukan,
maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah
dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi
ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak
dapat mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang
masih terikat dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab
Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak waras akalnya,
maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak kecil bukan
7
termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan menggunakan
hartanya.19
Khulu batal jika pembayaran yang diberikan tidak jelas dan tidak diketahui
secara pasti. Khulu’ juga batal jika mengajukan syarat yang bertentangan dengan
syariat Islam, seperti suami tidak perlu menafkahi istri.khulu’ juga tidak sah jika
dijanjikan dengan pembayaran seribu, akan tetapi tempo pembayarannya tidak
jelas dan syarat lainnya. Dalam kasus ini, pembayaran khulu’ mesti dihitung
menurut mahar mitsil.23
4. Shighat
19
http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/05/gugat-cerai-khulu.html 31-03-2011
20
Prof. Dr. Abdul Aziz M. azzam, Prof. Dr. Abdul wahhab Sayed Hawwas, Op.Cit. H. 304
21
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, Cakrawala Publishing, 2009, Jakarta. H. 81
22
Sayyid Sabiq, Op.Cit. H. 81
23
Ibid.
8
Mazhab empat memperbolehkan khulu’ dengan menggunakan redaksi yang
jelas, misalnya khulu’ dan fasakh, maupun dengan redaksi kiasan (kinayah)
semisal, “saya lepas dan jauhkan engkau dari sisiku.”24
Mayoritas para ulama, diantaranya adalah imam mazhab yang empat berpendapat
bahwa jika suami mengizinkan khulu’ kepada istrinya, berarti istri memiliki kuasa
terhadap dirinya dan urusan talak sepenuhnya berada pada dirinya. Disamping itu, suamai
tidak mempunyai kesempatan lagi untuk merujuk istrinya. Karena istritelah mengeluarkan
hartanya untuk melepaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Jika suami tetap dianggap
mempunyai hak rujuk, tentu tebusan istri yang diberikan kepada suaminya tidak memiliki
makna apapun. Sekalipun mantan istri yang mengajukan khulu’ mengembalikan kembali
pembayaran tebusan istri setelah khulu’ dijatuhkan dan mantan istri mau menerimanya,
namun mantan suami tetap tidak berhak rujuk meskipun istri masih dalam masa iddah.
Sebab, dengan khulu’, berarti mantan istrinya dianggap telah dijatuhi talak ba’in.26
Dalam hal akibat khulu’, terdapat persoalan, apakah perempuan yang menerima
khulu’ dapat diikuti denga talak atau tidak?.
Imam malik berpendapat bahwa khulu’ itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali
jika pembicaraannya bersambung. Sedang Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa dapat
diikuti tanpa memisah-misahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan
segera atau tidak.27
24
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, 2006, Jakarta. H. 462
25
Sayyid Sabiq, h. 79
26
Sayyid Sabiq, Op.Cit. h. 87
27
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Fiqh Munakahat, kencana, 2008, Jakarta. H.274
9
Persoalan lainnya ialah, jumhur ulama telah sepakat bahwa suami yang menjatuhkan
khulu’ tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa iddah, kecuali pendapat yang
diriwayatkan dari sa’id bin al-Musayyad dan Ibnu Syihab, keduanya mengatakan bahwa
apabila suami mengembalikan tebusan yang telah diambil dari istrinya, maka ia dapat
memeprsaksikan rujuknya itu.28
Dalam sunnah Rasulullah saw. Bahwa iddah bagi perempuan yang mengkhulu’
suaminya adalah satu kali haid. Namun, Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “iddah
ditetapkan sebanyak tiga kali haid dengan tujuan memperpanjang waktu untuk rujuk dan
memberi peluang berfikir kepada suami untuk rujuk selama masa iddah. Jika suami tidak
merujuk istrinya, maka tujuan dibalik masa iddah adalah untuk membuktikan bahwa
rahim mantan istri bersih dari kehamilan. Hal itu bias diketahui dengan satu kali haid
saja.”29
Dalam hal ini kami berpendapat bahwa talak adalah hak yang dimilik oleh suami
sedangkan khulu’ adalah hak yang dimiliki oleh istri.
Selanjut dalam hal rukun, yaitu dalam rukun talak tidak terdapat iwadh (pengganti
Khulu’). Sedangkan dalam rukun khulu dan memang hal inilah yang menjadi makna akan
khulu’ yaitu iwadh atau penebus.
Perbedaan khulu’ dan talak dalam hal waktu dijatuhkannya ialah bahwa khulu’ boleh
terjadi diwaktu di mana tidak boleh terjadi talak, sehingga khulu’ boleh terjadi ketika istri
sedang haid, nifas, atau dalam keadaan suci yang telah digauli. Dalam hal ini, Imam
Malik berpendapat bahwa tidak sah terjadi khulu’ pada waktu tidak boleh talak.30
Ibnu Qoyyim berkata, “Alasan bahwa khulu’ bukan termasuk talak adalah karena
Allah swt. Menyebut talak sesudah terjadi persetubuhan yang tidak memenuhi tiga jenis
hukum, dan ketiga jenis hukum tersebut ada dalam masalah khulu’, yaitu :31
1. Suami lebih berhak rujuk kepada istrinya selama dalam masa iddah ketika dalam
talak.
28
Ibid. h. 274-275
29
Sayyid Sabiq, H. 93-94
30
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Op.Cit. H. 225
31
Sayyid Sabiq, Op.Cit. H. 92
10
2. Terbatas pada tiga kali. Sesudah tiga kali talak, mantan istri tidak dihalalkan bagi
mantan suaminya kecuali jika sudah menikah dengan laki-laki lain dan melakukan
persetubuhan.
3. Masa iddah dalam talak adalah tiga kali Quru’ (masa suci atau masa haid).
Sebagaiman telah ditetapkan dalam nash Al-qur’an, sunnah dan Ijma’ bahwa tidak
ada rujuk dalam khulu’. Sebagaimana yang telah diketahui dalam sunnah dan pendapat-
pendapat para sahabat bahwa iddah khulu’ adalah satu kali haid.32
32
Ibid.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
2. kalimat Khal’a ats-tsaub artinya melepas pakaian. Menurut istilah Khulu’ ialah
penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan)
suaminya.33
3. Sebagaimana talak itu status hukumnya boleh jadi menjadi wajib, adakalanya
menjadi haram, adakalanya menjadi makruh, adakalanya menjadi sunnah dan
adakalanya menjadi mubah, sesuai dengan kondisinya, maka demikian pula
hukum melakukan khulu’.
4. Rukun Khulu’ ada empat, yaitu : Suami, Istri, Iwadh (pengganti khulu’), Shighat.
5. Mengenai akibat hukum dari khulu’ ini masih banyak ikhilaf ulama, namun yang
kami bisa pahami bahwa khulu’ membuat suami tidak bisa rujuk dengan mantan
istrinya, sebagaimana talak ba’in. dan mengenai iwadh, istri harus membayar uang
tebusan.
6. Dalam hal perbedaan talak dan khulu’ ini juga masih banyak perdebatan, karena
sebagain ulama berpandangan bahwa khulu’ adalah fasakh dan sebagian ulama
berpendapat bahwa khulu’ termasuk talak.
B. Saran
Dalam tulisan ini kami menyadari bahwa banyak hal yang masih kurang dan salah
yang harus dibenahi. Untuk itu kami berharap para pembaca dapat mengoreksi makna
yang terkandung. Dan saran para pembaca sangat lah bermanfaat untuk ilmu masa depan.
33
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, 2006, Jakarta. H. 456
12
DAFTAR PUSATAKA
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. Fiqh Munakahat, kencana, 2008, Jakarta
Prof. Dr. Abdul Aziz M. azzam, Prof. Dr. Abdul wahhab Sayed Hawwas, Fiqh
Munakahat, Amzah, 2009, Jakarta,
http://ekonomisyariat.com/belajar-islam/seputar-gugat-cerai-al-khulu.html. Diakses
09-03-2011 jam 21.51
13