KHULU
Di Susun Oleh :
YANA FITRIYANI
NPM. 15110012
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat menyelesaikan makalah pada
mata kuliah Fiqh Munakahat II.
Dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali mengingat
keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang ditulis masih sangat
jauh dari sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya
laporan observasi ini dapat bermanfaat dan kami minta maaf sebelumnya kepada
Dosen, apabila ini masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas
kritik dan saran-saran nya yang sifatnya membangun tentunya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Khulu?
2. Bagaimana Perbedaan antara perceraian akibat talak dan akibat khulu?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal.
86
2
Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat;
Khitbah, Nikah dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 297
2
Wanita yang khulu adalah wanita munafik. Para ulama
menghukumi makruh.3
2. Dasar Hukum
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 229)
3
Ibid., hal. 298
3
Artinya: dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri
yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali
dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata ? (QS. An-Nisa: 20)
3. Rukun dan Syarat Khulu
Di dalam khulu terdapat beberaa unsur yang merupakan rukun yang
menjadi karakteristik dari khuluitu dan di dalam setiap rukun terdapat
beberapa syarat yang hampir keseluruhannya menjadi perbincangan di
kalangan Ulama.
Adapun yang menjadi rukun dari khulu itu adalah4:
a. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan;
b. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan;
c. Uang tebusan atau iwadh; dan
d. Alasan untuk terjadinya khulu.
Pertama: suami
Syarat suami menceraikan istrinya dalam bentuk khulu sebagaimana
yang berlaku thalaq adalah seseorang yang ucapannya telah dapat
diperhitungkan secara syara, yaitu akil, balig, dan bertindak atas
kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini, bila
suami belum dewasa, atau suami sedang dalam keadaan gila, maka yang
akan menceraikan dengan nama khulu adalah walinya. Demikian pula
keadaannya seseorang yang berada di bawah pengampuan karena
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 234-236
4
Istri yang mengajukan khulu kepada suaminya disyaratkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Ia adalah seorang yang berada dalam wilayah si suami.
b. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta/
Khulu boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan
persetujuan istri. Khulu sepeerti ini disebut khulu ajnabi. Pembayaran
iwadh dalam khulu seperti ini ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut.
Ketiga: adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau iwadh.
Tentang iwadh ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama
menempatkan iwadh itu sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan oleh
sahnya khulu. Pendapat lain, diantara nya disatu riwayat dari Ahmad dan
Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu tanpa iwadh. Alasanya
adalah bahwa khulu itu adalah salah satu bentuk dari putusnya
perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh, sebagaimana berlaku
dalam thalaq. Adapun yang berkenaan dengan syarat dan hal-hal yang
berkenaan dengan iwadh itu menjadi perbincangan di kalangan ulama.
5
menghilangkan hak (pemilikan) serta tidak mempengaruhi
hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).Walaupun antara
suami dan istri tidak terjadi perpisahan, talak ini tidak menimbulkan
akibat hukum selanjutnya selama masih dalam masa iddah. Semua
akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa iddah dan jika
tidak ada rujuk. Apabila masa iddah telah habis maka tidak boleh rujuk
maka perempuan itu telah tertalak bain.5
Istri yang tengah menjalani iddah rajiyah jika ia patuh dan taat
kepada suaminya maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian,
uang belanja dari mantan suaminya. Tetapi jika dia durhaka tak berhak
mendapat apa-apa. Sesuai sabda Rasulullah:
)(
Perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal
(rumah) dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu
berhak merujuk kepadanya. (HR. Ahmad dan An-Nasai)
Bila salah seorang meninggal dalam masa iddah, yang lain
menjadi ahli warisnya, dan mantan suami tetap wajib memberi nafkah
kepadanya selama masa iddah. Ruju adalah salah satu hak bagi laki-
laki dalam masa iddah. Sesuai firman Allah SWT:
5
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. (Jakarta : Prenada Media, 2003) hal. 265
6
) (
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah 228)
Karena ruju merupakan hak suami maka untuk merujuknya
suami tidak perlu saksi dan kerelaan mantan istri serta wali. Namun
menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya sunnat. Karena
dikhawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya
suami.Rujuk boleh dengan ucapan, seperti saya ruju kamu. Dan
dengan perbuatan seperti : menyetubuhinya, merangsang seperti
mencium dan sentuhan-sentuhan birahi. Akan tetapi Imam SyafiI
hanya memperbolehkan rujuk dengan ucapan dan melarang dengan
perbuatan.
Ibnu Hazm mengungkapkan : dengan menyetubuhinya tidak
berarti merujuknya sebelum kata rujuitu diucapkan dan menghadirkan
saksi serta mantan istri diberitahu terlebih dahulu sebelum masa
iddahnya habis. Sesuai firman Allah SWT.
7
)(
Artinya: apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya,
Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq 2)
Disini Allah SWT tidak membedakan antara rujuk talak
dengan menghadirkan saksi. Karena itu tidak boleh memisahkan satu
dari lainnya, seperti menalak tanpa dua orang saksi laki-laki yang adil
dan atau rujuk tanpa adanya dua orang saksi yang adil perbuatan
seperti ini melanggar hukum Allah SWT.
Hadhanah atau pengasuhan anak pada talak rajI tetap diasuh
oleh kedua orang tuanya baik ayah atau pun ibunya. Karena pada talak
ini belum memutuskan hubungan perkawinan secara tegas.
b. Talak Bain Sughra
Talak bain sughra ialah memutuskan hubungan perkawinan
antara suami dan istri setelah kata talak diucapkan. Karena ikatan
perkawinan telah putus, maka istrinya kembali menjadi orang lain bagi
suaminya. Oleh karena itu ia tidak boleh berhubungan intim
dengannya.
Jika salah satu dari keduanya meninggal baik sebelum maupun
sesudah masa iddah, yang tidak berhak atas warisan. Akan tetapi pihak
perempuan tetap berhak atas sisa mahar yang belum diberikannya.6
Apabila ia baru menalaknya satu kali, berarti ia masih memiliki sisa
dua kali talak setelah rujuk dan jika sudah dua kali talak maka ia
berhak atas satu lagi talak setelah rujuk.
6
Slamet Abidin dan Aminuddin.Op.Cit., hal.70
8
Perempuan dalam talak iddah bain kalau ia mengandung,
maka ia berhak atas tempat tinggal, pakaian, dan nafkah. Sedangkan
perempuan dalam talak iddah bain yang tidak hamil, baik talak tebus
maupun talak tiga hanya berhak mendapatkan tempat tinggal tidak
yang lainnya.
Dalam hal hadhanah kedua orang tuanya harus tetap
melakukannya terutama ibu yang lebih mempunyai kedekatan dengan
anaknya daripada ayahnya. Sementara ayahnya wajib memberi nafkah
pada keluarga.
9
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan
Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Ath-
Thalaq 6)
Perempuan yang menjalani iddah wafat (karena ditinggal mati
oleh suaminya) Ia tidak berhak sama sekali nafkah (dan tempat
tinggal) dari mantan suaminya, karena ia dan anak yang dikandungnya
adalah pewaris yang berhak mendapat harta pusaka dari almarhum
suaminya itu. Rasulullah SAW bersabda.
) (
Perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya tidak berhak
memperoleh nafkah.
Perempuan yang ditalak suaminya sebelum dikumpuli (qabla
al dukhul), ia tidak memiliki iddah, tetapi berhak memperoleh mutah
(pemberian). Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmannya.
) )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali
tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
10
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.( Al-Ahzab 49)
Selanjutnya baik mantan istri atau mantan suami harus
memperhatikan kesejahteraan anak. Jika anak itu masih dalam
kandungan, maka ibunya harus menjaga baik-baik, demikian juga
ketika menyusu pada ibunya. Sampai anak itu bisa berdiri maka
tanggung jawab nafkah tetap menjadi kewajiban bapaknya. Jika anak
tersebut sudah mengerti maka ia dipersilahkan memilih mengikuti ibu
atau bapaknya.
Masa iddah bagi perempuan yang hamil yaitu sampai lahir
anak yang dikandungnya itu., baik cerai mati atau cerai hidup.
Sedangkan perempuan yang tidak hamil adakalanya cerai mati atau
cerai hidup.. Jika cerai mati iddahnya yaitu 4 bulan 10 hari.Jika
perempuan diceraikan suaminya dengan cerai hidup kalau ia dalam
keadaan haidh iddahnya yaitu tiga kali suci dan jikalau perempuan
tersebut tidak haid iddahnya selama tiga bulan.
11
perempuan yang sedang perempuannya masih dalam masa iddah dari talak
bain.
Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk dalam hukum
pernikahan, mereka berpendapat bahwa khuluk tersebut dapat dikuti
dengan talak. Sedangan fuqaha yang tak sependapat mengatakan bahwa
khuluk tersebut tak dapat diikuti dengan talak. Persoalan lain adalah,
bahwa jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami yang menjatuhkan
khuluk tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa iddah, kecuali
pendapat yang diriwayatkan oleh Said bin al Musayyab dan Ibnu Syihab
keduanya mengatakan bahwa apabila suami mengembalika tebusan tang
telah diambil dari istrinya maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu.
Persoalan yang lain adalah jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami
dapat menikahi mantan istrinya yang di khuluk pada masa iddahnya
dengan persetujuannya Segolongan fuqaha mutaakhirin berpendapat
bahwa suami maupun orang lain tidak boleh menikahinya pada masa
iddahnya.
Fuqaha berselisih pendapat tentang masa iddah wanita yang
dikhuluk apabila terjadi persengketaan antara suami dan istri berkenaan
dengan kadar bilangan harta yang dipakai untuk terjadinya khuluk.
Imam Malik berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah
kata-kata suami jika tak ada saksi . Sedangkan Imam SyafiI berpendapat
bahwa kedua suami istri saling bersumpah dan atas istri dikenakan sebesar
mahar misil. Beliau mempersamakan persengketaan antara suami dengan
persengketaan antara dua orang yang jual beli. Adapun Imam Malik
memandang bahwa istri sebagai pihak tergugat dan suami sebagai pihak
penggugat.
Dalam hal hadhanah si suami harus tetap memberikan nafkah kepada
si istri guna mencukupi kebutuhan anak yang telah dilahirkan akibat
hubungan nikah mereka terdahulu. Sedangkan dalam hal waris tidak
berlaku selama si suami masih hidup kecuali jika si suami meninggal
setelah dijatuhi khuluk oleh istrinya.
12
Kompilasi Hukum Islam BAB XVII Akibat Putusnya Perkawinan
Akibat Talak
149. Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik
berupa uang atau benda, kecualibekas isteri tersebut qobla al
dukhul;
b. memberi nafkah, maskah dan kiswah kepada bekas isteri selama
dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau
nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh
apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun
150. Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang
masih dalam iddah.
151. Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
152. Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya
kecuali ia nusyuz.
Akibat Khuluk
161. Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak
dapat dirujuk.7
7
Kompilasi Hukum Islam Bab XVII Tentang Akibat Putusnya Perkawinan
13
BAB III
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih
Munakahat; Khitbah, Nikah dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2009)
Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia,
1999)
15