Anda di halaman 1dari 12

MAS KAWIN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah


Fiqih Munakahat
Dosen Pengampu: Dr. H. Edy Setyawan, Lc.,M.Ag

Disusun oleh Kelompok 5 (HKI A / Semester 2):


1. Tika Fatihah Rohmah (2008201022)
2. Tri Winarni (2008201025)
3. Fadlullah (2008201033)

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas terstruktur mata
kuliah Fiqih Munakahat yang diampu oleh Bapak H. Edy Setyawan, Lc.,M.Ag Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai Mas Kawin (Mahar) bagi
para pembaca dan penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Edy Setyawan, Lc.,M.Ag selaku dosen
pengampu mata kuliah Fiqih Munakahat yang telah memberikan tugas terstruktur ini.
Sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan program studi yang
kami tekuni.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Semoga dengan adanya makalah yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Cirebon, 28 Februari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................


A. Latar Belakang ...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Pembahasan ........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................


A. Pengertian Mahar ............................................................................................... 2
B. Macam-Macam Mahar ....................................................................................... 4
C. Syarat-Syarat Mahar ........................................................................................... 6
D. Aspek Hukum Dalam Pernikahan ......................................................................6
E. Hikmah-Hikmah Mahar ..................................................................................... 7

BAB III PENUTUP ......................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mahar termasuk keutamaan dalam agama Islam dalam melindungi dan memuliakan
kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar
kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena
pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqih sepakat bahwa mahar wajib
diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo,
pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Mahar?
2. Apa saja macam-macam Mahar?
3. Apa saja syarat-syarat Mahar?
4. Bagaimana aspek hukum dalam pernikahan?
5. Apa saja hikmah Mahar?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian Mahar.
2. Untuk mengetahui macam-macam Mahar.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat Mahar.
4. Untuk mengetahui aspek hukum dalam suatu pernikahan.
5. Untuk mengetahui hikmah Mahar.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahar
Mahar dalam bahasa Arab adalah shadaq yang artinya mas kawin. Asalnya isim mashdar
dari kata ashdaqa, mashdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan
shadaq karena memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam
kewajiban mahar atau mas kawin.

Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu Fiqih adalah pemberian yang wajib
dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.

Menurut H.S.A al-Hamdani, mahar atau maskawin adalah pemberian seorang suami
kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad nikah sebagai
pemberian wajib yang tidak dapat diganti dengan yang lainnya.

Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, mahar atau maskawin adalah nama suatu benda yang
wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebutkan dalam akad
nikah sebagai pernyataan persetujuan antara pria dan wanita untuk hidup bersama
sebagai suami istri.

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan


memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya
diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau
siapapun, walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi
menggunakannya meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan kerelaan
istri. Hal ini didasari dengan fiirman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ ayat 4:

‫صد ُٰقتِّ ِّه َّن نِّ ۡحلَةؕ فَا ِّۡن ِّط ۡبنَ لَـ ُك ۡم َع ۡن ش َۡىءٍ ِّم ۡنهُ ن َۡفسا فَ ُكلُ ۡوهُ َهنِّ ۡ ٓيــًٔـا‬ َ ِّ‫َو ٰا تُوا الن‬
َ ‫سا ٓ َء‬
‫َّم ِّر ۡ ٓیـــًٔا‬

2
Artinya: “Berikanlah mas kawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (senagai makan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Dari firman Allah SWT tersebut menjelaskan bahwa ketika mahar telah diberikan
kepada pihak istri dari pihak suami, maka sepenuhnya mahar tersebut telah menjadi
milik sang istri dan hak dalam penggunaannya menjadi wewenang istri.

Ulama fiqih pengamat mazhab memberikan definisi dengan rumusan yang tidak berbeda
secara substansialnya. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan, bahwa mahar itu ialah

‫ىو المال یجب في عقد النكاح علي الزوج في مقابلة البضع‬


“Harta yang diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah sebagai
imbalan dari kenikmatan seksual yang diterimanya”.
2) Mazhab Maliki mendefinisikan, bahwa mahar itu ialah sebagai sesuatu yang
menjadikan istri halal untuk digauli. Menurut mazhab tersebut, seorang istri
diperbolehkan menolak untuk digauli kembali sebelum menerima maharnya itu,
walaupun telah pernah terjadi persetubuhan sebelumnya.
3) Mazhab Hambali mengemukakan bahwa mahar adalah sebagai imbalan suatu
perkawinan, baik yang disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah
akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim.
4) Mazhab Syafi’I mendefinisikan mahar adalah sebagai sesuatu yang wajib
dibayarkan disebabkan adanya akad nikah atau senggama.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, mahar didefinisikan sebagai pemberian dari


mempelai pria kepada mempelai wanita, baik bentuk barang, uang, atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Adapun syarat-syarat mahar yang diberikan kepada calon istri ialah sebagai berikut:
1) Barang yang digunakan sebagai mahar merupakan barang yang suci dan dapat
diambil manfaatnya. Misalnya, tidak memberikan mahar kepada calon istri berupa

3
khamr, babi maupun darah. Karena semua itu merupakan barang yang haram dan
tidak dapat diambil manfaatnya serta tidak berharga.
2) Barang yang digunakan sebagai mahar bukanlah barang ghasab. Ghasab yaitu
mengambil barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
3) Barang yang digunakan sebagai mahar bukanlah barang yang tidak jelas
keadaannya. Misalnya, tidak disebutkan jenis maharnya oleh suami.

B. Macam-Macam Mahar
Kewajiban membayar mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa mahar diberikan oleh
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Sedangkan macamnya, mahar terdiri
dari dua macam yakni mahar musamma, dan mahar mitsil.

1) Mahar Musamma
Mahar Musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam
sighat akad. Mahar musamma ada dua macam yaitu mahar musamma mu’ajjal,
yakni mahar yang segera diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan, dan mahar musamma ghair mu’ajjal, yakni mahar yang pemberiannya
ditangguhkan.

Dalam hal demikian, pembayaran mahar musamma diwajibkan hukumya apabila


telah terjadi dukhul, apabila salah seorang suami atau istri meninggal dunia
sebagaimana telah disepakati para Ulama‟ apabila telah terjadi khalwat, suami wajib
membayar mahar. Namun apabila suami telah meninggal sedangkan mahar belum
terbayarkan, maka pembayarannya diambilkan dari harta peninggalannya dan
dibayarkan oleh ahli warisnya.

Mahar Musamma harus dibayarkan atau diserahkan seluruhnya oleh seorang suami
atau mempelai laki-laki, apabila terjadi hal seperti berikut:
 Suami telah menggauli istri.
 Apabila ada salah satu diantara suami-istri meninggal dunia, tetapi diantara
mereka belum pernah terjadi hubungan badan.

4
 Jika suami-istri sudah sekamar, berduaan dan tidak ada orang lain yang
mengetahui perbuatan mereka, sedangkan pada waktu itu tidak ada halangan
syar’i bagi seorang istri seperti puasa wajib, haid, dan sebagainya, dan tidak ada
halangan lain seperti sakit. Maka dalam keadaan seperti ini menurut Imam Abu
Hanifah mewajibkan Mahar Mussama untuk diberikan seluruhnya.

Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Malik, menegaskan bahwa mempelai perempuan
berhak menerima mahar penuh dengan sebab tercampuri, tidak hanya sebab sekamar
saja. Kalau hanya baru sekamar, mempelai laki-laki tidak wajib membayar mahar
dengan penuh melainkan hanya setengah saja. Mahar Musamma biasanya
ditentukan dengan cara musyawarah dari kedua belah pihak. Berapa jumlah dan
bagaimana bentuknya harus disepakati bersama.

2) Mahar Mitsil

‫ فتقدم اخت ألبوین فألب‬، ‫وهو ما یرغب في مثلها نسبا وصغة من نساء عصباتها‬
‫فبنت أخ فعمة كذلك‬

Menurut kitab Fathul Mu’in, Mahar Mitsil didefinisikan sebagai sejumlah


maskawin yang biasanya menjadi dambaan setiap perempuan yang sederajat dalam
nasab dan sifat dari kalangan perempuan-perempuan yang tingkatan ashabah-nya
sama. Untuk mengukur mahar mitsil seorang perempuan, yang dilihat dahulu adalah
mahar saudara seibu sebapaknya, lalu saudara perempuan seayahnya, lalu anak
perempuan saudara laki-lakinya, lalu bibi dari pihak ayahnya, demikian seterusnya.

Mahar Mitsil wajib dibayar apabila perempuan yang sudah dicampuri meninggal
atau apabila perempuan tersebut belum tercampuri tetapi suami sudah meninggal
maka perempuan itu berhak meminta mahar mitsil dan berhak menerima waris.

5
C. Syarat-Syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Harta atau bendanya berharga. Tidak sah ‘Mahar’ dengan harta atau benda yang
tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan
tetapi, apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah nikahnya.
2) Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Maka tidak boleh memberikan mahar
dengan khamar, babi dan darah serta bangkai, karena itu tidak mempunyai nilai
menurut pandangan syari‟at Islam. Itu adalah haram dan tidak berharga.
3) Mahar bukan barang ghosob. Ghosob artinya mengambil barang milik orang lain
tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena akan
dikembalkannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghosob tidak sah.
Harus diganti dengan mahar mitsil, tetapi akad nikahnya tetap sah.
4) Mahar itu tidak boleh berupa sesuatu yang tidak diketahui bentuk, jenis dan sifatnya.

D. Aspek Hukum Dalam Pernikahan


Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah dibandingkan
dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang
perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia
tidak dibolehkan berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis dengan
semaunya saja atau seperti dengan tumbuh-tumbuhan kawin dengan melalui perantaraan
angin.

Hukum Negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 perkawinan dan tujuannya adalah "Ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"

Adapun prinsip-prinsip perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut:


1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat

6
mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual
dan material.
2) Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-
undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi
yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama suami istri.

E. Hikmah-Hikmah Mahar
Adapun hikmah-hikmah dalam mahar, ialah sebagai berikut:
1) Menunjukkan kemuliaan kaum perempuan. Karena perempuan lah yang dicari
bukan mencari, dan yang mencarinya ialah laki-laki.
2) Sebagai perlambang kesungguhan. Pemberian harta ini menunjukkan bahwa laki-
laki bersungguh-sungguh dalam mencenderungi perempuan, bersungguh-sungguh
dalam berhubungan dengannya.

7
BAB III
PENUTUP

Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami
untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian
yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa
(memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang
kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon
istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Aziz Abdul, dkk. “Fiqih Munakahat.” Jakarta: Amzah, 2009. Hal. 174-174
https://www.academia.edu/ (diakses tanggal 28 Februari 2021.

Sindo, Kalam. “QS. An-Nisa Ayat 4.” https://kalam.sindonews.com/ (diakses tanggal 28


Februari 2021.

Pane, Abu Sahma. “Syarat Mahar Pernikahan dalam Islam.” https://muslim.okezone.com/


(diakses tanggal 28 Februari 2021.

Alamsyah, Syahril. “Hukum Pernikahan Dalam Islam.” https://www.academia.edu/ (diakses


tanggal 09 Maret 2021.

Jarbi, Muktiali. “Pernikahan Menurut Hukum Islam.” Pendais 1: 1 2019. https://uit.e-


journal.id/ (diakses tanggal 09 Maret 2021.

Wathaniyah, Nurul. “Mahar Dalam Pernikahan.” https://www.academia.edu/ (diakses


tanggal 09 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai