MAHAR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqih Munahakat &
Jinayat
Dosen pengampu: Saepudin, M.Ag
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur, alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah Tuhan yang
Maha Esa, atas limpahan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan dan
pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Terimakasih juga kami ucapkan kepada Dosen Mata Kuliah Fiqih Munahakat
dan Jinayat. Yaitu Bapak Saepudin M, Ag yang sudah memberikan tugas makalah
ini, dan teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya
sehingga makalah ini bisa disusun.
Pemakalah Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan ..................................................................................................... 1
A. Kesimpulan ............................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam
pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan
kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama
fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara
kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian
yang terdapat dalam aqad pernikahan.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki
kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah
shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an,
tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Dari Mahar?
2. Apa Saja Syarat-syarat Mahar?
3. Berapa Kadar Jumlah mahar yang harus diberikan?
4. Bagaimana hukumnya memberi mahar dengan kontan dan hutang?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari mahar
2. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat mahar
3. Untuk mengetahui berapa kadar jumlah mahar yang harus diberikan?
4. Untuk mengetahui hukum memberi mahar dengan kontan dan hutang
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahar
Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai
perkataan : “shadaq”, nihlah; dan “faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai
dengan perkataan maskawin.
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah
pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon
suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain
sebagainya).
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh
anggota badannya.
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu
ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan
tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal
menerimanya.
B. Dasar Hukum Mahar
Allah Swt. Berfirman:
َْ َُق ِت ِهنَّ َن ِْحلَۃَفاِنْ َطِ ْبنَل ُك ْمَعنْ َش ْي ٍءَ ِم ْن ُهَن ْفساَف ُك١ٰ ُتوٰٰل ِّنساَءصد١َو
َلوﻩُه َِنَْيٸَا
٤:(النساء٠َّم ِرَْيٸَا
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan
nikmatilah pemberian itu dengan senanghati.” (Q. S. An-Nisa:4)
َ فَ َما ا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ِه ِمنْه َُّن فَئَاتُ ْوهُ َّن اُج ُْو َرهُ َّن فَ ِر ْي
ضة
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antaramereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengansempurna), sebagai suatu kewajiban” (QS. An-
Nisa’:24)
2
Dalil disyariatkannya mahar juga ada pada beberapa hadits Nabi SAW :
قالَل ْوأنَََّرَجُﻼأ ْعطىَ ِا ْمرأةَصداقا ِملَْايد ْيهَِطعاماَكان ْتلهَُحﻼل٠م٠س ْولَﷲِص
ُ عنْ َجابِ ِر ْب ِنَع ْب َِدﷲَِٲَنَّ َر
“Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda, ‘Seandainya seorang
laki-laki memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang
perempuan, sesungguhnya perempuan itu halal baginya.” (H.R. Ahmad dan Abu
Dawud)
تَ َز َّو ْج َولَ ْو بِ َخاتِ ٍم ِمنْ َح ِد ْي ٍد
“Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”.(HR. Bukhori)
عن عامر بن ربيعة ان امرأة من بنى فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول هللا صلى هللا
فأجا زه (رواه احمد و ابن ماجه. نعم: فقالت, أرضيت عن نفسك ومالك بنعلين:عليه وسلم
)والترمذى
Dari Amir bin Robi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Faarah kawin
aas maskawin sepasang sandal. Rasulullah Saw lalu bertanya kepada perempuan
tersebut: Apakah engkau ridho dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan
tersebut menjawab: ya. Rasulullah akhirnya meluluskannya”. (HR. Ahmad)
Ayat dan Hadits di atas menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu
yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau
meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andaikata mahar tidak wajib tentu
Nabi SAW pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang
menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi beliau tidak pernah meninggalkannya, hal
ini menunjukkan kewajibannya.1
C. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Harga berharga.
Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan
banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut
mahar. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Sementara itu tidak sah mahar
1
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah, danTalak. (Jakarta: AMZAH). 177.
3
dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak
berharga.
2. Barangnya bukan barang ghasab.
Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun
tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.
Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap
sah. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
َ اق أَ ْي
َّس ُرهُن َّ َخ ْي ُرال
ِ ص َد
Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak
ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi,
4
baik sedikit maupun banyak. Alasannya, karena beberapa teks Al-qur’an yang
menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaan, layak baginya sedikit dan
banyak.
Dan berilah mahar mereka menurut yang patut.” (QS. An-Nisa’ (4): 25)
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas
terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu
paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau
bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.
Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita berbentuk
makanan sepenuh dua tangannya, maka halal baginya. (HR. Ahmad)
Dari pada Sahl bin Sa’ad ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah mengahwinkan
seorang lelaki dengan seorang perempuan dimana maskawinnya adalah cincin
yang terbuat daripada besi. (HR Bukhari Muslim).
5
harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami.2 dan tidak pula mengesankan
apa adanya, sehingga calon istri merasa dilecehkan atau disepelekan. 3
Dalam hukum Islam tidak ada yang menyatakan bahwa mahar harus berupa
barang yang memberatkan calon suami, agama Islam tidak menganjurkan umatnya
untuk berfikir secara materialistik menuntut mahar yang mahal. Jika mahar berupa
barang yang memberatkan, maka dalam hal ini dapat mempersulit bagi calon laki-
laki untuk melangsungkan pernikahan, semakin banyaknya jumlah bujang, perawan
tua, bahkan merusak secara personal maupun sosial. Mahar bukanlah tujuan dari
pernikahan, melainkan hanya simbol ikatan cinta dan kasih sayang.
Mahar sebagai hak wanita yang harus dipenuhi bukan hak wali dari
perempuan, sehingga ayahnya atau siapapun tidak boleh mengambil sedikitpun
mahar tersebut, walaupun mahar tersebut mempunyai nilai materi sangat kecil, akan
tetapi mahar itu harus tetap dibayarkan. Selama mahar itu belum diberikan, selama
itu pula mahar menjadi tanggungan calon suami.
2 Asep Sobari, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Jakarta: Darul Bayan Alhaditsah, 2012, hal. 667
3 Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015, ha
6
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Rasulullah SAW bersaba,
“janganlah menikahkan wanita kecuali dengan yang sepadan, dan tidak boleh ada
yang menikahkan mereka kecuali para wali, serta mahar tidak boleh kurang dari
sepuluh dirham”. (HR. Baihaqi)4
Sedangkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan
rendahnya. Yang menjadi prinsip bagi Imam Syafi'i yaitu asal sesuatu yang
dijadikan mahar itu bernilai dan berharga, maka boleh digunakan sebagai mahar.
Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar
sekalipun hanya satu qirshy. 5
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau
dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka
disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:
ماعندى: فقال, عن ابن عباس عن النبى صلى هللا عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئ
, فأعطاه اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى والحاكم وصححه شيء: فاين درك الحطمية: ) فقال
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai
memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka
sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada
Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), hlm. 94
5 Ibid 174
7
atau sebagian, maka status mahar yang dalam status hutang pembayarannya
menjadi hutang mempelai suami.
6
Tihami dkk, Fikih Munakahat Lengkap Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010, hal. 44
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai
perkataan : “shadaq”, nihlah; dan “faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai
dengan perkataan maskawin.
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar
ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada
calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar,
dan lain sebagainya).
9
DAFTAR PUSTAKA