Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MAHAR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqih Munahakat &
Jinayat
Dosen pengampu: Saepudin, M.Ag

Disusun Oleh Kelompok 4


Alia Maulani (19.03.2420)
Muslim (19.03.2306)
Silsyahdila (19.03.2044)

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur, alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah Tuhan yang
Maha Esa, atas limpahan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan dan
pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terimakasih juga kami ucapkan kepada Dosen Mata Kuliah Fiqih Munahakat
dan Jinayat. Yaitu Bapak Saepudin M, Ag yang sudah memberikan tugas makalah
ini, dan teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya
sehingga makalah ini bisa disusun.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk terciptanya makalah yang lebih baik di kemudian hari.

Bandung,18 Oktober 2021

Pemakalah Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1

C. Tujuan ..................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2

A. Pengertian Mahar .................................................................................... 2

B. Hukum Mahar ......................................................................................... 2

C. Syarat-syarat Mahar ................................................................................ 3

D. Kadar (Jumlah) mahar ............................................................................ 4

E. Hukumnya memberi mahar dengan kontan dan hutang ......................... 7

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 9

A. Kesimpulan ............................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam
pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan
kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama
fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara
kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian
yang terdapat dalam aqad pernikahan.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki
kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah
shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an,
tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Dari Mahar?
2. Apa Saja Syarat-syarat Mahar?
3. Berapa Kadar Jumlah mahar yang harus diberikan?
4. Bagaimana hukumnya memberi mahar dengan kontan dan hutang?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari mahar
2. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat mahar
3. Untuk mengetahui berapa kadar jumlah mahar yang harus diberikan?
4. Untuk mengetahui hukum memberi mahar dengan kontan dan hutang

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahar
Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai
perkataan : “shadaq”, nihlah; dan “faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai
dengan perkataan maskawin.
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah
pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon
suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain
sebagainya).
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh
anggota badannya.
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu
ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan
tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal
menerimanya.
B. Dasar Hukum Mahar
Allah Swt. Berfirman:
َْ ‫َُق ِت ِهنَّ َن ِْحلَۃَفاِنْ َطِ ْبنَل ُك ْمَعنْ َش ْي ٍءَ ِم ْن ُهَن ْفساَف ُك‬١‫ٰ ُتوٰٰل ِّنساَءصد‬١َ‫و‬
َ‫لوﻩُه َِنَْيٸَا‬
٤:‫(النساء‬٠‫َّم ِرَْيٸَا‬
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan
nikmatilah pemberian itu dengan senanghati.” (Q. S. An-Nisa:4)
َ ‫فَ َما ا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ِه ِمنْه َُّن فَئَاتُ ْوهُ َّن اُج ُْو َرهُ َّن فَ ِر ْي‬
‫ضة‬
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antaramereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengansempurna), sebagai suatu kewajiban” (QS. An-
Nisa’:24)

2
Dalil disyariatkannya mahar juga ada pada beberapa hadits Nabi SAW :
‫قالَل ْوأنَََّرَجُﻼأ ْعطىَ ِا ْمرأةَصداقا ِملَْايد ْيهَِطعاماَكان ْتلهَُحﻼل‬٠‫م‬٠‫س ْولَﷲِص‬
ُ ‫عنْ َجابِ ِر ْب ِنَع ْب َِدﷲَِٲَنَّ َر‬
“Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda, ‘Seandainya seorang
laki-laki memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang
perempuan, sesungguhnya perempuan itu halal baginya.” (H.R. Ahmad dan Abu
Dawud)
‫تَ َز َّو ْج َولَ ْو بِ َخاتِ ٍم ِمنْ َح ِد ْي ٍد‬
“Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”.(HR. Bukhori)

‫عن عامر بن ربيعة ان امرأة من بنى فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول هللا صلى هللا‬
‫ فأجا زه (رواه احمد و ابن ماجه‬.‫ نعم‬:‫ فقالت‬,‫ أرضيت عن نفسك ومالك بنعلين‬:‫عليه وسلم‬
‫)والترمذى‬
Dari Amir bin Robi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Faarah kawin
aas maskawin sepasang sandal. Rasulullah Saw lalu bertanya kepada perempuan
tersebut: Apakah engkau ridho dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan
tersebut menjawab: ya. Rasulullah akhirnya meluluskannya”. (HR. Ahmad)
Ayat dan Hadits di atas menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu
yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau
meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andaikata mahar tidak wajib tentu
Nabi SAW pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang
menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi beliau tidak pernah meninggalkannya, hal
ini menunjukkan kewajibannya.1

C. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Harga berharga.
Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan
banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut
mahar. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Sementara itu tidak sah mahar

1
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah, danTalak. (Jakarta: AMZAH). 177.

3
dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak
berharga.
2. Barangnya bukan barang ghasab.
Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun
tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.
Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap
sah. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

D. Kadar (Jumlah) Mahar


Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah
maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan
kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai
kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon
istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya.
Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang
bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan
menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah
hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya
menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,”.
Fuqoha sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang harus
dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan kepada
kemampuan suami sesuai dengan pandangannya yang sesuai. Tidak ada dalam
syara’ suatu dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh
melebihinya.
Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw bersabda :

َ ‫اق أَ ْي‬
َّ‫س ُرهُن‬ َّ ‫َخ ْي ُرال‬
ِ ‫ص َد‬

“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.”

Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak
ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi,

4
baik sedikit maupun banyak. Alasannya, karena beberapa teks Al-qur’an yang
menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaan, layak baginya sedikit dan
banyak.

Sebagaimana firman Allah SWT:


ِ ‫َوآتُوه َُّن أُجُو َره َُّن بِا ْل َم ْعرُو‬
‫ف‬

Dan berilah mahar mereka menurut yang patut.” (QS. An-Nisa’ (4): 25)

Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas
terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu
paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau
bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.

Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda :

َ َ‫لَوْ أَ َّن َرج ََُل أَ ْعطَى ا ْم َرأَة‬


ْ َ‫صدَاقَا ِملْ َء َي َد ْي ِه طَ َعاما َكان‬
‫ت لَه ُ َح ََل ل‬

Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita berbentuk
makanan sepenuh dua tangannya, maka halal baginya. (HR. Ahmad)

Dari pada Sahl bin Sa’ad ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah mengahwinkan
seorang lelaki dengan seorang perempuan dimana maskawinnya adalah cincin
yang terbuat daripada besi. (HR Bukhari Muslim).

Hadits diatas menunjukan bahwa kewajiban memberikan mahar sekalipun


sesuatu yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi saw
meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. hal ini menunjukan kewajiban mahar
menempati posisi pemberian dan hadiah yang diberikan oleh calon suami kepada
calon istri yang menunjukan kesucian dan kesakralan ikatan perkawinan serta
berupaya sebagai menarik hati istri dan sekaligus sebagai tanda penghormatan
calon suami terhadap calon istri yang telah bersedia menikahinya.

Walaupun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus


mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan

5
harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami.2 dan tidak pula mengesankan
apa adanya, sehingga calon istri merasa dilecehkan atau disepelekan. 3

Dalam hukum Islam tidak ada yang menyatakan bahwa mahar harus berupa
barang yang memberatkan calon suami, agama Islam tidak menganjurkan umatnya
untuk berfikir secara materialistik menuntut mahar yang mahal. Jika mahar berupa
barang yang memberatkan, maka dalam hal ini dapat mempersulit bagi calon laki-
laki untuk melangsungkan pernikahan, semakin banyaknya jumlah bujang, perawan
tua, bahkan merusak secara personal maupun sosial. Mahar bukanlah tujuan dari
pernikahan, melainkan hanya simbol ikatan cinta dan kasih sayang.

Mahar sebagai hak wanita yang harus dipenuhi bukan hak wali dari
perempuan, sehingga ayahnya atau siapapun tidak boleh mengambil sedikitpun
mahar tersebut, walaupun mahar tersebut mempunyai nilai materi sangat kecil, akan
tetapi mahar itu harus tetap dibayarkan. Selama mahar itu belum diberikan, selama
itu pula mahar menjadi tanggungan calon suami.

Di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 34 ayat 2 bahwa


penyebutan mahar dan jumlah serta bentuknya termasuk di dalamnya tunai atau
ditangguhnya, diucapkan pada saat akad nikah. Pada saat ijab oleh wali mempelai
wanita, dan dikonfirmasi dengan jawaban qabul mempelai lakilaki. Oleh karena
sifatnya bukan rukun dalam perkawinan, maka kelalaian menyebut jenis dan jumlah
mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Dalam
pasal Para ulama sepakat (Ibnu Rusyd, 1989:15) bahwa besarnya mahar tidak ada
batas maksimalnya, akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ada tidaknya
batas minimal dalam mahar tersebut. Dalam hal ini Imam Hanafi mengatakan
bahwa mahar ada batas minimalnya, yaitu jumlah minimalnya emas atau perak
seberat 10 dirham. Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka
akad tetap sah, tetapi wajib membayar mahar 10 dirham. Dengan berdasarkan
Hadits.

2 Asep Sobari, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Jakarta: Darul Bayan Alhaditsah, 2012, hal. 667
3 Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015, ha

6
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Rasulullah SAW bersaba,
“janganlah menikahkan wanita kecuali dengan yang sepadan, dan tidak boleh ada
yang menikahkan mereka kecuali para wali, serta mahar tidak boleh kurang dari
sepuluh dirham”. (HR. Baihaqi)4

Sedangkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan
rendahnya. Yang menjadi prinsip bagi Imam Syafi'i yaitu asal sesuatu yang
dijadikan mahar itu bernilai dan berharga, maka boleh digunakan sebagai mahar.
Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar
sekalipun hanya satu qirshy. 5

E. Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang

Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau
dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka
disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:

‫ ماعندى‬: ‫ فقال‬, ‫عن ابن عباس عن النبى صلى هللا عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئ‬
,‫ فأعطاه اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى والحاكم وصححه شيء‬: ‫ فاين درك الحطمية‬: ‫) فقال‬

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai
memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka
sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada
Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).

Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai


tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar
sebagian terlebih dahulu.

Pelaksaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau


disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat. Namun dalam syari’at Islam
memungkinkan penangguhan pelaksanaan membayar mahar baik itu seluruhnya

4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), hlm. 94
5 Ibid 174

7
atau sebagian, maka status mahar yang dalam status hutang pembayarannya
menjadi hutang mempelai suami.

Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan


pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu
tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya
mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar
membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara
fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang
membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya.
Demikian pendapat Imam Malik. Menurut Sayyid alHakim bahwa jika ia menunda
mahar, maka ia wajib menentukan waktunya meskipun secara global, umpamanya
datang seorang musafir, atau datangnya kelahiran. 6

6
Tihami dkk, Fikih Munakahat Lengkap Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010, hal. 44

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai
perkataan : “shadaq”, nihlah; dan “faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai
dengan perkataan maskawin.
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar
ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada
calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar,
dan lain sebagainya).

9
DAFTAR PUSTAKA

Azzam , Muhammad Abdul Aziz, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Fiqh


Munakahat: Khitbah, Nikah, danTalak. (Jakarta: AMZAH).
Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan, Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2015
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009)
Sobari ,Asep, Fiqih Sunnah Untuk Wanita, Jakarta: Darul Bayan
Alhaditsah, 2012
Tihami dkk, Fikih Munakahat Lengkap Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010,

Anda mungkin juga menyukai