Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MAHAR
Makalah Disusun untuk Memenuhi tugas
Mata Kuliah: Fikih Munakahat
Dosen Pengampu: Dr. Ali Muhtarom, M.H.I

Di Susun Oleh :
1. Diyan Fatra Akmala (1521121)
2. M. Salman Al-Farisi (1521147)

KELAS D
JURUSAN HUKUM TATANEGARA
FAKULTAS SYARIAH
UIN K.H ABDURRAHMAN WAHID 2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Mahar” secara tepat waktu. Sholawat serta salam tak lupa juga kami curahkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW.
Makalah ini akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan kajian dasar umum
munakahat yang memuat pemahaman tentang pengertian mahar, dasar hukum mahar, syarat
mahar, bentuk dan jumlah mahar, kepemilikan mahar, hikmah syariat mahar. Kami selaku
penulis berharap agar makalah sederhana yang telah kami buat ini dapat memberikan manfaat
dan ilmu bagi kita semua. Tentunya, kami menyadari jika makalah ini masih jauh dari kata
sempurna karena mungkin terdapat beberapa kekeliruan dalam penyusunannya. Oleh karena itu,
kritik, saran, dan masukan dari para pembaca sangat kami butuhkan untuk pembelajaran dan
perbaikan agar kedepannya kami dapat menyajikan makalah dengan lebih baik lagi.
Kami selaku penulis makalah ini mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang
ikut terlibat dan berperan penting dalam pembuatan makalah ini. Semoga Allah SWT. senantiasa
melindungi dan merindhoi segala urusan kita.
Pekalongan, 1 September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4

1.1 Latar Belakang......................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................4

1.3 Tujuan....................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................5

2.1 Pengertian Mahar.................................................................................................5

2.2 Dasar Hukum Mahar............................................................................................6

2.3 Syarat Mahar.........................................................................................................7

2.4 Bentuk dan Jumlah Mahar..................................................................................8

2.5 Hikmah Syari’at Mahar.......................................................................................9

BAB III PENUTUP........................................................................................................10

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................11

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hukumnya
wajib, yang menurut kesepakatan para ulama merupakan salah satu syarat sahnya nikah.
Komplikasi hukum Islam di Indonesia merumuskan pada pasal 30 “Calon mempelai pria wajib
membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati
oleh kedua belah pihak”. Penentuan besarnya mahar didasarkan atas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis memformulasikan permasalahan
yang dibahas dalam makalah ini, yakni sebagai berikut:
1. Apa pengertian mahar?
2. Apa dasar hukum mahar?
3. Apa saja syarat mahar?
4. Bagaimana bentuk dan jumlah mahar?
5. Bagaimana kepemilikan mahar?
6. Apa saja hikmah syariat mahar?
1.3 Tujuan
Dari uraian rumusan masalah diatas, tujuan dari permasalahan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Memahami dan mengetahui pengertian mahar.
2. Memahami dan mengetahui dasar mahar.
3. Memahami dan mengetahui syarat mahar.
4. Memahami dan mengetahui bentuk dan jumlah mahar.
5. Memahami dan mengetahui kepemilikan mahar.
6. Memahami dan mengetahui hikmah syariat mahar.

1
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, ceatakan 4, Jakarta 2000, hal.101

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mahar
Kata "mahar" berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau
masdar, yakni "mahran" atau kata kerja, yakni fi'd dari "mahara-yamhuru-mahran." Lalu,
dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr, dan kini sudah diindonesiakan dengan kata
yang sama, yakni mahar atau karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, mahar
diidentikkan dengan maskawin.
Di kalangan fuqaha, di samping perkataan "mahar", juga digunakan istilah lainnya, yakni
shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya adalah mahar. Dengan pengertian etimologis
tersebut, istilah mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar
dan kecilnya dalam Al-Quran maupun Al Hadis.2
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak
mempelai perempuan yang hukumnya wajib Dengan demikian, istilah shadaq, nihlah dan mahar
merupakan istilah yang terdapat dalam Al-Quran, tetapi istilah mahar lebih dikenal di
masyarakat, terutama di Indonesia, sedangkan istilah selain mahar bukan hanya jarang
digunakan, melainkan masih banyak orang yang belum memahami maknanya. Istilah shadaqah
atau shadaq dan shidag apalagi nihlah kurang tersosialisasikan dalam masyarakat, sedangkan
istilah mahar atau maskawin telah dipahami maknanya sampai masyarakat awam.
Menurut Sayyid Sabiq, mahar adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan oleh seorang
mempelai pria dengan sebab nikah atau watha Penyebutan mahar hukumnya sunnat, baik dari
segi jumlah maupun bentuk barangnya dalam suatu akad perkawinan Apa pun barang yang
bernilai adalah sah untuk dijadikan mahar. Demikian pula, menurut Taqiyuddin bahwa
penyebutan mahar hukumnya sunnat Jika tidak disebutkan, nikahnya tetap sah dan suami wajib
membayar mahar mitsil.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mahar adalah pemberian
pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita berupa harta atau manfaat karena
adanya ikatan perkawinan Bentuk dan jenis mahar tidak ditetapkan dalam hukum perkawinan
Islam, tetapi kedua mempelai dianjurkan melakukan musyawarah untuk menyepakati mahar
2
Beni Ahmad Saebani, Fikih Munakahat 1, cetakan 1,Bandung,2001,hal 260

5
yang akan diberikan. Apabila pihak mempelai wanita sepakat dengan mahar yang ditawarkan
oleh pihak mempelai pria, bentuk dan jenisnya dapat ditetapkan oleh kedua belah pihak.3
Mahar bukanlah pembayaran yang seolah-olah menjadikan perempuan yang hendak dinikahi
telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk
mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zman jahiliyyah telah diinjak-injak
herga dirinya. Dengan adanya mahar, status perempuan tidak dianggap sebagai barang diperjual
belikan.4

2.2 Dasar Hukum Mahar


Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan, terdiri atas dasar hukum yang diambil dari
Al-Quran dan dasar hukum dari As-Sunnah. Dilengkapi oleh pendapat ulama tentang kewajiban
pembayaran mahar oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Dasar hukum pertama
adalah Al-Quran.
Dalam Al-Quran, syrat An-Nisa ayat 4, Allah swt berfirman:

‫ص ُد ٰقت ِِهنَّ ِنحْ َل ًة ۗ َف ِانْ طِ ب َْن َل ُك ْم َعنْ َشيْ ٍء ِّم ْن ُه َن ْفسًا َف ُكلُ ْوهُ َه ِن ۤ ْيـًٔا م َِّر ۤ ْيـًٔا‬
َ ‫َو ٰا ُتوا ال ِّن َس ۤا َء‬
Artinya:

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
(maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang
hati.” (Q.S. An-Nisa:4)5
Ayat di atas menyebut kata "mahar" dengan istilah "shaduq" yang dimaknakan sebagai
pemberian yang penuh keikhlasan. Dalam surat An Nisa ayat 25, Allah SWT. berfirman sebagai
berikut:

ِ‫َفا ْن ِكح ُْوهُنَّ ِبا ِْذ ِن اَهْ ل ِِهنَّ َو ٰا ُت ْوهُنَّ اُج ُْو َرهُنَّ ِب ْال َمعْ ر ُْوف‬
Artinya:

“Oleh karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berikanlah mas kawin mereka
menurut yang patut”. (Q.S An-Nisa:25)

3
Ibid, hal 261
4
Beni Ahmad Saebani, Fikih Munakahat 1, cetakan 1,Bandung,2001,hal 262
5
Ibid

6
Dalam ayat di atas digunakan istilah ajrun atau ujurahuna istilah tersebut yang makna asalnya
upah, dalam konteks ayat itu bermakna mahar atau maskawin bagi hamba sahaya perempuan
yang hendak dinikahi, yang di samping harus atas izin tuannya, juga harus dibayar maharnya.
Dengan demikian, dalam konteks hak atas mahar, tidak ada perbedaan antara perempuan hamba
sahaya dan perempuan merdeka Ayat tersebut dapat pula dipahami bahwa dari sisi kesetaraan
gender Islam telah melakukannya secara adil, terutama dalam upaya membebaskan kaum
perempuan dari ketertindasan sosial maupun budaya.6
Ayat-ayat Al-Quran yang telah dikemukakan di atas merupakan dalil sebagai dasar
hukum yang kuat bahwa laki-laki wajib membayar mahar kepada perempuan yang hendak
dinikahinya dengan ikhlas agar hak perempuan sejak awal telah ditegakkan.
Dasar hukum kedua adalah hadis, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah:
“Sebaik-baiknya wamita, yang cantik wajahnya dan paling murah maharnya”. (Hadis Riwayat
Ibnu Majjah).7
Demikian pula, dalam hadis Muttafqun “Alaih:
“Yang paling membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit maharnya” (Hadis Muttafaqun
‘Alaih)
Para ulama sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan
maupun dengan craa tempo. Pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat
dalam akad pernikahan dan tidak dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu
lebih baik dan sebagi shadaqah, yang dicatat sebagai mahar secara mutlak yang jenis dan
jumlahnya sesuai dengan akad nikah.8
2.3 Syarat Mahar
Mahar boleh berupa uang perhiasan, peralatan rumah tangga, binatag, jasa, harta
perdaganggan, atau benda-benda lainnya yang menyimpan harga. Adapun syarat mahar sebagai
berikut:9
1. Harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi bernilai tetap sah disebut
mahar.
6
Ibid, hal 263
7
Beni Ahmad Saebani, Fikih Munakahat 1, cetakan 1,Bandung,2001, hal 264
8
Ibid, hal265-266
9
Putra Halomoan, Pemnetapan Mahar terhadap Kelangsungan Pernikahan di Tinjau menurut Hukum Islam, Padang
2015, hal 111

7
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar dengan memberikan
khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga/suci.
3. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang orang lain tanpa
seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk
mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang ghasab tidak sah.
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan barang yang tidak
jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.
2.4 Bentuk dan Jumlah Mahar
Besarnya mahar tidak ditetapkan dalam syariat Islam. Karena merupakan hak mempelai
wanita, pihak mempelai wanita berhak memilih dan menentukan maharnya. Ia berhak meminta
mahar dalam jumlah yang besar atau kecil, dan berhak mengembalikan sesuatu kepada pihak
mempelai laki-laki. Ia berhak memminta mahar dalam bentuk emas, rumah, tanah, mobil, dsb.
Hanya yang paling berkah adalah permintaan mahar yang murah dan sederhana.
Besar dan kecilnya jumlah mahar, jenis dan bentuknya hendaknya berpedoamn pada sifat
kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan oleh syariat Islam. Islam tidak
menetapkan jumlahnya tetapi disesauikan dengan kemampuan pihak mempelai laki-laki.
Mengenai besarnya mahar.10
Imam Malik berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu harus mencapai seperempat dinar
emas atau perak seberat tiga dirham timbangan, atau barang yang sebanding dengan tiga dirham
tersebut. Imam Malik berkata bahwa paling sedikit mahar itu harus mencapai 40 dirham. Imam
Abu Hanafiyah berpendapat bahwa mahar paling sedikit 10 dirham. Dan menurut yang lainnya
cukup 5 dirham.11
Dalam pandangan jumhur ulama, agama tidak menentukan tentang jumlah mahar, namun
tiap barang yang berharga dapat dijadikan mahar. Ketentuan dengan jumlah mahar, diserahkan
kepada kebiasaan masyarakat setempat dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan masing-
masing.12
2.5 Kepemilikan Mahar
Pemberian mahar kepada wanita bukanlah sebagai harga dari perempuan itu dan bukan pula
sebagai pembelian perempuan itu dari orang tuanya, pensyari’atan mahar juga merupakan salah

10
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, cetakan 1, bandung 2001, hal 270
11
Ibid, hal 271
12
Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan dalam Islam, cetakan 1, Tanggerang 2019, hal 34

8
satu syarat yang dapat menghalalkan hubungan suami isteri, yaitu interaksi timbal balik yang
disertai landasan kasih sayang dengan peletakan status kepemimpinan keluarga kepada suami
dalam kehidupan berumah tangga. Kewajiban pemberian mahar oleh calon suami juga
merupakan satu gambaran dari sebuah kemauan dan tanggung jawab dari suami untuk
memenuhi nafkah yang jelas diperlukan dalam kehidupan berumah tangga. Yang berkewajiban
memberi nafkah (mahar dan kebutuhan hidup rumah tangga) hanyalah laki-laki, karena memang
menjadi kodrat bagi laki-laki bahwa Ia memiliki tanggung jawab dan kemampuan untuk
berusaha memenuhi kebutuhan dan mencari rezeki, sedangkan tugas dari seorang wanita dalam
keluarga adalah menjaga rumah tangga, terutama mendidik anak. Walau dalam kenyataannya
tidak sedikit kaum perempuan yang mampu memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan
bekerja sendiri.
Dalam Islam, disyari’atkannya membayar mahar hanyalah sebagai hadiah yang diberikan
seorang lelaki kepada seorang perempuan yang dipinangnya ketika lelaki itu ingin menjadi
pendampingnya, dan sebagai pengakuan dari seorang lelaki atas kemanusiaan, kemuliaan dan
kehormatan perempuan.
Hukum mahar dalam pernikahan adalah hak pribadi mempelai wanita, bukan harta bersama.
Mahar diberikan langsung oleh mempelai pria kepada mempelai wanita saat ijab qabul, dan saat
itu mahar menjadi hak pribadinya. Jika mahar atau mas kawin itu adalah hak seorang
perempuan (istri) maka istri yang baik adalah yang tidak mempersulit atau mempermahal mas
kawin.
2.6 Hikmah Syari’at Mahar
Adapun hikmah disyari’atkan nya mahar adalah sebagi berikut:13

1. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang
dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus
mengorbankan hartanya.
2. Mengangkat derajat perempuan dan memberikan hak kepemilikannya. Sehingga diberi
hak menerima mahar dari suaminya saat menikah, dan menjadikan mahar sebagi
kewajiban bagi suami untuk menghormati perempuan dengan memberikan mahar
tersebut.

13
Abd Kohar, Kedudukan dan Hikmah Mahar dalam Perkawinan, cetakan 1, Lampung 2016, hal 49

9
3. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istinya, karena mahar itu
sifatnya pemberian, hadiah atau hibah yang oleh Al-Quran diisitlahkan dengan nihlah
(pemberian dengan penuh kerelaaan), bukan sebagi pembayar harga wanita.
4. Menunjukkan kesungguhan diri karena menikah dan berumah tangga bukaknlah main-
main dan perkara yang bisa dimainkan.
5. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan
nafkah, atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak itu,
wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung jawab
dan tidak sewenang-wenang terhadap istirnya.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
mahar adalah pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita
berupa harta atau manfaat karena adanya ikatan perkawinan. Mahar wajib dibayar oleh
pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan.Bentuk dan jenis mahar tidak
ditetapkan dalam hukum perkawinan Islam, tetapi kedua mempelai dianjurkan melakukan
musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan diberikan. Apabila pihak mempelai
wanita sepakat dengan mahar yang ditawarkan oleh pihak mempelai pria, bentuk dan
jenisnya dapat ditetapkan oleh kedua belah pihak.

11
DAFTAR PUSTAKA

Saebani, Beni Ahmad. 2001. Fikih Munakahat 1. Bandung: PT. RajaGrafindo


Persada..

Ahmad Rofiq. 2000. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


Iffah Muzammil. 2019. Hukum Pernikahan dalam Islam.Tanggerang: Tira Smart.
Abd Kohar. 2016. Kedudukan dan Hikmah Mahar dalam Perkawinan. Lampung: IAIN
Raden Intan.
Putra Halomoan. 2015. Penetapan Mahar terhadap Kelangsungan Pernikahan di Tinjau
menurut Hukum Islam. Padang: IAIN Padangsidimpuan

12

Anda mungkin juga menyukai