Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT

“MAHAR “

Dosen Pengampu:
Oloan Muda Hasim Harahap L.C.M.A

Disusun Oleh :
1. Cynthia Fitra Indriani (22621006)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP(IAIN CURUP)

TAHUN AJARAN 2023


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaituNabi Muhammad SAW yang kita nantikan
syafa’atnya di akhirat kelak. Penulismengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu
Bapak Oloan Muda Hasim Harahap L.C.M.A yang telah memberikan amanah untuk
menyelesaikan pembahasan tentang mahar. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Curup , 22 Mei 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................I

DAFTAR ISI ...............................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang .................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................1
C. Tujuan .............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................2

1. Apa pengertian dari mahar, hak dan kewajiban suami istri ?

2. Apa saja Syarat-syarat Mahar ?

3. Berapa kadar (jumlah) Mahar yang harus di berikan ?

4. Bagaimana hukumya memberi Mahar dengan kontan danutang ?

5. Apa saja Macam-macam Mahar dan hak antara suami istri ?

6. Bagaimana menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan


mengenai mahar, hak dan kewajiban suami istri ?

BAB III PENUTUP .....................................................................................................16

A. Kesimpulan ......................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum
wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin
yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu
harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh
suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus
sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.

Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan
mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di
masyarakat, terutama di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang di atas serta untuk
terarahnya makalah ini. Maka masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :

1. Apa pengertian dari mahar, hak dan kewajiban suami istri ?

2. Apa saja Syarat-syarat Mahar ?

3. Berapa kadar (jumlah) Mahar yang harus di berikan ?

4. Bagaimana hukumya memberi Mahar dengan kontan danutang ?

5. Apa saja Macam-macam Mahar dan hak antara suami istri ?

6. Bagaimana menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan


mengenai mahar, hak dan kewajiban suami istri ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui mahar, hak dan kewajiban suami istri ?

2. Untuk mengetahui Syarat-syarat Mahar ?

1
3. Untuk mengetahui Berapa kadar (jumlah) Mahar yang harus di berikan ?

4. Untuk mengetahui hukumya memberi Mahar dengan kontan danutang ?

5. Untuk mengetahui Macam-macam Mahar dan hak antara suami istri ?

6. Untuk mengetahui menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan


mengenai mahar, hak dan kewajiban suami istri ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hukum Mahar

Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan :
“shadaq”, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan
maskawin.1

Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah


pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda
maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).2

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh
seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya3.

Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila
istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah
Swt. Berfirman:

‫َو ِإْن َاَر ْدُتْم ِاْس ِتْبَداَل َز ْو ٍج َّم َك اَن َز ْو ِج َو َء اَتْيُتْم ِاْح َد ُهَّن ِقْنَطاًرا َفَال َتْأُخ ُذ ْو ا ِم ْنُه َشْيُئا َاَتْأُخ ُذ ْو َنُه ُبْهَتًنا َو ِاْثًم ا ُم ِبْيًنا‬

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil
kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan
jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S AL-NISA4: 20).

B. Syarat-syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.

1
Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 81.
2
Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag RI, 1985) Jilid 3, 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali,
Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), 84.
3
Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, 94.
4
Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 103.

3
Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar,
babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.

Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain
tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk
mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi
akadnya tetap sah. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.5

C. Kadar (Jumlah) Mahar

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang
lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir
tidak mampu memberinya.6Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut
kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang
akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah
hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi
penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,”.

Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in
berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi
harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu
Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.

Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam
Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat
emas perak tersebut.

D. Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang


5
Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 103.
6
Kamal Muhktar, Op.Cit., hlm. 82.

4
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau
dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan
membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:

‫ ماعندى شيء‬: ‫ فقال‬, ‫عن ابن عباس عن النبى صلى هللا عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئ‬,

) ‫ فأعطاه اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى والحاكم وصححه‬: ‫ فاين درك الحطمية‬: ‫فقال‬

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai
memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya:
Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu
Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).

Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang
lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.

Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat
dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh
diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar
boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka
manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar
(diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah
ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik.

E. Macam-macam Mahar

Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:

1. Mahar Musamma

Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan
besarnya ketika akad nikah.Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.7

Ulama fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan


secara penuh apabila:

a. Telah bercampur (bersenggama).

b. Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma’.
7
M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 185.

5
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah
bercampurdengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata
istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami
lama.8Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah.

2. Mahar Mitsli (Sepadan)

Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum
ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang
pernah diterima oleh keluarga terdekat, agakjauh dari tetangga sekitarnya, dengan
memerhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.[8]Mahar Mitsli juga terjadi dalam
keadaan sebagai berikut:

a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad
nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.

b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan
istri dan ternyata nikahnya tidak sah.

Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal
ini menurut jumhur ulama dibolehkan.

F. Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) permasalahan mahar terdapat dalam BAB
V PASAL 30 sampai dengan Pasal 38. Adapun materi dari pasal-pasal tersebut sebagai
berikut:

Pasal 30 : calon pembelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita
yang jumlah, bentuk dan jenisnya di sepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31 : penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang


dianjurkan oleh ajaran islam.

Pasal 32 : mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu
menjadi pribadinya.

Pasal 33 : (1) penyerahan mahar dilakukan dengan tunai, (2) apabila calon mempelai
wanita menyetujui penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk
sebagian mahar yang belum ditunaikan penyerahan nya menjadi hutang calon mempelai pria.
8
Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93.

6
Pasal 34 : (1) kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dan syarat
dalam perkawinan (2) kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah,
tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dengan keadaan mahar masih
berhutang tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Pasal 35 : (1) suami mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar


maharbsetengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah, (2) apabila suami meninggal
dunia qabla al-dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya, (3) apabila
perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsil.

Pasal 36 : apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan
barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau
dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37 : apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang
ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38 : (1) apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi
calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas,
(2) apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami menggantinya dengan
mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, maka dianggap masih
belum dibayar.

Dari pasal-pasal yang terdapat dalam KHI di atas, dapat di pahami bahwa mahar
merupakan kewajiban yang harus di bayar oleh calon suami kepada calon istrinya, baik
secara kontan atau tidak kontan dengan cara melalui persetujuan pihak calon istri. Jika calon
istri tidak menyetujuinya dan meminta maharnya dibayar secara kontan, pihak calon suami
harus membayarnya. Hal itu menjadi pertanda bahwa mahar adalah hak prerogatif calon istri
dalam menentukan jumlah dan jenisnya. Meskipun demikian, KHI menetapkan bahwa mahar
di bayar atas dasar asas kesederhanaan yang sekiranya calon suami mampu
melaksanakannya.9

G. Pengertian Hak dan Kewajiban

9
M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit., hlm. 185; H. Abd.Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93.

7
Dalam bahasa latin untuk menyebut hak yaitu dengan ius, sementara dalam istilah
Belanda digunakan istilah recht. Bahasa Perancis menggunakan istilah droit untuk menunjuk
makna hak. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah law untuk menunjuk makna hak.

Secara istilah pengertian hak adalah kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang


untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu. Sementara menurut C.S.T Cansil hak adalah izin
atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Menurut van Apeldoorn hak
adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum tertentu,
dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan. Dalam pengertian ini, C.S.T. Cansil
membagi hak ke dalam hak mutlak (hak absolut) dan hak relative (hak nisbi).

1. Hak Mutlak (hak absolut)

Hak mutlak adalah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan, hak mana bisa dipertahankan kepada siapapun juga, dan
sebaliknya setiap orang harus menghormati hak tersebut.

Sementara itu macam-macam hak mutlak dibagi ke dalam tiga golongan:

a. Hak Asasi Manusia

b. Hak Publik Mutlak

c. Hak Keperdataan

Sedangkan macam-macam hak keperdataan yaitu antara lain sebagai berikut:

a. Hak Marital

b. Hak/Kekuasaan Orang Tua

c. Hak Perwalian

d. Hak Pengampuan

2. Hak Relatif (hak nisbi)

Hak relatif adalah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang tertentu atau
beberapa orang tertentu untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang lain
tertentu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

8
Sedangkan kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti keharusan untuk berbuat
sesuatu. Jadi pengertian kewajiban yaitu sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang oleh
karena kedudukannya. Kewajiban timbul karena hak yang melekat pada subyek hukum.10

H. Macam-macam Hak Antara Suami dan Istri

Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak bersama, hak
isteri yang menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri.

1. Hak-hak Bersama

Hak –hak bersama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut :

a. Halal bergaul antara suami-isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu


sama lain.

b. Terjadi hubungan mahram semenda; isteri menjadi mahram ayah suami,


kakeknya, dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu isteri, neneknya,
dan seterusnya ke atas.

c. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah
dilaksanakan. Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami
berhak waris atas peninggalan isteri, meskipun mereka belum pernah melakukan pergaualan
suami-isteri.

d. Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi
sebagai hasil hubungan setelah nikah).

e. Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang
harmonis dan damai. Dalam hubungan ini Q.S. An-Nisa:19 memerintahkan,

... ) 19: ‫ (النسا‬... ‫َو َعاِش ُر ُهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِف‬

“Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik……”

Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-Undang Perkawinan


menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami isteri wajib cinta-mencintai, hormat-
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”

10
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Depok: GemaInsani), 674.

9
2. Hak-hak Isteri

Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan,
yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil di
antara para isteri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan isteri dan
sebagainya.

a. Hak-hak Kebendaan

Ø Mahar (Maskawin)

Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin kepada perempuan-


perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati
memberikan sebagian maskawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai makanan yang sedap
lagi baik akibatnya.”

Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa maskawin itu
adlah harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan merupakan hak penuh bagi isteri
yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin
apabila diberikan oleh isteri dengan sukarela.

Ø Nafkah

Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan isteri, meliputi
makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun isteri
tergolong kaya.

Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri dimana kamu tinggal


menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan isteri-isteri untuk menyempitkan hati
mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah
kepada mereka hingga bersalin … “ Ayat berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan, “ Orang
yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang yng kurang
mampu pun supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya; Allah tidak akan
membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya ….”

Hadits riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji wada’. Antara lain
sebagai berikut, “….. Takuttlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban terhadap isteri-
isteri; itu tidak menerima tamu orang yang tidak engkau senangi; kalau mereka

10
melakukannya, boleh kamu beri pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai;
kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan isteri mengenai makanan dan pakaian dengan
makruf.”

b. Hak-hak Bukan Kebendaan

Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya,


disimpulkan dalam perintah Q.S. An-Nisa: 19 agar para suami menggauli isteri-isterinya
dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada isteri.

Menggauli isteri dengan makruf dapat mencakup:

Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta


meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan
yang diperlukan.

Hadits riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan,
“Orang-orang mukmin yang paling baik budi perangainya, dan orang-orang yang paling baik
di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isteri-isterinya.”

Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah, hendaknya suami selalu
berusaha agar isteri mengalami peningkatan hidup keagamaannya, budi pekertinya, dan
bertambah pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi
hak isteri, misalnya melaui pengajian-pengajian, kursus-kursus, kegiatan kemasyarakatan,
bacaan buku, majalah, dan sebagainya.

ii. Melindungi dan menjaga nama baik isteri

Suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak
berarti bahwa suami harus menutupi-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada isteri.
Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan kesalahan-kesalahan
isteri kepada orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal yang tidak benar, suami setelah
melakukan penelitian seperlunya, tidak apriori, berkewajiban memberikan keterangan-
keterangan kepada pihak-pihak yang melontarkan tuduhan agar nama baik isteri jangan
menjadi cemar.

Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri

11
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib
memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan
anatara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam
masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam hidup perkawinan; bahkan tidak jarang
terjadi penyelewengan isteri disebabkan adanya perasaan kecewa dalam hal ini.

3. Hak-hak Suami

Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal
yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan cara
yang baik dan layak dengan kedudukan suami isteri.

a. Hak Ditaati

Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban


memimpin kaum perempuan (isteri) karena laki-laki mempunyai kelebihan atas kaum
perempuan (dari segi kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah
untuk keperluan keluarganya. Isteri-isteri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan
kepada suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun
suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-
suami mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya
kepada isteri-isteri itu.

b. Hak Memberi Pelajaran

Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran
suami bahwa isterinya bersikap membangkang (nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik.
Apabila dengan nasihat, pihak isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur
dengan isteri. Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member pelajaran
dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).11

Hadits Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Zam’ah mengatakan,


“Apakah salah seorang di antara kamu suka memukul isterinya seperti ia memukul budak
pada siang hari, kemudian pada malam hari mengumpulinya.”

I. Hak dan kewajiban suami istri dalam UU perkawinan dan kompilasi hukum
Islam (KHI)
11
Ibid 675

12
Hak dan kewajiban suami istri dalam UU Nomor 1 tahun 1974 terdapat dalam Bab VI
PASAL 30-34. Dalam Pasal 30 disebutkan, "suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendiri dasarb dari susunan masyarakat".

dalam pasal 31 dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban suami istri, yaitu:

1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

2. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

3. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

Pasal 32 menyatakan bahwa:

1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

2. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan
oleh suami istri bersama.

Pasal 33 menyatakan bahwa, "suami istri wajib saling mencintai, hormat


menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain".

Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:

1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

3. Jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan


gugatan kepada pengadilan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami isteri dijelaskan secara rinci
sebagai berikut

Bagian satu, Umum adalah Pasal 77 yang berisi pasal-pasal yang sama materinya
dengan pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 1/1974 pasal 30-34.

Bagian kesua, kedudukan suami istri Pasal 78 yang menyebutkan:

13
1. Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga.

2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Bagian ketiga, kewajiban suami pada Pasal 80 menyebutkan :

1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri.

2. Suami wajib melindungi istrinya dan memeberikan segala sesuatu keperluan


hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi


kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.

4. Sesuai dengan penghasilan suami menggung:

a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi istri dan anak.

c. Biaya pendidikan bagi anak

1. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b
di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dan isterinya.

2. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya


sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

3. Kewajiban suami sebagaimana di maksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyud.

Pasal 83

a. Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir batin kepada suami di
dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.

b. Isrti menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari


dengan sebaik-baiknya.12
12
Bid 676-678

14
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah


pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk

15
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda
maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).

Adapun syarat-syarat mahar yaitu: harta/bendanya berharga, barangnya suci dan bisa
diambil manfaat, barangnya bukan barang gasab, dan bukan barang yang tidak jelas
keadaannya.

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya.

Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau
dibayar kontan sebagiamana dan utang sebagian. Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada
dua macam, yaitu: mahar musamma dan mahar mitsli.

Hak adalah kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau


berbuat sesuatu. Sedangkan pengertian kewajiban yaitu sesuatu yang harus dilakukan oleh
seseorang oleh karena kedudukannya. Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu hak bersama, hak isteri yang menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang
menjadi kewajiban isteri.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4.

Mujid, Abdul. dkk, Kamus Istilah Fikih,Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Muhktar,Kamal,Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,


1994.

16
Hasan, Mustofa. Pengantar Hukum Keluarga, Bandung : CV Pustaka Setia, 2011.

Al-Fauzan, Saleh.Fiqh Sehari-hari, Depok: GemaInsani,

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.

Daradjat , Zakiyah, dkk, Ilmu Fiqh, Jakarta: Depag RI, 1985.

Ghazali, Abdurrahman.Fiqih MunakahatJakarta, Prenada Media, 2003.

17

Anda mungkin juga menyukai