Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“SYARAT DAN RUKUN PERNIKAHAN”

Mata kuliah : Fiqih Munakahat


Dosen pengempu : Rohmadi, S.Ag, MA

Disusun oleh :
Novia Wulandari (2011110071)
Veni Hendrawasi (2011110075)
Raihan Fahrezi (2011110083)

KELAS 3 C
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
(UINFAS) BENGKULU
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
nya sehingga saya dapat dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Syarat dan Rukun Pernikahan tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari Bapak Rohmadi, S.Ag, MA pada mata kuliah Fiqih Munakahat. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Syarat dan
Rukun Pernikahan bagi para pembaca dan juga penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rohmadi, S.Ag, MA selaku


dosen mata kuliah Fiqih Munakahat. yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, 01 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................... iii
BAB I ............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG PEMBAHASAN ................................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................................................... 1
C. TUJUAN ............................................................................................................................... 1
BAB II .............................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 2
A. SYARAT DAN RUKUN PERNIKAHAN ............................................................................. 2
B. SIGHAT (IJAB & QOBUL) .................................................................................................. 4
C. WALI .................................................................................................................................... 5
D. SAKSI ................................................................................................................................... 7
E. MAHAR ................................................................................................................................ 8
BAB III ........................................................................................................................................... 10
PENUTUP ...................................................................................................................................... 10
A. KESIMPULAN ................................................................................................................... 10
B. SARAN ............................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PEMBAHASAN

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia.
Untuk melangsungkan sebuah pernikahan yang sah, perlu diketahui rukun dan syarat-
syaratnya. Oleh sebab itu makalah ini secara ringkas akan membahas tentang rukun dan
syarat pernikahan, yang saat ini banyak perselisihan tentang apa saja rukun dan syarat
pernikahan, dan bagai mana pula rukun dan syarat pernikahan itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan Syarat dan Rukun Pernikahan ?
2. Menjelaskan Apa Itu Shighat (Ijab dan Qobul) ?
3. Menjelaskan Apa Itu Wali ?
4. Menjelaskan Apa Itu Saksi ?
5. Menjelaskan Apa Itu Mahar ?

C. TUJUAN
1. Mampu Memahami Syarat dan Rukun Pernikahan
2. Mampu Memahami Apa Itu Shighat (Ijab dan Qobul)
3. Mampu Memahami Apa Itu Wali
4. Mampu Memahami Apa Itu Saksi
5. Mampu Memahami Apa Itu Mahar

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. SYARAT DAN RUKUN PERNIKAHAN

Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat yang harus di penuhi.
Menurut bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan
syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan1
Secara istilah rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan tersebut dan
ada atau tidaknya sesuatu itu. sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya
keberadaan hukum syar’I dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaanya menyebabkan
hukum itupun tidak ada. Dalam syari’ah rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau
tidaknya suatu transaksi. Perbedaan rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqih, bahwa rukun
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di dalam hukum
itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum
tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi
rukun dan syarat2
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, apabila syarat-syarat
terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami
istri.
Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua :
a. Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri ( UU
RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 )
b. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi. 3

-Syarat-syarat kedua mempelai

a. Calon mempelai laki-laki


Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami berdasarkan
ijtihad para ulama yaitu :
- Calon suami beragama Islam
- Terang ( jelas ) bahwa calon suami itu betul laki-laki
- Orangnya diketahui dan tertentu
- Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri
- Calon laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istri halal baginya
- Calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
- Tidak sedang melakukan ihram
- Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
- Tidak sedang mempunyai istri empat. ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1 ) 4
b. Calon mempelai perempuan
-Syarat bagi mempelai perempuan yaitu :
-Beragama Islam.
-Terang bahwa ia wanita

1
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal.45-46
2
Gemala dewi SH, Dkk. Hukum perikatan islam Indonesia. (Jakarta : kencana, 2005) Hal.49-50
3
Ibid. Hal.49
4
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal.50

2
-Wanita itu tentu orangnya
-Halal bagi calon suami (UU RI No. 1 Tahun 1994 Pasal 8)
-Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah
-Tidak dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
-Tidak dalam ihram haji atau umrah5

- Rukun nikah

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :


1.) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan
2.) Adanya wali dari pihak wanita
3.) Adanya dua orang saksi
4.) Sighat akad nikah6

Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat :


a.) Imam malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :
- Wali dari pihak perempuan
- Mahar (mas kawin)
- Calon pengantin laki-laki
- Calon pengantin perempuan
- Sighat aqad nikah7
b.) Imam syafi’I mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :
- Calon pengantin laki-laki
- Calon pengantin perempuan
- Wali
- Dua orang saksi
- Sighat akad nikah8
c.) Menurut ulama khanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul.
d.) Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat :
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat karena calon pengantin laki-laki dan
calon pengantin perempuan di gabung satu rukun :
- Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan
- Adanya wali
- Adanya dua orang saksi
- Dilakukan dengan sighat tertentu9

5
Ibid.Hal.55
6
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010) Hal.46
Dr. Abdul Ghani Abdullah,SH. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. ( Jakarta : Gema Insani
Press, 1994 ) Hal. 81
7
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Op.cit. Hal.48
8
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Op.cit. Hal.48
9
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010) Ha.46-48

3
B. SIGHAT (IJAB & QOBUL)

Ijab adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diawali oleh wali.
Hakikat dari ijab adalah sebagai pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk
mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai suami sah. Qabul adalah pernyataan
penerimaan dari calon penganitn laki-laki atas ijab calon penganuitn perempuan. Bentuk
pernyataan penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas yang memberikan
pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas ijab perempuan. 10 Perkawinan wajib
ijab dan Kabul dilakukan dengan lisan, inilah yang dinamakan akad nikah. Bagi orang
bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa difahami.

Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya sedangkan Kabul
dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Menurut pendapat khanafi boleh juga
dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh pihak perempuan
(wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh
sebaliknya.

Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang lama antara
ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing
ijab dan qabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Khanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul asal masih dalam satu majelis dan
tidak ada yang menunjukkan hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari
maksud akad tersebut.

Lafadz yang digunakan akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang
terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat didalam
kitabullah dan sunnah. Demikian menurut Asy-Syafi’I dan Hambali. Sedangkan khanafi
membolehkan kalimat yang lain yang tidak dengan Al-Qur’an misalnya dengan kalimat
hibah, sedekah, pemilikan, dan sebagainya. bahasa sastra atau biasa yang artinya
perkawinan. 11

10
Gemala dewi, SH, Dkk. Hukum perikatan islam Indonesia. (Jakarta : kencana, 2005) Hal.63
11
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal. 56-59

4
C. WALI

Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan tanpa
wali tidaklah sah.12 Berdasarkan sabda Nabi SAW :

ِ ‫ب اْ الو ِل‬
)‫يى (رواه الخمسى‬ ِ ‫اَل نِ اكا اح ا اَِل‬
“tidak sah pernikahan tanpa wali”
‫اط ُل فاإِ ْن‬
ِ ‫اط ٌل فانِ اكا ُح اهابا‬ ِ ‫اط ٌل فانِ اكا ُح اهابا‬ ْ ‫ااي اماا ْم ارأاةٍ نا اك اح‬
ِ ‫ت بِغاي ِْرإِ ِد ِن او ِليِ اهافانِ اكا ُح اهابا‬
ٌّ ‫ى ام ْن َلا او ِل‬
‫ى‬ ُ ‫ط‬
ٌّ ‫ان او ِل‬ ‫س ْل ا‬ ْ ‫دا اخ ال بِ اها فالا اهااْال ام ْه ُر بِ اما ْستا اح ال ِم ْن‬
ُّ ‫فر ِج اهافاإِ ِن ا ْستا اج ُر ْوافاال‬
)‫لاهُ (رواه الخمسة اَل النسا ئى‬
“perempuan siapa saja yang menikah tanpa izin walinya perkawinannya itu batal,
perkawinannya itu batal, perkawinannya itu batal. Apabila sang suami telah melakukan
hubungan seksual, siperempuan itu berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang
telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu, apabila wali itu enggan, sultanlah
yang bagi wali apabila ia tidak ada walinya” (HR. Al-Khomisah kecuali An-Nasaiy)13

Khanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh
dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wajib dihadiri oleh dua
orang saksi. Sedangkan malik berpendapat, wali adalah syarat untuk mengawinkan
perempuan bangsawan bukan untuk mengawinkan perempuan awam.
Anak kecil, orang gila, dan budak tidak mendapat wali. Bagaimana mereka akan menjadi
wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.
Abu khanifah dan abu yusuf berpendapat tentang akad nikah perempuan yang berakal dan
sudah dewasa sebagai berikut :
“sesungguhnya seorang perempuan yang berakal dan dewasa berhak mengurus
langsung akan dirinya sendiri, baik ia gadis ataupun janda,… akan tetapi yang disukai
adalah apabila ia menyerahkan akad perkawinannya kepada walinya, karena menjaga
pandangan yang merendahkan dari laki-laki lain apabila dia melakukan sendiri akad
nikahnya.
Akan tetapi bagi walinya yang ashib (ahli waris) tidak berhak menghalanginya,
kecuali apabila ia melakukan perkawinan dirinya sendiri itu dengan orang yang tidak
kufu’ (tidak sepadan) atau apabila maskawinnya lebih rendah dari pada mahar mitsil
Bahkan apabila ia mengawini diri sendirinya itu dengan orang yang tidak kufu (tidak
sepadan) dan tanpa keridhoan walinya yang ‘ashib, yang diriwayatkan oleh abu khanifah
dan abu yusuf adalah ketidak sahan perkawinan itu, sebab tidak semua wali baik dan
dapat mengajukan pengaduan kepada hakim, dan tidak semua hakim memberikan
keputusan dengan adil, karena itulah mereka berfatwa ketidak sahan perkawinan yang
demikian itu untuk mencegah adanya perselisihan.
Menurut riwayat yang lain wali juga berhak menghalangi perkawinan yang demikian
itu dengan cara meminta kepada hakim agar memisahkannya, karena menjaga aib yang
12
Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 1992). Hal.602
13
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal.59

5
mungkin timbul selagi si istri itu belum melahirkan dari suaminya atau belum nyata
mengandung, sebab apabila sudah demikian keadaanya gugurlah haknya untuk meminta
perceraiannya dengan maksud agar tidak terlantarlah sianak dan untuk menjaga
kandungan.
Dan apabila suaminya kufu, sedang maharnya lebih rendah dari mahar mitsil,
apabila wali dapat menerima akad boleh berlangsung, tetapi apabila wali tidak dapat
menerima ia dapat mengajukan kepada hakim agar hakim memfasakhkan perkawinan
tersebut.
Akan tetapi apabila si perempuan tidak mempunyai wali ashib, misalnya ia tidak
mempunyai wali sama sekali atau mempunyai wali tetapi bukan wali ‘ashib siapapun
tidak berhak menghalang-halangi perempuan tersebut untuk melakukan akadnya, baik itu
ia kawin dengan seorang laki-laki yang kufu’ ataupun tidak kufu, dengan mahar mitsil
ataupun bahkan dengan mahar yang lebih rendah dari mahar mitsil, sebab dengan
keadaan yang demikian segala sesuatu kembali kepadanya dan berada pada tanggung
jawab ia sepenuhnya. Dan lagi ia sudah mempunyai wali yag akan tertimpa oleh aib
karena perkawinannya dengan lelaki yang tidak kufu tersebut, dan juga maharnya telah
gugur lantaran iapun sudah lepas dari kewenangan wali-walinya (fiqhus sunnah, as-
sayid sabiq, hal. 10-11 juz VII cet. 1968/1388)14
Wali hendaknya menanyakan calon mempelai perempuan, berdasarkan hadits berikut
ini :
‫ب ا ا اح ُّق بِنا ْف ِس اها ِم ْن‬
ٌ ِ‫ االثاي‬: ‫س ْو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم قا ا ال‬ ُ ‫ااس اا ان ار‬ْ ‫اع ْن اِ ْبنُ اعب‬
‫ص امات ُ اها (رواه الجماعة اَل البخاروفي رواية‬ ُ ‫او ِليِ اه ااواْلبِ ْك ُر ت ُ ْستاأْدا نُ فِ ْي نا ْف ِس اها او ِإ ْدنُ اها‬
‫َلاحمد وابى داود والنسا ئى) اْل ِب ْك ٌريا ْستاأْ ِم ُرهاا‬
“Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rosulullah SAW berkawa : janda itu lebih berhak atas
dirinya, sedangkan seorang gadis hendaklah diminta izinnya dan izin gadis itu adalah
diamnya.”diriwayatkan oleh jam’ah kecuali bukhori, sedang didalam riwayat Ahmad,
Muslim, Abu Dawud dan An Nasaiy dikemukakan :
‫اواْلبِ ْك ُرياسْتأ ْ ِم ُرهااأابُ ْوهاا‬
“dan gadis hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya”
Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :
a.Bapak
b. Kakek dan seterusnya keatas
c. Saudara laki-laki sekandung/seayah
d. Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah
f. Paman sekandung/seayah
g. Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah
h. Saudara kakek
i. Anak laki-laki saudara kakak15

14
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, MA. Fiqih Munakahat. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2010)Hal.59-64
15
Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 1992). Hal.602

6
Dalam pernikahan ada beberapa macam wali yaitu :
a.) Wali mujbir yaitu wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu keridhoan yang
dikawinkan itu.
b.) Wali nasab yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga dengan calon
pengantin perempuan. wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman
beserta keturunnnya menurut garis patrilineal.
c.) Wali hakim. 16
4.) Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh,
melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah 17
Menurut golongan khanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua
orang perempuan. Dan menurut khanafi boleh dua orang buta atau dua orang fasik. Orang
tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi.
Sebagian besar ulama berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan.
Karena itu perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat
syafi’I, khanafi, hanbali.

D. SAKSI

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, melihat,
berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah 18

Menurut golongan khanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua
orang perempuan. Dan menurut khanafi boleh dua orang buta atau dua orang fasik. Orang
tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi.

Sebagian besar ulama berpendapat saksi merpakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu
perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat syafi’I, khanafi,
hanbali.

16
Ibid. Hal.603 Dr. Abdul Ghani Abdullah,SH. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. ( Jakarta
: Gema Insani Press, 1994 ) Hal. 83
17
Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 1992). Hal.604
18 Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok hukum Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 1992). Hal.604

7
E. MAHAR
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum
wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin
yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu
harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqih sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh
suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus
sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan. Para ulama sepakat bahwa
mahar merupakan syarat nikah dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya.
19

Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan
diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli
seperti barang. Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat
harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga
dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan
tidak dianggap sebagai barang yang diperjual belikan, sehingga perempuan tidak berhak
memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun dengan semena-mena boleh
menghabiskan hak-hak kekayaannya.20

Dalam syariat Islam, wanita diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-
laki membayar mahar jika menikahinya. Pengangkatan hak-hak perempuan pada zaman
Jahiliyah dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak perempuan lainnya
yang sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana adanya hak waris dan hak menerima wasiat.
21

Salah satu keistimewaan Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan


wanita, yaitu dengan memberikan hak untuk memegang dan memiliki sesuatu. Setelah itu,
Islam datang dengan menghilangkan belenggu tersebut, kemudian istri diberi hak mahar (
maskawin), dan kepada suami diwajibkan untuk memberikan mahar kepada istrinya, bukan
kepada ayahnya atau siapapun yang dekat denganya. Dan orang lain tidak boleh meminta
harta bendanya walaupun sedikit, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan
mendapatlkan ridho kerelaan istri. 22
Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami kepada istrinya, sebagai tanda keseriusan
laki-laki untuk menikahi dan mencintai perempuan, sebagai lambang ketulusan hati untuk
mempergaulinya secara ma’ruf.23

19
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: M. A. Abdurrahman dan A. Harits Abdullah, Semarang: CV.
Asy. Syifa’, 1990, hlm. 385.
20
Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Cet 1. Jakarta: Pena Pundi Aksara 2006.hlm. 40
21
Amin Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Prenada Media,cet 1.2004) hlm. 54
22
Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat,”seri buku daras”, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 84-85.
23
Muhammad Husain, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogjakarta: LKIS 2001, hlm.108-
109.

8
Firman Allah dalam Al-Qur’an :

‫اوا ْبتالُوا ْاليا ٰتمٰ ى احت ّٰ ٓى اِذاا بالاغُوا النِ اكا َۚ اح فاا ِْن ٰانا ْست ُ ْم ِم ْن ُه ْم ُر ْشدًا فاا ْدفاعُ ْٓوا اِلا ْي ِه ْم ا ا ْم اوالا ُه ْم َۚ او اَل‬
‫ف َۚ او ام ْن اكانا فا ِقي ًْرا فا ْلياأ ْ ُك ْل‬ ْ ‫ارا اا ْن يا ْكبا ُر ْوا ۗ او ام ْن اكانا اغنِيًّا فا ْليا ْستا ْع ِف‬ ً ‫تاأ ْ ُكلُ ْو اها ٓ اِس اْرافًا او ِبدا‬
‫اّٰللِ اح ِس ْيبًا‬ ِ ‫ِب ْال ام ْع ُر ْو‬
ّٰ ‫ف ۗ فا ِاذاا دافا ْعت ُ ْم اِلا ْي ِه ْم اا ْم اوالا ُه ْم فاا ا ْش ِهد ُْوا اعلا ْي ِه ْم ۗ او اك ٰفى ِب‬

Artinya : Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim)
melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum
mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah
dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta
itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai
pengawas. (Q.S An-Nisa’:4).24

Di dalam hadist juga dijelaskan tentang pemberian mahar, Rasullah bersabda Artinya
: “Kawinlah engkau walaupun dengan mas kawin cincin dari besi” (HR. Bukhori). Maksud
dari ayat dan hadist di atas jelaslah bahwa mahar adalah pemberian calon suami kepada
calon istri baik berbentuk barang, uang atau jasa, yang tidak bertentangan dengan hukum
islam. Untuk itu mahar adalah hubungaan yang menumbuhkan tali kasih sayang dan saling
mencintai antara suami istri25.
Mahar termasuk keutamaan dalam agama Islam dalam melindungi dan memuliakan
kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar
perkawinan yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena
pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. 26

24
Tim DISBINTALAD, Al-Qur’an Terjemah Indonesia, Jakarta: P.T. Sari Agung, 2005, Cet. 10, hlm. 141.
25
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm. 83
26
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hlm.38

9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat
adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan. Menurut
jumhur ulama rukun pernikahan sendiri ada lima yaitu adanya calon suami dan istri yang
akan melakukan pernikahan, adanya wali dari pihak wanita, adanya dua orang saksi,
sighat akad nikah ( yang masing-masing rukun memiliki syarat-syarat tertentu ). Dan
syarat sah pernikahan pada garis besarnya ada dua yaitu calon mempelai perempuan halal
dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri, akad nikahnya dihadiri oleh para
saksi.

B. SARAN

Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan. Harapan kami untuk
mengembangkan potensi yang ada dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa difahami
oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya
dari Bapak dosen yang telah membimbing kami dan para Mahasiswa demi kesempurnaan
makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ghozali, Abdul Rahman.2010. Fiqih Munakahat. Jakarta : Kencana Prenada Media

Sudarsono .1922. Pokok-Pokok hukum Islam. Jakarta : Rineka Cipta

Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. 1983. Ilmu Fiqih Jilid II.
Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam

Abdullah, Abdul Ghani.1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia. Jakarta : Gema Insani Press

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1994

http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3744/2/092111069_Bab1.pdf

11

Anda mungkin juga menyukai