Anda di halaman 1dari 13

KARYA TULIS ILMIAH

“ Syarat Nikah ”

Dosen Pengampu:
Al-Hudori, M.Pd.

Nama Kelompok:

Tohari Saputra (201210293)


Indo Dini Aulia (201210309)
Yulia Alhusna (201210305)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang "Fantasi".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak
akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik


dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh
karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Jambi, 25 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2
A. Syarat Sah Nikah .............................................................................................. 2
B. Rukun Dan Syarat Pernikahan Menurut Ulama Mazhab ............................... 5
C. Analisis Syarat Dan Rukun Dalam Akad Nikah.............................................. 7
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 9
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 9
B. Saran ................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syarat merupakan sesuatu yang bergantung pada sah atau tidak
sahnnya suatu ibadah dan dia berada di luar ibdah tersebut. Jika sesuatu itu
ada, maka sah ibadahnya; dan jika tidak ada, maka tidak sah ibadahnya.
Misalnya, keharusan adanya wudhu ketika hendak melakukan shalat.
Sementara rukun merupakan sesuatu yang bergantung kepadanya sah suatu
ibadah dan sesuatu tersebut bagian dari ibadah itu sendiri. Misalnya dalam
masalah wudhu, membasuh muka merupakan rukun wudhuk; dan dalam
masalah ibadah shalat, takbiratul ihram merupakan rukun shalat. Jadi, bila
melakukan wudhu tanpa membasuh muka, maka wudhuk tersebut tidak sah;
bila mengerjakan shalat tanpa mengerjakan takbiratul ihram, maka shalat
tersebut tidak sah. Demikian pula halnya terkait syarat dan rukun dalam
perkara nikah, meskipun ada sedikit yang berlainan. Di mana ada hal tertentu
dianggap syarat sah nikah, sementara ulama lain menganggapnya syarat
nikah; dan ulama lainnya menganggapnya rukun nikah
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang termasuk syarat sah nikah?
2. Apa Rukun dan Syarat Pernikahan Menurut Ulama Mazhab?
3. Menganalisis Syarat dan Rukun Dalam Akad Nikah?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Syarat Sah Nikah.
2. Mengetahui Rukun dan Syarat Pernikahan Menurut Ulama Mazhab.
3. Mengetahui Analisis Syarat dan Rukun Dalam Akad Nikah.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat Sah Nikah
Syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila
syarat-syaratnya terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan adanya
segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang
bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon
mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan
dalam penyusunan syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari’at islam
menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai
yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
Dalam kitab fiqih dikatakan bahwa untuk melaksanakan pernikahan mesti
ada syarat dan rukun perkawinan, yaitu:
a. Calon Mempelai
Calon mempelai adalah orang yang halal dikawini, bukan orang yang haram
untuk dikawini, baik haram untuk selama-lamnaya maupun untuk sementara
waktu. Calon mempelai merupakan syarat mutlak dalam pernikahan, karena
tanpa calon mempelai tentunya tidak akan ada pernikahan1
1) Syarat mempelai pria
Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
calon suami berdasarkan ijitihad dan ijma’ ulama, yaitu:
a) Beragama Islam
b) Laki-laki
c) Halal untuk dikawini (tidak mahram)
d) Tidak terpaksa untuk melakukan pernikahan
e) Tidak sedang melakukan ihram
f) Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isterinya
g) Tidak sedang memiliki empat orang isteri2.

1
Muhammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996 ), cet ke-1 hal :
51
2
Mat Saad Abdul Rahman, Undang-undang keluarga islam dan peraturan perkawinan, (Selangor :
Intel Multimedia And Publication , 2007 ), cet ke-2 Hal. 21

2
2) Syarat Mempelai Wanita
a) Beragama Islam dan ahli kitab
b) Wanita bukan khutsa (banci)
c) Halal bagi calon suaminya
d) Tidak dalam perkawinan dan tidak sedang menjalani masa iddah
e) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah3.
b. Wali Nikah
Pernikahan dilangsungkan oleh wali mempelai pihak perempuan atau
wakilnya dengan calon suaminya atau wakilnya. Adapun syarat menjadi wali
nikah adalah:
1) Hendaklah laki-laki
2) Muslim
3) Baligh
4) Berakal
5) Adil dan tidak fasik4

Dalam pernikahan hendaklah ada seorang wali nikah. Karena menurut


sebahagian ulama tidak sah nikah tanpa seorang wali. Hal ini tergambar
dalam sebuah hadis Rasulullah:

‫اح إيَل بيَويل‬ ‫عن اَيِب موسى أَن النيِب صلى هللا علَي يه وسلم قَ َ ي‬
َ ‫ال ََل ن َك‬ َ ََ َْ َ ْ َ ُْ ْ َ

Artinya:“Diriwayatkan oleh Abu Musa al Asy'ari, ia berkata, sesungguhnya


Rasulullah SAW bersabda: tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali (HR:
Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi)5”.

Yang paling utama kedudukannya sebagai wali nikah untuk mempelai


perempuan adalah ayah kandung, karana ia memiliki hak-hak yang
sempurna dan merupakan wali mujbir (yang memiliki hak pakasa) bagi anak

3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Berut: Dar al-Fikr, 1983), jilid-2 cet ke-4. hlm: 48.
4
Ibid, hlm: 25.
5
Halil Ahmad al-Saharunfuri, Badl al-majhud Fi Hall Abi Daud, ( Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah,
2007), jilid 8-10, cet ke-1, hlm: 52.

3
gadisnya. Jika ayah kandung tidak mungkin melaksanakan hak perwaliannya
itu barulah beralih pada pihak yang lain.
Peralihan hak wali dari ayah kepada yang lain terdapat dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama beralih pada wali nasab yang lain, seperti beralih pada
kakek, (ayah dari ayah). Sedangkan kemungkinan kedua yaitu beralih pada
wali hakim (penguasa).

c. Dua Orang saksi


Para fuqaha’ sepakat bahwa saksi dalam majlis akad nikah tidak bisa
diabaikan dalam arti bahwa saksi manjadi bagian penting dalam akad nikah.
Menurut pendapat Mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, saksi merupakan syarat
mutlak dalam akad nikah. Artinya apabila dalam akad nikah tidak dihadiri oleh
dua orang saksi maka akad nikahnya batal, karena saksi merupakan salah
satu rukun nikah.
Saksi dalam akad nikah haruslah memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Laki-laki
2) Muslim
3) Baligh
4) Berakal
5) Mardeka
6) Melihat dan mendengar serta mengerti dan paham akan maksud akad
nikah6.

Dengan demikian diwajibkannya adanya saksi dalam akad nikah adalah


untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat. Misalnya salah satu
pihak mengingkari akad nikah, maka hal ini dapat dihindari dengan adanya
saksi dalam akad nikah, atau bila terjadi sengketa pernikahan dikemudian
hari.

6
Sayyid Sabiq, op-cit. hlm; 53.

4
d. Ijab Qabul (sighat nikah)
Pernikahan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Karena
kata ijab kabul inilah dikatakan dengan akad nikah. Bagi orang bisu maka ijab
kabulnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami7.
Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang
lama antara ijab dan kabul yang dapat merusak kesatuan dan kelangsungan
akad.
Lafadz ijab kabul yang digunakan dalam akad nikah adalah lafadz ankaha
atau tazwij yang terjemahannya adalah nikah atau kawin. Karena kata-kata
itu yang terdapat dalam kitabullah, demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan
Hanbali. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi boleh dengan kata-kata
sedekah, hibah, dan pemberian. Karena kata ini merupakan majas dari kata
nikah.
Ijab adalah perkataan yang menunjukkan kehendak pihak pertama
(diucapkan wali pihak perempuan). Sedangkan kabul adalah persetujuan
pihak kedua terhadap isi kehendak pihak pertama (diucapkan oleh suami).
Meskipun pembicaraan ijab dan qabul ini diletakkan pada akhir
pembahasan mengenai rukun nikah, namun kedudukannya merupakan hal
yang terpenting dalam akad nikah. Karena meskipun rukun nikah yang lain
telah terpenuhi, tapi tanpa adanya ijab dan kabul akad nikah tidak akan
terlaksana. Karena dengan kata-kata ijab kabul itulah ikatan perjanjian untuk
menikah itu terjadi.
B. Rukun dan Syarat Pernikahan Menurut Ulama Mazhab
a. Mazhab Malikiyah
Menurut mazhab Malikiyah bahwa rukun –rukun nikah ada lima, yakni:
1. Wali dari wanita
2. Shidaq atau mahar
3. Suami tidak sedang ihram
4. Isteri tidak sedang ihram atau tidak sedang dalam iddah dan
5. Shighat (ijab dan qabul).
Menurut mereka, rukun adalah sesuatu yang tidak akan ada esensi
syar’iyah (al-mahiyatu al-syar’iyyah) kecuali dengan adanya. Maka, akad

7
Dahlan Idhamy, Asas-asas Fiqih Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: alIkhlas, 1994). cet
ke-2. hlm: 16.

5
nikah tidak akan terbentuk, kecuali dengan adanya kedua belah pihak yang
berakad, yaitu suami dan wali; dan tidak akan terbentuk kecuali dengan
adanya ma’qud ‘alaih, yakni wanita dan maskawin; dan tidak akan
terbentuk kecuali dengan adanya shighat, yakni lafaz atau kata-kata yang
dengannya menegaskan pernikahan menurut syara’. Adapun tidak
menyebutkan mahar dalam akad itu tidak mengapa, karena
keberadaannya sebagai rukun dilihat dari sudut sesuatu yang tidak boleh
tidak ada (ma la budda minhu)8. Dari rukun-rukun yang telah disebutkan,
maka tidak ada di dalamnya saksi. Dengan demikian, saksi bukan rukun
menurut mazhab ini.
b. Mazhab Syafi’iyyah
Dalam mazhab syafi’i rukun-rukun pernikahan terdiri dari lima rukun juga,
yakni:
1. Suami
2. Isteri
3. Wali
4. Dua orang saksi, dan
5. Shighat.
Para imam mazhab syafi’iyah menggolongkan dua saksi ke dalam bagian
syarat nikah. Mereka beralasan karena saksi berada diluar esensi akad
(mahiyatul aqdi) nikah. Hikmah menetapkan dua saksi sebagai satu rukun
tersendiri, sementara suami-isteri sebagai satu rukun untuk masing-
masingnya, bahwa syarat-syarat dua orang saksi sama, sedangkan syarat-
syarat suami dan isteri berbeda9.
Menurut mereka, syarat-syarat pernikahan sebagiannya berhubungan
dengan shighat, sebagian dengan wali, sebagian dengan suami-isteri dan
sebagian lagi berhubungan dengan saksi10.
Dari ketentuan rukun-rukun di atas, maka tidak tersebut mahar. Dengan
demikian, mahar bukan rukun nikah menurut mereka.

8
Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah,
tahun 2010, Cet. 4, Jil. 2, hal. 712.
9
Ibid. hal. 712
10
Ibid. hal 715.

6
c. Mazhab Hanafiyyah
Menurut mereka, ada beberapa syarat nikah yang sebagiannya
berhubungan dengan shighat, sebagiannya berhubungan dengan dua pihak
yang melakukan akad, dan sebagian lagi berhubungan dengan saksi 11. Wali
nikah menurut mazhab ini bukanlah syarat sah nikah. Abu Hanifah, Zufar, Al-
Sya’bi dan Al-Zuhri, mereka berpendapat bahwa apabila seorang wanita
melakukan akad nikah untuk dirinya tanpa wali, dengan laki-laki yang kuf-ah,
maka hukumnya boleh12.
Dari itu, dapat disimpulkan bahwa rukun nikah menurut mereka ada tiga, yakni
(1). Sighat (akad)
(2). Dua pihak yang berakad
(3). Saksi.
Berarti menurut mereka, mahar dan wali bukan rukun nikah dan bukan syarat.
d. Mazhab Hanabilah
Menurut mazhab Hanabilah bahwa dalam pernikahan ada empat syarat yakni:
(1).Tertentu suami-isteri
(2).Kemauan sendiri dan rela (al-ikhtiyar wa al- ridha)
(3).Wali
(4).Saksi13.
Dengan demikian, menurut mereka, hal-hal tersebut hanya sebagai syarat,
bukan rukun. Di sana tidak disebutkan shighad (akad) dan mahar. Ini boleh
jadi menurut mereka sebagai rukun, bukan syarat.
C. Analisis Syarat dan Rukun Dalam Akad Nikah
Diantara syarat sah akad nikah adalah kehadiran dua saksi. Hadirnya dua
orang saksi dalam prosesi akad nikah menurut syafi’iyah adalah sebagai syarat
yang dengan adanya akan ada efek hukum yang ditimbulkannya yakni sah nikah.
Tetapi, kehadiran dua saksi bukan bagian dari akad nikah tersebut. Dengan kata
lain bahwa kehadiran dua saksi bukan rukun nikah.
Setelah mencermati rukun-rukun nikah menurut mazhab empat pada uraian
terdahulu, dapatlah diketahui bahwa ijab dan qabul (sighat) pada akad nikah
adalah sebagai rukun nikah. Semua mazhab empat sepakat memasukkan ijab-

11
Ibid. Hal.713.
12
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Darul Kutub, jil.2, hal. 7.
13
Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah,
tahun 2010, Cet. 4, Jil. 2, hal. 716

7
qabul (sighat) sebagai salah satu rukun nikah. Hal ini dikarenakan keduanya
bagian dari hakikat akad itu sendiri. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa
perkara yang tidak diperselisihkan oleh mereka sebagai rukun nikah adalah
urusan ijab-qabul (sighat). Adapun perkara yang diperselisihkan sebagai rukun
atau sebagai syarat nikah, yakni kedua mempelai, dua saksi, wali, kerelaan calon
mempelai, dan mahar. Perkara- perkara ini terjadi silang pendapat di antara empat
mazhab dalam menetapkannya sebagai syarat nikah atau syarat sah nikah.
Perkara-perkara ini juga diperselisihkan antara sebagai rukun nikah atau sebagai
syarat nikah, atau sebagai syarat sah nikah. Penyebutannya sebagai rukun oleh
sebagian fuqaha bermakna sebagai sesuatu yang tidak boleh tidak ada, atau
sesuatu yang mesti ada. Maka, dapat diketahui bahwa para ulama mujtahid dari
empat mazhab berbeda pendapat dalam menetapkan item-item yang menjadi
syarat nikah atau rukun dalam akad pernikahan.
Salah satu ketentuan sah suatu akad nikah, sangat tergantung pada
kehadiran dua saksi dan pada adanya ijab-qabul (sighat). Ini merupakan sisi
persamaan antara kehadiran dua saksi dan ijab-qabul. Keduanya sama-sama
menjadi kriteria sahnya pernikahan. Tetapi dari segi lain, antara ijab-qabul dan
kehadiran dua saksi keduanya ada perbedaan. Ijab-qabul (sighat) posisinya
sebagai rukun dan kehadiran dua saksi posisinya sebagai syarat. Ijab-qabul
merupakan hakikat dan bagian dari akad nikah itu sendiri, sementara kehadiran
dua saksi merupakan perkara yang berada di luar akad nikah, bukan bagian dari
akad nikah.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Munutupi makalah ini, berdasarkan dari pemaparan terdahulu, maka penulis
dapat mengambil beberapa kesimpulan :
1. Syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila
syarat-syaratnya terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang
bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon
mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
2. Para ulama mujtahid mazhab empat berbeda pendapat dalam menetapkan
item-item yang menjadi syarat dan rukun dalam akad pernikahan.
3. perkara yang diperselisihkan sebagai rukun atau sebagai syarat nikah, yakni
kedua mempelai, dua saksi, wali, kerelaan calon mempelai, dan mahar.
Perkara- perkara ini terjadi silang pendapat di antara empat mazhab dalam
menetapkannya sebagai syarat nikah atau syarat sah nikah.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan sebagai bahan pembelajaran
kita bersama. Semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Selanjutnya
kritik dan saran selalu kami nantikan dari para pembaca yang budiman demi
terciptanya makalah kami yang lebih baik lagi kedepannya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiah, tahun 2010, Cet. 4, Jil. 2,
Dahlan Idhamy, Asas-asas Fiqih Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya:
alIkhlas, 1994). cet ke-2
Halil Ahmad al-Saharunfuri, Badl al-majhud Fi Hall Abi Daud, ( Lebanon: Dar al-Kotob
al-Ilmiyah, 2007), jilid 8-10, cet ke-1,
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Darul Kutub, jil.2,
Mat Saad Abdul Rahman, Undang-undang keluarga islam dan peraturan perkawinan,
(Selangor : Intel Multimedia And Publication , 2007 ), cet ke-2
Muhammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996),
cet ke-1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Berut: Dar al-Fikr, 1983), jilid-2 cet ke-4.

10

Anda mungkin juga menyukai