Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGANTAR PERBANDINGAN MADZHAB


Tentang
Perbandingan Madzhab Bidang Munakahat

Disusun Oleh
Sovia Elmina 1810101001

Dosen Pembimbing :
Hj. Syamsarina, Lc, MA

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt, atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Perbandingan Madzhab Bidang Munakahat”. Makalah ini diajukan untuk
memenuhi tugas dalam mata kuliah Pengantar Perbandingan Madzhab.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca tentang bagaimana
“Perbandingan Madzhab Bidang Munakahat”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Sungai Penuh, 06 April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar belakang masalah............................................................................1
B. Rumusan masalah ....................................................................................1
C. Tujuan penulisan ....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................2
A. Pengertian Nikah......................................................................................2
B. Wanita yang Menikahkan Dirinya Sendiri...............................................2
C. Kadar Sesusuan yang Mengharamkan Pernikahan..................................6
D. Talak.........................................................................................................7

BAB III PENUTUP......................................................................................9


A. Kesimpulan..............................................................................................9
B. Saran ........................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqh Munakahat merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia.
Dengan adanya pernikahan akan melahirkan generasi baru dengan membentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Karena pernikahan dalam
pandangan agama Islam merupakan sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna
ibadah kepada Allah SWT, mengikuti sunnah Rasulullah SAW, dan dilaksanakan
atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan hukum yang
harus diindahkan. Ketentuan pernikahan bagi warga Indonesia mengacu pada
Undang-undang perkawinan, yakni UU No. 1 Tahun 1974. Namun masih banyak
perbedaan pendapat para ulama dalam beberapa masalah munakahat seperti
hukum nikah tanpa wali, sesusuan yang mengharamkan nikah serta antara talak
sunni dan bid’i.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbandingan madzhab tentang wanita yang
menikahkan dirinya sendiri?
2. Bagaimana perbandingan madzhab tentang kadar sesusuan yang
mengharamkan nikah?
3. Bagaimana perbandingan madzhab tentang talak?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perbandingan madzhab tentang wanita yang
menikahkan dirinya sendiri
2. Untuk mengetahui perbandingan madzhab tentang kadar sesusuan
yang mengharamkan nikah
3. Untuk mengetahui perbandingan madzhab tentang talak

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Perkawinan (Pernikahan) adalah terjemahan dari kata ‫( نكح‬berhimpun) dan
‫زوج‬ (pasangan). Kedua kata ini digunakan dalam Al-Qur’an untuk
menggambarkan terjalinnya hubungan pernikahan, yaitu berkumpulnya dua orang
(laki-laki dan perempuan) yang semula terpisah menjadi satu kesatuan yang utuh
dan berpasangan sebagai suami istri.1
Para ulama fiqh pengikut madzhab yang empat (Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan penikahan adalah “Akad yang
membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan
seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau
makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.2
Dalam Kompilasi Hukum Islam UU No 1 Tahun 1974 Pasal 1 dikatakan
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3
B. Wanita yang menikahkan dirinya sendiri
Rukun-Rukun Nikah
Rukun nikah menurut ulama Hanafiyah adalah ijab yaitu lafadh yang
keluar dari seorang wali atau orang yang menduduki kedudukannya. Dan qabul
yaitu lafadh yang keluar dari seorang suami. Sedangkan menurut ulama malikiyah
dalam nikah terdapat lima rukun, yaitu:
(1) Wali bagi wanita dengan syarat yang akan disebutkan dibelakang.
Maka akad nikah tidak sah tanpa adanya wali;
(2) Maskawin;
(3) Suami;
(4) Istri, disyaratkan bagi keduanya bebas dari larangan syara’ seperti
ihram dan iddah;
1
Siti Musawwamah, Hukum Perkawinan 1 (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009), hal 1
2
Wahyu Wibisana, Pernikahan dalam Islam, Ta’lim vol 14 No 2, 2016, hal 186
3
Kompilasi Hukum Islam, hal 1

2
(5) Sighat.
Menurut ulama Syafi’iyah rukun nikah ada lima yaitu: suami, istri, wali,
shighat yaitu ijab dan qabul, dan dua orang saksi.
Sedangkan dalam Hanabilah rukun nikah sama dengan yang disebutkan
oleh dua mazhab tadi. Perbedaan ulama dalam menentukan rukun nikah,
dikarenakan perbedaan hadis dan pemahaman masing-masing ulama, ada yang
mengatakan bahwa wali atau saksi tersebut hanya menjadi syarat bukan rukun dan
perempuan yang mukafa’ah mampu untuk menikahkan dirinya sendiri dan ada
yang mengatakan bahwa hal itu merupakan rukun yang harus ada dalam sebuah
akad nikah.4
Syarat-Syarat Wali dan Urutannya
Sebelum mengetahui lebih jauh mengenai syarat-syarat seorang wali maka
terlebih dahulu memahami pengertian wali yaitu orang yang berdiri sebagai
prasyarat untuk sahnya akad nikah, dapat berupa ayah, kakek dan lain-lain.
Syarat-syarat untuk menjadi seorang wali adalah:
(a) Islam, hal ini merupakan syarat wali apabila orang yang dinikahkan
tersebut Muslimah, akan tetapi jika yang dinikahkan kafiroh maka hal ini tidak
menjadi syarat. Adapun jika dua orang saksi, Islam merupakan syarat dari hal
tersebut, baik orang yang dinikahkan tersebut Muslimah, kafiroh dzimmi karena
kafir tersebut tidak ahli untuk dijadikan saksi.
(b) Baligh.
(c) Berakal, maka tidak ada kewalian bagi anak kecil dan orang gila,
karena keduanya bukan ahli sahadah.
(d) Merdeka, maka tidak ada kewalian bagi seorang hamba walaupun itu
merupakan hamba muba’ad.
(e) Laki-laki, maka perempuan tidak sah untuk menjadi wali.
(f) Adil, dapat menjauhkan diri dari dosa besar dan dosa kecil yang terus
menerus. Maka orang yang fasiq tidak sah untuk dijadikan wali dan saksi baik hal
itu untuk anaknya sendiri ataupun dia bertindak sebagai wali mujbir. Baik

4
Moh Ali Shomad Very Eko Atmojo, Nikah Tanpa Wali dalam perspektif Fiqh Munakahat,
Ahkam, Vol 3 No 1, 2015 hal 101

3
fasiqnya tersebut dikarenakan minum arak atau yang lain, baik fasiqnya tersebut
jelas kelihatan atau samar-samar.
(g) Dalam keadaan ihtiyar, maka tidak sah jika wali tersebut dipaksa.
(h) Tidak sedang menjalani ibadah haji atau ihram, maka orang yang
sedang ihram tidak boleh untuk menjadi wali atau saksi. Dalam kewalian yang
terdapat pada akad nikah, terdapat urutan wali yang masing-masing dalam hak
menikahkan seorang calon istri berbedabeda apabila semuanya berkumpul.
Adapun urutan wali adalah sebagai berikut:
(a) Ayah;
(b) Kakek atau ayah dari ayah, walaupun ke atas, karena ketertentuannya
dalam ashobah. Hal ini mengecualikan kakek dari pihak ibu, karena kakek dari
pihak Ibu tidak mendapat bagian ashobah;
(c) Saudara laki-laki kandung;
(d) Saudara laki-laki seayah;
(e) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung;
(f) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
(g) Paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah);
(h) Paman seayah (saudara laki-laki seayah dari pihak ayah);
(i) Anak laki-laki dari pihak paman;
(j) Al-Maula;
(k) jika semua tidak ada maka walinya adalah hakim.
Jika semua wali berkumpul, maka wali yang jauh tidak boleh menikahkan,
jika wali yang dekat masih ada. Jika tetap menikahkan, maka akad nikahnya tidak
sah (pendapat al-Syafi’i) kecuali terdapat beberapa sebab yang tersendiri, antara
lain:
(a) Wali yang lebih dekat tersebut masih kecil, misalnya antara paman
dengan saudara laki-laki kandung ayah, saudara lakilaki tersebut masih kecil,
maka paman boleh menikahkan wanita tersebut.
(b) Wali yang lebih dekat gila, walaupun gilanya putus-putus. Akan tetapi
jika gilanya putus-putus disyaratkan ketika sedang mengalami gila.
(c) Wali yang dekat tersebut fasiq, misalnya seorang ayah yang fasiq.

4
(d) Sedang mengalami pengampuan.
(e) Penglihatannya cacat karena sakit.
(f) Agamanya berbeda dengan agama perempuan yang akan menikah.
(g) Sedang ihram untuk ibadah haji dan umrah.
(h) Jika keadaannya demikian, maka wali yang jauh boleh menikahkan
perempuan tersebut namun tetap masih mengikuti urutan yang telah ditetapkan.
Sedangkan Imam Malik membedakan antara urutan wali mujbir dan wali
ghairu mujbir. Urutan wali mujbir bersifat wajib sedangkan urutan wali ghairu
mujbir sifatnya sunnah. Maka jika ada wali yang jauh yang menikahkan
sedangkan wali yang lebih dekat ada, asalkan bukan wali mujbir maka nikahnya
sah. Sedangkan Hanafiyah mengatakan bahwa urutan wali tersebut bersifat
dhoruri. Hal itu dikarenakan Hanafiyah tidak menyaratkan adanya wali dalam
akad nikah, cukup ijab dan qabul saja. Hanabilah mengatakan bahwa urutan wali
tersebut adalah wajib dan harus dipenuhi. Kecuali terdapat beberapa sebab yang
meniadakan kewajiban. Jadi pada intinya urutan wali tersebut wajib dilaksanakan
atau harus ditepati, kecuali ada beberapa sebab yang membuat kita tidak dapat
menepati urutan tersebut. Karena sesuai dengan kaidah ushuliyah yang sudah
berkembang di kalangan para ulama yaitu kemadharatan itu dapat dihilangkan.5
Pendapat para ulama tentang menikah tanpa wali
Menurut Syafi’iyah dalam kitab khasiyah Qulyubi mengatakan janganlah
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri baik dengan izin dari walinya maupun
tanpa izin dari walinya. Hal ini mengindikasikan hadirnya wali dalam akad
tersebut hukumnya wajib.
Menurut mazhab Dhahiri, orang perempuan tidak boleh menikahkan
dirinya sendiri baik perawan maupun janda, akan tetapi harus dengan izin dari
walinya. Apabila ia sudah meminta izin kemudian ayahnya tidak mengizinkan,
maka yang berhak menikahkan adalah sultan. Akan tetapi ada yang mengatakan
bahwa mazhab ini membedakan antara perawan dengan janda, bila perawan harus
dengan izin walinya, sedangkan janda tanpa izin dari walinya. Hal ini

5
Ibid, hal 103

5
menunjukkan bahwa mazhab ini tidak mensyaratkan hadirnya wali dalam akad
nikah, akan tetapi cukup dengan izinnya saja.
Mazhab Zaidi, berpendapat sama dengan mazhab Dhohiri yaitu perawan
harus dengan izin walinya sedangkan janda itu lebih berhak terhadap dirinya
sendiri. Jadi hadis yang menunjukkan tidak ada akad nikah tanpa adanya wali
tidak dijalankan mutlak begitu saja, akaan tetapi digabungkan dengan hadisyang
menerangkan bahwa janda itu lebih berkuasa atas dirinya sendiri.
Mazhab Maliki dan Hanbali yang berpendapat bahwa wali merupakan
salah satu dari rukun nikah mengatakan bahwa nikah tidak sah tanpa hadirnya
wali. Akan tetapi dari pihak Malikiyah ada yang mengatakan bahwa wali bukan
termasuk rukun akan tetapi merupakan syarat, karena ada sebelum aqad terjadi.
Sedangkan Hanafiyah yang berpendapat bahwa wali bukan merupakan
rukun nikah menyatakan bahwa wanita yang sudah pandai boleh menikahkan
dirinya sendiri tanpa adanya wali. Akan tetapi jika perempuan tersebut bodoh,
maka harus dinikahkan oleh walinya. Batasan pandai di sini tidak membedakan
perawan maupun janda.6
C. Kadar sesusuan yang mengharamkan pernikahan
Mahram persusuan adalah satu pecahan dari mahram muabbad yaitu wanita
yang haram dinikahi untuk selamnya. Wanita yang satu susuan yaitu wanita yang
diharamkan bagi saudara sesusuannya, sebagaimana saudara yang memiliki
hubungan darah. Semua wanita yang punya hubungan darah diharamkan baginya,
maka diharamkan pula sebagaimana yang mempunyai hubungan satu susuan,
seperti ibu menyusui, saudara wanita satu susuan.
Allah berfirman dalam penjelasan mengenai wanita-wanita yang haram untuk
dinikahi. “Ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara wanita sepersusuan”.
(anNisaa : 23)
Bila seorang laki-laki menyusu kepada seseorang perempuan maka air
susu perempuan itu menjadi darah dan pertumbuhan bagi si anak sehingga
perempuan yang menyusukan itu menjadi seperti ibunya. Maksud dengan susuan

6
Ibid, hal 107

6
yang mengakibatkan keharaman perkawinan ialah susuan yang diberikan pada
anak yang memang masih memperoleh makanan dari air susu.
Ibu susuan menempati posisi yang sama dengan ibu kandung. Anak
susuan haram menikahi ibu susuannya berikut keturunannya sebagaimana ia
diharamkan untuk menikahi keturunan ibu kandungnya.
Terdapat perbedaan paham di antara ulama, apakah mahram dengan jalan
persusuan itu bercabang juga terhadap mahram dengan jalan pernikahan atau
tidak. Sebagian ulama berpendapat “tidak”. Mazhab yang empat berpendapat
bahwa hal itu bercabang pula kepada mahram sebab pernikahan; maka seorang
suami haram menikahi ibu persusuan istrinya dan istri bapak persusuan istrinya
itu, haram pula mengumpulkan dua orang perempuan yang sepersusuan, dan
seterusnya.
Bentuk penyusuan yang mengharamkan pernikahan adalah penyusuan
dalam arti yang sebenarnya. Dengan kata lain yaitu, penyusuan yang sempurna,
seperti seorang anak kecil yang menyusu dan menyedot air susu dari payudara
(puting) seorang perempuan hingga merasa cukup dan tidak melepaskannya
kecuali atas kemauannya sendiri, bukan karena suatu paksaan.7
Pendapat ulama tentang kadar sesusuan yang mengaharamkan pernikahan
Imam Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa dalam penyusuan tidak ada
batasan yang tegas, karena menurut mereka yang penting adalah air susu yang
diisap itu sampai ke perut anak, sehingga memberi energy dalam pertumbuhan
anak.
Sedangkan menurut Syafi’I dan Hanbali kadar sesusuan yang bisa
mengharamkan nikah adalah dengan menyusui lima kali menyusu sampai
kenyang atau lebih dan dilakukan secara terpisah.8
D. Talak
Talak Sunni dan Talak Bid’i
Di dalam masalah ini para ulama telah sepakat mengenai perkara-perkara
berikut ini.
7
Nor Nadia Fatin, Kadar Susuan yang Menyebabkan Mahram dan Akibat Hukumnya. UIN Suska,
2019, hal 37
8
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab (Bandung: Pustaka Setia, 2016 hal 136

7
1. Menjatuhkan satu talah terhadap istri yang telah sekamar dalam
keadaan suci tidak disentuh (digauli) dalam keadaan sucinya itu, dan
selam dalam masa iddahnya tidak diikutkan dengan talak kedua adalah
sunni.
2. Menjatuhkan talak terhadap istri dalam keadaan haid atau nipas
ataupun dalam keadaan suci yang sudah digaulinya pada keadaan
sucinya itu adalah bid’I apabila sitri itu tidak hamil.
3. Menjatuhkan talak terhadap istri yang belum sekamar bukan
merupakan talak sunni dan bukan bid’I ditinjau dari segi waktu, namun
dalam riwayat dari zufar disebutkan bahwa jika jatuh talak itu dalam
keadaan haid juga bid’I sebagaimana pula wanita yang telah sekamar.
Ulama hanafiyyah berpendapat bahwa talak itu mungkin sunni dan
mungkin bid’I dilihat dari segi waktu dan bilangan dengan syarat istri telah
sekamar. Adapun dan mengenai istri belum sekamar, hal ini dilihat dari segi
bilangan talak saja, sedangkan bila ditinjau dari segi waktu, tidak ada sunni dan
tidak bid’i.
Ulama syafi’iyyah berpendapat, tidak ada sunni dan tidak ada bid’I sekali
mengenai bilangan talak. Adapun dari segi waktu mereka berpendapat bahwa
terhadap istri yang masih dibawah umur, istri yang tidak haid lagi (menopause),
dan istri yang sedang hamil, istri yang belum sekamar, dan istri yang minta
khulu’, maka talak yang dijatuhkan dua hakam, baik dari pihak suami maupun
dari pihak istri yang dijatuhkan hakim terhadap maula atas permintaannya sendiri,
dan talak terhadap mutahsyyirah, dalam hal itu tidak ada sunni dan tidak ada bid’i.
selain dari itu, mungkin sunni dan mungkin pula bid’i.
Ulama hanabilah berpendapat bahwa manalak istri yang sudah tidak haid
lagi (menopause), istri dibawah umur, dan istri dalam keadaan hamil, dan istri
yang belum dicampurinya, hal itu tidak disifatkan dengan sunni atau bid’I bila
ditinjau dari segi waktu, sedangkan dalm hal bilangan, mungkin sunni dan
mungkin bid’i. 9

9
Ibid, hal 148

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Syafi’I janganlah seorang wanita menikahkan dirinya sendiri baik
dengan izin dari walinya maupun tanpa izin dari walinya. Menurut Maliki dan
Hanbali mengatakan bahwa nikah tidak sah tanpa hadirnya wali. Hanafiyah yang
berpendapat bahwa wali bukan merupakan rukun nikah menyatakan bahwa wanita
yang sudah pandai boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali.
Imam Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa dalam penyusuan tidak ada
batasan yang tegas, karena menurut mereka yang penting adalah air susu yang
diisap itu sampai ke perut anak, sehingga memberi energy dalam pertumbuhan
anak. Sedangkan menurut Syafi’I dan Hanbali kadar sesusuan yang bisa
mengharamkan nikah adalah dengan menyusui lima kali menyusu sampai
kenyang atau lebih dan dilakukan secara terpisah.
Ulama hanafiyyah berpendapat bahwa talak itu mungkin sunni dan
mungkin bid’I dilihat dari segi waktu dan bilangan dengan syarat istri telah
sekamar. Ulama syafi’iyyah berpendapat, tidak ada sunni dan tidak ada bid’I
sekali mengenai bilangan talak. Ulama hanabilah berpendapat bahwa manalak
istri yang sudah tidak haid lagi (menopause), istri dibawah umur, dan istri dalam
keadaan hamil, dan istri yang belum dicampurinya, hal itu tidak disifatkan dengan
sunni atau bid’I bila ditinjau dari segi waktu, sedangkan dalm hal bilangan,
mungkin sunni dan mungkin bid’i.
B. Saran
Demikianlah pokok bahasan contoh makalah ini yang dapat penulis paparkan,
besar harapan penulis makalah ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak.
Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi, penulis menyadari makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi dimasa
yang akan datang.

9
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, Moh Ali Shomad Very Eko. 2015. Nikah Tanpa Wali. Ahkam.
3(1). 107.
Kompilasi Hukum Islam
Musawwamah, Siti. 2009. Hukum Perkawinan 1. Pemekasan: STAIN
Pemekasan Press.
Nadia, Nor. 2019. Kadar Sesusuan yang Menyebabkan Mahram dan
Akibat Hukumnya. UIN Suska. 37.
Syalthut, Mahmud. 2016. Fiqih Tujuh Madzhab. Bandung: Pustakan Setia.
Wibisana, Wahyu. Pernikahan dalam Islam. Ta’lim. 14 (2).186

10

Anda mungkin juga menyukai