Anda di halaman 1dari 13

HUKUM PEMINANGAN DALAM ISLAM

Disusun Oleh:

 Namal Shoale 221 170 001


 Fuzan Fuadi 221 170 004

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN,PETERNAKAN,DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PARE PARE
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat harmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat
waktu. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah AIK V.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan. Hal
ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang
penulis miliki, Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan
penulis terima dengan senang hati demi perbaikan makalah lebih lanjut
lagi. Semoga tulisan yang jauh dari sempurna ini ada manfaatnya
bermanfaat bagi kita semua.

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................2
1.3. Tujuan................................................................................................2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Khitbah (Peminangan).....................................................................3
2.2. Hukum Dalam Peminangan.............................................................4
2.3. Syarat-Syarat Peminanagan...........................................................6
2.4. Hikmah Dalam Peminangan............................................................7
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan...................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................10

iii
BAB I. PENDULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu sunnah yang diperintahkan oleh
Nabi kita Muhammad Shallallahu‘alaihiwasallam, sebagaimana dalam
sabdanya yang diriwiyatkan oleh muttafaqun ‘alaih yang berasal
dariAbdullah Ibn’ Mas’ud “Wahai para pemuda, siapa diantaramu telah
mempunyai untuk kawin, maka kawinlah; karena perkawinan itu lebih
menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan
(dari kerusakkan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah
berpuasa, karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat”
Salah satu prinsip kehidupan dalam sosial kemasyarakatan adalah
pernikahan yang merupakan sunnatullah bagi alam semesta, semua
tumbuhan dan hewan (kawin). Tujuan pernikahan menurut Islam adalah
untuk memenuhi bimbingan agama untuk membangun keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah, oleh karenanya pernikahan adalah
dorongan bagi setiap Muslim yang mampu dan yang tidak ingin jatuh
dalam dosa (QS. al-Nisa>/4). Sebelum upacara pernikahan, seorang pria
biasanya meminang atau berkhitbah kepada wanita yang akan menjadi
istri. Khitbah berarti mengekspresikan permintaan untuk menikahi pria
dengan wanita atau sebaliknya atau hanya melalui perantara yang
tepercaya.
Jika kedua belah pihak sepakat untuk menikah, maka peminangan
dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung (tersirat), dan dapat
dipahami bahwa hukum peminangan bersifat tidak wajib (QS. al-
Baqarah/2: 235). Praktik masyarakat saat ini menunjukkan bahwa
peminangan adalah tahap awal yang hampir pasti akan dilakukan dari
berbagai tahapan pernikahan, dengan proses sesuai dengan kebiasaan
masing-masing daerah karena ada pesan moral dan etiket untuk memulai
rencana membangun sebuah rumah tangga. Peminangan memiliki
kandungan atau status (akibat) hukum, dalam arti masih ada batasan
yang harus dijaga agar pasangan yang bertunangan tidak bisa bersama

iv
sampai upacara pernikahan. Sebagaimana sabda Nabi saw. "tidak ada
pria dengan satu wanita kecuali ketiganya adalah setan."

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu Khitbah (Peminangan)?
2. Bagaiman hukum dalam peminangan?
3. Bagaimana syarat-syarat peminangan?
4. Apa hikmah dalam peminangan?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu peminangan.
2. Untuk mengetahui hukum dalam peminangan.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat peminangan.
4. Untuk mengetahui hikmah dalam peminangan.

v
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Khitbah (Peminangan)
Khitbah dan al-khatab berasal dari bahasa Arab dan dari kata yang
sama yang berarti “pembicaraan” dan jika terkait ihwal perempuan, maka
makna yang pertama kali ditangkap adalah percakapan yang terkait
dengan masalah pernikahannya, hematnya, khitbah berarti percakapan
yang berkaitan dengan lamaran untuk menikah. Sedangkan kosa kata
“peminangan” berasal dari kata “pinang”-“meminang”, yang berarti
meminta seorang perempuan (untuk dijadikan istri) dan bersinonim
dengan kata “melamar”, serta dalam bahasa Arab disebut “khitbah” (
‫(الخطب@@ة‬, yang maksudnya meminta seorang perempuan untuk dijadikan
istri4 atau upaya untuk terlibat dalam hubungan perjodohan antara
seorang pria dan seorang wanita dengan ccara-cara yang baik (ma’ruf)
dan umumnya berlaku di suatu masyarakat6
Peminangan merupakan awal sebelum menikah, sehingga kedua
belah pihak saling mengenal hingga pernikahan berdasar pandangan
yang jelas. Pinangan bukan suatu akad (transaksi) tetapi berupa lamaran
atau permohonan untuk menikah, jadi ketika menerima suatu pinangan
tidak berarti ada akad pernikahan antara kedua pihak, dimana pria
merupakan calon suami bagi seseorang wanita di masa depan.\ Adapun
pertunangan merupakan proses menunggu akad nikah diantara kedua
belah pihak yang diberi ikatan seperti pemberian cincin atau lainnya yang
mungkin bisa berbeda dalam suatu daerah. Beberapa makna yang telah
ditunjukkan, bahwa esensi dari khitbah adalah untuk menyampaikan niat
menikahi seseorang.
Khitbah, juga dikenal sebagai peminangan, adalah sebuah proses
dalam budaya Islam di mana seorang pria menyatakan niatnya untuk
menikahi seorang wanita. Ini adalah langkah awal dalam proses
pernikahan dalam tradisi Islam. Khitbah melibatkan komunikasi resmi
antara pihak laki-laki (calon pengantin pria) dan pihak perempuan (calon
pengantin wanita) atau keluarganya

vi
2.2. Hukum Dalam Peminangan
Permasalahan khitbah disinggung bersamaan dengan iddah wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini seorang wanita yang
sedang dalam masa iddah wafat maupun iddah talak diharamkan untuk
melakukan akad pernikahan. Lalu, bagaimanakah jika wanita sedang
dalam masa Iddah menerima pinangan. Dari sinilah kemudian muncil
pembahasan mengenai hukum peminangan.
Ali al-sabuniy mencoba menjelaskan hukum khitbah dalam Tafsir Ayat
al-Ahkamnya dengan membagi kedalam 3 bagian : Pertama, hukum
wanita yang boleh di khitbah yaitu wanita yang tidak sedang terikat dalam
perkawinan dengan pengecualian tidak dikhitbah orang lain. Kedua,
hukum wanita yang tidak boleh di khitbah; yaitu wanita yang sedang
dalam ikatan perkawinan. Ketiga, hukum wanita yang boleh di khitbah;
yaitu wanita yang sedang dalam masa iddah.
Peminangan sangat dianjurkan agar kedua mempelai dapat saling
mengenal satu sama lain. Ini berarti peminangan lebih banyak manfaat
daripada madlaratnya. Semua hal tentang kehidupan telah diatur secara
jelas Baik dalam Al Qur’an maupun Hadits begitu juga berbagai hal
tentang peminangan. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an Surah Al
Baqarah ayat 235 yang artinya sebagai berikut:
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-
nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap
hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun.”

vii
Mayoritas Ulama menyatakan bahwa peminangan tidak wajib. Namun
merupakan pendahuluan yang hampir pasti dilakukan. Karena didalamnya
terdapat pesan moral dan tata krama untuk mengawali rencana
membangun rumah tangga yang diharapkan sakinah, mawaddah wa
rahmah. Laki-laki yang hendak meminang wanita dibolehkan untuk
melihat kepada hal-hal yang telah umum dan memang diperbolehkan
untuk dilihat. Ini bisa dilakukan tanpa sepengetahuan calon mempelai
perempuan dan tanpa berkhalwat atau berduaan saja dengan wanita
tersebut, juga harus disertai dengan muhrimnya. Hadits menetapkan
boleh melihat perempuan yang dipinang namun ada batas- batas yang
boleh dilihat. Jumhur ulama menetapkan yang boleh dilihat adalah wajah
dan kedua telapak tangan yang merupakan batasan aurat bagi
perempuan. Alasan melihat wajah karena dapat melihat kecantikannya
sedangkan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui kesuburan
badannya.
Sedangkan menurut pendapat Al Awza‟iy berpendapat boleh melihat
bagian-bagian yang berdaging, menurut Daud Zhahiri boleh melihat
semua badan karena Hadits Nabi tidak menyebutkan batas-batasannya.
Adapun waktu diperbolehkan melihat perempuan itu hanya pada saat
peminangan saja.
Syaikh Nada Abu Ahmadmengatakan bahwa pendapat yang
dipercaya oleh para pengikut Syafi’i yaitu pendapat yang mengatakan
bahwa hukum khitbah adalah Sunnah, sesuai perbuatan dan Nabi Saw
ketika meminang Aisyah bin Abu Bakar. Sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa hukum khitbah sama dengan hukum pernikahan,
yaitu wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. Meminang dihukumi
sunnah apabila pria yang akan meminang termasuk pria yang sunnah
untuk menikah, makruh apabila pria yang akan meminang makruh untuk
menikah, dikarenakan hukum sarana mengikuti hukum tujuan.
Khitbah dihukumi haram apabila meminang wanita yang sudah
menikah, meminang wanita yang ditalak raj’i sebelum habis masa

viii
iddahnya, dan peminangan yang dilakukan oleh lelaki yang telah memiliki
empat istri. Khitbah menjadi wajib bagi orang yang khawatir dirinya
terjerumus dalam perzinahan jika tidak segera meminang dan menikah.
Sedangkan khitbah dihukumi mubah jika wanita yang dipinang kosong
dari pernikahan serta tidak ada halangan hukum untuk melamar.

2.3. Syarat-Syarat Peminangan


a. Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang merupakan anjuran pada laki-
laki yang hendak meminang agar meneliti wanita yang akan dipinangnya
sebelum melangsungkan peminangan. Syarat mustahsinah tidak wajib
untuk dipenuhi, hanya anjuran dan baik untuk dilaksanakan, sehingga
tanpa syarat ini peminangan tetap sah. Diantara syarat-syarat tersebut
adalah:
1) Wanita yang dipinang hendaknya sekufu atau sejajar dengan laki-laki
yang meminang. Misalnya tingkat keilmuannya, status sosial, dan
kekayaan.
2) Meminang wanita yang memiliki sifat kasih sayang dan peranak.
3) Meminang wanita yang jauh hubungan kerabatannya dengan lelaki
yang meminang. Dalam hal ini sayyidina Umar bin Khattab mengatakan
bahwa pernikahan antara seorang lelaki dan wanita yang dekat hubungan
darahnya akan melemahkan jasmani dan rohani keturunannya.
4) Mengetahui keadaan jasmani, akhlak dan keadaan-keadaan lainnya
yang dimiliki oleh wanita yang akan dipinang.
b. Syarat Lazimah
Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan. Sah tidaknya peminangan tergantung pada syarat-
syarat lazimah. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1) Tidak berada dalam ikatan perkawinan sekalipun telah lama
ditinggalkan oleh suaminya.

ix
2) Tidak diharamkan untuk menikah secara syara’. Baik keharaman itu
disebabkan oleh mahram mua’bbad, seperti saudara kandung dan bibi,
maupun mahram mu’aqqt (mahram sementara) seperti saudara ipar.
Adapun penjelasan tentang wanita-wanita yang harap dinikahi terdapat
dalam firmah Allah SWT Surat an-Nisa’ ayat 22-23.
3) Tidak sedang dalam masa iddah. Ulama sepakat atas keharaman
meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas (sarih) kepada wanita
yang sedang dalam masa iddah, baik iddah karena kematian suami
maupun iddah karena terjadi talaq raj’iy maupun ba’in.

2.4. Hikmah Dalam Peminangan


Ulama membolehkan memandang perempuan yang ingin dinikahinya
sebagaimana dalam QS. al-Ahza>b/33: 52, hal ini disebabkan bertemunya
mata ke mata menjadi bertemunya hati dan berlarutnya jiwa41, melihat hal
yang dapat membuat pria tertarik atau tidak tertarik sebelum melanjutkan
ke jenjang berikutnya. Nabi saw. pun menganjurkan untuk melakukannya:
Dari Abu Hurairah berkata; "Saya pernah berada di samping Nabi saw.
tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau seraya mengabarkan
bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita dari Anshar." Lantas
Rasulullah saw. bersabda kepadanya: "Apakah kamu telah melihatnya?
Dia menjawab; Tidak. Beliau melanjutkan: "Pergi dan lihatlah kepadanya,
sesungguhnya di mata orang-orang Anshar ada sesuatu."
Hikmah dibolehkannya “melihat” wanita yang ingin dipinang dan
dinikahi yakni supaya jiwa terasa tenang untuk melanjutkan kejenjang
berikutnya, hal ini berbeda jika seorang pria belum melihat calonnya dan
mendapati sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya. Oleh sebab itu
Nabi saw. memberikan anjuran kepada pria yang ingin meminang untuk
melihat dahulu calon istrinya, supaya tidak ada penyesalan kemudian,
Rasulullah saw. bersabda: Dari al-Mughi>rah bin Syu'bah ia berkata,
"saya meminang seorang wanita, Rasulullah saw. lalu bertanya kepadaku:
"Apakah kamu telah melihatnya?" saya menjawab: "belum." beliau

x
bersabda: "lihatlah ia karena itu akan lebih memantapkan kalian
berdua."(HR Ahmad bin Hanbal).

Dalam proses naz}ar (ircmial lac t milem) terdapat beberapa syarat


yang harus dipenuhi, pertama calon suami telah memiliki niat kuat untuk
menikah sebagaimana hadis Nabi di atas: “jika memang dia melihatnya
hanya untuk pelamarannya”. Kedua, batasan bolehnya memandang
sangat terpaut dengan etika dan budaya yang esensinya ialah dapat
“melihat” ketertarikan diri untuk menikahinya. Hal ini (nazar) berupa
rukhs}ah (keringanan) dimana syari’at membolehkan hanya bagi orang
yang berniat melamar, selain itu maka hukum nya haram sesuai dalam
QS al-Nur/24: 31. Selain itu, bukan hanya pria yang dapat “melihat” calon
istri akan tetapi juga tertuju kepada wanita melihat calon suami yang
hendak melamarnya.

xi
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Peminalngaln aldalalh sualtu usalhal yalng dilalkukaln mendalhului
perkalwinaln daln menurut bialsalnyal setelalh itu balru dilalngsungkaln
alkald perkalwinaln. Dalalm hal peminalngaln jugal aldal syalraltsyalralt
oralng yalng alkaln dipinalng, salalh saltunyal; oralng yalng alkaln
dipinalng tidalk sedalng dalalm pinalngaln oralng lalin. Jikal telalh
dilalkukaln peminalngaln, malkal hal -hal yalng boleh dilalkukaln malsih
terbaltals kalrenal belum aldalnyal alkald pernikalhaln yalng salh.
Peminangan dalam Islam (khitbah) dapat menguatkan hati kedua
calon pasangan suami-istri, oleh sebab itu untuk menguatkan dan
memantapkan hati keduanya, dibolehkan untuk melihat atau memandang
terlebih dahulu (sebelum dikhitbah), agar tidak penyesalan yang muncul
setelah akad dilaksanakan, dengan pemahaman ini diharapkan
masyarakat lebih mendalam pemahamannya terkait konsep khitbah dalam
Islam, khususnya yang tertera dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi saw.

xii
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Ahmad, Hady Mufa’at. Fikih Muna>kahat. t.t.: Duta grafika, 1992. Ali,
Zainuddin. Hukum Perdata Islam. Cet. IV. Jakarta: Sinar Grafika,
2012.
al-‘Asqala>ni>, Ibnu H{ajar Abu> al-Fad}l Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar. Fath
al-Bari> Syarh S{ahih al-Bukha>ri. t.tp.: Da>r al-Kutub
alSalafiyah, 2015.
al-‘Ikk, Khalid Abdurrahman. Kado Pintar Nikah: Merajut dan Membina
Rumah Tangga dari Pra Hingga Pasca Pernikahan. Cet. I;
Semarang: Pustaka Adnan, 2012.
al-Bukha>ri>, Muh}ammad Ibn Isma>’il Abu> ‘Abdullah. S{ah}i>h}
alBukha>ri. Cet. II; Bairu>t: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1987/1407
al-Iraqy, Bus\ainan al-Sayyid. Rahasia Pernikahan yang Bahagia. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2002.
al-Muba>rakfu>ri>, Muh}ammad ‘Abd al-Rah}ma>n bin ‘Abd al-Rah}i>m.
Tuh}fah al-Ah}waz\i> bi Syarh} Ja>mi’ al-Tirmiz\i>. Bairu>t: Da>r
alKutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Azadi, Sulaima>n Ibn al-Asy’as\ Abu> Da>wud al-Sajastani>. Sunan Abi>
Da>wud. t.t.: Da>r al-Fikr, t.th.
Ghazali>, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Cet. I; Bogor: Kencana, 2003.
al-Ghifari, Abu. Pacaran Yang Islami Adakah?. Bandung:
Mujahid Press, 2003.
Hamidy, Mu‘ammal. Halal dan Haram dalam Islam. t.t.: PT. Bina Ilmu,
1993. Husnani, Hasbi Indra, Iskandar Ahzada. Potret Wanita
Shalehah. Cet. III; Jakarta: Penamadani, 2004.
Khurnia. Memadukan Dakwa dan Keharmonisan Rumah Tangga. Bogor:
al-Azhar Press, 2005.
Lubis, Dwi Andi. Menjadi Pengantin Sepanjang Masa. Cet. I; Solo:
Aqwam, 2008.

xiii

Anda mungkin juga menyukai