Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“PERNIKAHAN ”

OLEH KELOMPOK II:

1. DIAN NOFFITRI
2. ALFIZA PUTRI
3. SELMA PUTRI
4. TEGAR ZOLANDA
5. AHMAD EFENDI ABAS
6. RENDI

KELAS : XII IPS 1

GURU PEMBIMBING : WILDA KHAIRATI S.Ag

SEKOLAH MENENGAH ATAS


SMA N 1 PANGKALAN KEC. PANGKALAN KOTO BARU
KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
TP. 2022/2023
KATA PENGANTAR
 
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pengerjaan makalah yang berjudul “Pernikahan
Dalam Agama Islam”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
 
 
Pangkalan, November 2022
 
 
Penyusun
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah.................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
1. Rukun dan Syarat Pernikahan......................................................................... 2
2. Walimah atau Resepsi Dalam Pernikahan....................................................... 6
3. Hak dan Kewajiban Suami Istri....................................................................... 9

BAB III PENUTUPAN


1. Kesimpulan ..................................................................................................... 16
2. Saran................................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA  .................................................................................................... 17


 
 
 
  
 
 

ii
BAB I
PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun keinginan didalam
dirinya. Pernikahan merupakan salah satu naluri serta kewajiban dari seorang
manusia. Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan
memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Swt.
Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain.
Setiap Makhluk pasti ingin berkembang biak dan memiliki keturunan,  tetapi yang
membedakan Manusia dengan makhluk – makhluk lainnya adalah ikatan pernikahan.
Allah S.W.T menganjurkan Manusia untuk menikah agar dapat mempertahankan
keberadaannya dan mengendalikan perkembangbiakan dengan cara yang sesuai dan
menurut kaiadah norma Agama, Laki-laki dan perempuan memiliki fitrah yang saling
membutuhkan satu sama lain.
 
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Apa saja rukun dan syarat pernikahan ?
2. Apa itu walimah atau resepsi dalam pernikahan ?
3. Apa saja hak dan kewajiban suami istri?

 
 

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN
1. Rukun Pernikahan
Rukun, yaitu sesuatu yang pasti ada yang menentukan sah atau tidakya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
adanya calon pengentin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.
Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan atau peristiwa hukum itu
tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut adalah tidak
sah dan statusnya “batal demi hukum”.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
a.       Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b.      Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang
akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :

)‫ت بِ َغي ِْر اِ ْذ ِن َولِيِّهَا فَنِ َكا ُحهَا بَا ِط ٌل (اخرجه االربعة اال للنسائ‬
ْ ‫اَيُّ َما ا ْم َرَأ ٍة نِ َك َح‬
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahannya batal”
Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda:

)‫رواه ابن ماجه و دار قطنى‬ ( ‫ج ْال َمرْ َأةُ نَ ْف َسهَا‬


ِ ‫ج ْال َمرْ ا َءةَ َواَل تُ َز ِّو‬
ِ ‫الَ تُ َز ِّو‬
“Janganlah seseorang perempuan menikahkan perempuan lainnya,
dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”.

c.       Adanya dua orang saksi


Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang
menyaksiakan akad nikah   tersebut, berdasarkan Hadis Nabi SAW:
)‫اح اِاِّل بِ َولِ ِّي َو َشا ِهدَى َع ْد ٍل (رواه احمد‬
َ ‫اَل نِ َك‬
d.      Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya
dari pihak   wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain,
yaitu pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau
transaksi, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan
2
adanya keinginan terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari
pihak istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua
baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan
ridhanya.
Berdasarkan pengertian di atas, ijab tidak dapat dikhususkan dalam hati sang
istri atau wali dan atau wakilnya. Demikian juga dengan qabul.Jika seorang laki-laki
berkata kepada wali perempuan: “Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan
putrimu bernama si fulanah”. Wali menjawab: “Aku nikahkan kamu dengan putriku
atau aku terima atau aku setuju”. Ucapan pertama disebut ijab dan ucapan kedua adalah
qabul. Dengan kata lain, ijab adalah bentuk ungkapan baik yang memberikan arti akad
atau transaksi, dengan catatan jatuh pada urutan pertama. Sedangkan qabul adalah
bentuk ungkapan yang baik untuk menjawab, dengan catatan jatuh pada urutan kedua
dari pihak mana saja dari kedua pihak.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan
yang lain. Seperti ucapan seorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau dengan putriku”
adalah ijab. Sedangkan yang lain berkata: “ Aku terima” adalah qabul. Tentang Jumlah
rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
1)      Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a)      Wali dari pihak perempuan
b)      Mahar (maskawin)
c)      Calon pengantin laki-laki
d)     Calon pengantin perempuan
e)      Sighat akad nikah
2)      Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a)      Calon pengantin laki-laki
b)      Calon pengantin perempuan
c)      Wal
d)     Dua orang saksi
e)      Sighat akad nikah

3)      Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad
yang
dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki).
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
3
a)      Sighat (ijab dan qabul)
b)      Calon pengantin perempuan
c)      Calon pengantin laki-laki
d)     Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun.

2.      Syarat Sahnya Perkawinan


Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila
syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya
segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang
bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon
mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan
dalam penyusunan syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari’at islam
menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai yang
sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
a.      Syarat-syarat calon suami
1)      Beragama Islam
2)      Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri
3)      Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
4)      Orangnya diketahui dan tertentu
5)      Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul
calon istrinya halal      baginya.
6)     Calon suami rela (tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan
itu dan atas kemauan sendiri.
7)      Tidak sedang melakukan Ihram.
8)      Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9)      Tidak sedang mempunyai istri empat
b. Syarat-syarat calon istri
1)      Beragama Islam
2)      Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
dalam sedang iddah.
4
3)      Terang bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
4)      Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
5)      Tidak dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
6)      Tidak sedang ihram haji atau umrah.1[11]

c.  Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau
wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah
seorang wali hendaknya:
1)      Laki-laki
2)      muslim
3)      Baligh
4)      Waras akalnya
5)      Adil (tidak fasik)
6)      Tidak dipaksa
7)      Tidak sedang berihram.

d.  Syarat-syarat saksi.
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang
laki-laki, muslim, baligh, berakal,tidak sedang mengerjakan ihram, melihat
dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah.2[12]

e.   Syarat Shigat/Ijab Kabul


Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya,
sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai pria atau wakilnya. Sighat ijab
kabul harus didasarkan kalimat nikah atau tazwij. Sesuai firman Alloh surat
an-Nisa’ ayat 3 dan surat al-Ahzab ayat 37. Mengenai ijab dan kabul ini di
dalam Kompilasi Hukum Islam disyaratkan bahwa:
1) Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun
dan tidak berselang waktu.

1[11]. Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.49-53

2[12]. Tihami dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta:
Rajawali Pers),2014, Cet.4, hlm.13-14

5
2) Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
3) Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria seecara
pribadi.
4) Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria.
5) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

f.   Mahar (maskahwin)
Mahar adalah hak mutlak calon mempelai wanita dan kewajiban
mempelai pria untuk memberikanya sebelum akad nikah dilangsungkan.
Mahar merupakan lambang penghalalan hubungan suami istri dan lambang
tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang kemudian
menjadi istrinya. Firman Allah swt:
‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً فَِإ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيًئا َم ِريًئا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”(QS. An-Nisa’ S[4] : 4).3[13]

B. WALIMAH ATAU RESEPSI DALAM PERNIKAHAN


Walimah adalah salah satu bagian dari prosesi pernikahan. Namun, tidak banyak
orang yang tahu apa pengertian dari kata tersebut dan apa hukumnya dalam Islam.

1. Arti Walimah

6
Menurut KBBI, pernikahan berasal dari kata dasar nikah, yang memiliki arti
ikatan atau akad perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan
ajaran agama.
Sedangkan menurut asal katanya, nikah berasal dari bahasa Arab yang berarti
Al-Jam’u yang berarti bertemu, berkumpul. Sementara dalam kompilasi hukum islam
(KHI) pernikahan adalah akad yang kuat untuk mentaati perintah Allah SWT, dan
melaksanakannya merupakan ritual ibadah. Selain akad, tentunya akan ada resepsi
pernikahan.
2. Perbedaan Walimah dan Resepsi
Banyak yang masih bertanya apakah walimah dan resepsi pernikahan itu
berbeda? Apa sih yang membuat dua hal tersebut berbeda?
Walimah berasal dari bahasa Arab Al-Walim yang memiliki arti berkumpul.
Namun secara syariah, kata ini didefinisikan sebagai undangan jamuan makan setelah
pernikahan. Biasanya diselenggarakan tepat setelah akad nikah selesai dilangsungkan.
Kata resepsi berdasarkan KBBI memiliki pengertian sebagai pertemuan (perjamuan)
resmi yang diadakan untuk menerima tamu (pada pesta perkawinan, pelantikan).
Resepsi pernikahan pada umumnya berisi kegiatan pengucapan selamat atau
bersalaman kepada pengantin, kemudian dilanjutkan dengan menikmati makanan
berupa makanan berat, ringan, dan juga minuman.
Biasanya juga menghadirkan musik untuk hiburan, bahkan tamu undangan
pun terkadang ikut berpartisipasi baik itu bernyanyi ataupun sekadar ikut menari
ringan. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa walimah dan resepsi
tidak terlalu berbeda.
Keduanya bertujuan untuk mengundang orang agar menghadiri suatu acara
yang nantinya akan ada pertemuan serta jamuan makan. Yang berbeda hanyalah
dalam penggunaan kata dari keduanya. Jika walimah biasanya digunakan untuk
menggambarkan acara pernikahan dalam agama Islam, sedangkan resepsi lebih
banyak digunakan secara umum untuk menggambarkan pernikahan dari berbagai
agama. Waktu terbaik untuk melaksanakan resepsi adalah setelah akad nikah selesai.
Rasulullah SAW pun pernah melaksanakan akad nikah di pagi hari, kemudian disusul
dengan mengadakan prosesi resepsi tersebut.

3. Dasar Hukum Walimah


7
Pada umumnya, resepsi pernikahan dilaksanakan sebagai sarana pemberi
kabar gembira kepada orang-orang dan juga bisa sebagai rasa syukur karena telah
selesai melaksanakan akad pernikahan.
Rasulullah SAW bersabda: “Selenggarakanlah walimah (resepsi) meskipun
hanya dengan menyembelih seekor kambing”.
Siti Aisyah berkata, Rasulullah SAW pernah juga bersabda:
“Umumkanlah pernikahan itu, dan jadikanlah masjid-masjid sebagai tempat
mengumumkannya, dan tabuhlah rebana-rebana.” (HR. Tirmidzi).
Dari hadis diatas telah jelas bahwasanya Rasulullah SAW pun menganjurkan
umatnya untuk menyelenggarakan acara berupa resepsi. Jadi, hukum mengadakan
resepsi dalam Islam adalah sunah atau tidak wajib. Dan minimal yang dihidangkan
ialah seekor kambing bagi yang mampu, atau bagi yang tidak mampu dapat
dipersilakan untuk menghidangkan jamuan semampunya. Meski tidak diwajibkan,
tetapi alangkah lebih baiknya jika resepsi pernikahan diselenggarakan walaupun
dengan cara yang sederhana, seperti yang telah Rasulullah SAW anjurkan.
Selain itu, Rasulullah SAW pun memperingatkan umatnya agar
menyelenggarakan resepsi dengan adil, yaitu dengan mengundang semua kalangan
baik itu orang yang tidak mampu maupun orang kaya. Karena seburuk-buruknya
hidangan adalah makanan yang dihidangkan hanya untuk orang-orang kaya saja.
Rasulullah SAW bersabda:
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang
orang kaya untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang.
Barang siapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka
kepada Allah dan Rasulnya.”

4. Hukum Menghadiri Walimah atau Resepsi


Salah satu hadis sahih menegaskan sebagai berikut:
“Jika kalian diundang dalam acara walimah, maka datanglah!” (HR Bukhari Muslim).
Para ahli fiqih pun lalu merumuskan bahwa menghadiri acara resepsi ini
hukumnya wajib jika itu berupa walimah pernikahan (‘urs).
Namun madzhab Syafi’i menyebutkan bahwa menghadiri undangan berupa resepsi itu
fardhu’ain bagi setiap yang diundang. Sedangkan untuk walimah akikah, haji, khitan,
hukumnya adalah sunah.
Kewajiban tersebut terikat beberapa syarat, yaitu:
8
1. Walimah seorang muslim.
2. Mendapatkan undangan secara khusus. Misalnya melalui telepon ataupun kartu
undangan. Jika undangan bersifat umum, maka tidak termasuk wajib dihadiri.
3. Tidak terdapat kemungkaran.
4. Tidak ada uzur yang menghalangi hadir. Seperti sedang sakit, safar, ataupun
mendapatkan undangan di waktu yang sama dengan tempat lain.
5. Jika menghadiri resepsi dalam keadaan berpuasa, maka sebaiknya tetaplah
berpuasa dan mendoakan pihak pengundang.
Jika tidak menghadiri acara tersebut karena alasan tersebut, sebaiknya
sampaikan juga permintaan maaf kepada tuan rumah atas ketidakhadirannya.
Misal dengan tetap memberikah hadiah atau karangan bunga pertanda doa
restu. Agar terhindar dari perbuatan menyakiti hati dan tetap menaruh hormat bagi
pihak pengundang. Anjuran atau kewajiban menghadiri resepsi tersebut akan gugur
jika terdapat kemaksiatan dalam pelaksanaan acara walimah pernikahan. Atau jika
terdapat kemudaratan yang lebih besar dari kemaslahatan baik untuk sendiri maupun
orang lain yang terkandung dalam acara resepsi tersebut.
Itulah pembahasan mengenai walimah dan hukumnya menurut agama Islam.
Selain itu, penting juga untuk mendatangi resepsi orang lain jika mendapatkan undang
Meski ada yang menyebut wajib dan ada pula yang sunnah, alangkah lebih baik
menghargai seseorang yang mengundang.

C. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI


1. Kewajiban Suami terhadap Isteri Menurut Al-Qur’an
Akad pernikahan dalam syariat Islam tidak sama dengan akad kepemilikan.
akad pernikahan diikat dengan memperhatikan adanya kewajiban-kewajiban di antara
keduanya. Dalam hal ini suami mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan
istrinya berdasarkan firman-Nya “akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada istrinya”. Kata satu tingkatan kelebihan dapat ditafsirkan dengan
firmannya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (QS. An-Nisa
ayat 34).
Pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak isteri, sehingga jika
berbicara tentang kewajiban suami terhadap isteri, maka bisa juga berarti hak isteri
atas suami.

9
Kewajiban adalah segala hal yang harus dilakukan oleh setiap individu,
sementara hak adalah segala sesuatu yang harus diterima oleh setiap individu. Dari
definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kewajiban adalah segala perbuatan
yang harus dilaksanakan oleh individu atau kelompok sesuai ketentuan yang telah
ditetapkan.
Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua macam yaitu hak
Allah dan hak Adam. Dan hak isteri atas suami tentunya merupakan dimensi
horizontal yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia sehingga dapat
dimasukkan dalam kategori hak Adam. Adapun yang menjadi hak istri atau bisa juga
dikatakan kewajiban suami terhadap isteri adalah sebagai berikut:
 Mahar
Menurut Mutafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus
diberikan oleh seorang laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon isteri)
karena pernikahan.
Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan Allah SWT. bagi
calon suami sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang
berbunyi:
َ ‫َو ٰاتُوا النِّ َسآ َء‬
‫فَا ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْی ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ْٓیــٴًـا َّم ِر ْٓیــٴًـا‬-ًؕ‫صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَة‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata ًؕ‫ النِحْ لَة‬menurut lbnu ‘Abbas
artinya mahar/maskawin. Menurut ‘A’isyah, ًؕ‫ النِحْ لَ ـة‬adalah sebuah keharusan.
Sedangkan menurut Ibnu Zaid ًؕ‫ النِحْ لَة‬dalam perkataan orang Arab, artinya sebuah
kewajiban. Maksudnya, seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan
dengan sesuatu yang wajib diberikan kepadanya, yakni mahar yang telah
ditentukan dan disebutkan jumlahnya, dan pada saat penyerahan mahar harus pula
disertai dengan kerelaan hati sang calon suami.
Senada dengan tafsir ath Thabari juga menjelaskan bahwa Perintah
memberikan mahar (dalam surat An-Nisa ayat 4) merupakan perintah Allah

10
SWT. yang ditujukan langsung kepada para suami dengan jumlah mahar yang
telah ditentukan untuk diberikan kepada isteri.
Praktik pemberian mahar tidak semua dibayarkan tunai ketika akad nikah
dilangsungkan, ada juga sebagian suami yang menunda pembayaran mahar
istrinya ataupun membayarnya dengan sistem cicil, dan ini dibolehkan dalam
Islam dengan syarat adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, hal ini selaras
dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi, “sebaik-baik mahar adalah mahar yang
paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini
shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)

 Nafkah, Pakain dan Tempat Tinggal.


Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran. Yakni
Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik
atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.[10]
Fuqaha telah sependapat bahwa nafkah terhadap istri itu wajib atas suami yang
merdeka dan berada di tempat. Mengenai suami yang bepergian jauh, maka
jumhur fuqaha tetap mewajibkan suami atas nafkah untuk istrinya, sedangkan
Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kecuali dengan putusan penguasa.[11]
Tentang kewajiban nafkah ini telah dijelaskan Allah SWT. dalam Al-Qur’an surat
Al Baqarah ayat 233.

ِ ْ‫ َو َعلَى ْال َموْ لُوْ ِد لَهٗ ِر ْزقُه َُّن َو ِكس َْوتُه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬-َؕ‫ضا َعة‬
‫اَل‬-ؕ‫ف‬ َ ‫ض ْعنَ اَوْ اَل َده َُّن َحوْ لَ ْی ِن َكا ِملَ ْی ِن لِ َم ْن اَ َرا َد اَ ْن ُّیتِ َّم ال َّر‬ ِ ْ‫ت یُر‬ ُ ‫َو ْال َوالِ ٰد‬
‫تُ َكلَّفُ نَ ْفسٌ اِاَّل ُو ْس َعهَا‬
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.”
Maksud dari kata ٗ‫ ْال َموْ لُوْ ِد لَه‬pada ayat di atas adalah ayah kandung si anak.
Artinya, ayah si anak diwajibkan memberi nafkah dan pakaian untuk ibu dari
anaknya dengan cara yang ma’ruf. Yang dimaksud dengan ‫ف‬ ْ ‫ بِـ‬adalah
ِ ْ‫ـال َم ْعرُو‬
menurut kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat tanpa berlebih-lebihan, juga

11
tidak terlalu di bawah kepatutan, dan disesuaikan juga dengan kemampuan
finansial ayahnya.
Adapun menyediakan tempat tinggal yang layak adalah juga kewajiban
seorang suami terhadap istrinya sebagaimana Firman Allah SWT berikut:
ُ ‫…اَ ْس ِكنُوْ ه َُّن ِم ْن َحی‬
‫ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن ُّوجْ ِد ُك ْم‬
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami)
bertempat tinggal menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).

 Menggauli istri secara baik.


Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu kewajiban suami
terhadap istrinya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran surat an-Nisa ayat 19
yang berbunyi:

ِ َ‫ْض َم ۤا ٰاتَ ْیتُ ُموْ ه َُّن اِاَّل ۤ اَ ْن یَّاْتِ ْینَ بِف‬


‫اح َش ٍة ُّمبَیِّنَ ۚـ ٍة‬ ِ ‫ضلُوْ ه َُّن لِت َْذهَبُوْ ا بِبَع‬ ُ ‫ٰۤیا َ ُّیهَا الَّ ِذ ْینَ ٰا َمنُوْ ا اَل یَ ِحلُّ لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َسآ َء كَرْ هًاؕ َواَل تَ ْع‬
‫فَا ِ ْن َك ِر ْهتُ ُموْ ه َُّن فَ َع ٰۤسى اَ ْن تَ ْك َرهُوْ ا َشیْــٴًـا َّویَجْ َع َل هّٰللا ُ فِ ْی ِه خَ ْیرًا َكثِ ْیرًا‬-‫ف‬
ِ ۚ ْ‫َوعَا ِشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai


wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
ِ ْ‫ َوعَا ِشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬adalah ditujukan kepada suami-suami
Maksud dari kata ‫ف‬
agar berbicara dengan baik terhadap para istri dan bersikap dengan baik dalam
perbuatan dan penampilan. Sebagaimana suami juga menyukai hal tersebut dari
istrinya, maka hendaklah suami melakukan hal yang sama. Sebagaimana hadist
dari riwayat ‘A’isyah ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang
paling baik terhadap keluargaku”. Dan di antara akhlak Rasulullah saw. adalah
memperlakukan keluarganya dengan baik, selalu bergembira bermain dengan
keluarga, bermuka manis, bersikap lemah lembut, memberi kelapangan dalam hal
nafkah, dan bersenda gurau bersama istri-istrinya.[13]

12
Adapun Imam Asy-Sya’rawi Rahimahullah mengatakan, ‫َاشـــرُوْ ه َُّن‬
ِ ‫َوع‬
ِ ْ‫ بِ ْال َم ْعرُو‬, Kata ‫ ْال َم ْعرُوْ ف‬memiliki pengertian yang lebih tinggi tingkatannya dari
‫ف‬
kata al–mawaddah. Karena makna kata al-mawaddah berarti perbuatan baik kita
kepada orang lain hanya didasarkan karena rasa cinta (al-hubb) atau karena kita
merasa senang dan bahagia dengan keberadaan orang itu. Adapun kata ‫ْال َم ْعرُوْ ف‬
maknanya kita berbuat baik kepada seseorang yang belum tentu kita sukai atau
kita senangi.[14] Artinya jika suatu saat istri kita sudah tidak lagi menarik secara
fisik atau keberadaannya sudah tidak menyenangkan lagi bahkan membangkitkan
kebencian dihati, maka tetaplah berlaku makruf terhadapnya dan bergaul
dengannya dengan sebaik-baiknya perlakuan sebagaimana perintah ayat tersebut,
karena bisa jadi satu sisi dia buruk namun pada sisi lainnya banyak kebaikan-
kebaikannya yang bisa menutupi keburukannya tersebut.

 Menjaga istri dari dosa.


Sudah menjadi kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk memberikan
pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah dan
RasulNya. Dengan ilmu agama seseorang mampu membedakan baik dan
buruknya prilaku dan dapat menjaga diri dari berbuat dosa. Selain ilmu agama,
seorang suami juga wajib memberikan nasehat atau teguran ketika istrinya khilaf
atau lupa atau meninggalkan kewajiban dengan kata-kata bijak yang tidak melukai
hati sang istri, sebagaimana Firman Allah SWT. surah At-Tahrim ayat 6 berikut :

‫ٰۤیا َ ُّیهَا الَّ ِذ ْینَ ٰا َمنُوْ ا قُ ۤوْ ا اَ ْنفُ َس ُك ْم َو اَ ْهلِ ْی ُك ْم نَارًا َّو قُوْ ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ َعلَ ْیهَا َم ٰلٓ ٕى َكةٌ ِغاَل ظٌ ِشدَا ٌد اَّل یَ ْعصُوْ نَ هّٰللا َ َم ۤا اَ َم َرهُ ْم َو‬
َ‫یَ ْف َعلُوْ نَ َما یُْؤ َمرُوْ ن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”

 Memberikan cinta dan kasih sayang kepada istri.


Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Ar Rum ayat 21 di atas pada
kalimat ًؕ‫ َو َج َع َل بَ ْینَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمـ ة‬dapat juga dimaknai bahwa seorang suami wajib

13
memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya yang terwujud dalam
perlakuan dan perkataan yang mampu membuat rasa tenang dan nyaman bagi istri
dalam menjalankan fungsinya sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga. Adapun
bentuk perlakuan tersebut bisa berupa perhatian, ketulusan, keromantisan,
kemesraan, rayuan, senda gurau, dan seterusnya.
Dalam memberikan cinta dan kasih sayang bukanlah atas dasar besar kecilnya
rasa cinta kita kepada istri, akan tetapi hal tersebut merupakan perintah Allah
SWT. agar suami istri saling mencinta dan berkasih sayang sebagai wujud
kepatuhan kepada Allah SWT. Jika memberikan cinta dan kasih sayang antara
suami istri sudah disandarkan pada perintah Allah SWT. maka as-sakiinah
(ketentraman) dalam rumah tangga akan mudah kita raih.

2. Kewajiban Isteri Terhadap Suami Menurut Al-Qur’an


 Taat kepada suami
Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat
dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:

ٌ ‫ت ٰحفِ ٰظ‬ ٌ ‫ت ٰقنِ ٰت‬ ّ ٰ ‫فَال‬-ؕ‫ْض َّو بِ َم ۤا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬ ٰ ‫اَلرِّ جا ُل قَ ٰ ّوموْ نَ َعلَى النِّسآء بما فَ َّ هّٰللا‬
‫ب بِ َما‬ ِ ‫ت لِّ ْل َغ ْی‬ ُ ‫صلِ ٰح‬ ٍ ‫ضهُ ْم عَلى بَع‬ َ ‫ض َل ُ بَ ْع‬ َِ ِ َ ُ َ
-ؕ ‫فَا ِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوْ ا َعلَ ْی ِه َّن َسبِ ْیاًل‬-‫ضا ِج ِع َو اضْ ِربُوْ ه ۚ َُّن‬ ٰ ‫هّٰللا‬
َ ‫ َو الّتِ ْی تَ َخافُوْ نَ نُ ُشوْ َزه َُّن فَ ِعظُوْ ه َُّن َو ا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِی ْال َم‬-ُؕ َ‫َحفِظ‬
‫اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِیًّا َكبِ ْیرًا‬
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari َ‫اَل ِّر َجا ُل قَ ٰ ّو ُموْ ن‬
‫ َعلَى النِّ َسآ ِء‬adalah kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum wanita. Artinya
dalam rumah tangga seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus
didengar dan ditaati perintahnya, oleh karenaa itu sudah seharusnya seorang Istri

14
mentaati suaminya jika memerintahkannya dalam kebaikan. Menurut Ibnu Abbas
maksud kata ‫ت‬ٌ ‫ ٰقنِ ٰت‬adalah para istri yang taat kepada suami.[15] Artinya wanita
sholeh itu salah satu tandanya adalah taat kepada suami selama perintahnya tidak
menyelisihi Allah dan Rasulnya.

 Mengikuti tempat tinggal suami


Setelah menikah biasanya yang jadi permasalahan suami istri adalah tempat
tinggal, karena kebiasaan orang Indonesia pada masa-masa awal menikah suami
istri masih ikut di rumah orang tua salah satu pasangan lalu kemudian mencari
tempat tinggal sendiri. Dalam hal ini seorang istri harus mengikuti dimana suami
bertempat tinggal, entah itu di rumah orang tuanya atau di tempat kerjanya.
Karena hal tersebut merupakan kewajiban seorang istri untuk mengikuti dimana
suami bertempat tinggal, sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:

ُ ‫…اَ ْس ِكنُوْ ه َُّن ِم ْن َحی‬


‫ْث َس َك ْنتُ ْم ِّم ْن ُّوجْ ِد ُك ْم‬

Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat


tinggal menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).

 Menjaga diri saat suami tak ada


Seorang wanita yang sudah menikah dan memulai rumah tangga maka
harus membatasi tamu-tamu yang datang ke rumah. Ketika ada tamu lawan jenis
maka yang harus dilakukan adalah tidak menerimanya masuk ke dalam rumah
kecuali jika ada suami yang menemani dan seizin suami. Karena perkara yang
dapat berpotensi mendatangkan fitnah haruslah dihindari. Allah SWT berfirman,
“Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya
tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. Annisa:34).

15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran telah memberi petunjuk
kepada pasangan suami istri tentang bagaimana semestinya membina rumah tangga agar
dapat mendatangkan sakinah mawaddah dan rahmah dalam rumah tangga. Tentu caranya
tidak lain adalah dengan menjalankan kewajiban masing-masing sebagai suami istri.
Adapun kewajiban suami terhadap isteri yakni memberikan mahar kawin, nafkah
yang layak sesuai kemampuan, pakain dan Tempat Tinggal, menggauli istri secara
makruf (baik), menjaga istri dari dosa, memberikan cinta dan kasih sayang. Selain suami,
istri juga harus menjalankan kewajibannya terhadap suami, yakni mentaati suami,
mengikuti tempat tinggal suami, melayani kebutuhan biologis suami kecuali ada halangan
syar’i, menjaga diri saat suami tak ada, dan tidak keluar rumah kecuali dengan izin
suami..

B. SARAN
Dengan adanya pernikahan diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah,
mawadah, dan warohmah, dunia dan akhirat.
Pernikahan menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia yang
kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera rumah tangga, kehidupan
diharpakan menjadi lebih bermakna dan suami istri dan istri-istri akhir zaman ini
memiliki semangat yang tinggi di jalan Allah Swt. Amiin . .

16
DAFTAR PUSTAKA

 https://pa-palangkaraya.go.id/hak-dan-kewajiban-suami-isteri-dalam-perspektif-
al-quran/
 https://www.orami.co.id/magazine/walimah
 https://curutpurwosari13.blogspot.com/2017/05/makalah-fiqh-ibadah-pernikahan-
lengkap.html

17

Anda mungkin juga menyukai