Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

       Latar Belakang


Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna
ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan,
tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam
Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat
Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah).
Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang
yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia,
ketika manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat
adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya
manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia
dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah
diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
  
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Definisi dan Dasar Hukum Nikah.


Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ‫اح‬88‫النك‬ ), adapula yang mengatakan
perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[1][7]Sedangkan
menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara
pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya
berbeda dalam menarik akar katanya saja.[2][8] Perkawinan adalah ;
‫عبارة عن العقد المشهور المشتمل على األركان والشروط‬
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan
syarat-syarat.[3][9]
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada
umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
‫ بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما‬ ‫عقد يتضمن ملك وطء‬
 Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan
dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau
makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.[4][10]
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu
akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali
terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21)

B.      Rukun Nikah
1.         WALI
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:

‫اط ٌل‬
ِ َ‫ب‬ .‫اط ٌل‬ ْ ‫ايُّ َما ا ْم َرأ ِة نُ ِك َح‬
ِ َ‫ فَنِ َك ُحهَا ب‬،‫ت بِ َغي ِْر ا ِذ ِن َولِ ْيهَا‬
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal…
batal.. batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2.         SAKSI
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:
‫اح االَّ بِ َولِي َو َشا ِه َديْ َع ْد ِل‬
َ ‫الَ نِ َك‬
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi
dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist di
kuatkandengan hadits-hadits lain.”)
3.         AKAD NIKAH
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari
pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan
anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima
nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1.         Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2.         Adanya Ijab Qabul.
3.         Adanya Mahar.
4.         Adanya Wali.
5.         Adanya Saksi-saksi.
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.         Kedua belah pihak sudah tamyiz.
2.         Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi
dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi
peristiwa ijab qobul.
Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-
masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari
kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar. Dan menurut
sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun
Nikah atau Khutbatul Hajat.

Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim.


“Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang
bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama
Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”
4.         MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang
wanita.Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang
dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas
menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar
dalam syari’at Islam,tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan
kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar meringankan mahar.
Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah
(ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)
C.     Khitbah ( peminangan )
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya
meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu
dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita
tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
ْ ‫الَ يَ ْخطُبُ ال َّر ُج ُل َعلَى ِخ‬
َ ‫طبَ ِة أَ ِخ ْي ِه َحتَّى يَ ْن ِك َح أَ ْو يَ ْت ُر‬
‫ك‬
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga
saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).”
(HR. Al-Bukhari no. 5144)
         Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia
hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan
perkara berikut ini:
1.         Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang
demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia
menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
ٌ‫ إِالَّ تَ ْف َعلُوا تَ ُك ْن فِ ْتنَة‬،ُ‫ض ْو َن ِد ْينَهُ َو ُخلُقَهُ فَ َز ِّوج ُْوه‬
َ ْ‫ب إِلَ ْي ُك ْم َم ْن تَر‬
َ َ‫فَ َسا ٌد َع ِريْضٌ إِ َذا َخط‬
ِ ْ‫فِي ْاألَر‬
‫ض َو‬
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang
tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di
bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
2.         Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh
memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu.

D.     Hukum Menikah
Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima yaitu :
1.         Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah mendesak untuk
melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek perzinahan.
2.         Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin kepada
calon istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
3.         Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan untuk
nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.
4.         Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member belanja calon
istrinya.
5.         Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera nikah atau
karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.

E.      Anjuran Islam
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak hikmah di
balik anjuran tersebut. Antara lain adalah :
1.         Sunnah Para Nabi dan Rasul
‫ ٍل‬8‫لِّ أَ َج‬8‫إِ ْذ ِن هّللا ِ لِ ُك‬8ِ‫ ٍة إِالَّ ب‬8َ‫ُول أَن يَأْتِ َي بِآي‬
ٍ ‫ َو ُذ ِّريَّةً َو َما َكانَ لِ َرس‬8‫َولَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا ُر ُسالً ِّمن قَ ْبلِكَ َو َج َع ْلنَا لَهُ ْم أَ ْز َوا ًجا‬
ٌ‫ِكتَاب‬
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang
Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada
Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal yang merupakan sunnah
para rasul : [1] Hinna',1 [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)
2.         Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah

َ 8‫ا َو َج َع‬88َ‫ق لَ ُكم ِّم ْن أَنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيه‬
ً‫ ة‬8‫ل بَ ْينَ ُكم َّم َو َّدةً َو َرحْ َم‬8 َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن َخل‬
َ ‫ت لِّقَ ْو ٍم يَتَفَ َّكر‬
‫ُون‬ ٍ ‫ك آَل يَا‬َ ِ‫إِ َّن فِي َذل‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum : 21)
3.         Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya

ُ ‫راء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا‬8 َ ‫َوأَن ِكحُوا األَيَا َمى ِمن ُك ْم َوالصَّالِ ِح‬
َ 8َ‫وا فُق‬88ُ‫ائِ ُك ْم إِن يَ ُكون‬88‫ا ِد ُك ْم َوإِ َم‬88َ‫ين ِم ْن ِعب‬
ِ ‫ِمن فَضْ لِ ِه َوهَّللا ُ َو‬
‫اس ٌع َعلِي ٌم‬
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)

4.         Ibadah Dan Setengah Dari Agama


Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT
seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka
dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
5.         Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan
tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang
membawa kepada perbuatan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan
gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang
dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup
membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan
supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan
hubungan dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan
diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta
akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata:
'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka
memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu
akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia,
berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan
kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
ْ ‫ ُد‬8َ‫ َّل هّللا ُ لَ ُك ْم َوالَ تَ ْعت‬8‫ا أَ َح‬88‫ت َم‬
ُّ‫وا إِ َّن هّللا َ الَ يُ ِحب‬ ْ ‫وا الَ تُ َحرِّ ُم‬8
ِ ‫ا‬8َ‫وا طَيِّب‬8 ْ 8ُ‫ين آ َمن‬
َ ‫ا الَّ ِذ‬8َ‫ا أَيُّه‬8َ‫ي‬
َ ‫ْال ُم ْعتَ ِد‬
‫ين‬
Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang
dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah
tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. (QS. Al-Maidah: 87)
6.         Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari
makhluq hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini
diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.
َ ‫َو ِمن ُكلِّ َش ْي ٍء َخلَ ْقنَا َز ْو َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر‬
‫ُون‬
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)

F.       Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan
syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun
hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1.         Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
... ْ‫ب َم ِن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوج‬
ِ ‫يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah
maka hendaknya ia menikah….”
2.         Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‫ فَإِنِّي ُم َكاثِ ٌر بِ ُك ُم اأْل ُ َم َم‬،‫تَ َز َّوج ُْوا ْال َو ُد ْو َد ْال َولُ ْو َد‬
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat
nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3.         Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan
istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
‫ي ٌر‬88ِ‫ك أَ ْز َكى لَهُ ْم إِ َّن هللاَ َخب‬ َ ‫ر‬8ُ‫وا ف‬88ُ‫ار ِه ْم َويَحْ فَظ‬
َ 8ِ‫ُوجهُ ْم َذل‬ َ ‫ين يَ ُغضُّ وا ِم ْن أَب‬
ِ ‫ْص‬ َ ِ‫قُلْ لِ ْل ُم ْؤ ِمن‬
َ ‫ظ َن فُر‬
‫ُوجه َُّن‬ ْ َ‫ار ِه َّن َويَحْ ف‬ َ ‫ت يَ ْغضُضْ َن ِم ْن أَب‬
ِ ‫ْص‬ ِ ‫ َوقُلْ لِ ْل ُم ْؤ ِمنَا‬ .‫ُون‬
َ ‫بِ َما يَصْ نَع‬
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu
lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’
Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)

G.     Hikmah Pernikahan
1.         Untuk menjaga kesinambungan generasi manusia.
2.         Menjaga kehormatan dengan cara menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i.
3.         Kerja sama suami-istri dalam mendidik dan merawat anak.
4.         Mengatur rumah tangga dalam kerjasama yang produktif dengan memperhatikan hak dan
kewajiban.

H.     Pemikiran Tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia.


Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan
yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU
Perkawinan, yang berbunyi:
1.         Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
2.         Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal ini terus terjadi karena perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sudah
dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan perkawinannya. Alasan yang
paling umum adalah biaya yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan,
terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI).
Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah
sirri.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini sama saja
dengan membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang tidak tetap, dan ini
sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah
ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama
tanpa dicatatkan perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan dijadikannya satus anak
tersebut sama dengan anak yang lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut
hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan
hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.
Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam
artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan.
Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang
khususnya merugikan perempuan dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat
membuktikan terjadinya perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan
itsbat nikah (penetapan atau pengesahan nikah) kepada pengadilan agama.

I.         Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:[5][1]
             

1.         Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri), dikarenakan
pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali atau
hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-
ketentuan syariat.
2.         Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan
negara.
Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan sirri adalah:
             

1.         Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau
salah satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat menjodohkan
anaknya dengan calon pilihan mereka. Orang tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk
mengikat dulu supaya tidak diambil oleh orang lain.
2.         Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu atau kedua
pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan telah mempunyai istri atau suami yang
resmi, tetapi ingin menikah lagi dengan orang lain.
3.         Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina. Kekhawatiran karena
hubungannya yang semakin hari semakin dekat, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya
perbuatan yang melanggar syariah. Pernikahan siri dianggap sebagai jalan keluar yang
mampu menghalalkan gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran terjadinya zina.
4.         Nikah sirri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan secara sosial.
Hal ini biasa dilakukan oleh para mahasiswa, disamping karena khawatir terjadi zina, mereka
masih kuliah, belum punya persiapan jika harus terbebani masalah rumah tangga. Status
pernikahanpun masih disembunyikan supaya tidak menghambat pergaulan dan aktivitas
dengan teman-teman di kampus.
5.         Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur
hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang
bersentuhan dengan dunia luar. Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang
menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama dalam semua
permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh kyainya, pernikahan
sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan, juga nikah sirri dilakukan untuk
menghindari beban biaya dan prosedur administrasi yang berbelit-belit.
6.         Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan badan saja. Bila
setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus
melewati prosedur yang berbelit-belit di persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat
merendahkan posisi perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan
terhadap lembaga pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.
Di Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga, dengan
disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU ini,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan
pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1.         Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
2.         Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[6][2]
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975
tentang pencatatan perkawinan. “Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka
yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat
2 PP No. 9 tahun 1975” dengan dicatat di kantor catatan sipil.[7][3]
Namun yang terjadi di lapangan adalah, terjadi dikotomi antara apa yang dipahami
sebagai syarat sah perkawinan menurut kelompok tradisional dengan kelompok modern. Kali
ini, fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
mengesahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari forum ijtimayang
dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar
beberapa waktu lalu di kompleks pondok modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa
Timur”[8][4]. Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini menghasilkan dua
jawaban
1.         Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi
berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif ataumudharat.
2.         Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun
nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.[9][5]
Dua jawaban di atas menunjukkan ketidak tegasan MUI dalam menanggapi masalah
nikah di bawah tangan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran modern yang terus
berjuang untuk melaksanakan pencatatan nikah sebagai bagian dari rukun nikah sehingga
tidak terdapat kemudharatan dan dapat dijadikan sebagai alat perlindungan terhadap wanita.
Menurut Muhammad Quraish Shihab setiap perkawinan yang dilakukan di Indonesia harus
dicatatkan kepada pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.[10][6]
Sebagai contoh bahayanya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan mengalami
kegagalan untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak dapat menunjukkan
bukti yang otentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya dalam keluarga, akta
perkawinan mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai bukti jika dalam keluarga
terjadi peristiwa kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan
seorang isteri dan tiga orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris
dari si suami (yang meninggal).
Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah isteri yang
sah dari suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana caranya untuk
membuktikan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung yang sah (nasabnya
kepada orang tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti
otentik berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata lain,
dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan oleh
suaminya mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia benar-benar
sebagai janda dari si suami yang telah meninggal dunia.
Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari pencatatan
nikah adalah untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal perkawinan dan nasab
anak. Segala peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber adanya kepastian perkawinan di
bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya pada saat terjadinya koflik
dan pertengkaran yang berujung dengan perceraian walau perceraian tersebut itu pun di
bawah tangan juga.

J.       Putusan MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.


Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :
1.    Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia
secara nasional; dan
2.    Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain. (pasal
10).[11][11]
Adapun tentang nikah di bawah tangan dijelaskan di dalam diskripsi masalahnya bahwa
nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi
semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan
resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.[12][12]
Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif (mudharat) terhadap istri dan atau
anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain
sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit
dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Komisi fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk
membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih
sesuai dengan ketentuan agama Islam. Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini
adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh(hukum
Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan.
Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara
resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif
atau al-mudharat (saddan li adz-dzari’ah). Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah
karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu
yang mudharat.[13][13]
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara
konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya
pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan
syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan
hendaknya diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui walimatul-'ursy. Nabi saw
bersabda:

)‫اح َواضْ ِربُوا َعلَ ْي ِه بِ ْال ِغرْ بَا ِل(رواه ابن ماجة عن عائشة‬
َ ‫أَ ْعلِنُوا هَ َذا النِّ َك‬
Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah).

ٍ ‫أَ ْولِ ْم َولَ ْو بِ َشا ٍة (رواه البخارى عن َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن ب ُْن َع ْو‬


)‫ف‬
Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing
(HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf).
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan,
pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman
dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia,
telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk
ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk
melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya
perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi
perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang
lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-
masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang
terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan
dibuatnya undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak
bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum
semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
‫الَ يُ ْن َك ُر تَ َغيُّ ُر ْاألَحْ َك ِام بِتَ َغي ُِّر ْاألَ ْز َما ِن‬
Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan[14][14] :
‫ت َو ْال َع َوائِ ِد‬
ِ ‫ب تَ َغي ُِّر ْاألَ ْز ِمنَ ِة َو ْاألَ ْم ِكنَ ِة َو ْاألَحْ َوا ِل َوالنِّيَّا‬ ْ ‫تَ َغيُّ ُر ْالفَ ْت َوى َو‬
ِ ‫اختِالَفُهَا ِب َح ْس‬
Perubahan  fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan,
niat dan adat istiadat
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat 282)
      Akad nikah bukanlah muamalah biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat,
seperti disebutkan dalam al-Qur'an :
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa ayat 2)
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya
akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan,
kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak
diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh
pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan
pihak lain terutama isteri dan anak-anak.[15][15] Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan
merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam
kaidah:
ٌ ‫لى الرَّ عِ َّي ِة َم ُن ْو‬
‫ط ِب ْال َمصْ لَ َحة‬ ِ ‫صرُّ فُ ْا‬
َ ‫ال َما ُم َع‬ َ ‫َت‬
Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan
rakyatnya.

K.      Hak istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh suami)
1)   Terkait kebendaan
Salah satunya adalah memberikan mahar. Karena mahar merupakan keadilan dan keagungan bagi
para wanita. Harta suami adalah harta istri, harta istri adalah miliknya sendiri.
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa
4)
Kedua adalah memberikan belanja (nafkah)
Memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang harus
diberikan kepada istri janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS Al Baqarah 233)
2)   Hak bukan kebendaan (rohaniyah)
 Pertama, mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.
“…pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
(QS An Nisa 19)
 Kedua,Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati istrinya. Tahu sendiri kan hati
wanita itu seperti apa? Banyak ditemukan suami yang menghardik istrinya karena tak bisa
melampiaskan kekesalan yang ada dalam hatinya.
 Ketiga, mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu
perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh kesulitan dan mara bahaya. Maka, jika dia adalah
suami yang baik, dia tak akan pernah menjual istrinya ke rumah-rumah bordil atau tampil seksi di
depan umum hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal itu bukanlah pernikahan. Jika terjadi seperti
itu, gugat cerailah, karena pernikahan seperti itu tak akan mendatangkan manfaat.
 Keempat, mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari suaminya.
 Kelima, mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak. Kalau ada istri yang telah menunaikan
kewajibannya dengan baik sebagai maka suami TIDAK BOLEH melarangnya untuk menghadiri
majelis ilmu selama suami belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
 Keenam, berlaku adil ketika melakukan poligami. Tenang, nggak semua pria ingin melakukan poligami
kok. Jadi jangan anti dengan kata yang satu ini.
L.       Hak suami atas istri (Yaitu kewajiban yang HARUS dipenuhi istri kepada suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi istri adalah hak yang sifatnya bukan benda, karena istri
seharusnya tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup
dalam rumah tangga. Bahkan diutamakan istri tak bekerja mencari nafkah. Hal ini dimaksudkan agar
istri dapat fokus membina keluarga. Menjadi perkecualian jika tulang rusuk telah menjadi tulang
punggung keluarga, yang muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar negeri sedangkan
suaminya “angon” di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai atau suaminya
meninggal.
 Pertama, menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
 Kedua, memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
 Ketiga, taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan
maksiat.
 Keempat, menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di rumah.
 Kelima, menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai suaminya. Termasuk di
dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan perempuan nya ke rumah selama suami tidak ada.
 Keenam, menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak
enak didengar.
 Ketujuh, tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang semakin canggih izin lebih
mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan media yang lain.
M.     Hak bersama suami istri
Telah dihalalkan bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja dilarang untuk
mendatangi istri di saat haid, nifas,  ihram, dzihar (menyamakan punggung istrinya seperti punggung
ibunya sehingga tak ada keinginan untuk menggaulinya). Seorang suami yang mendzihar istrinya
harus membayar kafarat (denda) dengan membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan
berturut-turut jika ingin kembali pada istrinya.
1.      Pertama, hak untuk saling mendapatkan warisan
2.      Kedua, Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak
3.      Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
4.      Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 –
Al-Hujuraat: 10)
5.      Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6.      Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7.      Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan bersama dalam rumah tangga bagi suami istri adalah
memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan dan memelihara kehidupan
pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.
BAB III
PENUTUP

Simpulan
             

Bagaimanapun aturan undang-undang perlu untuk diperhatikan manakala tidak ada satu
hal yang mengharuskan untuk berpaling darinya. Sehingga dalam kondisi ikhtiyari(normal),
pasangan suami isteri sebaiknya mengikuti segala aturan undang-undang. Tetapi ketika ada
kebutuhan untuk melakukan pernikahan tanpa pencatatan, pernikahan ini boleh-boleh saja
dilakukan. Dan memang, tidak ada cukup alasan fiqh untuk melarang apalagi mentidaksahkan
pernikahan ini.[16][16]
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan,
kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak
diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh
pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan
pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA

  Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986.  Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr


  Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa
tahun. Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga
  Djalil, Abdul.  2000.  Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yoyakarta: LKIS
Yogyakarta
  Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
  Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press
  Redaksi Sinar Grafika. 2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan
Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai
Negeri Sipil. Jakarta: Sinar Grafika
  Shihab, Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta:
Lentera Hati
  Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
  Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada:
Jum'at, 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
  MUI online, Keputusan Komisi B Ijtima MUI dalam http://halalguide.com
  Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com
  Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id

[1][7] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
h.
[2][8] Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 62
[3][9] Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i, Kifayah al-
Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), Juz 2, h. 36
[4][10] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid
IV, h.
[5][1] Muhammad Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta:
Lentera Hati, 2010),  h. 557-558
[6][2] Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk
Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),  h. 1-2
[7][3] Ibid, h. 32
[8][4] Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com, 6 Februari 2012
[9][5] MUI online, “Keputusan Komisi B Ijtima MUI” dalam http://halalguide.com, 6 Februari 2012
[10][6] Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com,  6 Februari 2012
[11][11] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 171
[12][12] Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id, 6 februari 2012
[13][13] Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id,  6 februari 2011
[14][14] I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, h. 3.
[15][15] Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada:
Jum'at, 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
[16][16] Abdul Djalil, Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yoyakarta: LKIS
Yogyakarta, 2000), h. 289

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan seorang laki-laki
menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan dengan tujuan mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai adab-adab
tertentu dan tidak bisa di lakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi sebuah perbuatan zina.
Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai
dengan kaidah agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh Allah SWT.  
B.       Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dan tujuan pernikahan menurut pandangan Islam ?


2.      Bagaimanakah hukum pernikahan menurut pandangan Islam ?
3.      Bagaimanakah cara-cara pernikahan yang sah menurut pandangan Islam?
4.      Apa hikmah pernikahan menurut pandangan Islam ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pernikahan
Menurut Bahasa, pernikahan adalah al-jam’u dan al-dhamu yang berarti berkumpul atau
bergabung. Sedangkan menurut istilah, pernikahan adalah akad serah terima antara laki-laki
dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan diri antara satu sama lain untuk
membentuk sebuah bahtera rumah tangga  yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan
yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Sebelum Islam datang, hubungan lawan jenis  pria dan wanita tidak terarah dan terjaga,
maka datanglah Islam dengan syariat nikah yang mulia. Berikut ini di antara pernikahan
jahiliyyah yang dibatalkan oleh Islam:
1.      Nikah khidn, yakni wanita mencari laki-laki tertentu sebagai kawan untuk melakukan
perzinaan dengannya secara sembunyi-sembunyi. (lihat QS. An Nisaa’: 25).
2.      Nikah Badal, yakni seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, “Taruhlah istrimu
kepadaku, nanti aku akan taruh  istriku dan aku akan berikan tambahan.”
3.      Nikah Istibdhaa’, yakni seorang suami berkata kepada istrinya setelah istrinya selesai haidh,
“Pergilah kepada si fulan, dan berhubunganlah dengannya agar kamu mendapatkan bibit yang
baik," lalu suaminya menjauhinya sampai istrinya hamil. Ketika jelas hamilnya, maka ia
menggauli jika mau. Nikah ini tujuannya untuk mendapatkan bibit unggul.
4.      Ada juga pernikahan dengan cara sekumpulan laki-laki (kurang dari sepuluh) menemui
seorang wanita, semuanya menjima’inya. Ketika wanita itu sudah hamil, lalu melahirkan dan
telah lewat beberapa hari, wanita itu mengirim seseorang kepada sekumpulan laki-laki itu, di
mana masing-masing mereka tidak dapat menolak. Ketika mereka telah berkumpul di
hadapan wanita itu, wanita itu berkata, “Kalian sudah tahu tentang perbuatan kalian.
Sekarang saya sudah melahirkan. Anak ini adalah anakmu wahai fulan," wanita itu
menentukan laki-laki yang disukainya untuk menasabkan anaknya kepada laki-laki itu, dan
laki-laki itu tidak bisa menolaknya.
5.      Ada juga cara lain selain di atas, yaitu ketika orang-orang berkumpul, kemudian mereka
menemui kaum wanita pelacur, di mana kaum wanita itu tidak menolak orang yang datang
kepadanya. Wanita-wanita pelacur ini biasanya memasang bendera di pintunya sebagai tanda
bolehnya siapa saja mendatanginya dan menggaulinya. Ketika wanita ini hamil kemudian
selesai melahirkan, orang-orang berkumpul di hadapannya dan mengundang qaaffah (ahli
nasab dengan cara melihat kesamaan), lalu menasabkan anak itu kepada orang yang mereka
lihat mirip.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan
qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari
bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran
menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah
bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara
makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan
mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT,
"Yadullahi fawqa aydihim". Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya
"Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan
Bani Israil dan juga Perjanjian Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat, Allah
juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho".
Karena janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai.
B.       Tujuan Pernikahan
Allah SWT. sangat menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan apabila telah
memenuhi syarat untuk menikah. Sebagaiman firman Allah dalam (Q.S. AR-Ruum : 31)
yang berbunyi :

‫أَ ْن َخلَ َق لَ ُكم ِّم ْن أَن ُف ِس ُكم أ َْز ٰو ًجا لِّتَس ُكنُوا إِلَْي َها و َج َعل َبْينَ ُكم َّمو َّدةً ورمْح َةً إِ َّن ىِف‬ ٓ‫و ِم ْن ءايَٰتِ ِهۦ‬
ََ َ َ َ ْ َ ْ َ َ
‫ٰت لَِّق ْوٍم َيَت َف َّك ُرو َن‬
ٍ ‫ك َلءاي‬
َ َ َ ‫َذل‬
ِٰ
Artinya :
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [QS. Ar.
Ruum (30):21].
Dan adapun hadist yang menganjurkan untuk melakukan pernikahan yaitu :
, ‫ص ُن لِْل َف ْر ِج‬ ْ ‫ َوأ‬, ‫ص ِر‬
َ ‫َح‬
ِ ُّ ‫ فَِإنَّه أَ َغ‬, ‫اب م ِن استطَاع ِمْن ُكم اَلْباءةَ َف ْليتز َّوج‬
َ َ‫ض ل ْلب‬ ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ َ َ‫يَا َم ْع َشَر اَلشَّب‬
ِ
ِ ِ َّ ِ‫"ومن مَلْ يستَ ِط ْع َف َعلَْي ِه ب‬.
ٌ‫الص ْوم ; فَإنَّهُ لَهُ ِو َجاء‬ ْ َ ْ ََ
Artinya :
Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang mampu menikah, maka hendaknya ia
menikah. Karena nikah itu dapat menundukkkan pandangan dan menjaga kehormatan.
Namun barang siapa yang tidak mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat
memutuskan syahwatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun tujuan pernikhan dalam Islam :
1.      Menjaga diri dari perbuatan haram
2.      Memperbaiki keturunan
3.      Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.
4.      Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat menjaga
kelestarian hidup umat manusia.
5.      Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan berumah tangga
bersama anak-anak.
Hubungan ini akan menumbuhkan rasa kasih sayang, sikap jujur, dan keterbukaan, serta
saling menghargai satu sama lain sehingga akan meningkatkan kualitas seorang manusia.
6.      Melahirkan organisasi (tim) dengan pembagian tugas/tanggungjawab tertentu, serta melatih
kemampuan bekerjasama.
7.      Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga, sehingga memupuk rasa
sosial dan dapat membentuk masyarakat yang kuat serta bahagia.
C.      Hukum Pernikahan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sudah diatur oleh hukum, baik itu hukum negara,
hukum agama, maupun hukum adat, semuanya sudah diatur sedemikian mungkin. Didalam
hal perkawinan pun juga telah diatur menurut agamanya masing-masing, agama manapun
telah mengatur hukum tentang perkawinan. Begitu pun dalam Agama Islam telah diatur
hukum-hukum pernikahan yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Para ulama berbeda
pendapat mengenai hukum pernikahan. Ada yang mengatakan hukum pernikahan itu wajib,
ada juga sebagian mengatakan sunnah, dan selebihnya berkata hukum pernikahan itu mubah.
Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya perbedaan penafsiran terhadap bentuk kalimat
perintah dalam Al-Qur’an maupun hadist yang berkaitan dengan masalah ini.
Terlepas dari pendapat para Imam / Madzhab yang berbeda pendapat didalam
mendefinisikan dan menafsirkan arti perkawianan. Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah,
islam sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan
perkawinan. Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan
perkawinan serta tujuan dari perkawinan, maka melaksanakan suatu perkawinan itu dapat
dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan bisa menjadi haram.
1.      Pernikahan Hukumnya Wajib
Suatu pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya apabila seseorang sudah mampu melakukan
perkawinan dan nafsunya sudah mendesak dan ditakutkan akan terjerumus dalam perzinaan,
maka baginya wajib melakukan pernikahan. Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama
tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang
mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah
SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
‫ضلِ ِه‬
ْ َ‫احا َحىَّت ٰ يُ ْغنَِي ُه ُم اللَّهُ ِم ْن ف‬ ِ ِ
ً ‫ين اَل جَي ُدو َن ن َك‬
ِ َّ ِ ِ
َ ‫َولْيَ ْسَت ْعفف الذ‬
                        Artinya :
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. [Q.S. An-Nur (24) : 33]
2.      Pernikahan Hukumnya Sunnah
Adapun bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih
dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Berkata Imam Nawawi :
“Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah
di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah
kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir
(Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “ Sebagaimana Allah SWT. berfirman :
‫اع فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم‬ ِ ‫وإِ ْن ِخ ْفتم أَاَّل ُت ْق ِسطُوا يِف الْيتامى فَانْ ِكحوا ما طَاب لَ ُكم ِمن الن‬
َ َ‫ث َو ُرب‬
َ ‫ِّساء َم ْثىَن َوثُاَل‬
َ َ ْ َ َ ُ َ ََ ُْ َ
‫ك أ َْدىَن أَاَّل َتعُولُوا‬ ِ ِ ِ
ْ ‫أَاَّل َت ْعدلُوا َف َواح َد ًة أ َْو َما َملَ َك‬
َ ‫ت أَمْيَانُ ُك ْم َذل‬
      Artinya :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [Q.S. An-Nisa
(4) : 3]
3.      Pernikahan Hukumnya Makruh
Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya,
walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang
kuat. Juga makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan
sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.
4.      Pernikahan Hukumnya Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau
karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.
5.      Pernikahan Hukumnya Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta
nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki
sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak
istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan keadaannya
kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah
berfirman :
..... ‫َح ِسنُوا‬ ِ ‫واَل تُ ْل ُقوا بِأَي ِدي ُكم إِىَل الت‬  ......
ْ ‫ َوأ‬  ‫َّهلُ َكة‬
ْ ْ ْ َ
                        Artinya :
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan tanganmu
sendiri. [Q.S. Al-Baqarah (2) : 195]
D.      Cara-cara Pernikahan
Di dalam Islam, di jelaskan tentang cara-cara pernikahan yang sah yang sesuai dengan
syariat Islam. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim kita tidak di perkenankan melakukan
pernikahan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agama Islam karena jika itu terjadi
pernikahan yang awalnya bernilai ibadah bisa berubah menjadi suatu perzinaan jika
pernikahan yang dilakukan diluar syariat Islam. Adapun larangan-larangan pernikahan
menurut hukum islam, syarat dan rukun pernikahan dalam Islam yang akan di jelaskan di
bawah ini.
1.    Larangan Pernikahan Munurut Hukum Islam
Di dalam asas-asas Agama Islam, dirumuskan  beberapa larangan perkawinan, dengan siapa
dia boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah).
        Larangan pernikahan karena berlainan agama

Sebagaimana firman Allah :


ِ ُ‫ات حىَّت ي ْؤ ِم َّن وألَمةٌ ُّم ْؤ ِمنَةٌ خير ِّمن ُّم ْش ِر َك ٍة ولَو أ َْعجبْت ُكم والَ ت‬ ِ ِ
‫نك ُحوا‬ َ ْ ََ ْ َ َُْ َ َ ُ َ ‫َوالَ َتْنك ُحوا الْ ُم ْش ِر َك‬
َ ِ‫ني َحىَّت يُ ْؤ ِمنُوا َولَ َعْب ٌد ُّم ْؤ ِم ٌن َخْيُر ِّمن ُّم ْش ِر ٍك َولَ ْو أ َْع َجبَ ُك ْم أ ُْوالَئ‬
ُ‫ك يَ ْدعُو َن إِىَل النَّا ِر َواهلل‬
ِ
َ ‫الْ ُم ْش ِرك‬
ِ ‫يَ ْدعُوا إِىَل اجْلَن َِّة َوالْ َم ْغ ِفَر ِة بِِإ ْذنِِه َويَُبنِّي ُ ءَايَاتِِه لِلن‬
‫َّاس لَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َذ َّكُرو َن‬
   Artinya :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya
(perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." [QS. Al-
Baqarah (2) : 221].                                                                      

Larangan Pernikahan Karena Hubungan Darah Yang Terlampau Dekat


        

Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara keluarga yang
berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan mengakibatkan keturunannya kelak kurang
sehat dan sering cacat bahkan kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr.
Ahmad ramali Jalan Menuju Kesehatan Jilid I, halaman 221).  Allah berfirman :
‫ت‬ِ ‫األخ وبنَات األخ‬
ْ ُ َ َ ِ ‫ات‬ ُ َ‫َخ َواتُ ُك ْم َو َع َّماتُ ُك ْم َو َخاالتُ ُك ْم َو َبن‬
َ ‫ت َعلَْي ُك ْم أ َُّم َهاتُ ُك ْم َو َبنَاتُ ُك ْم َوأ‬
ْ ‫ُحِّر َم‬
‫ات نِ َسائِ ُك ْم َو َربَائِبُ ُك ُم الاليِت يِف ُح ُجو ِر ُك ْم‬ ِ ‫الرض‬
ُ ‫اعة َوأ َُّم َه‬
ِ
َ َ َّ ‫َخ َواتُ ُك ْم م َن‬ َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأ‬ َ ‫َوأ َُّم َهاتُ ُك ُم الاليِت أ َْر‬
ِ َّ ِ ِ ِ‫هِب‬ ِ ِ‫هِب‬ ِ ِ ِ
‫ين‬ َ َ‫م ْن ن َسائ ُك ُم الاليِت َد َخ ْلتُ ْم َّن فَإ ْن مَلْ تَ ُكونُوا َد َخ ْلتُ ْم َّن فَال ُجن‬
َ ‫اح َعلَْي ُك ْم َو َحالئ ُل أ َْبنَائ ُك ُم الذ‬
ِ ِ
‫يما‬
ً ‫ورا َرح‬
ِ َ َ‫األخَتنْي ِ إِال ما قَ ْد سل‬
ً ‫ف إ َّن اللَّهَ َكا َن َغ ُف‬ َ َ ْ َ ‫َصالبِ ُك ْم َوأَ ْن جَتْ َمعُوا َبنْي‬ ْ ‫م ْن أ‬
 Artinya :
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu,
saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari
istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [Q.S. An-Nisaa (4) : 23]
        Larangan Pernikahan Karena Hubungan Sesusuan

Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak mempunyai hubungan
darah, tetapi pernah menyusu (menetek) dengan ibu (wanita) yang sama dianggap
mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya timbul larangan menikah antara keduanya
karena alasan sesusu (sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu beberapa kalikah
menyusu itu atau berapa lama menyusu itu yang menimbulkan larangan menikah itu.
Larangan ini minimal 5 (lima) kali sampai kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak
dipersoalkan kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali itu, atau
berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah timbul larangan perkawinannya.
Pendapat ini adalah pendapat imam syafi’i dengan para penganutnya. Larangan ini juga
dijelaskan dalam Q.S. An-Nisaa Ayat 23 yang bermaksud semua yang dipelihara oleh ibu
yang sama meskipun tidak sekandung.
        Larangan Pernikahan Karena Hubungan Semenda

Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan yang terdahulu, misalnya
kakak adik perempuan dari istri kamu (laki-laki). Laki-iaki (kamu) telah menikahi kakaknya
yang perempuan atau adiknya yang perempuan maka timbullah larangan perkawin antara
suami dari kakak adik perempuan itu dengan kakaknya perempuan itu.
Larangan Perkawinan masih dalam Rangka Hubungan Semenda, tetapi Lebih Bersifat
        

Khusus
Larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih bersifat khusus
atau istimewa, karena ayat Quran mengenal larangan ini diwahyukan Tuhan khusus untuk
melarang perkawinan yang demikian ini yaitu:
ِ ِ َ َ‫وال َتْن ِك ُحوا ما نَ َكح آبا ُؤ ُكم ِمن النِّس ِاء إِال ما قَ ْد سل‬
َ‫ف إنَّهُ َكا َن فَاح َشةً َو َم ْقتًا َو َساء‬ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ
‫َسبِيال‬

Artinya :
Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu,
kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan
dibenci dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). [Q.S. An-Nisaa (4) : 22].
        Larangan Pernikahan Poliandri

Poliandri adalah seorang wanita yang sudah bersuami menikah lagi dengan lelaki lain (belum
cerai). Larangan pernikahan poliandri di tegaskan dalam Q.S. An-Nisaa ayat 24 yang
berbunyi :
‫ِّس ِاء‬ ِ َ‫والْمحصن‬
َ ‫ات م َن الن‬
ُ َ ُْ َ
Artinya :
Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuan yang telah
bersuami..........[Q.S.An-Nisaa (4) : 24]
        Larangan Pernikahan Terhadap Wanita yang di Li’ an

Li’an adalah saling menjauh, yakni suami-istri saling menjauh setelah


terjadi li’an selamanya. Li’an adalah sumpah suami bahwa istrinya telah berzina
(berselingkuh) dengan orang lain dan anak yang dilahirkan istrinya akibat zina (jika ada)
bukanlah anaknya. Jika seseorang menuduh istrinya berzina tanpa bukti, maka ia telah
melakukan qadzaf (‫ذف‬88‫ )ق‬dan berhak mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan.
Allah Ta’alaberfirman :
ً‫ني َج ْل َدة‬ِ ِ َ‫ات مُثَّ مَل يأْتُوا بِأَربع ِة شه َداء ف‬
ِ َ‫والَّ ِذين يرمو َن الْمحصن‬
َ ‫وه ْم مَثَان‬
ُ ‫اجل ُد‬
ْ َ َ ُ ََ ْ َْ َ ْ ُ ُ َْ َ َ
                        Artinya :
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali cambukan.[QS. An Nuur (4) : 4]
        Larangan Menikahi Wanita Pezina maupun Laki-laki Pezina

Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari segala unsur penodaan,
pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga keagamaan. Haramlah yang tidak melindungi,
mengawal dan mengamankan kesucian perkawinan. Perkawinan yang didasarkan sekuler saja
(menurut apa adanya saja, kebudayaan saja) tidak akan dapat menjaga atau tidak akan mampu
menjaga kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam Q.S. An-Nuur Ayat 3 yang berbunyi :
ِ ٍ َّ‫الزانِيةُ ال يْن ِكحها إِال‬ ِ ِ
َ ‫زان أ َْو ُم ْش ِر ٌك َو َو ُحِّر َم ذل‬
‫ك َعلى ا‬ ُ َ َ َّ ‫الزاين ال َيْنك ُح إِالَّ زانيَةًأ َْو ُم ْش ِر َكةً َو‬ َّ
ِِ
َ ‫لَ ُم ْؤمننْي‬
Artinya :
Orang laki-laki pezina, yang dinikahinya ialah perempuan pezina pula atau perempuan
musyrik. Perempuan pezina jodohnya ialah laki-laki pezina pula atau laki-laki musyrik , dan
diharamkan yang demikian itu atas orang yang beriman. [Q.S.An-Nuur (24) : 3]
        Larangan Suami Menikahi Mantan Istri yang telah di Talak Tiga

Seorang suami yang telah mentalak tiga mantan istrinya, tidak diperkenankan menikahinya
kembali kecuali jika mantan istri telah dinikahi oleh seorang laki-laki lain dengan syarat
harus di campuri dulu oleh suaminya kemudian diceraikan, barulah suami pertama boleh
menikahinya kembali. Akan tetapi, dalam hal ini tidak boleh dilakukan secara sengaja,
misalnya si suami berkata kepada orang yang akan menikahi istrinya “Saya izinkan kamu
menikahi mantan istriku, dan kamu boleh mencampurinya kemudian kamu ceraikan dia
untukku”. Tidak boleh ada unsur perencanaan dalam hal ini. Allah SWT. berfirman dalam
Q.S. Al-Baqarah Ayat 230 yang berbunyi :
‫اج َعآ إِن‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫اح َعلَْي ِه َمآ أَن َيَتَر‬
َ َ‫فَإن طَلَّ َق َها فَالَ حَت ُّل لَهُ من َب ْع ُد َحىَّت تَنك َح َز ْوجاً َغْيَرهُ فَإن طَلَّ َق َها فَالَ ُجن‬
‫اهلل يَُبِّيُن َها لَِق ْوٍم َي ْعلَ ُمو َن‬
ِ ‫ك ح ُدود‬ ِ ِ ‫ظَنَّا أَن ي ِقيما ح ُد‬
ُ ُ َ ‫ود اهلل َوت ْل‬
َ ُ َ ُ
   Artinya :
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri)
untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkanNya kepada kaum yang (mau)
mengetahui.” [Q.S.Al-Baqarah (2) : 230]
        Larangan Menikah Lagi Bagi Seorang Laki-laki yang Sudah Beristri Empat

Prinsip Pernikahan dalam Islam itu monogami, artinya boleh seorang lelaki menikahi dua
sampai emapat perempuan, dengan syarat ia harus bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya
baik itu yang bersifat kebutuhan seksual maupun kebutuhan materi. Jika seorang suami sudah
memiliki empat istri maka baginya larangan untuk menikah lagi bila ia tidak menceraikan
sala satunya. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadist yang berbunyi :
َ ‫ َف َق‬، ‫َسلَ َم َو ِعْن َدهُ َع ْش ُر نِ ْس َو ٍة‬
‫ال‬ ِ َّ َ‫َن َغيال َن بن سلَمة‬ َّ َّ ِ ‫ عن أَبِ ِيه ر‬، ٍ‫عن سامِل‬
ْ ‫الث َقف َّي أ‬ َ َ َ ْ ْ ‫أ‬ ، ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫ه‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫ع‬
َ ‫ه‬
ُ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ي‬‫ض‬
َ َ َْ َ َْ
ِ ِّ ‫الزه ِر‬ ٌ ِ‫َخَبَرنَا َمال‬ ِ ْ ‫ أ َْم ِس‬: ‫لَهُ النَّيِب ُّ صلى اهلل عليه وسلم‬
‫يث‬
َ ‫ َحد‬، ‫ي‬ ْ ُّ ‫ َع ِن‬، ‫ك‬ ْ ‫ك أ َْر َب ًعا َوفَا ِر ْق َسائَر ُه َّن أ‬
‫َغْيال َن‬

Artinya :
Dari Salim, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Ghalian Ibnu Salamah masuk Islam dan
ia memiliki sepuluh orang istri yang juga masuk Islam bersamanya. Lalu Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk memilih empat orang istri di antara mereka dan
ceraikan selebihnya. Hadits ini didapat dari Imam Malik dari Zuhri, Hadits Ghailan.
(Musnad Imam Syafi’i : 1338)
2.    Syarat dan Rukun Pernikahan Dalam Islam
  ‘Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
menutup aurat untuk sholat” atau menurut islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu
harus beragama islam.
Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu bermaksud dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka
untuk wudhu’ dan takbiratul ihramuntuk shalat. Atau adanya calon pengantin laki-
laki/perempuan dalam perkawinan.
1.      Syarat-Syarat Pernikahan Dalam Islam
  Mempelai laki-laki (calon suami), syarat-syaratnya :
a.       Beragama Islam
b.      Lelaki yang tertentu
c.       Bukan mahram dengan bakal istri
d.      Bukan dalam ihram haji atau umrah
e.       Dengan kerelaan sendiri
f.       Mengetahui wali yang sah bagi akad nikah tersebut
g.      Mengetahui bahawa perempuan itu boleh dan sah dinikahi
h.      Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
  Mempelai Wanita (calon istri), syarat-syaratnya :
a.       Beragama Islam
b.      Bukan seorang khunsa (perempuan yang merasa dirinya laki-laki)
c.       Perempuan yang tertentu
d.      Tidak dalam masa Iddah
e.       Bukan dalam ihram haji atau umrah
f.       Dengan rela hati
g.      Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
h.      Bukan istri orang atau masih ada suami

  Wali, syarat-syarat wali :


a.       Adil
b.      Beragama Islam
c.       Baligh
d.      Lelaki
e.       Merdeka
f.       Tidak fasik, kafir, atau murtad
g.      Bukan dalam ihram haji atau umrah
h.      Waras (tidak cacat pikiran dan akal)
i.        Dengan kerelaan sendiri
j.        Tidak muflis (ditahan hukum atau harta)
Adapun macam-macam wali dalam Pernikahan :
1.    Wali Nasab yaitu orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang
berhak menjadi wali. Yang termasuk wali nasab yaitu ayah kandung, kakek (dari
garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki, saudara laki-laki
sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,
anak laki-laki saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari anak laki-laki saudara
laki-laki sekandung, anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
saudara laki-laki ayah sekandung (paman), saudara laki-laki ayah seayah
(paman seayah), anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah,
saudara laki-laki kakek sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki kakek
sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.
2.    Wali Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh pemerintah (Menteri Agama) untuk
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan yaitu apabila seorang calon
mempelai wanita dalam kondisi tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau
walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaannya), atau wali sendiri yang
akan menjadi mempelai laki-laki sedang wali yang sederajat dengan dia tidak
ada, atau wali yang berada di tempat jauh sejauh masafaqotul qosri (sejauh
perjalanan yang memperbolehkan shalat qasar yaitu 92,5 kilo meter), atau wali
berada dalam penjara atau tahanan yabg tidak boleh di jumpai, atau wali adhol
yaitu tidak bersedia atau menolak untuk menikahkannya, atau wali sedang
melaksanakan ibadah umrah atau haji.
3.    Wali Muhakam yaitu wali yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Kondisi ini terjadi apabila suatu
pernikahan yang seharusnya dilaksanakan oleh wali hakim, padahal disini wali
hakimnya tidak ada maka pernikahannya dilaksanakan oleh wali muhakam.

  Dua orang saksi, :


Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim,
baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah.
Adapun kewajiban adanya saksi tidak lain, hanyalah untuk kemaslahatan  kedua belah pihak
dan masyarakat. Misalnya, salah seorang mengingkari, hal itu dapat dielakkan oleh adanya
dua orang saksi. Juga misalnya apabila terjadi kecurigaan masyarakat, maka dua orang saksi
dapatlah menjadi pembela terhadap adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri.
Disamping itu, menyangkut pula keturunan apakah benar yang lahir adalah dari perkawinan
suami istri tersebut. Dan di sinilah saksi itu dapat memberikan kesaksiannya.
  Ada Ijab dan Qabul,    :
Pada hakikatnya ijab adalah suatu pernyataan dari perempuan untuk mengikatkan diri dengan
seorang laki-laki untuk dijadikan sebagai suami yang sah. Sedangkan qabul adalah
pernyataan menerima dengan sepenuh hati untuk menjadikan seorang perempuan tersebut
menjadi istri yang sah.
Di dalam ijab dan qabul ini di sebutkan mahar atau mas kawin. Mahar ini bukan termasuk
syarat atau pun rukun pernikahan, akan tetapi mahar ini termasuk kewajiban suami terhadap
istri, kewajiban yang berupa pemberian. Menurut mazhab Maliki, mahar adalah sebagai
sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli.
Contoh Lafadz Ijab :
“Daku nikahkan dikau dengan ….. binti …. (sebutkan nama pengantin perempuan)
dengan mas kawin …….”
Contoh Lafadz Qabul :
“Daku terima nikahnya ….. binti …. (sebutkan nama pengantin perempuan) dengan
mas kawin …….”
2.      Rukun Pernikahan dalam Islam
      Ada Calon Suami dan Istri
      Ada Wali Nikah
      Dua orang saksi
      Ada Ijab dan Qabul

E.       Hikmah Pernikahan dalam Islam


Anjuran telah banyak disinggung oleh Allah dalam al-Quran dan Nabi lewat perkataan dan
perbuatannya. Hikmah yang terserak di balik anjuran tersebut bertebaran mewarnai
perjalanan hidup manusia. Secara sederhana, setidaknya ada 5 (lima) hikmah di balik perintah
menikah dalam Islam.
o   Sebagai wadah birahi manusia secara halal
Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu
bereaksi positif dan ada kalanya negatif.
Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan menempatakannya sesuai wadah
yang telah ditentukan, akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang.
Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi ‘aspirasi’ nulari normal
seorang anak keturunan Adam.
o   Meneguhkan Akhlaq Terpuji
Dengan menikah, dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu
berupaya membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang
baik.
Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan
lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa. Kenyataan yang ada
selama ini menujukkkan gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula
muda dalam pergaulan.
o   Membangun Rumah Tangga Islami
Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui
proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu maupun sekarang
hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang
diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga islami.
Layaknya perahu, perjalanan rumah tangga kadang terombang-ambing ombak di lautan. Ada
aral melintang. Ada kesulitan datang menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-riak
yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan komitmen membangun rumah tangga ala
Rasul dan sahabatnya.

o   Memotivasi Semangat Ibadah


Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka
diciptakan oleh Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya.
Dengan menikah, diharapkan pasangan suami-istri saling mengingatkan kesalahan dan
kealpaan. Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan
Rasul-Nya.

o   Melahirkan Keturunan yang Baik


Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang salih, berkualitas iman dan takwanya,
cerdas secara spiritual, emosional, maupun intelektual.
Dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya sebagai
generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak
akan mampu melahikan generasi yang baik pula.
BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
            Pernikahan adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk
saling memuaskan diri antara satu dengan yang lain untuk membentuk sebuah bahtera rumah
tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.
            Pernikahan bertujuan untuk menjaga diri dari perbuatan zina, memelihara keturunan, dapat
menyalurkan naluri seksual dengan halal dan terpuji, memelihara dan memperbanyak
keturunan secara terhormat, naluri keibuan dan kebapakan akan akan saling melengkapi
dalam kehidupan berumah tangga bersama anak-anaknya, melatih kemampuan bekerja sama,
serta terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga.
            Di dalam agama Islam, hukum pernikahan dilandaskan terhadap keadaan yang di alami
seseorang. Ada yang hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh bahkan haram.
            Hikmah dari pernikahan itu sendiri adalah sebagai wadah birahi manusia secara halal,
meneguhkan akhlaq terpuji, membangun rumah tangga islami, memotivasi semangat ibadah,
serta melahirkan keturunan yang baik dan terhormat.
C.      Saran
Dengan adanya pernikahan diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah, dunia dan akhirat.
Pernikahan menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia baru yang
kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera rumah tangga , kehidupan
diharapkan menjadi lebih bermakna, dan suami-suami dan istri-istri akhir zaman ini memiliki
semangat yang tinggi di jalan Allah SWT. Aamiin.

KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayah-
Nyalah sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan sebaik mungkin.  Makalah
yang berjudul “Pernikahan dalam Islam” ini kami tulis untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam.
            Dalam penyusunan makalah ini tentunya kami mendapat banyak donasi dari berbagai
pihak. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya dalam
menyelesaikan makalah ini, serta ucapan terima kasih kami terkhusus kepada Ibu ST.
Mutmainnah, S.Ag., M.Ag selaku dosen mata kuliah yang memberikan kami amanah untuk
menyelesaikan makalah ini.
            Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih memiliki banyak
kekurangan, oleh karena itu kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun kepada pembaca. Akhirnya, kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua khususnya kepada penulis sendiri.

                        Makassar, 15 Oktober 2015

Penulis

DAFTAR PUSTAKA
Dandelion, Momoy. 2010. Konsep Pernikahan dalam Pandangan Islam.
(online), (http://momoydandelion.blogspot.com/).
            Suparta. Zainuddin, Djejen. 2005. Fiqih. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
            Hadzan, Ibnul. 2007. Konsep Pernikahan dalam Islam.
(online), (http://koswara.wordpress.com/).
            Kumpulan Makalah. 2009. Konsep Islam Tentang Pernikahan.
(online), (http://kumpulan-makalah-dlords.blogspot.com/).
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang....................................................................................................
B.     Rumusan Masalah...............................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pernikahan........................................................................................
B.     Tujuan Pernikahan..............................................................................................
C.     Hukum Pernikahan.............................................................................................
D.    Cara-Cara Pernikahan.........................................................................................
E.     Hikmah Pernikahan............................................................................................
BAB III : PENUTUP
A.   Kesimpulan........................................................................................................
B.    Saran..................................................................................................................
Daftar Pustaka.....................................................................................................................
           

Pengertian, Hikmah, Tujuan dan Hukum Nikah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua
buah sisi. Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain
adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disah kan oleh agama.dari sudut pandang
ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja
memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan
memenuhi kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lain nya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenar nya
juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk
memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahn, pernikahan
merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna
tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan
ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini
berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran
kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi
manusia dimana setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalam nya. Smua hal itu
akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai
dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di dibahas sedikit tentang:
1.      Definisi pernikahan
2.      Hikmah/manfaat pernikahan
3.      Tujuan Pernikah dalam islam
4.      Hukum nikah
5.      Bagaimana bimbingan memilih jodoh menurut islam
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui makna dari pernikahan itu
2.      Untuk memahami hikmah, hukum-hukum, dan tujuan pernikahan
3.      Agar bisa memilih pasangan hidup dengan tepat menurut pandangan islam

                                                            BAB II
                                                                PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pernikahan
Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut
istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara
lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut
peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran
bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah
s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan
mengharamkan zina.
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian
hubungan badan itu hanya metafora saja.
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi
kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan
tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak
kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam
masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria
calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi
sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana
mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan
tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula
dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah
yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat
pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna
tidak mengikuti sunnah rosul.[1]
 Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis berbeda
yaitu    laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah
mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan inilah
yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan
merupakan generasi bagi orang tuanya.[2]

B.     Hikmah Pernikahan
Allah SWT berfirman :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar-
ruum,21)
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini
berlanjut, darigenerasi ke generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui
hubungan suami istri serta menghindari godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan
juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas
saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah berkewajiban
untuk mengerjakan tugas didalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik
anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan
kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat. [3]
Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :
a)      Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan
berketurunan.
b)      Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang
syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
c)      Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan
bencrengkramah dengan pacarannya.
d)     Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang
diciptakan.[4]

C.    Tujuan Pernikahan dalam Islam


1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan
ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat
kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo,
melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan
oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan
meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan
pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari
kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk
nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih
membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
            Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq
(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah,
sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
            “Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim.”
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan
rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah.
Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at
Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at
Islam adalah wajib.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat
baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan
subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain,
sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !.
Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah,
seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para
suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat
:”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di
tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !” .
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani
Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu
rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak,
tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang
shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh
melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
D.    Hukum Nikah
Nikah merupakan amalan yang disyari’atkan, hal ini didasarkan pada firman
  : Allah SWT
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(An-Nisaa’, 3)
Dari keterangan diatas disimpulkan bahwa hukum nikah ada 5 :
      Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga bias menjerumuskannya ke
lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu
bermaksud ia mampu membayar mahar (mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah
kepada calon istrinya.
      Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
      Harus kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk berkahwin dan ini merupakan
hukum asal perkawinan
      Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi
sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri.
      Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia
sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri
jika dia menikah.[5]

E.     Memilih Jodoh Menurut Islam


Setiap orang yang berumah tanggah tentu mengharapkan keluarganya akan menjdi
keluarga yang sakinah mawadah warakhmah. Kehidupan rumah tangganya dapat menjadi
surga didunia dapat menjadi diri dan keluarganya. Apalagi pada saat ini banyak sekali kasus
peceraian keluarga dijumpai ditengah-tengah masyakat yang semakin berkembang ini.
Alasan dalam peceraian itu bermacam-macam, dari alas an pendapatan istri lebih besar dari
pada suami, selingkuh dengan adanya orang ke tiga, kekerasan dalam rumah tanggah, dan
lain-lain.
Maka dari itu dalam membanggun mahligai surge rumah tangga persiapan awal harus
dilakukan pada saat memilih jodoh. Islam mengangjurkan kepada umatnya ketika mencari
jodoh itu harus berhati-hati baik laki-laki maupun perempuan, hal ini dikarenakan masa
depan kehidupan rumah tangga itu berhubungan sangat erat dengan cara memilih suami
maupun istri. Untuk itu kita sebagai umat muslim harus memperhatikan kriteria dalam
memilih pasangan hidup yang baik.
Dasar firman Allah SWT yang berbunyi :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”(An-Nisa’, 31)
Dan dari sabda Rasullah yang artinya :
“Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabdah :
sesunguhnya seorang wanita itu dinikahi atas empat perkara, yaitu : harta, nasab,
kecantikan, dan agamanya, maka perolehlah yang mempunyai agama maka akan
berdeburlah tanganmu.”[6]
Dalam memilih istri hendaknya menjaga sifat-sifat wajib. Syeh jalaluddin Al-qosimi
Addimasya’i dalam kitab Al-mauidotul Mukminin menyebutkan ada kriteria bagi laki-laki
dalam memilih jodoh :
a)      Baik agamanya : hendaknya ketika memilih istri itu harus memperhatikan agama dari sisi
istri tersebut.
b)      Luhur budi pekertinya : seorang istri yang luhur budi pekertinya selalu sabar dan tabah
menghadapi ujian apapun yang akan dihadapi dalam perjalanan hidupnya.
c)      Cantik wajahnya : setiap orang laki-laki cenderung menyukai kecantikan begitu pula
sebaliknya. Kecantikan wajah yang disertai kesolehahhan prilaku membuat pasangan
tentram dan cenderung melipahkan kasih sayangnya kepadanya, untuk sebelum menikah
kita disunahkan untuk melihat pasangan kita masing-masing.
d)     Ringan maharnya : Rasullullah bersabda : “salah satu tanda keberkahan perempuan adalah
cepat kawinnya, cepat melahirkannya, dan murah maharnya.
e)      Subur : artinya cepat memperoleh keturunan dan wanita itu tidak berpenyakitan.
f)       Masih perawan : jodoh yang terbaik bagi seorang laki-laki perjaka adalah seorang gadis.
Rasullullah pernah mengikatkan Jabbir RA yang akan menikahi seorang janda : “alangkah
baiknya kalau istrimu itu seorang gadis, engkau dapat bermain-main dengannya dan ia
dapat bermain-main denganmu.”
g)      Keturunan keluarga baik-baik : dengan sebuah hadist Rasullallah besabda : “jauhilah dan
hindarkan olehmu rumput mudah tumbuh ditahi kerbau”. Maksudnya : seorang yang cantik
dari keturunan orang-orang jahat.
h)      Bukan termasuk muhrim : kedekatan hubungan darah membuat sebuah pernikahan
menjadi hambar, disamping itu menurut ahli kesehatan hubungan darah yang sangat dekat
dapat menimbulkan problem genetika bagi keturunannya.
Dalam memilih calon suami bagi anak perempuan hendaknya memilih orang yang
memiliki akhlak, kehormatan dan nama baik. Dengan demikian jika ia menggauli istrinya
maka istrinya maka ia menggaulinya dengan baik, jika menceraikan maka ia menceraikan
dengan baik.
Rasullah bersabda :”barang siapa mengawinkan anak perempuannya denga orang
yang fasik makasungguh dia telah memutuskan hubungan persaudaraan.”
Seorang laki-laki berkata kepada hasan bin ali, “sesungguhnya saya memiliki seorang
anak perempuan maka siapakah menurutmu orang cocok agar saya dapat menikahkan
untuknya ?” hasan menjawab :”nikahkanlah dia dengan seorang yang beriman kepada Allah
SWT, jika ia mencintainya maka dia akan memuliahkannya dan jika dia membencinya maka
dia tidak mendoliminya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis berbeda yaitu    laki-
laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
2.      Hikmah dalam pernikahannya itu yaitu :
a.       Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan
berketurunan.
b.      Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang
syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
c.       Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan
bencrengkramah dengan pacarannya.
d.      Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang
diciptakan.
3.      Tujuan pernikahan :
a)      Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
b)      Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
c)      Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
d)     Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
e)      Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

B.     Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja
maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala
keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.

DAFTAR PUSTAKA
Rafi Baihaqi, Ahmad, Membangun Surga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press,
2006)
At-tihami, Muhammad, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, (surabayh : Ampel
Mulia, 2004)
Muhammad  ‘uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998)

[1] Syaikh Kamil Muhammad  ‘uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar,


1998)  hal. 375
[2] Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah
press, 2006) hal. 8
[3] Syaikh Kamil Muhammad  ‘uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar,
1998)  hal. 378
[4] Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah
press, 2006) hal. 10-12
[5] Muhammad At-tihami, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, (surabayh : Ampel
Mulia, 2004) hal. 18
[6] Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah
press, 2006) hal. 44
A.    Pengertian Pernikahan dalam islam
Perkataan nikah berasal dari bahasa arab ‫ نكح – ينكح – نكاحً ا‬  yang berarti berkumpul atau
bersetubuh. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering disebut juga dengan
perkataan kawin atau perkawinan. Kata kawin adalah terjemahan kata nikah dalam bahasa
Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini dan menikahkan sama dengan
kata mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian
istilah pernikahanmempunyai arti yang sama dengan kata perkawinan[1]. Perkataan nikah dan
kawin keduanya sama terkenal dikalangan masyarakat Indonesia. Dalam Fiqih Islam perkataan
yang sering dipakai adalah nikah atau ziwaj yang juga banyak terdapat dalam dalam Al Quran,
kedua kata tersebut mempunyai persamaan yaitu sama-sama berarti berkumpul.
Pengertian nikah atau ziwaj secara bahasa syariah mempunyai pengertian secara hakiki dan
pengertian secara majasi. Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki adalah bersenggama
(wathi’) sedang pengertian majsinya adalah akad, kedua pengertian tersebut diperselisihkan
oleh kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum peristiwa
yang lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan namun pengertian yang lebih umum
dipergunakan adalah pengertian bahasa secara majasi, yaitu akad. Al-Qadhli Husain
mengatakan bahwa arti tersebut adalah yang paling shahih[2]. Ada yang mengatakan bahwa
pengertian bahasa dari kata nikah dan ziwaj adalah musytarak (mengandung dua makna) antara
wathi’ dan akad dan keduanya merupakan makna hakiki[3].
Pengertian nikah atau perkawinan secara fiqhiyah atau istilah syar’iyyah terdapat bermacam-
macam pandangan.

1. Menurut sebagian fuqoha’ pengertian nikah atau ziwaj adalah


‫عقد يفيد ح ّل استمتاع كل من العاقد ين باألخر على الوجه المشروع‬

Artinya:”Suatu akad (perjanjian) yang berimplikasi kebolehan beristimta’ (bersenang-senang)


antara dua orang yang berakad dengan tuntunan yang telah ditentukan oleh syara’.”[4].
1. Prof. Dr. Mahmud Yunus memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah akad antara
calon laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at
agama[5].
1. Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah memberikan
pengertian nikah dengan

.‫عقد يفيد حل العشرة بين الرجل والمرأة وتعاونها ويحدما لكليهما من حقوق وما عليه من واجبات‬

Artinya:”Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga


(suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas
hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”[6]
1. Hasby Ash-Shiddiqie memberikan pengertian, bahwa perkawinan adalah melakukan akad antara
laki-laki dengan perempuan atas kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak oleh seorang wali dari
pihak perempuan menurut sifat yang ditetapkan syara’ untuk menghalalkan cara percampuran antara
keduanya dan untuk menjadikan yang seorang condong kepada seorang lagi dan menjadikan masing-
masing daripadanya sekutu (teman hidup) bagi yang lain.
2. Menurut Idris Ramulya, perkawinan menurut islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan
kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman, tentram, bahagia dan
kekal.[7]
3. Prof. Subekti, SH. Memberikan pengertian perkawinan sebagai pertalian yang sah antara seorang
lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[8] 
Pemberian pengertian dari para pakar (ulama’) terhadap nikah atau perkawinan diatas berbeda-
beda, namun yang disepakati adalah bahwa perkawinan atau nikah adalah akad yang
menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan. 
Kebanyakan para ulama’ salaf (periode awal) memberikan pengertian nikah dengan makna
sekitar pemberian hak milik mut’ah (menikmati wanita) dan menjadikan halal bagi si laki-laki
untuk menikmatinya. Ini terlihat dari definisi nikah yang pertama dan kedua, namun menurut
syari’ah islam maksud dan tujuan esensial dari pernikahan bukan sekedar itu, tetapi yang lebih
utama adalah menyambung nasab dan menjaga naluri kemanusiaan, kedua belah pihak
mendapatkan pemenuhan kebutuhan psikologis dan biologis yang merupakan karunia Allah
kepada manusia.

Oleh karena itu pengertian yang lebih patut dan dapat dipertanggung jawabkan adalah
pengertian yang mencakup secara keseluruhan yaitu pengertian yang mencakup tentang
hakekat dan tujuan dari perkawinan tersebut, seperti yang diutarakan oleh Muhammad Abu
Zahrah, T. M. Hasbiy Ash-Shiddiqie, dan Idris Ramulya. Hal ini juga seperti yang disebutkan
dalam undang-undang perkawinan. 
Dalam undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Pengertian ini menjelaskan
bahwa perkawinan tidaklah semata sebagai ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi
mencakup keduanya. Pengertian tersebut sudah merupakan arti dan tujuan perkawinan. Arti
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai suami istri, sedang
tujuannya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
Maha Esa. Ikatan lahir berarti ikatan formil, yakni hubungan hokum antara pria dan wanita
sebagai suami istri, dan ikatan batin merupakan ikatan non-formil yang tidak dapat dilihat, namun
sangat mempengaruhi terbentuknya  keluarga bahagia, tentram dan kekal yang berarti seumur
hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. 
 B.     Dasar-Dasar Pernikahan dalam islam
Perkawinan atau pernikahan dalam islam merupakan ajaran yang berdasar pada dalil-dalil naqli.
Terlihat dalam dalil Al Qur’an dan As Sunnah dan dinyatakan dalam bermacam-macam
ungkapan. Ajaran ini disyariatkan mengingat kecenderungan manusia adalah mencintai lawan
jenis dan memang allah menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan. Adapun dasar-
dasar dalil naqli tersebut adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an
Artinya:”Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan”[9] 
Pensyariatan pernikahan adalah sudah ada sejak ummat sebelum Nabi Muhammad SAW. Allah
menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa rasul sebelum Muhammad telah diutus dan mereka
diberi isteri-isteri dan keturunan.

Artinya:”Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”[10]


Ayat ini adalah perintah agar menikahi wanita-wanita yang baik untuk dijadikan pasangan
hidupnya. Allah akan memberikan rizki kepada mereka yang melaksanakan ajaran ini dan ini
merupakan jaminan Allah bahwa mereka hidup berdua beserta keturunannya akan dicukupkan
oleh Allah.

Artinya:“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”(Qs. An Nur: 23)
Artinya:“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”[11] 
Dengan perkawinan antara wanita dan laki-laki yang menjadi jodohnya akan menimbulkan rasa
saling mencintai dan kasih saying, dan ini merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.

1. Hadits Nabi
‫ فإن ه أغض للبص ر واحص ن‬,‫ يا معشر الشباب من اس تطاع منكم الب اءة فلي تزوج‬: .‫ قال لنا رسول هللا ص‬:‫ قال‬.‫عن عبدهللا بن مسعود ض‬
.ٌ‫للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء‬

Artinya:”Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda kepada
kami: Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup untuk kawin maka
hendaklah ia kawin maka kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh
agama) dan lebih menjaga kemaluan, dan barang siapa tidak sanggup hendaklah ia berpuasa
karena sesungguhnya puasa itu merupakan tameng (perisai) baginya”[12] 
Perintah kawin kepada anak muda dalam hadits ini karena mereka mempunyai kecenderungan
tertarik atau punya sahwat terhadap lawan jenis, oleh karena itu kalau ia mampu baik dari segi
fisik, materi, dan mental hendaklah ia kawin. Dan bagi yang tidak memenuhi syarat kemampuan
tersebut (segi fisik, materi dan mental) hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa tersebut
dapat menghilangkan bergejolaknya nafsu sahwat sehingga terhindar dari zina dan dibalik itu
ada hikmat Allah.

.‫ تزوجواالودود الولود فإ ّنى مكاثر بكم األمم يوم القيامة‬:‫ يأمرنابالباءة وينهى عن التبتل نهيًا شديدا ويقول‬.‫ كان النبي ص‬:‫ قال‬.‫عن أنس ض‬

Artinya:”Diriwayatkan dari Anas r. a. ia berkata: Nabi SAW selalu memerintahkan kita untuk
kawin dan melarang membujang dengan larangan yang sangat dan beliau bersabda:
Nikahilah orang yang penuh kasih saying dan suka beranak karena sesungguhnya aku akan
bangga (berbesar hati) terhadap umat lain dihari kiyamat karena dirimu (banyak
keturunan)”[13]
‫ فلما أخبروا كأنهم تقالوها فقالو وأين‬.‫ يسألون عن عبادة النبي ص‬.‫ يقول جاء ثالثة رهط إلى بيوت أزواج النبي ص‬.‫عن أنس بن مالك ض‬
‫ قد غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أمّا أنا فإ ّنى أصلى الليل أبدا وقال أخر أنا أصوم الدهر وال أفط ر وق ال‬.‫نحن من النبيّ ص‬
‫ أم ا وهللا إ ّنى ألخش اكم هلل وأتق اكم ل ه لك نى أص وم‬,‫ فقال انتم الذين قلتم كذا وكذا‬.‫أخر أنا أعتزل النساء فال أتزوج أب ًدا فجاء رسول هللا ص‬
.‫وأفطر وأصلى وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن س ّنتى فليس م ّنى‬

Artinya:”Dari Anas r. a. ia berkata datang tiga orang kelompok kerumah para istri Nabi saw,
mereka menanyakan tentang ibadah Nabi, dimana posisi kami pada sisi Nabi saw yang telah
diampuni dosanya yang telah terdahulu dan yang akan datang. Salah satu dari mereka
berkata: “Adapun saya selalu shalat malam”, lainnya berkata: “Saya puasa terus menerus
tanpa berbuka (barang sehari)”, yang satunya lagi berkata: “Saya menjauhi orang wanita,
saya tidak akan menikah selamanya”, lalu Rasulullah SAW datang dan berkata: “Apakah
kamu sekalian yang mengatkan begini-begini?, adapun aku Demi Allah sesungguhnya aku
benar-benar orang yang paling takut diantara kamu kepada Allah, orang yang paling taqwa
diantara kamu kepadaNya tetapi kamu aku puasa dan berbuka, aku shalat, bangun dimalam
hari dan aku mengawini wanita maka barang siapa yang benci kepada sunnahku bukanlah ia
termasuk ummatku”[14] 
(rangkuman).Dari dalil-dali tersebut jelas bahwa pernikahan adalah syari’at Islam dan termasuk
sunnah nabi yang harus ditiru dan dilaksanakan apabila telah mampu dan memenuhi
persyaratan dan rukunnya. (makalah)
 C.    Hikmah pernikahan dalam islam
Abu Hurairah r. a. berkata: Nabi bersabda:

‫من أحبّ فطرتى فليستنّ بس ّنتى وإنّ من س ّنتى ال ّنكاح‬

Artinya:“Siapa yang suka pada syari’atku maka hendaklah mengikuti sunnahku (perjalananku)
dan termasuk sunnahku adalah nikah”[15]
Nikah (kawin) dalam islam merupakan sunnatullah, dan mengandung beberapa hikmah bagi
manusia. Hikmah tersebut dapat dilihat dari segi psikologi, sosiologi, dan kesehatan.
1. Hikmah Nikah Dari Segi Psikologi
Hikmah nikah dilihat dari segi psikologi diantaranya seperti yang diungkap oleh Sayyid Sabiq,
yaitu sebagai berikut:

1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut
adanya jalan keluar, bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya maka banyaklah mausia yang
mengalami goncangan dan kacau serta merobos jalan yang jahat.
Dan kawin adalah jalan yang alami dan penyaluran hasrat biologis yang paling baik, dengan
kawin badan jadi segar, tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang
menikmati barang yang halal.[16]
Artinya:“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”[17] 
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i bahwa pandangan orang laki-laki terhadap
perempuan lain atau bukan muhrimnya tidak ada keperluan maka tidak diperbolehkan (haram)
[18]
1. Naluri kebapakan dan keibuanakan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-
anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang
menyempurnakan kemanusiaan seseorang.[19]
Menurut Drs. Irfan Sidqan, hikmah nikah dari segi psikologi adalah:[20]
1. Untuk menyalurkan naluri seksual dan menentramkan hati.
Perkawinan adalah suatu cara yang alamiah yang paling baik untuk menyalurkan naluri seksual
dengan demikian jasmani dan rohani tidak akan mengalami goncangan dan penderitaan.

1. Untuk kebahagiaan dan rahmat.


Menurut pandangan ahli-ahli moral bahwa hidup bersama tanpa perkawinan hanya
membuahkan kesenangan semu dan hanya selintas waktu. Kebahagiaan hakiki hanya diperoleh
dalam hidup bersama yang diikat oleh perkawinan.

1. Menimbulkan rasa tanggung jawab.


Kesadaran akan tanggung jawab berumah tangga akan mendorong orang giat dan rajin
berusaha dan membangkitkan kemampuan pribadi dan bakat-bakat terpendam.

Menurut Dja’far Amir hikmah nikah dari segi psikologi adalah:

1. Untuk mendirikan rumah tangga yang suci dan bahagia.


2. Untuk membuktikan penghargaan terhadap wanita, agar wanita tidak dipermalukan laki-laki
semaunya sendiri.
3. Menuju persatu paduan jiwa antara suami istri dengan penuh kasih sayang dan saling
menghormati.
4. Mencari ketentraman jiwa dan hati, sehingga dapatlah terpelihara jiwa dan kehormatan agamanya.
[21]
Sebagaimana firman Allah:

Artinya:“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-


isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”[22]
1. Hikmah Nikah Dari Segi Sosiologi
Hikmah nikah dilihat dari segi sosiologi diantaranya seperti yang diungkap oleh Sayyid Sabiq
yaitu sebagai berikut:[23]
1. Kawin adalah jalan terbaik dalam rangka memperbanyak keturunan dengan menjaga
terpeliharanya nasab, membuat anak-anak menjadi mulia serta melestarikan hidup manusia,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt.
Artinya:”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang
baik-baik”[24]
Artinya:”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”[25]
Juga terlihat dalam hadits Nabi yang berbunyi:

.‫تزوجواالودود الولود فإ ّنى مكاثر بكم األنبياء يوم القيامة‬

Artinya:”Kawinlah dengan perempuan pencinta lagi bisa banyak anak agar nanti aku dapat
membanggakan jumlahmu yang banyak dihadapan para Nabi pada hari kiyamat nanti”[26]
1. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap
sungguh-sungguh dalam mengembangkan bakat dan rajin dalam mencari penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
2. Pembagian tugas dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedang yang lain
bekerja diluar sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-
tugasnya.
3. Dengan perkawinan dapat membuahkan tali kekeluargaan, rasa cinta antar keluarga dan
memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang.
Menurut Irfan Sidqon, hikmah nikah dari segi sosiologi adalah:[27]
1. Untuk memelihara kemurnian keturunan.
Perkawinan sebagai bentuk mekanisme untuk mengurangi ketegangan menge-mbangbiakkan
keturunan yang bersih dan kedudukan sosial seseorang secara ayah.

1. Untuk mengikat hubungan sosial.


Perkawinan merupakan alat untuk menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya,
maksudnya supaya bertambah banyak hubungan antara manusia yang akhirnya terwujudlah
suatu keluarga yang besar dan kuat.

1. Untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat dan kesehatan mental.


Perkawinan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat karena masing-masing telah
memiliki istri atau suami tertentu dan tidak boleh mengganggu istri atau suami orang lain yang
menyebabkan kekacauan pada lingkungannya.

Dja’far Amir menerangkan bahwa hikmah nikah dari segi sosiologis adalah:

1. Untuk menuju pergaulan hidup yang syah sebagai suami istri dalam arti yang sebenarnya.
2. Untuk mendapatkan keturunan yang syah dalam masyarakat.
Perkawinan disyari’atkan supaya manusia mempunyai keturunan yang syah menuju kehidupan
bahagia di dunia dan akhirat dibawa naungan cintah kasih dan ridho Allah.[28]
1. Untuk membedakan mana yang istri dan yang bukan istri. (makalah)
1. Hikmah Nikah Dari Segi Kesehatan
(rangkuman).Sayyid Sabiq mengutip salah satu pernyataan hasil penelitian tentang nikah dan
kesehatan yang dilakukan PBB yang dimuat dalam Harian Nasional terbitan Sabtu tanggal 6-6-
1959 sebagai berikut, bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang dari pada orang
yang tidak bersuami istri baik karena menjanda bercerai atau sengaja membujang. Pernyataan
itu selanjutnya menjelaskan: diberbagai Negara orang-orang kawin pada umur yang masih
muda, akan tetapi bagaimanapun juga umur orang-orang yang bersuami istri umumnya lebih
panjang.
(rangkuman).Pernyataan diatas sesuai dengan hadits Nabi:
ّ ‫يا معشر الناس إتقوا‬
‫ أمّا ال تى فى ال دنيا في ذهب البه اء وي ورث الفق ر وينقص‬,‫الزنى فإن فيه ست حصال ثالثا فى الدنيا و ثالثا فى األخرة‬
‫ وأمّا التى فى األخرة فسخط هللا وسؤ الحساب وعذاب النار‬,‫العمر‬

Artinya:”Wahai ummat manusia takutlah terhadap perbuatan zina, karena perbuatana zina
akan mengakibatkan enam perkara, yang tiga didunia dan yang tiga diakhirat. Adapun yang
akan menimpa didunia ialah: Menghilangkan wibawa, Mengakibatkan kefakiran,
Mengurangi umur. Dan tiga lagi yang akan dijatuhkan diakhirat ialah: Mendapatkan marah
dari Allah, Hisab yang jelek (banyak dosa), dan Siksaan neraka.[29] (makalah)
(rangkuman).Sedangkan menurut Irfan Sidqan, hikmah perkawinan dari segi kesehatan adalah
menyalurkan syahwat dengan teratur dan pada tempatnya. Penyaluran nafsu syahwat oleh pria
atau wanita yang tidak dalam suatu perkawinan amat berbahaya dan tidak bertanggung jawab.
[30]
Sedangkan menurut Dja’far Amir, hikmah nikah dari segi kesehatan adalah agar terhindar dari
pada jatuh kedalam jurang perzinaan hingga terhindar dari penyakit kotor yang berbahaya.
Sebagaimana hadits Nabi:

‫ إذا أحدكم أعجبته المرأة فوقعت فى قلبه فليعمد إلى امرأته فليواقعها فإن ذالك يرد ما فى نفسه‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫عن جابر قال‬

Artinya:”Dari Jabir r. a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila seseorang tertarik


hatinya karena melihat seorang wanita dan perasaan itu masuk kedalam hatinya maka
hendaklah ia sengaja pulang kepada istrinya dan dilepaskan syahwatnya kepada istrinya
karena dengan itu terhalang nafsunya (keinginannya kepada perempuan yang dilihatnya
tadi).[31] (makalah)
(rangkuman).Idris Ramulyo mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu jalan yang halal untuk
melanjutkan keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara agama, kesopanan dan
kehormatan, banyak penyakit jiwa yang sembuh setelah perkawinan umpamanya: Animea
(kurang darah). Pendek kata perkawinan dapat menumbuhkan kesungguhan, keberanian,
kesabaran dan rasa tanggung jawab kepada keluarga, masyarakat dan Negara. Perkawinan
juga dapat menghubungkan silaturrahmi, persaudaraan dan kegembiraan dalam menghadapi
perjuangan hidup dan kehidupan masyarakat dan sosial.[32] (makalah)
Lain dari pada itu hikmah perkawinan ialah memelihara diri seseorang supaya jangan jatuh ke
lembah kejahatan (perzinaan), karena bila ada istri disampingnya tentu akan terhindarlah ia dari
pada melakukan pekerjaan yang keji itu, begitu juga wanita yang disamping suaminya tentu
akan terhindar dari maksiat itu.[33]
 D.    Hukum Pernikahan dalam islam
(rangkuman).Hukum asal dari pernikahan atau perkawinan adalah mubah boleh
mengerjakannya tidak diwajibkan dan tidak diharamkan. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya:“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”[34]
Artinya:“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat”[35]
(rangkuman).Berdasarkan nas Al Qur’an dan Sunnah, islam sangat menganjurkan kaum
muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan, akan tetapi dilihat dari segi orang
yang akan melaksanakan serta tujuan melaksanakannya maka mungkin saja hukum nikah itu
menjadi wajib, sunah, haram, makruh ataupun mubah.
1. Wajib
Orang yang diwajibkan kawin adalah orang yang sanggup untuk kawin dan ia khawatir terhadap
dirinya akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah, yaitu zina. Melaksanakan perkawinan
merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang
Allah, ini berdasar pada hadits Nabi SAW:

‫ فإن ه أغض للبص ر واحص ن‬,‫ يا معشر الشباب من اس تطاع منكم الب اءة فلي تزوج‬: .‫ قال لنا رسول هللا ص‬:‫ قال‬.‫عن عبدهللا بن مسعود ض‬
  .ٌ‫للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء‬
Artinya:”Dari Abdullah bin Mas’ud r. a. ia berkata: Rasulullah saw pernah bersabda kepada
kami: Hai para pemuda barang siapa diantara kamu telah sanggup untuk kawin, maka
hendaklah ia kawin. Maka kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh
agama) dan lebih menjaga kemaluan dan barang siapa tidak sanggup hendaklah ia berpuasa
karena sesungguhnya puasa itu merupakan tameng (perisai) baginya”[36]
Pertimbangan lainnya adalah bahwa setiap muslim diwajibkan untuk menjaga diri agar tidak
berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melaksanakan perkawinan
penjagaan diri  itu wajib, maka hukum melaksanakan perkawinan itu menjadi wajib. Hal ini
sesuai dengan kaidah Ushul Fiqih:

‫ماال يت ّم الواجب إالّ به فهو واجب‬

Artinya:”Suatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan melakukan


sesuatu, maka melakukan sesuatu itu hukumya wajib”
Ulama Hanafiyah memberikan hokum Fardhu bila terdapat beberapa persyaratan yaitu:

1. Ia yakin kalau tidak menikah akan terjerumus dalam perzinaan, kalau sekedar takut akan
terjerumus saja ini tidak dihukumi fardhu.
2. Ia tidak mampu melaksanakan puasa untuk menahan nafsunya, jika ia masih mampu untuk
berpuasa, maka hukumnya tidak fardhu karena ia masih mempunyai dua pilihan yaitu antara puasa
dan nikah.
3. Ia mampu memberikan mahar dan nafkah dari jalan yang halal dan tidak melanggar aturan.[37]
4. Sunnah
.Orang yang disunnahkan kawin adalah orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin dan
sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan perbuatan terlarang sekalipun demikian
melaksanakan perkawinan adalah lebih baik baginya, karena rasulullah saw melarang hidup
sendirian sebagaimana sabdanya:
.‫ تزوجواالودود الولود فإ ّنى مكاثر بكم األمم يوم القيامة‬:‫ يأمرنابالباءة وينهى عن التبتل نهيًا شديدا ويقول‬.‫ كان النبي ص‬:‫ قال‬.‫عن أنس ض‬

Artinya:”Diriwayatkan dari Anas r. a. ia berkata: Nabi saw selalu memerintahkan kita untuk
kawin dan melarang membujang dengan larangan yang sangat dan beliau bersabda:
Nikahilah orang yang penuh kasih sayang dan suka beranak, karena sesungguhnya aku akan
bangga (berbesar hati) terhadap ummat lain dihari kiyamat karena dirimu (banyak
keturunannya”[38]
Menurut Syafi’iyah sekedar untuk menjaga diri dan agar memperoleh anak adalah hal yang
menjadikan nikahnya sunnah,[39] dan hal itu dianjurkan waktu untuk memperbanyak ummat
Muhammad. Dalam ahl ini disyaratkan pula agar ia mampu memenuhi hak dan kewajibannya. 
1. Makruh
Orang-orang yang makruh melakukan nikah adalah orang yang tidak mempunyai kesanggupan
untuk kawin, pada hakikatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin
dibolehkan untuk melakukan pernikahan, tetapi karena dikhawatirkan ia tidak dapat mencapai
tujuan perkawinannya, maka dianjurkan sebaiknya ia tidak melakukan perkawinan. Dari segi
jasmaniyah ia belum mampu untuk melakukan kawin dan mempunyai kesanggupan untuk
menahan diri dari perbuatan zina. Dari segi biaya ia tidak siap, sehingga kalaupun ia kawin
diduga kehidupan keluarganya dari segi materi akan kurang terurus. Andaikan ia kawin ia tidak
berdosa dan juga tidak mendapatkan pahala, tetapi kalau tidak kawin ia akan mendapatkan
pahala.

Allah berfirman:

Artinya:“Dan orang-orang yang tidak memperoleh (alat-alat) untuk nikah, hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sehingga Allah mencukupkan dengan  karunia-Nya”[40]
Yang dimaksud dengan “alat-alat perkawinan” dalam ayat tersebut adalah semua peralatan atau
perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan pernikahan dan melangsungkan kehidupan
suami istri seperti mahar, nafkah dan sebagainya.

1. Haram
(rangkuman).Perkawianan hukumnya menjadi haram bagi orang yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
dalam rumah tangga, sehingga apabila ia melangsungkan perkawinan dirinya dan istrinya akan
terlantar. Demikian juga apabila seseorang baik pria maupun wanita yang mengetahui bahwa
dirinya mempunyai penyakit atau kelemahan yang mengakibatkan tidak bias melaksanakan
tugasnya sebagai suami/istri dalam perkawinan, sehingga mengakibatkan salah satu pihak
menjadi menderita atau karena penyakitnya itu tidak bias mencapai tujuannya misalnya rumah
tangga tidak tentram, tidak bias memperoleh keturunan dan lain-lain. Maka bagi orang yang
demikian itu haram hukumnya untuk kawin, termasuk hal-hal yang menyebabkan haram adalah
penyakit gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat
membahayakan pihak yang lain dan sebagainya.
Perkawinan disyari’atkan untuk memberikan maslahat kepada manusia, menjaga jiwa dan
mengharap pahala, oleh karena itu jika perkawinan itu lebih menjadikan madharat pada orang
lain maka hukumnya menjadi haram. (makalah)
1. Mubah
(rangkuman).Perkawinan hukumnya menjadi mubah bagi orang yang mempunyai kemampuan
untuk kawin, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina. Hukum mubah
juga bagi orang yang antara pendorong dan penghambat untuk kawin adalah sama, sehingga
menimbulkan keraguan bagi orang yang melakukannya seperti orang yang mempunyai
keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, sebaliknya bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk kawin tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat. Menurut Hanafiyah
perbedaannya dengan perkawinan yang dihukumi sunnah adalah tergantung pada niatnya, jika
kawinnya hanya untuk melepas nafsu seksual saja maka hukumnya menjadi mubah, akan tetapi
kalau niatnya untuk menghindarkan diri dari zina dan untuk mendapatkan keturunan maka
hukumnya menjadi sunnah.[41] (makalah)
 E.     Rukun dan Syarat Pernikahan dalam islam
Rukun menurut bahasa adalah bagian yang kuat yang mempunyai fungsi menahan pada
sesuatu. Menurut Hanafiyah rukun adalah bagian dari sesuatu yang sesuatu itu tidak akan ada
kecuali dengan adanya bagian itu. Kelompok selain Hanafiyah mendefinisikan rukun sebagai
bagian atau bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena tergambarnya dan wujudnya
sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi dalam perkawinan apabila dikatakan rukun
nikah maka apabila salah satu rukun itu tidak ada maka nikah itu tidak terwujud atau tidak terjadi
dan tidak mungkin dilaksanakan dan rukun pernikahan itu adalah hakekat pernikahan itu
sendiri. 
Sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, tetapi tidak termasuk dari
hakikat dari pernikahan itu sendiri. Kalau ada salah satu dari syarat pernikahan itu tidak dipenuhi
maka pernikahan itu tidak syah, misalnya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing
rukun pernikahan. Dengan demikian maka kalau pelaksanaan pernikahan itu merupakan
pelaksanaan hukum agama, maka harus diingat bahwa dalam melaksanakan pernikahan itu
oleh agama ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut rukun-rukun dan
masing-masing rukun memerlukan syarat-syarat sahnya. 
1. Rukun Nikah, pernikahan dalam islam
 Pada pokoknya suatu pernikahan harus memenuhi dua rukun yang harus ada, yaitu
pertama ijab, yaitu perkataan yang berasal dari wali atau orang yamg menggantikannya, dan
kedua qabul, yaitu perkataan yang berasal dari suami atau yang menggantikannya. Nikah itu
sendiri adalah sebenarnya ungkapan dari adanya ijab dan qabul tersebut. Kemudian apakah
makna syara’ tersebut adalah seperti itu saja, yaitu sekedar ada ijab dan qabul, atau masih ada
tambahan yang lain lagi. Dan ternyata ada tambahan terhadap dua hal tersebut, yaitu adanya
ikatan atau kaitan antara ijab dan qabul.
Aqad dalam syari’at islam terdiri dari tiga hal. Yaitu dua masuk dalam inderawi (hissy), yaitu ijab
dan qabul dan satu masuk ma’nawi, yaitu kaitan atau ikatan antara ijab dan qabul.[42] Namun
demikian dalam perkawinan khususnya, para ulama memberikan rukun yang lebih dari itu dan itu
dianggap perlu karena diangggap merupakan hakekat dari pernikahan tersebut disamping ijab
dan qabul.
Ulama’ Syafi’iyah menetapkan lima rukun nikah, yaitu:

1. Suami
2. Istri
3. Wali
4. Dua saksi
5. Shighat
Ulama’ Malikiyah tidak memasukkan dua orang saksi dalam rukun nikah tapi diganti dengan
mahar sebagai rukun.

1. Syarat-syarat Nikah, pernikahan dalam islam


Pembicaraan mengenai syarat-syarat nikah sangat berhubungan dengan rukun-rukun nikah.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa syarat-syarat ini adalah syarat-syarat sah dari rukun
tersebut.

Sebelum membahas tentang syarat-syarat sah dari rukun-rukun tersebut perlu dijelaskan syarat-
syarat sah ijab qabul dalam perkawinan, yaitu:

1. Antara dua orang yang yang beraqad tersebut harus orang yang sudah mumayyiz atau baligh. Jika
salah satu tidak mumayyiz seperti gila atau masih kecil maka ijab qabul tersebut tidak sah.
2. Tempat ijab qabul tersebut harus berada pada satu majlis, antara ijab qabul tidak ada sela
perkataan atau sesuatu yang lain yang menurut kebiasaan dianggap mengganggu atau penolakan
terhadap aqad. Walaupun antara ijab dan qabul selang beberapa waktu yang agak panjang asal tidak
menunjukkan adanya gangguan atas penolakan terhadap aqad maka tetap sah dan dianggap masih
satu majlis.
3. Antara lafadz ijab dan qabul tidak saling bertentangan atau tidak ada kaitannya, kecuali jika
perbedaan atau pengembangan kalimat qabul tersebut membawa pada kebaikan.
4. Antara dua orang yang beraqad harus saling mendengar antara satu dengan yang lainnya dan
mengetahui yang dimaksudkan dalam aqad nikah tersebut.[43] 
1)        Syarat-syarat calon suami, pernikahan dalam islam

Syariat islam menetukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon suami
berdasarkan ijtihad para ulama’, yaitu:

a)    Calon suami beragama islam

Ketentuan ini ditetapkan Karena dalam hukum islam laki-laki dalam rumah tangga merupakan
pengayom, maka pokok hukum islam itu dikembalikan pada hukum pengayom. Karena
pernikahan itu berdasarkan pada hukum islam, maka laki-laki calon suami itu yang menjadi
dasar ancar-ancar hukumnya. Dalam hukum umum pun berlaku kebiasaan, hukum istri
mengikuti hukum suami, sebagaimana hukum anak mengikuti hukum ayahnya.

Oleh karena itu, wanita muslimah haram hukumnya kawin dengan laki-laki yang tidak muslim,
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 10.

b)   Calon suami benar-benar seorang lelaki

Tentang kejelasan bahwa suami harus benar-benar lelaki, hal ini diisyaratkan agar pelaksanaan
hukum itu lancar dan tidak mengalami hambatan-hambatan. Dalam hal perikatan, hukum islam
menghendaki agar masing-masing pihak mendapat hak dan kewajiban yang seimbang. Salah
satu hambatan dalam aqad perkawinan adalah kurang jelasnya calon pengantin. Karena itulah
diperlukan penegasan calon suami bahwa ia benar-benar laki-laki.

c)    Orangnya harus diketahui dan tertentu

d)   Calon suami itu jelas boleh dinikahkan dengan calon istri.

Syarat ini diperlukan sebagai landasan agar jangan sampai terjadi suatu perkawinan itu
merupakan pelanggaran hukum. Kalau antara calon suami dan calon istri ada hubungan
mahram maka pelaksanaan perkawinannya adalah perbuatan dosa dan hukumnya tidak sah
karena larangan itu termasuk haram lidzatih.
e)    Calon mempelai laki-laki tahu dan kenal pada calon istri serta tahu bahwa calon istrinya
halal baginya. Sebagaimana juga syarat yang diatas, syarat ini menghindari adanya perkawinan
yang melanggar hukum dan akan menimbulkan perbuatan dosa.

f)    Calon suami rela atau tidak dipaksa untuk melakukan perkawinan tersebut.

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sedangkan suatu perbuatan hukum harus berdasar
pada azaz kebebasan para pelakunya, sehingga suatu perkawinan menjadi tidak sah apabila
dilakukan dengan paksaan.

g)   Tidak sedang melakukan ihram

Orang sedang ihram tidak dibolehkan melakukan perkawinan dan juga tidak boleh mengawinkan
orang lain bahkan melamar juga tidak boleh. Ini didasarkan pada sbada Rasulluah SAW menurut
riwayat Imam Muslim dari sahabat Utsman bin Affan:

Artinya:“Tidak boleh kawin orang yang sedang dalam ihram dan tidak boleh mengawinkan
serta tidak boleh melamar”
‫ ال ينكح المحرم وال ينكح وال يخطب‬:‫ قال‬.‫عن عثمان بن عفان أن رسول هللا ص‬

h)   Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.

Hal ini didasarkan pada firman Allah:

Artinya:“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali


yang telah terjadi pada masa lampau”[44]
i)     Tidak mempunyai empat istri.

Hal ini didasarkan pada firman Allah:

Artinya:“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat”[45] (makalah)
2)        Syarat-syarat calon istri, pernikahan dalam islam

a)    Beragama Islam

Mengenai wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat para ulama, diantara mereka ada yang
membolehkan dan diantara mereka ada yang tidak membolehkan, namun hukum asalnya
adalah boleh sebagaimana firman Allah:

Artinya:“Dan Dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-


wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al kitab sebelum kamu”[46]
b)   Jelas bahwa ia benar-benar wanita dan bukan banci (huntsa).

c)    Wanita itu orangnya jelas dan tertentu.

d)   Halal bila dinikahkan dengan calon suami.

e)    Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain dan tidak dalam masa iddah.
Iddah ialah waktu tunggu bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai hidup atau karena
ditinggal mati untuk dapat kawin lagi dengan laki-laki lain.

f)    Tidak dipaksa

Wanita harus mempunyai kebebasan memilih untuk menentukan sikap dalam perkawinannya.
Yang dimaksud paksaan disini ialah paksaan dengan ancaman yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa. Masalah ini harus dibedakan antara paksaan dengan hak
ijbar bagi ayah sebagai wali mujbir, untuk menentukan pilihan calon suami bagi anak
perempuannya yang sangat pantas dan sesuai serta wanita itu tidak mengadakan penolakan
secara kasar.
g)   Tidak dalam keadaan ihram haji ataupun umrah.

3)      Syarat-syarat wali nikah, pernikahan dalam islam

(rangkuman).Para ulama’ sepakat bahwa orang yang akan menjadi wali harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a)    Orang mukallaf/baligh, karena orang mukallaf adalah orang yang dibebani hokum dan dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw:

‫ عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبى حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق‬:‫رفع القلم عن ثالث‬

 Artinya:”Diangkat kalam (dibebaskan dari ketentuan-ketentuan hokum) dari tiga golongan


yaitu: orang yang sedang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia bermimpi dan
dari orang gila sampai ia berakal (sembuh)”[47]
b)   Muslim

Apabila yang kawin itu seorang muslim maka disyaratkan walinya juga seorang muslim. Hal ini
berdasarkan firman Allah dalam surat Al Imran ayat 28:

Artinya:“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192]


dengan meninggalkan orang-orang mukmin”[48]
c)    Berakal sehat

Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat dibebani hukum karena dianggap
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw sebagaimana
disebutkan diatas tentang diangkatnya kalam.

d)   Laki-laki

Imam Maliki, Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa wanita tidak boleh mengawinkan dirinya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
‫ ال تزوّ ج المرأة المرأة وال تزوج المرأة نفسها‬: .‫ قال رسول هللا ص‬:‫ قال‬.‫عن ابى هريرة رض‬

Artinya:”Dari Abu Hurairah r. a. ia berkata: Rasulullhah SAW bersabda: wanita itu tidak sah


menikahkan wanita lainnya dan tidak sah pula menikahkan dirinya sendiri”[49]
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh atau sah menjadi wali dari perkawinan
wanita lainnya atau menikahkan dirinya sendiri. Ia beralasan pada hadits Nabi:

‫ األيّم أحق بنفسها من وليّها والبكر تستأمر فى نفسها وإذنها صماتها‬: .‫ قال رسول هللا ص‬:‫ قال‬.‫عن ابن عباس ر ض‬

Artinya:“Dari Ibn Abbas r. a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Janda itu lebih berhak atas
dirinya, sedang seorang gadis hendaklah diminta izinnya dan izin si gadis adalah diamnya
itu”[50]
Hadits Ibn Abbas tersebut menerangkan bahwa orang yang akan kawin itu termasuk wanita,
lebih berhak atas perkawinan dirinya sendiri daripada walinya karena haknya itu ia dibolehkan
menikahkan dirinya sendiri sebagaimana hak wali yang boleh pula melaksanakan
perkawinannya. Selain itu wanita boleh menikahkan orang lain yang dibawah perkawinannya.

e)    Adil

Madzhab Syafi’I mensyaratkan wali itu seorang yang cerdas berdasar hadits:

.‫ النكاح إال بولى مرشد‬: .‫عن ابن عباس قال قال رسول هللا ص‬

Artinya:”Dari Ibn Abbas ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak (sah) pernikahan kecuali
dengan wali yang cerdas”[51]
Menurut Imam Syafi’I yang dimaksud dengan cerdas dalam hadits tersebut adalah adil. Imam
Abu Hanifah tidak mensyaratkan seorang wali itu harus adil, karena beliau berpendapat bahwa
hadits Ibn Abbas diatas adalah Hadits Dha’if.
4)      Syarat-syarat saksi, pernikahan dalam islam

Syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut:

a)    Mukallaf atau Dewasa, karena hanya orang yang sudah dewasa yang dapat dan mampu
mempertanggung jawabkan perbuatannya dalam persaksian.

b)   Muslim, orang bukan muslim tidak boleh menjadi saksi dari pernikahan Islam.

c)    Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang diucapkan pada waktu
akad nikah dilaksanakan, orang-orang yang bisu dan tuli boleh juga diangkat menjadi saksi asal
dapat memahami dan mengerti apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan akad.

d)   Adil, yaitu orang yang taat beragama dan menjalankan perintah Allah dan meninggalkan hal-
hal yang dilarang oleh agama. Menurut Imam Syafi’I syarat adil bagi seorang saksi merupakan
suatu keharusan, sedangkan menurut Imam Hanafi saksi tidak mesti harus adil, ia membolehkan
orang fasik menjadi saksi asal kehadirannya dapat mencapai tujuan adanya saksi dalam akad
nikah.

e)    Saksi yang hadir minimal dua orang, saksi itu harus laki-laki tetapi apbila tidak ada dua
orang saksi laki-laki maka boleh dihadiri satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan.

Hal ini berdasarkan Firman Allah:

Artinya:“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya”[52]
5)      Syarat shighat akad, pernikahan dalam islam

Adapun Shighat akad nikah mempunyai syarat-syarat:

a)    Hendaklah dengan perkataan yang berarti “perkawinan”, “pernikahan” serta kerelaan dari
pihak-pihak calon suami dan calon istri yang melakukan perkawinan.

Dalam perkataan “Ijab” disamping menggunakan perkataan “perkawinan” atau “pernikahan”


dalam arti yang sebenarnya (hakikat) boleh pula dipakai perkataan yang berarti kiasan (majaz),
asal saja maksud perkataan tersebut tidak berbeda dengan maksud perkataan “perkawinan”
atau “pernikahan”, seperti seorang ayah yang menjadi wali bagi anak perempuannya
berkata: Aku serahkan anak perempuanku yang bernama A kepada kamu (laki-laki yang
bernama B) untuk dijadikan sebagai istrimu.
b)   Perkataan “Qabul” haruslah memakai perkataan yang menegaskan bahwa pihak calon
suami telah menerima “Ijab” yang diucapkan oleh calon istri.

Keragu-raguan dalam perkataan “Qabul” haruslah dihindarkan, keragu-raguan dapat dihindarkan


apabila dalam perkataan “Ijab” dipakai bentuk “madhi” (bentuk masa lampau), seperti
perkataan “Qabiltu nikahaha wa tazwijaha” perkataan “Qabul” dalam bahasa Indonesia tidak
memakai bentuk lampau karena tidak ada pembagian waktu dalam kata kerjanya.
Perkataan “Qabul” dalam bahasa Indonesia cukup dengan perkataan yang mengandung
penegasan dan tidak ada keragu-raguan. Perkataan yang bisa dipakai ialah pihak calon suami
menjawab “Ijab” dari wali calon istri dengan perkataan: “Aku terima nikah si A dengan
maharnya Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah).
Sighat akad nikah tidak diharuskan menggunakan bahsa Arab, boleh dengan bahasa lain, yang
penting ialah pihak-pihak yang ikut dalam akad nikah mengerti dan memahami apa yang
diucapkan oleh orang-orang yang berakad.

c)    “Ijab” dan “Qabul” haruslah sesuai dan ada kecocokan.

“Ijab” dan “Qabul” dikatakan tidak sesuai dan tidak ada kecocokan ialah apabila “Ijab” yang
diucapkan tidak sesuai dengan “Qabul” yang diucapkan, seperti wali dari calon istri
berkata: ”Aku nikahkan engkau (A) dengan putriku Ftimah . . .” dan dijawab oleh calon
suami: “Aku terima nikah anakmu yang bernama Zainab . . .“ atau jumlah mahar yang disebut
didalam “Ijab” berlainan dengan jumlah mahar yang disebut di dalam “Qabul”.
d)   Masing-masing pihak harus mendengar dan memahami perkataan atau isyarat-isyarat yang
diucapkan atau dilakukan oleh masing-masing pihak diwaktu akad nikah.

e)    “Ijab” dan “Qabul” haruslah diucapkan ditempat yang sama dan dalam waktu yang sama.

f)    Shighat akad harus mengandung pengertian bahwa perkawinan antara calon suami dengan
calon istri telah berlangsung dalam arti yang sebenarnya setelah selesai diucapkan.

Tidak boleh ada dalam shighat akad nikah pengertian bahwa kelangsungan perkawinan
dihubungkan dengan waktu yang akan datang atau kejadian-kejadian yang akan datang, seperti
perkataan wali: “Aku nikahkan engkau dengan putriku A besok pagi . . .” atau “Aku nikahkan
engkau dengan putriku B setelah engkau mempunyai penghasilan . . .” Kedua bentuk  shighat
tersebut menyebabkan tidak sahnya nikah, karena ijab mengandung pengertian menangguhkan
pernikahan yang seharusnya berlaku sekarang kepada waktu yang akan datang atau kejadian
yang akan datang sesuai dengan kaidah
.‫أن كل ما يفيد الملك فى الحال ال يجوز إضا فته إلى زمن مستقبل‬

Artinya:“Semua pemilikan yang memberi faedah berlaku pada masa sekarang tidak boleh
dihubungkan (ditangguhkan berlakunya) kepada masa yang akan datang”.
Mengenai sighat ta’lik talak yang berlaku di Indonesia bukanlah termasuk sighat akad nikah,
karena sighat ta’lik talak itu diucapkan setelah selesai membaca sighat akad nikah.

g)   Hendaklah shighat akad nikah itu “muabbad” (tidak ada pembatasan waktu) 


*situs: www.rangkumanmakalah.com
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm 614.
Baca pula: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan dan Penjelasan UU No.1 tahun 1974, tidak
terdapat kata-kata nikah yang ada hanya istilah kawin.
Baca pula: Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm 104. Kedua
istilah tersebut, nikah dan kawin dalam bahasa Indonesia sudah umum dipakai oleh masyarakat dengan
pengertian yang sama. Dengan demikian istilah Pernikahan dan Perkawinan mempunyai pengertian
yang sama. Secara singkat dapat dijelaskan kata nikah berasal dari bahasa Arab dan
kata Perkawinan merupakan terjemahan dari katanikah.
[2] Taqyuddin, Kifayatul Al-Akhyar, Surabaya: Piramida, tt., II: 23.
[3] Abdurrahman Al-Jaziry, Al Fiqh Ala Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah,
1990, hlm 7
[4] Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, cet. III, Beirut: Dar Al-Fikr, 1957, hlm 18.
[5] Prof. Dr. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, cet. IX, Jakarta: Hida Karya Agung,
1956, hlm 2.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, hlm 19.
[7] M. Idris Ramulya, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara dan Peradilan Agama dan
Hukum Perkawinan Islam, cet. 1, Jakarta: Ind Hill-co, 1985, hlm 174.
[8] Prof. Subekti, SH. Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXIII, Jakarta: Intermasa, 1991, hlm 23.
[9]  Qs. Ar Ra’d: 38
[10] QS. An Nisa’: 3
[11] Qs. Ar-Rum: 21
[12] Muttafaq ‘Alaih, Lihat Ash-shon’ani, Subulus Salam, Semarang: Thoha Putra, t. t. , III: 109
[13] HR. Ahmad, Lihat Subulus Salam. Jilid III: 111
[14] Hr. Bukhari, Lihat Shahih Bukhari, Beirut: Dar  Al Fikr, 1981, juz v, hlm 116.
[15] Hr. Al-Baihaki
[16] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid III, hlm 10
[17] Qs. Al ‘Imran: 14
[18] Mustafa Diburu Bigha, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Cahaya Indah Semarang, 1985, hlm,  247.
[19] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm 11
[20] Irfan Sidqan, Fiqh Munakahat, Surabaya: Biro Pengembangan Perpustakaan dan Penerbitan Fak
Syari’ah, 1990, I: 7.
[21]  Dja’far Ami, Khutbah Nikah, Pekalongan: Raja Murah, 1977, hlm 15.
[22] Qs. Ar Rum; 21.
[23] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, . . ., hlm, 11
[24] Qs. An Nahl: 72
[25] Qs. An Nahl: 1
[26] HR. Ahmad,
[27] Irfan Sidqan, Fiqih Munakahat, . . ., hlm 7.
[28] H. Arso Sosro Adtmojo dan H. A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. III,
Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hlm 333.
[29] Afif Abdullah Fattah Thobarah, Dosa Dalam Pandangan Islam, cet III, Bandung: Risalah, 1986,
hlm 111
[30] Irfan Sidqan, Fiqih Munakahat, . . . , hlm 7
[31] HR. Muslim
[32] M. Idris Ramulyo, Beberapa masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Hukum Perkawinan Islam, cet III, tk. Ind-Hill, 1985, hlm 175.
[33] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, cet XI, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989, hlm
8.
[34] Qs. An Nur: 32.
[35] Qs. An Nisa: 3.
[36] Muttafaq ‘Alaih, Lihat As-Syon’ani, Subulus Salam, Semarang: Thoha Putra, t. t. , III: 109.
[37] Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala. . . ,IV: 11.
[38] HR. Ahmad, Lihat Subulus Salam, jilid III: 111.
[39] Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala . . . . , hlm 12.
[40] Qs. An Nur: 33.
[41] Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al-Madzahib. . . . , IV: 12.
[42] Ibid, hlm 12
[43] Sayyid Sabiq, Fiqh as-sunnah, II :29-30
[44] Qs. An Nisa’: 23
[45] Qs. An Nisa: 3.
[46] Qs. Al Maidah: 5.
[47] HR. Ahmad dari Aisyah.
[48] Qs. Al Imran: 28
[49] HR. Daruquthni dan Ibn Madjah.
[50] HR. Bukhari dan Muslim.
[51] HR. Asy-Syafi’i.
[52] QS. Al Baqarah: 282.
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari ketergantungan dengan
orang lain. Menurut Ibnu Khaldun, manusia itu (pasti) dilahirkan di tengah-tengah
masyarakat, dan tidak mungkin hidup kecuali di tengah-tengah mereka pula.
Manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dan melestarikan keturunannya. Ini
diwujudkan dengan pernikahan. Pernikahan yang menjadi anjuran Allah dan Rasull-
Nya ini merupakan akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 

Pernikahan yang telah diatur sedemikian rupa dalam agama dan Undang-undang ini
memiliki tujuan dan hikmah yang sangat besar bagi manusia sendiri. Tak lepas dari
aturan yang diturunkan oleh Allah, pernikahan memiliki berbagai macam hokum
dilihat dari kondisi orang yang akan melaksanakan pernikahan.

Dalam makalah ini akan menjelaskan pernikahan, tujuan dan hikmah pernikahan,
hokum pernikahan, nilai pernikahan dan bentuk perkawinan yang telah dihapus oleh
Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian nikah menurut bahasa, istilah, UU perkawinan dan KHI?


2. Apa hikmah dan tujuan perkawinan?
3. Bagaimana hukum dari perkawinan?
4. Bagaimana nilai ubudiyah dan bukan ubudiyah dalam perkawinan?
5. Apa bentuk perkawinan yang telah dihapuskan oleh Islam?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian nikah menurut bahasa, istilah, UU


perkawinan dan KHI.
2. Untuk mengetahui dan memahami hikmah dan tujuan perkawinan.
3. Untuk mengetahui dan memahami hukum dari perkawinan.
4. Untuk mengetahui dan memahami nilai ubudiyah dan bukan ubudiyah dalam
perkawinan.
5. Untuk mengetahui dan memahami bentuk perkawinan yang telah dihapuskan
oleh Islam.

PEMBAHASAN

PERNIKAHAN DALAM NIKAH

1. Pengertian Nikah 
Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa
artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh
(wathi).  Menurut istilah hukum Islam, pernikahan adalah:
ّ .
‫الزواج شرعا هو عقد وضعه الشارع ليفيد ملك استمتاع الرّ جل بالمرأة وحل استمتاع المرأة بالرّ جل‬
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-
senangnya perempuan dengan laki-laki.
Para ulama Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang
memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja.
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 
Berdasarkan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Perkawinan menurut hukun
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2. Hikmah dan Tujuan Perkawinan


Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi kehidupan
manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan utama yang
baik bagi manusia.  Dengan pernikahan tali keturunan bisa diketahui dan hal ini
sangat berdampak besar bagi perkembangan generasi selanjutnya.  Tujuan
pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis
atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang
berkaitan dengan sosial, psikologi dan agama. 
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.  Kita bisa mengatakan bahwa tujuan dari ditetapkannya
pernikahan pada umumnya adalah untuk menghindarkan manusia dari praktik
perzinaan dan seks bebas.
Adapun hikmah-hikmah perkawinan adalah dengan pernikahan maka akan
memelihara gen manusia, menjaga diri dari terjatuh pada kerusakan seksual,
sebagai tiang keluarga yang teguh dan kokoh serta dorongan untuk bekerja keras.
3. Hukum Perkawinan
Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam, secara rinci jumhur ulama
menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu:
a. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk menikah, telah pantas
untuk menikah dan dia telah mempunyai perlrngkapan untuk melangsungkan
perkawinan.
b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk menikah, belum berkeinginan
untuk menikah, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu
pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya
mengalami cacat impoten, berpenyakitan tetap, tua Bangka dan kekurangan fisik
lainnya.
c. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk menikah, berkeinginan untuk
menikah dan memiliki perlengkapan untuk menikah, ia khawatir akan terjerumus ke
tempat maksiat kalau ia tidak menikah.
d. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’
untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan memcapai
tujuan syara’, sedangkan dia meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan
pasangannya.
e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah
dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada
siapapun.
Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedangkan ulama
Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di samping ada
yang sunnah, wajib, haram dan yang makruh. 

4. Nilai Ubudiyah dan Bukan Ubudiyah Dalam Perkawinan


a. Nilai ubudiyah dalam perkawinan
Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan atau kontrak keperdataan
biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah, sebagaimana dalam KHI ditegaskan bahwa
perkawinan merupakan akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan
pelaksanaannya merupakan ibadah sesuai dengan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk
Tuhan, baik pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan
cara yang dipilih Allahsebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang
biak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan
perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas
mengikuti nalurinya dalam hubungan secara anarki tanpa aturan. Demi menjaga
kehormatan dan martabatnya sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan
diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai.
Jadi dilihat dari nilai ubudiyah bahwa seorang yang menjalankan sunnah Allah dan
Rasul-Nya merupakan suatu ibadah, dalam perkawinan banyak suruhan yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sehinggaorang yang menjalankan
perkawinan akan dihitung ibadah.
b. Nilai bukan ubudiyah dalam perkawinan
Nilai-nilai perkawinan selain nilai ubudiyah atau ibadah yaitu nilai akidah dan
muamalah. Dilihat dari nilai akidah dalam sahnya dalam perkawinan juga memuat
aspek akidah, karena di dalam perkawinan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan dilihat dari nilai muamalah perkawinan merupakan perbuatan yang
melibatkan dua orang sehingga perkawinan tersebut dapat dinamakan hablun minan
annas, yaitu hubungan manusia dengan manusia.

5. Bentuk Perkawinan yang Telah Dihapus Oleh Islam


Tujuan perkawinan bisa dicapai dengan adanya prinsip bahwa perkawinan adalah
untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Karena prinsip
perkawinan dalam Islam seperti itu, maka Islam tidak membenarkan:
a. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah perkawinan untuk masa tertentu, dalam arti pada waktu akad
dinyatakan masa tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan terputus
dengan sendirinya.
b. Muhallil Nikah 
Nikah Muhallil adalah perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang
telah melakukan talak tiga untuk segera kembali pada isterinya.
c. Nikah Syigar
Nikah Syigar adalah seorang wali mengawinkan puterinya dengan seorang laki-laki
dengan syarat agar laki-laki itu mengawinkan puterinya dengan si wali tadi tanpa
bayar mahar.


PENUTUP
A. Kesimpulan
perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Adapun hikmah-hikmah perkawinan adalah dengan
pernikahan maka akan memelihara gen manusia, menjaga diri dari terjatuh pada
kerusakan seksual dll.
Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam ialah sunnah, mekruh, wajib,
haram dan mubah.
Nilai Ubudiyah dan Bukan Ubudiyah Dalam Perkawinan : 1. Nilai ubudiyah dalam
perkawinan ialah perkawinan bukan semata-mata hubungan atau kontrak
keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah. 2. Nilai-nilai perkawinan selain
nilai ubudiyah atau ibadah yaitu nilai akidah dan muamalah.
Bentuk Perkawinan yang Telah Dihapus Oleh Islam yaitu nikah mut’ah, nikah
muhallil dan nikah syigar.

B. Saran
Demikianlah makalah tentang “Nikah” yang dapat kelompok kami sampaikan. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak
kesalahan. Untuk itu kami mohon maaf dan kritikannya yang membangun untuk
perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat.  Amin.

PENGERTIAN, HIKMAH, TUJUAN DAN HUKUM NIKAH (MUNAKAHAT)

ABSTRAK

Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam hidup sebagian besar orang. Dalam islam,
pernikahan telah diatur secara jelas, baik yang termaktub dalam Al-Quran maupun hadits Nabi
Muhammad SAW. Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan yang kuat antara laki-laki dengan
perempuan untuk membentuk keluarga, mendapatken keturunan dan mencari ridho Allah. Akan
tetapi ada sebagian orang yang belum mengetahui tentang makna pernikahan,hikmah pernikahan,
tujuan pernikahan, dan hukum nikah.

Nikah (img: agastya.wordpress.com)
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah sisi.
Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya
jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama. Berdasarkan  sudut pandang ini, maka ketika
orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan mereka bukan saja memiliki keinginan
untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologisnya
yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenarnya juga harus
dipenuhi.  Agama islam telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan
biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat
menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-
Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup
seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai
sarana penyaluran kebutuhan seks namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian
hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalamnya. Semua hal
itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar dilaksanakan dengan cara yang sesuai
serta jalur yang telah ditetapkan islam.

B.    Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di dibahas sedikit tentang:
1.    Apa definisi pernikahan menurut islam ?
2.    Apa hikmah/manfaat pernikahan ?
3.    Apa tujuan pernikahan dalam islam ?
4.    Apa saja hukum-hukum nikah ?
5.    Bagaimana memilih pasangan hidup menurut islam ?

C.    Tujuan 
1.    Mengetahui makna pernikahan.
2.    mengetahui hikmah pernikahan.
3.    Mengetahui tujuan pernikahan dalam islam.
4.    Mengetahui hukum-hukum pernikahan.
5.    Agar dapat memilih pasangan hidup dengan tepat menurut pandangan islam.

BAB II PEMBAHASAN 
A.    Pengertian Pernikahan
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula
ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang
diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu
hanya metafora saja.
Islam adalah agama yang universal, yaitu  mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah
pun  dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak
disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang
memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah banyak mengatur 
mulai dari bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntun dan mengajarkan
bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah
dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan
pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini
insyaallah penulis akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila
tidak dilaksanakan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti sunnah
rosul (Syaikh Kamil Muhammad,1998:375). 
 Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda yaitu    laki-laki dan
perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah, mawaddah,
warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang shaleh dan shalihah. Keturunan inilah yang
selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi
bagi orang tuanya (Ahmad Rafi Baihaqi,2006:8). 

B.     Hikmah Pernikahan


Allah SWT berfirman :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.”(QS.Ar-Ruum [30]:21)

Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini berlanjut, darigenerasi
ke generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta
menghindari godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur
hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih
sayang dan penghormatan muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas didalam rumah
tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan.
Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat
(Syaikh Kamil Muhammad,1998:378). 
Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :
1.    Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan
berketurunan.
2.    Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat
seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
3.     Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah
dengan pacarannya.
4.    Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang
diciptakan (Muhammad At-Tihami,2004:18) . 

C.    Tujuan Pernikahan dalam Islam


1.    Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu
dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan
seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi,
homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2.    Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur


Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi
martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan
martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai
sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat
dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Artinya : “Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan).
Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya”.

3.    Untuk Menegakkan Rumah Tangga yang Islami


            Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika
suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam
ayat berikut :

            Artinya : “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari
sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
dzalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:229)
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali
nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan
dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :

Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk
kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “  (QS. Al-
Baqarah[2]:230)
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam
rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.

4.    Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah


Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada
sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi
peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai
menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


Artinya : “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah”. Mendengar sabda
Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang
memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain
istrinya, bukankah mereka berdosa ? “ Jawab para shahabat : ”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi :
“Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan
memperoleh pahala ” .

5.    Untuk Mendapat Keturunan yang Shalih


Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah
berfirman :
Artinya : “Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu 
rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah ?”  Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh
anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas,  yaitu mencari anak yang
shalih dan bertaqwa kepada Allah. Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan
dengan pendidikan Islam yang benar.

D.    Hukum Nikah


        Nikah merupakan amalan yang disyari’atkan, hal ini didasarkan pada firmanAllah SWT : 
  “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”(QS. An-Nisaa’ [4]: 3).

Dari keterangan diatas disimpulkan bahwa hukum nikah ada 5 :


1.    Wajib
Menikah hukumnya wajib bagi orang yang khawatir berbuat zina jika tidak melakukannya.
Sebagaimana kita ketahui menikah adalah satu cara untuk menjaga kesucian diri. Maka jika tidak
ada jalan lain untuk meraih kesucian itu, kecuali dengan menikah, maka menikah hukumnya adalah
wajib bagi yang bersangkutan. Imam al-Qurthubi mengatakan,”orang yang mampu menikah,
kemudian khawatir terhadap diri dan agamanya, dan itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan
menikah, maka dia harus menikah”.
Misalnya, seorang pemuda memiliki banyak harta dan berlimpahan materi, dan dia tidak mampu
mnahan syahwatnya sehingga akan dengan mudah terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan. Pada
saat bersamaan dia juga memiliki kewajiban menunaikan ibadah haji karena syarat-syaratnya sudah
terpenuhi. Maka, dalam keadaan seperti itu dia harus menikah terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah
Rahimahullah mengatakan, “jika seorang harus menikah karena takut terjerumus ke lembah
perzinaan maka dia harus mendahulukannya daripada kewajiban berhaji.”
Bahkan, jika keadaan sudah darurat, dalam arti bahwa seseorang benar-benar terjerumus ke dalam
perzinaan, maka menikah hukumnya wajib baginya, baik sudah siap secara materi maupun belum
sama sekali ( Pakih Sati,2011:18).
Sementara itu Allah SWT. telah menjanjikan hamba-Nya yang fakir akan kaya dengan menikah,
sebagaimana firman-Nya:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian* diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika  mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(Pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Nur [24]: 32).

     ‫( اآليمى‬Al-Ayaama) merupakan jamak dari lafadh ‫(أَي ٍَّم‬ayyam) yaitu seseorang yang tidak mempunyai
suami atau istri, baik dari laki-laki maupun perempuan.
Dalam buku lain dijelaskan, seandainya hasratnya untuk menikah sangat kuat, namun dia tidak
memiliki kemampuan untuk menafkahi istrinya kelak, lalu dia terpaksa tidak melakukan
pernikahan, hendaklah dia bersabar dan bersungguh-sungguh dalam upaya menjaga dirinya daripada
terjerumus dalam perzinaan, seraya mengikuti petunjuk firman Allah SWT : (Muhammad Bagir, 
2008: 4).

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan
perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka[1036], jika kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepadamu[1037]. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk
melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari
keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu[1038]”.  (QS.
Al-Nur [24]: 33).
[1036]. Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang hamba
boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan
membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu
kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal.  
[1037]. Untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan
harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya. 

[1038]. Maksudnya: Tuhan akan mengampuni budak-budak wanita yang dipaksa melakukan
pelacuran oleh tuannya itu, selama mereka tidak mengulangi perbuatannya itu lagi. 

2.    Sunnah
Pernikahan tidak menjadi wajib, namun sangat dianjurkan bagi siapa saja yang memiliki hasrat atau
dorongan seksual untuk menikah dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, walaupun merasa
yakin akan kemampuannya mengendalikan dirinya sendiri, sehingga tidak khawatir akan terjerumus
dalam perbuatan yang diharamkan Allah. Orang seperti ini, tetap dianjurkan untuk menikah, sebab
bagaimanapun nikah adalah tetap lebih afdhal daripada mengkontrasikan diri secara total (ber-
thakhalli) untuk beribadah.

3.    Makruh
Jika seseorang laki-laki yang tidak mempunyai syahwat untuk menikahi seseorang perempuan, atau
sebaliknya, sehingga tujuan pernikahan yang sebenarnya tidak akan tercapai, maka yang demikian
itu hukumnya makruh. Misalnya seorang yang impoten. Sebagaimana kita ketahui, salah satu tujuan
dari pernikahan adalah menjaga diri, sehingga ketika tujuan ini tidak tercapai, maka ada faedahnya
segera menikah.
4.    Haram
Pernikahan menjadi haram bila bertujuan untuk menyakiti salah satu pihak, bukan demi
menjalankan sunnah rasulallah Saw. Misalnya, ada seorang laki-laki yang mau menikahi seorang
perempuan demi balas dendam atau sejenisnya. Ini hukumnya haram. Masuk dalam kategori ini
ketidakmampuan memberi nafkah atau menunaikan kewajiban yang lainnya.
5.    Mubah
Pernikahan menjadi mubah (yakni bersifat netral, boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan)
apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk melakukannya ataupun meninggalkannya, sesuai
dengan pandangan syari’at, seperti telah dijelaskan diatas (Ahmad Rafi Baihaqi,1998:10 ).   

E.    Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam


Setiap orang yang berumah tanggah tentu mengharapkan keluarganya akan menjdi keluarga yang
sakinah mawadah warakhmah. Kehidupan rumah tangganya dapat menjadi surga didunia dapat
menjadi diri dan keluarganya. Apalagi pada saat ini banyak sekali kasus peceraian keluarga
dijumpai ditengah-tengah masyakat yang semakin berkembang ini. Alasan dalam peceraian itu
bermacam-macam, dari alas an pendapatan istri lebih besar dari pada suami, selingkuh dengan
adanya orang ke tiga, kekerasan dalam rumah tanggah, dan lain-lain.
Maka dari itu dalam membanggun mahligai surga rumah tangga persiapan awal harus dilakukan pada
saat memilih jodoh. Islam mengangjurkan kepada umatnya ketika mencari jodoh itu harus berhati-
hati baik laki-laki maupun perempuan, hal ini dikarenakan masa depan kehidupan rumah tangga itu
berhubungan sangat erat dengan cara memilih suami maupun istri. Untuk itu kita sebagai umat
muslim harus memperhatikan kriteria dalam memilih pasangan hidup yang baik.
Dasar firman Allah SWT :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Nur [4]: 31).
Dan dari sabda Rasullah yang artinya :
“Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabdah : sesunguhnya seorang wanita
itu dinikahi atas empat perkara, yaitu : harta, nasab, kecantikan, dan agamanya, maka perolehlah
yang mempunyai agama maka akan berdeburlah tanganmu” (Ahmad Rafi Baihaqi,2004:44).
Dalam memilih istri hendaknya menjaga sifat-sifat wajib. Syeh jalaluddin Al-qosimi Addimasya’i
dalam kitab Al-mauidotul Mukminin menyebutkan ada kriteria bagi laki-laki dalam memilih
pasangan hidup :
1.    Baik agamanya : hendaknya ketika memilih istri itu harus memperhatikan agama dari sisi istri
tersebut.
2.    Luhur budi pekertinya : seorang istri yang luhur budi pekertinya selalu sabar dan tabah
menghadapi ujian apapun yang akan dihadapi dalam perjalanan hidupnya.
3.     Cantik wajahnya : setiap orang laki-laki cenderung menyukai kecantikan begitu pula
sebaliknya. Kecantikan wajah yang disertai kesolehahhan prilaku membuat pasangan tentram dan
cenderung melipahkan kasih sayangnya kepadanya, untuk sebelum menikah kita disunahkan untuk
melihat pasangan kita masing-masing.
4.    Ringan maharnya : Rasullullah bersabda : “salah satu tanda keberkahan perempuan adalah
cepat kawinnya, cepat melahirkannya, dan murah maharnya.
5.     Subur : artinya cepat memperoleh keturunan dan wanita itu tidak berpenyakitan.
6.    Keturunan keluarga baik-baik : dengan sebuah hadist Rasullallah besabda :“jauhilah dan
hindarkan olehmu rumput mudah tumbuh ditahi kerbau”. Maksudnya : seorang yang cantik dari
keturunan orang-orang jahat.
7.    Bukan termasuk mahram : kedekatan hubungan darah membuat sebuah pernikahan menjadi
hambar, disamping itu menurut ahli kesehatan hubungan darah yang sangat dekat dapat
menimbulkan problem genetika bagi keturunannya.

Dalam memilih calon suami bagi anak perempuan hendaknya memilih orang yang memiliki akhlak,
kehormatan dan nama baik. 
Rasullah bersabda :”Barang siapa mengawinkan anak perempuannya dengan orang yang fasik maka
sungguh dia telah memutuskan hubungan persaudaraan.”
Seorang laki-laki berkata kepada Hasan bin Ali, “sesungguhnya saya memiliki seorang anak
perempuan maka siapakah menurutmu orang yang cocok agar saya dapat menikahkan untuknya ?”
Hasan menjawab :”nikahkanlah dia dengan seorang yang beriman kepada Allah SWT, jika ia
mencintainya maka dia akan memuliakannya dan jika dia membencinya maka dia tidak
mendzaliminya.

BAB III PENUTUP


A.    Kesimpulan
1.    Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda yaitu    laki-laki
dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.

2.    Hikmah dalam pernikahannya itu yaitu :


a.    Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan
berketurunan.
b.    Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat
seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
c.    Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah
dengan pacarannya.
d.    Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang
diciptakan.

3.    Tujuan pernikahan :


a.    Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi
b.    Untuk membentengi ahlak yang luhur
c.    Untuk menegakkan rumah tangga yang islami
d.    Untuk meningkatkan ibadah kepada allah
e.    Untuk mencari keturunan yang shalih

B.     Saran
Bagi seorang muslim hendaknya mengerti dan memahami tentang makna, hikmah,tujuan, dan
hukum pernikahan, karena akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

DAFTAR PUSTAKA 
At-Tihami, Muhammad.2004.Merawat Cinta Kasih Menurut Syariat Islam.Surabaya:Gita
Mediah                Press.
Bagir,Muhammad.2008.Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’.
Bandung: Karisma.
Baihaqi, Ahmad Rafi.2006.Membangun Syurga Rumah Tangga.Surabaya:Ampel Mulia.
Muhammad, Syaikh Kamil.1998.’Uwaidah, Fiqih Wanita.Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.
Sati, Pakih. 2011.  Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini. Jogjakarta: Bening.
Sumber Dari: http://www.gudangnews.info/2015/03/makalah-pendidikan-agama-islam-
tentang_13.html#ixzz4Uwrhv07k

Anda mungkin juga menyukai