Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Rukun Nikah

Mata Kuliah : Fiqih Munakahat

Dosen Pengampu :Prof. Abdul Hadi, M.A.

Disusun Oleh :

Haidar Abdul Munir : 1902016085

Najikha : 1902016086

Nafa Ani : 1902016079

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolonganya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan bpada baginda tercinta kita yaitu nabi Muhammad
SAW yang kita nantikan syafa’at nya di akhirat nanti
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pernikahan bagi umat Islam bukanlah sekedar satu ikatan lahiriah atau perjanjian biasa
antara seorang pria dengan seorang wanita guna memenuhi kebutuhan biologis dan
pertumbuhan keturunan semata-mata, tetapi pernikahan itu adalah Sunnah Rasulullah
SAW yang terikat pada ketentuan hukum Islam, yang merupakan suatu ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai sepasang suami istri dengan tujuan
membentuk keluatga yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Berbicara mengenai analisis Perkawinan menurut hukum islam terkait Rukun dan
syarat perkawinan, tidak terlepas dari 3 (tiga) dasar kajian filosofis tersebut di atas, rukun
dan syarat menentukan suatu perbuatan Hukum, terutama yang menyangkut Sah atau
tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Rukun Nikah?
b. Apa saja rukun dalam pernikahan?
3. Tujuan Pembahasan
a. Mengetahui definisi Rukun Nikah.
b. Memahami apa saja rukun dalam Pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Rukun Nikah


Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum
( misal akad perkawinan) , baik dari segi para subjek hukum atau mauapun objek hukum
yang merupakan bagian dari perbuatan hukum atau peristiwa hukum ( akad nikah) ketika
peristiwa hukum tersebut berlangsung. Rukun mentukan sah atau tidak sahnya suatu
perbuatan atau peristiwa hukum. Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan
hukum tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut adalah
tidak sah dan statusnya “ batal demi hukum”.1
Menurut pasal 14 KHI rukun perkawinan terdiri atas calon mempelai
lelaki, calon mempelai perempuan, wali nikha, dua orang saksi lelaki, dan ijab kabul. Jika
kelima unsur atau rukun perkawinan tersebut terpenuhi, maka perkawinan adalah sah,
tetapi sebalinya, jika salah satu atau beberapa unsur atau rukun nikah tidak terpenuhi ,
maka perkwaninan tidak sah.
Oleh karena itu, rukun perkawinan menurut Hukum Islam adalah wajib dipenuhi
oleh orang-orang Islam yang akan melangsungkan perkawninan. Dampak dari sah atau
tidak sahnya perkawinan adalah mempengaruhi atau menentukan hukum
kekeluargaanlainnya , baik dalam bidang hukum perkawinan itu sendiri, maupun di
bidang hukum kewarisan. 2
2. Rukun Dalam Pernikahan
Rukun nikah yaitu unsur-unsur yang harus ada di dalam suatu acara akad nikah, dalam
fiqih Al-Syafi’iyyah adalah ada lima, yaitu :
1. Sigat (Ijab Qabul)
Ulama madzhab sepakat bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan dengan akad
yang menvakup ijab dan qobul antara calon mempelai perempuan (yang dilaksanakan
oleh walinya) dengan calon mempelai lelaki atau (wakilnya) perkawinan sah jika
dilakukan dengan mengucapkan kata-kata zawwajtu atau ankhahtu (aku nikahkan)
1
Neng Djubaedah, PENCATATAN PERKAWINAN & PERKAWINAN TIDAK DICATAT, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), hlm 90.
2

Neng Djubaedah, PENCATATAN PERKAWINAN & PERKAWINAN TIDAK DICATAT, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), hlm 107-108.
dari pihak perempuan yang dilakukan oleh wali nikah nya, dan kata-kata qobiltu(aku
menerima) atau kata-kata Raditu (aku setuju) dari pihak mempelai laki-laki atau yang
mewakilinya.
Dasar hukum ijab qobul terdapat dalam hadits Rasulullah SAW. Yang
diriwayatkan muslim, bahwa baginda rasulullah SAW. Bersabda “bertakwalah kamu
sekalian kepada allah dalam menggauli wanita (isteri) sesungguhnya kamu
(mengawini)nya dengan amanat allah dan kamu menghalalkan kehormatanaya
3
dengan kalimat allah atau ijab qobul.”
2. Calon isteri
Dalam hadits diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Bukhari, dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda :”perempuan janda itu lebih berhak atas dirinya
daripada walinya, sedang gadis diminta izinya dan izinya adalah diamnya”. Dalam
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai, Muslim, dan Abu Daud : “dan gadis
hendakanya ayahnya meminta izin kepadanya (maksudnya sebelum dilangsungkan
akad nikah, ia ditanya persetujuanya terlebihb dahulu)”.
Dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia, calon
mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki wajib meminta Izin terlebih
dahulu kepada orang tua atau walinya sebelum ia melakukan perkawinan.hal itu
adalah tepat, karena perkawinan menurut hukum islam tidak hanya sekedar ikatan
hukum keperdataan antar individu (suami isteri) yang bersangkutan saja, tetapi
merupakan ikatan kekerabatan antara dua keluarga besar dari kedua belah pihak calon
mempelai.
Selain itu, syarat minimal usia calon mempelai harus sudah berumur 16 tahun,
juga layak dipenuhi, karena jika calon mempelai perempuan itu ditentukan lebih dari
16 tahun akan membwa kepada kemudharatan, berhubung saat ini banyak hal dan
kondisi yang menjerumuskan seorang gadis dan Bujang berbuat maksiat, hubungan
seksual diluar perkawinan, misalnya disebabkan adanya jejaring internet Facebook
yang telah banyak menelan korban keimanan dan kegadisan seorang dara. 4
3. Dua orang saksi
3
Neng Djubaedah, PENCATATAN PERKAWINAN & PERKAWINAN TIDAK DICATAT, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), hlm 115
4
Neng Djubaedah, PENCATATAN PERKAWINAN & PERKAWINAN TIDAK DICATAT, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), hlm 110
Dasar hukum saksi nikah ditentukan dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Yang
menetukan bahwa saksi merupakan rukun nikah yang wajib dipenuhi pada setiap
pelaksanaan akad perkawinan berlangsung. Hadits berikut yang menentukan saksi
sebagai rukun yang wajib dipenuhi adalah hadits yang diriwayatkan Daruquthni dari
Aisyah RA, bahwa “tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil. Kemudian jika mereka berselisih maka penguasa lah yang menjadi wali bagi
mereka yang tidak ada walinya.”.
Demikian pula pendapat imam malik berdasarkan Hadits dari Abi Zubair Al-
Maliki, bahwa sesungguhnya kepada umar bin Khattab pernah diajukan perkara
mengenai perkawaninan yang tidqak disakasikan oleh dua orang saksi lelaki, tetapi
hanya disaksikan oelh seorang saksi lelaki dan seorang saksi perempuan, maka umar
menjawab, bahwa “ini perkawinan siri, aku tidak mau memperkenankanya, pdan
kalau engkau tetap melakukanya tentu ku rajam”.
Dasar hukum keharusan adanya saksi dalam akad pernikahan adalah Al-Qur’an
surat At-Thalaq ayat 2, yang artinya :”apabila mereka telah mendekati akhir iddah
nya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikan lah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah
kamu tegakan kesaksian itu karena allah”.
Untuk memperkuat firman allah tersebut terdapat sebuah hadits nabi dari Amran
Ibnu Husain menurut Riwayat Ahmad sabda nabi SAW. : “tidak ada pernikahan
kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil”. Oleh karena itu saksi
dalam akad nikah merupakan rukun dari akad nikah, dan wajib keberadaannya dalam
sebuah pernikahan. 5
4. Calon suami
Seorang calon suami dipersyaratkan
a. Berumur sekurang-kurangnya 19 tahun
b. Beragama islam (pada ketentuan ini berlaku disemua negara)
c. Sukarela, bukan paksaan
d. Tidak ada halangan nikah dengan calon isteri
e. Belum mempunyai empat orang isteri

5
Kaharuddin, NILAI-NILAI FILOSOFI PERKAWINAN (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2015) hlm 190
f. Seorang lelaki, bukan khuna dan
g. Tidak dalam keadaan ihram, haji, atau umrah6
Calon mempelai lelaki harus dalam kondisi kerelaanya dan persetujuanya dalam
melakukan perkawinan. Hal ini terkait dengan asas kebebasan memilih pasangan
hidup dalam perkawinannya.
Dalam budaya islam, biasanyayang melakukan pelamaran atau
peminangan adalah pihak lelaki kepada pihak perempuan, sebagai mana hadits
yang diriwayatkan Bukhari dari Arak dari Urwah, bahwa sesungguhnya Nabi
SAW. Meminang Aisyah melalui Abu Bakar, lalu Abu Bkar berkatanya :”engkau
saudaraku dalam agama allah dan kitabnya, sedang ia (Aisyah) halal bagiku”.7
5. Wali
Pengertian wali secara umum adalah sesorang yang karena kedudukanya berwenang
untuk bertindak terhadap atas nama orang lain. Boleh dan tidak nya bertindak
terhadap dan atas nama orang lain adalah karena orang lain itu memiliki suatu
kekurangan pada dirinya dan tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum,
baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Dalam perkawinan wali itu
adalah sesorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad
nikah. Akad dilakukan oleh dua belah pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oelh
mempelai laki-laki itu sendir dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.8
Dua Unsur yang terakhir inilah yang melakukan akad
Kelompok mazhab Malikiyyah juga berpendapat rukun nikah lima, tapi salah satu
elemenya lain, fisamping (a) Sigat (b) calon suami (c) calon isteri (d) wali mereka
memasukan (e) mahar kedalam rukun. Meskipun begitu, penyebutan mahar didalam
akad tidak merupakan keharusan karena pada kasusu nikah tafwid boleh tidak
menyebutkan.Walaupun boleh tidak disebutkan didalam aqad, menggugurkan mahar
tetap tidak sah walaupun dengan kesepakatan suami isteri atau mereka mengsyaratkan
gugurnya.
Menurut mazhab Hanbaliy rukun nikah hanya tiga, yaitu
1. Suami

6
Abdul Hadi, FIKIH PERNIKAHAN, (Kendal :Pustaka Amanah, 2017) hlm.112
7
Ibid,108
8
Kaharuddin, NILAI-NILAI FILOSOFI PERKAWINAN (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2015) hlm. 185
2. Isteri
3. Sigat
Bahkan mazhab Hanafi dan sebagian pengikut Hanbali rukun nikah hanya ijab dan
Kabul saja.
Secara obyektif Formal, Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tidak
mengatur bagaimana suatu akad pernikahan dilakukan. Namun dalam pasal 12 Undang-
undang tersebut dinyatakan bahwa “Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam
Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 titik
beratnya adalah pentadbiran atau administrasi dan pencatatan, antara lain mengenai
pengawasan oleh pegawai pencatat nikah9 atau wakilnya10 dan membuat catatan
mengenai nikah.11
Namun Syafi’iyyah pada umumnya mensyaratkan, wali haruslah seorang lelaki,
beragama Islam, baligh, adil, dan sehat pikirannya. Jadi rusyd diartikan ‘adalah atau adil.
Syafi’iyyah mengacu pada hadis, La nikaha illa bi waliyyin mursyd. Kata mursyd
diartikan dengan kemampuan “ kemampuan mengelola harta, tidak memubazirkan”.12
Al- Imam al- A’zam , yaitu pemerintah dalam hal ini hakim dan wakil ( na’ib)-nya
( dari KUA) tidak dapat tergeser oleh sebab kefasikan oleh karena itu ia dapat
mengawinkan anak perempuannya jika tidak ada wali khass dan juga anak perempuan
orang lain ssebagai wali amm.13
Al-Ramliy hanya menyebutkan sifat-sifat negative orang tua calon wali saja, budak,
masih anak-anak, gila, cacat pikiran seperti pikun, lemah mental, dan di bawah ampunan
semua tidak berhak menjadi wali. Jika salah satu saja sifat-sifat tersebut ada pada seorang
wali mu’tiq atau aqrab maka perwalian bergeser pada wali ab’ad.14 Demikian juga orang
fasiq baik mujbir maupun tidak, pemabuk, atau tidak, terang-terangan kefasikannya atau
tidak kecuali al-imam al-a’azam hilang haknya menjadi wali dan perwalian berpindah ke
tangan wali ab’ad.15

9
Psl. 1: (1) UU No. 22 Tahun 1946
10
Psl. 1: (3) UU No. 22 Tahun 1946
11
Psl. 2: (1) UU No. 22 Tahun 1946
12
Ibid
13
Al-Ramliy, Nihayat al-Muhtaj, VI: 238.
14
Al- Ramliy, Nihayat al-Muhtaj, VI: 236,7.,
15
Ibid., VI:238.
Perwalian yang sedang ihram tidak dapat berpindah ke ab’ad melainkan kepada
Sultan ( hakim).16 Demikian juga jika ia pergi sampai dua marhalah ( perjalanan sehari
berjarak minimal 85 km, biasa juga disebut masafat al-qasr, yaitu jarak perjalananyang
boleh mengqasar salat) tanpa berita dan tanpa status kematian serta lama masanya , maka
perwalian bukan berpindah kepada wali ab’ad melainkan kepada wali hakim.17
Tetap jika kurang dari dua marhalah hakim baru boleh engawinkan anak orang tersebut
dengan seizinnya.18
Dalam prosesi pernikahan, wali yang prioritaskan untuk ditampilkan harus wali
yang paling dekat kemudian lainnya. Wali mujbir juga disebut sebagai wali aqrab .
Susunan wali di dalam adalah disebutkan sebagai berikut:
Susunan keutamaan wali-tertib wali:
i. Ayah Kandung.
ii. Kakek ke atas.
iii. Saudara lelaki seibu seayah.
iv. Saudara lelakki seayah.
v. Anak saudara lelaki seibu seayah ke bawah.
vi. Anak saudara lelaki seayah ke bawah.
vii. Ayah saudara sebelah ayah seibu seayah.
viii. Ayah saudara sebelah ayah seayah.
ix. Anak lelaki ayah saudara sebelah ayah seayah ke bawah.
x. Anak lelaki ayah saudara sebelah ayah seayah ke bawah.
xi. Ayah saudara ayah seibu seayah.
xii. Ayah saudara ayah seayah.
xiii. Anak lelaki ayah saudara ayah seibu seayah.
xiv. Anak lelaki ayah saudara ayah seayah ke bawah.
xv. Ayah saudara nenek lelaki seibu seayah.
xvi. Ayah saudara nenek lelaki seayah.
xvii. Anak lelaki ayah saudaranenek lelaki seibu seayah kebawah.
xviii. Anak lelaki ayah saudara nenek lelaki seayah ke bawah.

16
Ibid., VI: 240,1.
17
Ibid., VI: 241.
18
Ibid., VI: 242.
xix. Sultan (hakim).19
Sebab-sebab perpindahan perwalian nikah dari wali aqrab kepada wali
ab’ad adalah sebagai berikut:
a) Wali aqrab belum baligh;
b) Wali aqrab gila;
c) Wali aqrab fasiq;
d) Wali aqrab cidera akal pikiran;
e) Wali aqrab berlainan agama dengan perempuan dan;
f) Wali aqrab telah mati.
Sedangkan sebab-sebab perpindahan dari wali khassah kepada wali
ammah ( wali hakim) adalah sebagai berikut:
a) Ketika ketiadaan wali nasab sama sekali;
b) Wali nasab berjauhan sampai dua marhalah ( 60 mil) lebih;
c) Kehilangan wali aqrab sehingga tidak diketahui di mana ia
berada, baik ia sudah mati maupun masih hidup, baik karena
menyertai peperangan atau karena ditawan musuh, dan lain-
lainnya serta belum ada keputusan apapun tentang
kematiannya oleh mana-man Kadi; jika telah diputuskan
demikian maka perwaliannya jatuh ke wali ab’ad bukan wali
raja;
d) Wali aqrab enggan menjadi wali dan sikapyang demikian itu
telah mempunyai ketetapan hukum di sisi Kadi;
e) Wali aqrab sedang berihram haji atau umrah;
f) Wali aqrab sendiri yang akan berkawin dengan perempuan
itu.20
Yang dimaksud “ wali aqrab” adalah wali yang terdekat bagi
mauliyah ( gadis yang berada di bawah perwaliannya), yaitu ayah
dan kakek. Sedangkan “wali ab’ad” adalah para wali selain kedua
wali tersebut dan “ wali raja”.

19
Jadual Keempat ( Seksyen 17) : (d) Enakmen Nomor 1 tahun 1983.
20
Jadual Keempat ( Seksyen 17) : (g) Enakmen No. 1 Tahun 1983.
“Wali raja” artinya “ wali ditauliahkan oleh Kebawah Duli Yang
Maha Mulya Sultan untuk mengawinkan perempuan yang tidak
mempunyai wali dari nasab mengikuti Hukum Syara’.”21
6. Petugas Pencatat
Pencatatan nikah dapat dikaitkan dengan metode al-qiyas al-aulawi terhadap
pencatatan dalam bab mu’amalah. Beberapa ayat menunjukkan pentingnya
pencatatan dalam mu’amalah , yaitu al-Baqarah (2) ayat 282 yang artinya:
“wahai orang-orang yang beriman. Tatkala kalian hutang piutang sampai tempo
yang ditentukan , maka catatlah hutang.
Hendaklah seorang pencatat akte mencatat dengan adil. Dan jamganlah seorang
notaris menolak mencatat sebagaimana diajarkan oleh Allah.”22

Ssn. 2: (1) Enakmen No. 1 Tahun 1983.


21

Kata Faktubuh merupakan perintah mencatat. Perintah itu menjadi wajib apabila tanpanya menjadi
22

mafsadah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum ( misal
akad perkawinan) , baik dari segi para subjek hukum atau mauapun objek hukum yang
merupakan bagian dari perbuatan hukum atau peristiwa hukum ( akad nikah) ketika
peristiwa hukum tersebut berlangsung.
Oleh karena itu, rukun perkawinan menurut Hukum Islam adalah wajib dipenuhi
oleh orang-orang Islam yang akan melangsungkan perkawninan. Dampak dari sah atau
tidak sahnya perkawinan adalah mempengaruhi atau menentukan hukum
kekeluargaanlainnya , baik dalam bidang hukum perkawinan itu sendiri, maupun di
bidang hukum kewarisan.
Adapun rukunrukun nikah antara lain:
1. Sigat ( ijab kabul)
2. Calon Istri
3. Dua orang saksi
4. Calon suami
5. Wali nikah
6. Petugas pecatat
- Adapun syarat-syarat yang ada pada calon suami antara lain:
1. Berumur sekurang-kurangnya 19 tahun
2. Beragama islam (pada ketentuan ini berlaku disemua negara)
3. Sukarela, bukan paksaan
4. Tidak ada halangan nikah dengan calon isteri
5. Belum mempunyai empat orang isteri
6. Seorang lelaki, bukan khuna dan
7. Tidak dalam keadaan ihram, haji, atau umrah
Secara obyektif Formal, Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tidak
mengatur bagaimana suatu akad pernikahan dilakukan. Namun dalam pasal 12
Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa “Tata cara pelaksanaan perkawinan
diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 22
tahun 1946 titik beratnya adalah pentadbiran atau administrasi dan pencatatan,
antara lain mengenai pengawasan oleh pegawai pencatat nikah atau wakilnya dan
membuat catatan mengenai nikah.
Dalam susunan wali dalam prosesi pernikahan antara lain:
1. Ayah Kandung.
2. Kakek ke atas.
3. Saudara lelaki seibu seayah.
4. Saudara lelakki seayah.
5. Anak saudara lelaki seibu seayah ke bawah.
6. Anak saudara lelaki seayah ke bawah.
7. Ayah saudara sebelah ayah seibu seayah.
8. Ayah saudara sebelah ayah seayah.
9. Anak lelaki ayah saudara sebelah ayah seayah ke bawah.
10. Anak lelaki ayah saudara sebelah ayah seayah ke bawah.
11. Ayah saudara ayah seibu seayah.
12. Ayah saudara ayah seayah.
13. Anak lelaki ayah saudara ayah seibu seayah.
14. Anak lelaki ayah saudara ayah seayah ke bawah.
15. Ayah saudara nenek lelaki seibu seayah.
16. Ayah saudara nenek lelaki seayah.
17. Anak lelaki ayah saudaranenek lelaki seibu seayah kebawah.
18. Anak lelaki ayah saudara nenek lelaki seayah ke bawah.
19. Sultan (hakim).
- Sebab-sebab perpindahan perwalian nikah dari wali aqrab kepada wali ab’ad
adalah sebagai berikut:
a.) Wali aqrab belum baligh;
b.) Wali aqrab gila;
c.) Wali aqrab fasiq;
d.) Wali aqrab cidera akal pikiran;
e.) Wali aqrab berlainan agama dengan perempuan dan;
f.) Wali aqrab telah mati.
- Sedangkan sebab-sebab perpindahan dari wali khassah kepada wali ammah ( wali
hakim) adalah sebagai berikut:
1. Ketika ketiadaan wali nasab sama sekali;
2. Wali nasab berjauhan sampai dua marhalah ( 60 mil) lebih;
3. Kehilangan wali aqrab sehingga tidak diketahui di mana ia berada, baik ia sudah mati
maupun masih hidup, baik karena menyertai peperangan atau karena ditawan musuh, dan
lain-lainnya serta belum ada keputusan apapun tentang kematiannya oleh mana-man
Kadi; jika telah diputuskan demikian maka perwaliannya jatuh ke wali ab’ad bukan wali
raja;
4. Wali aqrab enggan menjadi wali dan sikapyang demikian itu telah mempunyai ketetapan
hukum di sisi Kadi;
5. Wali aqrab sedang berihram haji atau umrah;
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abdul.2017 Fikih Pernikahan, Kendal : Pustaka Amanah.
Kaharuddin,. 2015 Nilai-nilai Filosofi dalam Perkawinan, Jakarta : Mitra Wacana Media.
Djubaidah, Neng. 2010 Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak tercatat, Jakarta: Sinar
Grafika.

Anda mungkin juga menyukai