Anda di halaman 1dari 10

Nama : M.

Rikza musthafa

Nim : 1902016102

1. Tafsir ayat ahkam adalah corak penafsiran Al-Qur’an yang lebih memfokuskan pada
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berpotensi menjadi dasar hukum fiqih. Sebagaimana
ayat-ayat ahkam dimaknai sebagai ayat-ayat al-Qur’an yang berisikan rangkaian tentang
perintah dan larangan, atau masalah-masalah fiqih lainnya.
Tafsir ahkam didefinisikan oleh Nuruddin ‘Itr sebagaimana berikut:

‫التفسري الذي يع ىن فيه بدراسة آيات اأحلكام وبيان كيفية استنباط اأحلكام منها‬
Metode penafsiran al-Qur’an yang berfokus pada pengkajian ayat-ayat hukum serta cara
dalam melakukan istinbath/penggalian hukum dari ayat-ayat tersebut.
3 kunci penting dalam proses tafsir ayat ahkam, yaitu:
a. Ayat ahkam
Ayat ahkam adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berpotensi untuk dijadikan
dasar hukum-hukum fikih. Ali al-Ubaid mendefinisikan ayat ahkam sebagaimana
berikut:
“Ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum fiqih (hukum-hukum syariat yang
bersifat praktis dan amaliyah) dan menjadi dalil atas hukum-hukumnya baik
secara nash atau secara istimbath”
b. Ahkam
Secara bahasa, istilah ahkam merupakan kosa kata bahasa Arab yang
merupakan pola jama’ (plural) dari kata hukm yang bermaknna mencegah dan
memutuskan.
Secara terminologi Ushul Fikih, jika di sifati dengan kata syar’iyyah, para
ulama mendefinisikan hukum syar’iy sebagaimana berikut:
“Khithab (doktrin/titah) dari Allah yang terkait dengan perbuatan manusia
(mukallaf), apakah berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan
(takhyir), atau wadh’i (menetapkan sesuatu berdasarkan faktor lain)”
c. Istinbath ahkam
Secara bahasa, kata istinbath (‫ )استنباط‬berasal dari kata nabth (‫ )نبط‬yang berarti
air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali. Sedangkan
istinbath bermakna usaha untuk mengeluarkan air tersebut. Sebagaimana
istinbath juga bermakna mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya.
Sedangkan dalam ilmu ushul fiqih, istinbath didefinikan oleh al-Jurjani (w.
816 H) sebagaimana berikut: ‫ وقوة القريحة ي استخراج المعان ى‬،‫من النصوص بفرط الذهن‬
“Mengeluarkan makna-makna dari nash-nash (Al-Qur’an atau Sunnah)
dengan mengerahkan segenap kemampuan dan potensi yang dimiliki.”
Dari definisi tersebut tampak bahwa maksud dari istinbath hukum adalah
proses penalaran atas ayat al-Qur’an maupun hadits sebagai sumber hukum,
yang dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah tertentu. Di mana proses itu
kemudian disebut dengan metode istinbath hukum.

2. Secara umum para ulama terbagi menjadi dua pendapat:


a. Terbatas beberapa ayat
Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama. Mereka mendasarkan pendapatnya, pada
fakta atas keberadaan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an yang terbatas. Di mana tidak
semua ayat al-Quran dijadikan sebagai sandaran hukum fiqih.
Namun mereka kemudian berbeda pendapat tentang jumlah pasti ayat ahkam dalam
al-Qur’an:
1) Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Thanthawi Jauhari, jumlahnya
sebanyak 150 ayat.
2) Menurut al-Qinnawji, Ahmad Amin dan alKhudhari Bik, berjumlah 200
ayat.4
3) Menurut Abdul Wahhab Khallaf, berjumlah 228 ayat.
4) Menurut Muqatil bin Sulaiman, al-Ghazali, arRazi, al-Mawardi, Ibnu Juzai al-
Kalbi, dan Ibnu Qudamah, berjumlah 500 ayat.5
5) Menurut Ibnu al-Mubarak, berjumlah 900 ayat.
6) Dan menurut Abu Yusuf, berjumlah 1.110 ayat. Bahkan ada pula yang
menyebutkan lebih banyak dari angka tersebut.

Jika demikian halnya, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah ayat ahkam dalam
al-Qur’an berkisar antara 150 hingga 1.110 ayat, atau sekitar 2,5% hingga 17.2 %
dari 6000 lebih ayat al-Qur’an.

Adapun sebab perbedaan penepatan jumlah ayat ahkam ini, dijelaskan oleh
Manna’ al-Qatthan dalam kitabnya at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam:

‫ومل يتفق العلماء الباحثون عىل عدد آيات اأحلكام اخلتالف األفهام وتفاوت جهات الدالل‬

Dan para ulama tidak bersepakat dalam pembatasan ayat-ayat ahkam oleh
karena perbedaan mereka dalam pemahaman dan pendalilan ayat-ayat ahkam.
b. Tidak terbatas
Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama seperti Najmuddin at-Thufi, Ibnu Daqiq
al-‘Ied, ash-Shan’ani, dan asy-Syawkani, yang mengatakan bahwa ayatayat hukum itu
tidak terbatas, dan bahwa seluruh atau sebagian besar ayat-ayat al-Quran
mengandung hukum yang menjadi sumber utama fiqih Islam, meski hanya terselip
secara implisit di mana kebanyakan orang kurang menyadarinya.Al-Qarafi juga
mengatakan bahwa tidak ada satu pun ayat kecuali terkandung di dalamnya suatu
hukum.

3. Klasifikasi tafisr:
a. Sumber penafsiran (al-mashdar)
Sumber penafsiran al-Qur’an dibedakan menjad dua jenis:
1. Tafsir bi alma’tsur, adalah penafsiran atas ayat al-Qur’an yang disandarkan
kepada riwayat. Dalam hal ini, terdapat empat jenis penafsiran yang
dikatagorikan tafsir bi al-ma’tsur, yaitu:
1) Tafsir ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an;
2) Tafsir ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw;
3) Tafsir ayat al-Qur’an dengan pendapat shahabat;
4) Tafsir ayat al-Qur’an dengan pendapat tabi’in.

2. Tafsir bi ar’ra’yi (‫)بالرواية ُالتفسير‬, Tafsir bi ar’ra’yi, adalah tafsir yang dalam
penjelasan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya berpegang kepada
pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath)nya didasarkan
pada logikanya semata
b. Sistematika penyajian tafsir (al-manhaj)
Adapun maksud dari sistematika penyajian tafsir adalah metode atau manhaj
muffasir (penafsir alQur’an) dalam menyusun karya tafsirnya ada empat jenis
metode yang digunakan:
1. Tafsir Ijmaly (‫ )اإلجماليُالتفسير‬yaitu suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ayat secara global.
2. Tafsir Tahlily (‫ )التحليليُالتفسير‬yaitu suatu metode dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-
ayat yang ditafsirkan itu; bahasa, hukum, sastra, teori-teori ilmiah, dan
lainnya.
3. Tafsir Muqoron (‫ )المقارن ُالتفسير‬yang bermakna tafsir perbandingan yaitu suatu
penafsiran atas ayat al-Qur’an yang menggunakan metode perbandingan,
apakah yang dibandingkan antara satu ayat dengan ayat lain, atau suatu
penafsiran atas penafsiran yang lain.
4. Tafsir Maudhu’iy (‫ )الموضوعي ُالتفسير‬yang bermakna tafsir tematik yaitu suatu
penafsiran dengan melakukan pembahasan atas ayat-ayat al-Quran sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
c. Corak penafsiran (al-laun)
Sedangkan maksud dari corak penafsiran adalah pendekatan yang digunakan
mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Di mana pendekatan tersebut
secara umum dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan sang mufassir.
Muhammad Husein adz-Dzahabî menyebutkan bahwa ada empat corak tafsîr
yang berkembang:
1. Tafsir ilmi (al-laun al-‘ilmî), yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah;
2. Tafsir madzhab (al-laun al-‘madzhabî), yaitu tafsir berdasarkan madzhab
teologi, fikih, tasawwuf atau filsafat yang dianut oleh para mufassir;
3. Tafsir ilhâdî (al-laun al-‘ilhâdî), yaitu tafsir yang mengunakan pendekatan
menyimpang dari kelaziman;
4. Tafsir sastra-sosial (al-laun al-adabî al-ijtimâ‘î), yaitu tafsir yang
menggunakan pendekatan secara lebih rinci.

Fahd ar-Rumi dalam disertasinya, memetakkan corak tafsir al Qur’an (al-ittijah fi


tafsir al-Qur’an) yang berkembang pada abad ke-14 Hijriah menjadi empat corak,
yang selanjutnya keempat corak itu dibedakan menjadi beberapa corak lainnya:

1) Tafsir dengan corak aliran (al-ittijah al-’aqa’idi) yang meliputi: corak aliran
Ahl as-Sunnah wa alJama’ah, aliran Syiah dengan berbagai kelompok
pecahannya, aliran Ibadhiyyah, dan aliran Tasawwuf;
2) Tafsir dengan corak studi ilmiah (al-ittijah al- ’ilmiyyah) yang meliputi: corak
mazhab fiqih (al-manhaj al-fiqhi), tafsir riwayat (al-manhaj al-atsari), ilmu
terapan/eksak (al-manhaj al- ’ilmi at-tajribi), ilmu sosial (manhaj almadrasah
al-’aqliyyah al-ijtima’iyyah);
3) Tafsir dengan corak sastrawi (al-ittijah aladabi) yang meliputi: corak bayani
(al-manhaj al bayani), dan corak cita rasa sastrawi (manhaj at-tadzawwuq al-
adabi);
4) Tafsir dengan corak menyimpang (al-ittijahat al-munharifah) yang meliputi:
corak ilhadi (almanhaj al-ilhadi), tafsir yang bersumberkan dari orang-orang
yang tidak memiliki kapasitas keilmuan tafsir al-Qur’an (manhaj al-qashirin fi
tafsir al-Qur’an), dan tafsir yang tidak berdasarkam suatu corak apapun (al-
laun alla manhaji).

4 Teori Istimbath Hukum pada ayat Al-Qur’an:


a. Istinbath bayani bermakna melakukan proses penggalian hukum syariah dari al-
Qur’an dan Sunnah melalui konsep-konsep analisis teks wahyu, atau suatu upaya
penemuan hukum syar’i melalui interpretasi kebahasaan atas teks wahyu.
Abdullah al-Judai’ mendefinisikan metode ini sebagaimana berikut:
“Kaidah-kaidah kebahasaan yang terkait dengan lafaz-lafaz al-Qur’an dan Sunnah
serta dalalahnya (petunjuk makna), di mana kaidah tersebut diambil dari tata bahasa
Arab, yang dimaksudkan untuk membantu mujtahid dalam menggali hukumhukum
syariah”
b. Istinbath ta’lili adalah metode untuk menemukan ‘illat (alasan atau tujuan) dari
pensyariatan suatu hukum. Secara umum tujuan tersebut adalah kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat, dan secara khusus setiap perintah dan larangan dalam
syariat mempunyai alasan logis dan tujuan masingmasing Sebagian diantaranya
disebutkan secara jelas, sebagian lainnya diisyaratkan saja, dan ada pula yang dapat
diketahui melalui proses renungan yang mendalam
c. Istinbath istislahi adalah metode dalam menetapkan hukum berdasarkan asas
kemaslahatan yang diperoleh dari proses deduktif (istiqra’) atas hukum-hukum
syariat, ‘illat dan hikmahnya, serta kaidah-kaidahnya yang umum dan universal.
Kemudian secara rinci diklasifikasikan menjadi tiga jenis maslahat;
1) Mashlahat dharuriyyat (maslahat primer) adalah hal-hal yang menjadi sendi
eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka
2) Mashlahat hajiyyat (maslahat sekunder) adalah hal-hal yang sangat
dibutuhkan (hajat) dalam kehidupan manusia untuk menghilangkan kesulitan-
kesulitan, namun tidak sampai menyebabkan kerusakan dan kekacauan jika
tidak direalisasikan.
3) Mashlahat tahsiniyyat (maslahat tesier) adalah hal-hal yang menjadi
pelengkap, memperindah, dan merupakan sebuah kepatutan dalam adat
istiadat, dengan meninggalkan hal yang tidak disenangi oleh akal sehat dan
melakukan halhal yang berimplikasi kepada keindahan yang sesuai dengan
tuntutan norma dan akhlak.
d. Metode kompromistis antar dalil yang bertentangan (daf’u at-ta’arudh)
Secara haqiqi, mayoritas ulama menyatakan bahwa tidak mungkin terjadinya
pertentangan antar dalil-dalil syariah, khususnya al-Qur’an (ta’arudh haqiqi). Hanya
saja dalam proses penalaran dan penggalian hukum dari dalil-dalil syariat tersebut,
secara fakta memang sangat terbuka kemungkinan terjadinya kontradiksi pada tingkat
pemahaman. Di mana ulama menyebut kontradiksi tersebut dengan istilah ta’arudh
zhahiri.
Berdasarkan inilah selanjutnya para ulama mengkonsep beragam metode dalam
rangka mengkompromikan dalil-dalil yang terkesan kontradiktif. Setidaknya ada
empat metode yang umumnya digunakan, meskipun dalam praktiknya terdapat
perbedaan pendapat di antara para ulama. Keempat metode tersebut adalah:
1) Al-Jam’u wa at-Tawfiq (‫ )والتوفيقُالجمع‬adalah metode dalam mengkompromikan
dua dalil yang kontradiktif dengan usaha untuk sebisa mungkin mengamalkan
kedua dalil tersebut. Di mana secara bahasa, arti dari al-jam’u itu sendiri
adalah menggabungkan.
2) Metode an-nasakh (‫ ) النسخ‬adalah metode dalam mengamalkan salah satu dalil
yang kontradiktif jika dapat ditelusuri keberadaan dua dalil tersebut dari sisi
waktu pensyariatannyan, dan tidak memungkinkan untuk diamalkan semua.
Di mana dalil yang datang belakangan dinilai sebagai dalil yang menghapus
(nasakh) hukum dalil yang datang terlebih dahulu. Sedangkan jika al-jam’u
tidak dapat dilakukan, lalu tidak dapat pula ditelusuri waktu pensyariatannya
hingga secara otomatis tidak dapat menggunakan metode an-nasakh.
3) Metode at-tarjih (‫ترجيح‬kkk‫ )ال‬yaitu melakukan penalaran dengan melihat
indikator-indikator eksternal, dalam rangka mengamalkan satu dalil di antara
dua dalil yang kontradiktif.

Dan akhirnya jika ketiga metode tersebut tidak dapat dilakukan, metode terakhir
yang umumnya para ulama gunakan adalah at-tawaqquf (‫ )التوقف‬yaitu
mendiamkan kadua dalil yang kontradiktif tersebut untuk tidak diamalkan
semuanya.

5 Contoh Kitab Tafsir Ahkam beserta Ayatnya


a. Kitab Tafsir Ayat Ahkam al-Jashas
(Q.S. Al-Baqarah : 221)
‫ ِر ِكينَ َحتَّ ٰى‬k ‫وا ْال ُم ْش‬kk‫وْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۗ َواَل تُ ْن ِك ُح‬kkَ‫ت َحتَّ ٰى ي ُْؤ ِم َّن ۚ َوأَل َ َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َول‬
ِ ‫َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
َ kِ‫ ْدعُو إِلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغف‬kَ‫ار ۖ َوهَّللا ُ ي‬ ٰ ُ
‫ر ِة‬k ِ َّ‫ ْد ُعونَ إِلَى الن‬kَ‫كَ ي‬kkِ‫وْ أَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ أولَئ‬kkَ‫ك َول‬ ٍ ‫ ِر‬k‫ي ُْؤ ِمنُوا ۚ َولَ َع ْب ٌد ُم ْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش‬
ِ َّ‫بِإ ِ ْذنِ ِه ۖ َويُبَيِّنُ آيَاتِ ِه لِلن‬
َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُون‬

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Mengenai firman Allah :
ِ ‫َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
‫ت َحتَّ ٰى ي ُْؤ ِم ّن‬
Dalam penjelasan ayat di atas Al-Jashas merujuk pada hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas yaitu “Allah telah mengharamkan untuk menikahi wanita-wanita
musyrik”. Kemudian, berkaitan dengan kata “musyrik” Al-Jashas menukilkan
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang mengatakan bahwa musyrik dalam
Surah Al-Baqarah ayat 221 masih bersifat umum, sehingga bisa mencakup orang-
orang kafir dan Ahlul Kitab baik wanita maupun laki-laki.

b. Kitab Tafsir Ayat Ahkam Ibnu ‘Arabi


(Q.S. An Nisa Ayat 25)
ِ ‫ا‬kkَ‫اتِ ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬kَ‫انُ ُك ْم ِم ْن فَتَي‬kk‫ت أَ ْي َم‬
ُ ‫ت ۚ َوهَّللا‬ ِ ‫ا‬kَ‫ت ْال ُم ْؤ ِمن‬
ْ ‫ا َملَ َك‬kk‫ت فَ ِم ْن َم‬ ِ ‫صنَا‬ َ ْ‫َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع ِم ْن ُك ْم طَوْ اًل أَ ْن يَ ْن ِك َح ْال ُمح‬
‫ َر‬k ‫ت َغ ْي‬ ٍ ‫نَا‬k ‫ص‬َ ْ‫ُوف ُمح‬ ِ ‫ال َم ْعر‬k ْ kِ‫و َره َُّن ب‬kk‫وه َُّن أُ ُج‬kkُ‫إ ِ ْذ ِن أَ ْهلِ ِه َّن َوآت‬k ِ‫ا ْن ِكحُوه َُّن ب‬kkَ‫ْض ۚ ف‬
ٍ ‫ ُك ْم ِم ْن بَع‬k ‫ْض‬ُ ‫انِ ُك ْم ۚ بَع‬kk‫أَ ْعلَ ُم بِإِي َم‬
ۚ‫ب‬ ِ ‫ َذا‬k‫ت ِمنَ ْال َع‬
ِ ‫نَا‬k‫ص‬ َ ْ‫ا َعلَى ْال ُمح‬kk‫فُ َم‬k‫ص‬ ْ ِ‫ص َّن فَإ ِ ْن أَتَ ْينَ بِفَا ِح َش ٍة فَ َعلَ ْي ِه َّن ن‬ ِ ْ‫ت أَ ْخدَا ٍن ۚ فَإ ِ َذا أُح‬
ِ ‫ت َواَل ُمتَّ ِخ َذا‬
ٍ ‫ُم َسافِ َحا‬
‫ك لِ َم ْن َخ ِش َي ْال َعنَتَ ِم ْن ُك ْم ۚ َوأَ ْن تَصْ بِرُوا خَ ْي ٌر لَ ُك ْم ۗ َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ َ ِ‫ٰ َذل‬

Artinya : Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain,
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin
mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara
diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini
budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga
diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ibnu Al-‘Arabi mengutip
pendapat Abu Bakar al-Rāzi dari kitabnya Ahkam al-Qur’an bahwa menikahi
budak perempuan tidak termasuk darurat. Karena yang namanya darurat itu
melakukan hal yang bisa membahayakan nyawa atau anggota badan.

c. Kitab Tafsir Ayat Ahkam Imam Qurtubi


َ ‫ٰ َذلِكَ ْال ِكتَابُ اَل َري‬
َ‫ْب ۛ فِي ِه ۛ هُدًى لِ ْل ُمتَّقِين‬
Artinya : Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa.
Ayat diatas oleh Imam Al-Qurtubi ditafsirkan dengan mengandung 3 makna,
yaitu:
- Al-Syakk (ragu atau keraguan), seperti yang diungkapkan ‘Abdullah Ibnu Al-
Zab’ari : “tidak ada keraguan di dalam kebenaran wahai Umimah, tetapi
nkeraguan adalah apa yang orang bodoh katakan”.
- Al-Tuhmah (tuduhan atau sangkaan), seperti yang diungkapkan oleh Jamil :
“Bustainah berkata wahai Jamil didiklah saya, maka saya menjawab: Kami
bisa tertuduh wahai Butsairi Murib”.
- Al-Hajah (keinginan), seperti ungkapan : “Kami telah menyelesaikan banyak
keinginan di Tilamah dan Khaibar, kemudian kami mengumpulkan banyak
pedang”.
Dari penjelasan diatas Al-Qurtubi tidak hanya menjelaskan makna dalam satu teks
dengan menggunakan nahwu, tetapi juga menjelaskan dengan syair-syair Arab.
Disini bisa terlihat jelas bahwa Al-Qurtubi memiliki wawasan yang sangat luas
dalam bahasa Arab dan sesekali menggunakan ilmunya itu sebagai alat analisis.

Anda mungkin juga menyukai