Anda di halaman 1dari 20

Tugas Makalah Penafsiran Al-Ahkam Bagi Pengembangan Ijma dan Urf

Disusun Oleh : Dede Nurdin

Mata Kuliah : Tafsir Ahkam Dosen : Prof. DR. Chozin Nasuha, MA DR. Ahmad Hasan Ridwan, MA

Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung 2011 Tafsir Ahkam bagi Pengembangan Ijma dan Urf Oleh : Dede Nurdin

Pendahuluan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam adalah wahyu Allah taala yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa secara khusus dan seluruh umat manusia pada umumnya.1 Sebagai kitab petunjuk, Al-Quran mengandung ayat-ayat yang bersifat muhkamat yaitu ayat-ayat yang mengandung hukum-hukum yang bersifat umum (Aam) dan juga ayat-ayat mutasyabihaat.2 Ayat-ayat mutasyabihaat adalah seluruh ayat dalam Al-Quran yang tidak diketahui maknanya dalam bahasa Arab. Sedangkan ayat-ayat muhkamat adalah setiap ayat yang mengandung hukum-hukum berkenaan dengan kehidupan manusia. Dari ayat-ayat inilah para ulama menggali berbagai hukum yang berkaitan dengan ibadah, aqidah dan muamalah. Proses penggalian makna dan hukum dalam ayat-ayat muhkamat menggunakan metode tafsir yang disebut dengan Tafsir Ahkam. Pada dasarnya tafsir ahkam tidak jauh berbeda dengan metode-metode tafsir lainnya, bahkan ia adalah bagian tidak terpisahkan dari semua metode tafsir yang ada. Tafsir ahkam merujuk pada penafsiran terhadap ayat-ayat yang berdimensi hukum. Hal ini didasarkan pada pengeleompokan ayat-ayat Al-Quran menjadi ayat aqidah (ayat al-aqaid), ayat teologi (kalam), ayat kisah (ayat al-qhashas) dam ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam). Dari sinilah muncul istilah ayat-ayat ahkam dan metode penafsiran ayat-ayat ini disebut tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam.3 Metode tafsir ahkam saat ini semakin berkembang, hingga manfaat dan fungsi darinya bisa dirasakan oleh umat Islam. Di antara fungsi dari tafsir ahkam adalah sebagai pengembangan bagi kesepakatan (ijma) yang dapat dilakukan oleh para ulama dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh umat. Demikian pula tafsir ahkam menjadi pengembangan adat-istiadat yang berlaku di tengah masyarakat. Berkaitan dengan adat-istiadat tentu saja hal tersebut yang tidak menyelisihi syariat Islam. Sejauh mana kontribusi tafsir ahkam bagi pengembangan ijma dan urf? Makalah ini akan membahas lebih jauh mengenai fungsi dari tafsir ahkam bagi pengembangan ijma dan adat (urf) dalam masyarakat muslim. Definisi Tafsir Ahkam Tafsir secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata tafsir ( ) yang berasal dari kata kerja yang mengandung arti: ( keterangan dan penjelasan), yakni
1 2

Lihat Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 2 dan 185 Al-Quran surat Ali Imran ayat 7 33 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, Raka Grafindo Press : Jakarta, hal. 118

menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: kata al-fasr berarti menyingkap yang tertutup, sedang kata al-tafsir berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil dan pelik. Sedangkan para Ulama berpendapat: tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).4 Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas mengenai makna-makna yang terkandung di dalam Al-Quran baik yang tersirat ataupun yang tersurat, menjelaskan sebabsebab turunnya dan dapat mengambil hikmah dari ayat-ayat tersebut. Al-Jurjani mendefinisikan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab nuzul-nya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Sementara itu Imam az-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Quran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia.5 Selanjutnya, Abu Hayyan, sebagaimanan dikutip al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal alQuran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Sementara AzZarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Quran) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.6 Istilah ayat al-ahkam terdiri atas dua kata yaitu ayat dan ahkam, ayaat adalah bentuk jamak dari ayat yang secara harfiyah berarti tanda. Kata ayat kadang juga diartikan dengan pengajaran, urusan yang mengherankan dan sekelompok manusia. Adapun yang dimaksud ayat dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Quran yaitu bagian tertentu dari Al-Quran yang tersusun atas satu atau beberapa jumlah (kalimat) walau dalam bentuk takdir (prakiraan) sekalipun, yang memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam sebuah surat.7

4 5

Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Quran, h.455-456. 6 Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, ttp.: Dar al-Kutub, tt.
7

Amin Suma, Pengantar tafsir Ahkam, hal. 27

Sementara istilah kata hukum dalam bahasa arab adalah bentuk tunggal, adapun bentuk jamaknya adalah al-ahkam. Ahkam secara harfiyah berarti menempatkan sesuatu di atas sesuatu (itsbat asy-syai ala syai), atau bisa juga diartikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adapaun hukum yang dipahami oleh ahli ushul fiqh adalah : Tuntutan Allah taala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau azimah. Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Abdul Wahab Khallaf, sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum mengganti kalimat ( tuntutan Allah taala) dalam definisi di atas dengan (tuntutan syari), dengan tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui Sunnahnya dan melalui ijma para ulama.8 Menurut ulama fiqh, hukm adalah akibat yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syari berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh). Akan tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syari itu sendiri, yaitu dalil al-Quran dan atau Sunnah. Dari pengertian mengenai ayat-ayat hukum sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ayat hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-ayat Al-Quran yang berisikan khitab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu). Secara lebih sederhana dipahami bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat Al-Quran yang mengandung masalah-masalah hukum. Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam (tafsir ayat-ayat hukum) adalah tafsir Al-Quran yang berorientasi kepada pembahasan ayat-ayat hukum.9 Pembatasan ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Quran sebagai ciri khas dari tafsir ahkam dengan metode tafsir lainnya.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Cet.II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 Mohammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, Rajawali Grafindo Persada : Jakarta, cet. II tahun 2002 hal. 118.
9

Perkembangan Tafsir Ahkam Membahas tentang perkembangan tafsir ahkam tidak bisa lepas dari sejarah tafsir AlQuran secara umum. Hal ini dikarenakan tafsir ahkam sebagai anak kandung dari ilmu tafsir pada umumnya. Walaupun dalam perkembangannya tafsir ahkam telah menjadi satu bidang ilmu tafsir tersendiri. Berikut adalah perkembangan ilmu tafsir yang terbagi menjadi empat periode : Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi : Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Quran. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Quran dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam alQuran, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan alQuran. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Quran, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah , keterangan-keterangan (mujizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin Amir berkata : Saya mendengar Rasulullah berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah : kemudian Rasulullah bersabda : memanah. Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga. Tafsir Pada Zaman Shahabat : Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Quran adalah; Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan Al-Quran dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya. Di antara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Masud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan doa dari Rasulullah. Penafsiran shahabat yang Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada

didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu. Atau paling kurang adalah Mauquf. Tafsir Pada Zaman Tabiin : Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabiin mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya: 1) Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan Atho bin Abi Robah. 2) Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Kaab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Kaab Al-Qurodli. 3) Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Masud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Diamah As-Sadusy. Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. Tafsir Pada Masa Pembukuan : Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu ; Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua,Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabiin.Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat

Ada sepuluh pendapat, padahal para ulama tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Quran dari segi hukum seperti Al-Qurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsalaby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhui yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil AlQuran, Abu Jafar An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qurannya. Maka pada periode inilah tafsir ahkam berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

Tafsir Ahkam bagi Pengembangan Ijma Sebagaimana disebutkan di awal bahwa tafsir ahkam adalah tafsir yang membahas tentang hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. Maka tafsir ini membangun paradigma hukum Islam dengan berbasiskan ayat-ayat Al-Quran. Ketika berbicara tentang hukum Islam maka kita tidak bisa lepas dari sumber-sumber hukum Islam. Seperti diketahui bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah, sedangkan dalail (dalil/hujjah) hukum Islam adalah Ijma, Qiyas, Urf, istihsan, istishab, Maslahah mursalah dan Syaru man qablana. Bagaimanakah posisi tafsir ahkam bagi pengembangan dalil hukum Islam tersebut? Sebelum membahas lebih jauh mengenai fungsi tafsir ahkam bagi pengembangan hukum Islam khususnya ijma dan urf terlebih dahulu penulis jelaskan pengertian dan ruang lingkup dari kedua dalil hukum Islam tersebut. Definisi Ijma Ijma', secara etimologi berasal dari kalimat ajmaa yujmiu Ijma'an dengan isim maful mujma yang memiliki dua makna. Pertama. Ijma' secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat. Oleh karena itu, jika dikatakan "ajmaa fulan 'ala safar", berarti bila ia telah bertekad kuat untuk safar dan telah menguatkan niatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

...Karena

itu

bulatkanlah

keputusanmu

dan

(kumpulkanlah)

sekutu-sekutumu

(untuk

membinasakanku).... QS Yunus : 71. Kedua : Ijma' secara etimologi juga memiliki makna sepakat. Jika dikatakan "ajma' muslimun 'ala kadza", berarti mereka sepakat terhadap suatu perkara, seperti sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam : Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menyatukan umat ini di atas kesesatan untuk selamanya. Maka Ijma menurut bahasa adalah yang berarti niat, maksud dan keinginan "Kesepakatan para ulama pada suatu masa atas permasalahan-permasalahan yang baru".10 Sementara menurut Salam Madkur ijma' adalah Kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara' (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat. 11 Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Nabi pada hukum syar'i yang mereka hadapi.12. Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan ijma' ini seperti disebutkan Muhammad Salam Madkur, menurut Imam Malik bahwa ijma' yang dapat diakui adalah ijma fuqaha ulama Madinah, sedangkan menurut kalangan syiah, ijma' yang diakuinya adalah hanya ijma' dari kalahan mujtahidin Syi'ah dan menurut Imam Ahmad dan Madzhab Dzahiry yang diakui terjadi hanyalah ijma' shahabat.13 Ijma' Menurut Istilah bermakna kesepakatan para ulama mengenai suatu permasalahan hukum. Sebenarnya para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma' menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma'. Namun definisi Ijma' yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masa tertentu atas suatu perkara agama. Para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk keyakinan,ucapan dan perbuatan. Penyebutan kata "para ulama ahli ijtihad" dalam definisi ini
10

yang kuat serta bersepakat, sedangkan menurut istilah :

Abdurrahman bin Shalih Al-Fauzan, Syarh Al-Waraqat fi Ushul Al-Fiqh, Riyadh : Dar Al-Muslim, 1997, hlm.

194.
11 12

Muhammad Salam Madkur, Al-Madkhal li Al-fiqh Al-'Am. Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 40. 13 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Syari'ah, hlm. 65.

memberikan makna kesepakatan kalangan awam tidak termasuk ijma'. Karena kesepakatan dan perbedaan mereka tidak perlu diperhitungkan begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga tidak bisa dianggap ijma. Ijma' tidak hanya terjadi pada zaman tertentu saja. Di antara ulama ada yang membatasi Ijma' hanya terjadi pada masa sahabat, seperti pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah yang menukil dari Sulaiman bahwa tidak ada Ijma' kecuali Ijma' Sahabat. Ada juga yang berpendapat bahwa Ijma' bisa saja terjadi dalam masalah selain hukum syariat. Begitu pula ada sebagian ulama yang hanya membatasi Ijma' pada masalah hukum syariat saja, dan inilah pendapat yang benar kecuali jika masalah selain agama tersebut ada kaitan erat dengan hukum agama Islam.

Hakikat Ijma' Hakikat Ijma', seperti ditegaskan Syaikhul-Islam rahimahullah, ialah kesepakatan para ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma' telah diputuskan secara permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan Ijma' tersebut, karena mustahil umat Islam sepakat berada di atas kesesatan. Tetapi boleh jadi, banyak masalah yang diklaim tetap berdasarkan Ijma' ternyata tidak demikian, bahkan pendapat lain lebih kuat dari sisi Al-Qur`n dan Sunnah. Ijma' merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`n dan Sunnah. Tidak terdapat ketetapan Ijma' yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak mungkin sepakat berada di atas kesesatan, apalagi generasi sahabat dan tabiin; maka Ijma' sebagai sumber hukum qathi tidak tetap, kecuali berdasarkan Al-Qur`n, Sunnah yang shahih terutama hadits-hadits muttawatir-, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis; sehingga mustahil Ijma' bertentangan dengan Al-Qur`n dan Sunnah yang shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis. Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Tidak ada Ijma' kecuali pasti berdasarkan nash agama, baik berasal dari ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara manqul sehingga pasti terpelihara, maupun dari perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga (yang) pasti sampai kepada kita secara manqul". Peran Ijma' Dalam Penetapan Hukum Jumhur ulama berpandangan, Ijma' mempunyai bobot hujjah syariyyah sangat kuat dalam menetapkan hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah nash-nash agama; karena Ijma' bersandar pada dalil syari, baik secara eksplisit maupun implisit. Bahkan jumhur ulama

berpandangan, Ijma' merupakan hujjah syariyyah yang wajib diaplikasikan. Demikian itu, tidak hanya berlaku untuk Ijma' para sahabat saja, tetapi juga Ijma' para ulama pada setiap generasi dan masa, karena umat Islam telah mendapat jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk tidak bersepakat berada di atas kesesatan. Penolakan dan penentangan terhadap masalah ini tidak perlu diperhitungkan keberadaannya, karena para ulama Islam telah sepakat untuk menjadikan Ijma' sebagai hujjah syari dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Yang demikian itu berdasarkan pada Al-Qur`n, Sunnah dan logika : Pertama : Ijma' Menurut Pandangan Al-Qur`n. Pijakan dan landasan Ijma' dari Al-Qur`n sangat banyak, antara lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berceraiberai. QS Ali 'Imrn : 103. Dalam ayat yang lainnya disebutkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. QS An-Nisaa : 115. Allah Azza wa Jalla telah mengancam orang-orang yang menyelisihi cara beragama orang-orang beriman dan menentang Ijma' umat Muhammad yang benar. Ayat ini menjadi dalil paling kuat, bahwa Ijma' menjadi hujjah dalam hukum agama yang wajib diikuti. Sesuatu tidak menjadi wajib melainkan setelah menjadi hujjah syariyyah, sehingga apapun kesepakatan mereka dalam hukum pasti menjadi landasan. Dengan demikian, kelompok yang menentang Ijma', berarti telah memecah-belah umat Islam, dan mengikuti cara beragama mereka yang pada akhirnya mereka berhak masuk ke dalam ancaman ayat di atas. Kedua : Ijma' Menurut Pandangan Sunnah. Landasan Ijma' yang berasal dari Sunnah, antara lain ialah : a. Dari 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama

satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah. Imam asy-Syafii rahimahullah berkata: "Jika jamaah mereka berpencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan Ijma'. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma'. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam menetapkan perkara halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang berpendapat sama dengan pendapat jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di atas jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi jamaah kaum muslimin". b. Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang terpeliharanya umat secara kolektif dari kesalahan dan kesesatan. Hadits-hadits tersebut, meskipun tidak sampai pada derajat mutawatir secara lafazh, namun mutawatir dari sisi makna. Di antaranya adalah sabda beliau Shalalllahu 'alaihi wa sallam : Tetaplah kalian bersama jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad di atas kesesatan. Imam al-Ghazali berkata: "Banyak riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bermacam redaksi, yang berujung pada satu makna yang menegaskan bahwa umat ini terpelihara dari kesalahan secara bersama-sama (kolektif). Seluruh riwayat di atas telah jelas di hadapan para sahabat dan tabiin hingga masa kita sekarang ini. Tidak ada seorangpun yang menolaknya dari kalangan ahli hadits, baik dari kalangan Salaf maupun Khalaf. Bahkan semua riwayat tersebut diterima sepenuh hati oleh semua pihak, baik yang menerima maupun yang menolak Ijma'. Umat Islam sepanjang zaman selalu berhujjah dengan riwayat-riwayat tersebut dalam masalah ushul dan furu` agama". c. Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : .

Akan selalu muncul dari umatku sekelompok kaum yang tetap berada di atas kebenaran, tidak mampu menimpakan bahaya orang-orang yang merendahkan hingga datang perkara Allah, mereka dalam keadaan demikian. Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dasar paling kuat bahwa Ijma' adalah hujjah, sehingga hadits ini menjadi landasan Ijma' paling shahh". Begitu juga hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : . Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan. Ketiga : Menurut Dalil Logika. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, dan syariatnya berlaku hingga hari Kiamat. Sementara itu, banyak kasus hukum yang muncul tidak ada nash yang qathi, baik dari al-Kitab dan Sunnah, namun para ulama berijma' terhadap satu hukum tertentu. Jika keputusan Ijma' mereka tidak menjadi hujjah dalam agama, berarti kebenaran meleset dari mereka, atau mereka sepakat di atas kesesatan. Yang demikian itu memberi konsekwensi bahwa syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bertahan sepanjang masa. Akhirnya, syariat mengalami kepunahan, dan demikian itu jelas suatu kemustahilan. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan Ijma' mereka sebagai hujjah, agar ajaran syariat bertahan selamanya.

Faidah Ijma' Dalam Penetapan Hukum Para ulama yang menyatakan Ijma' bisa menjadi hujjah, dan mereka berbeda pendapat apakah Ijma' memberi faidah qathi atau zhanni? Perbedaan pendapat dalam menyikapi masalah ini, terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama : Menurut pendapat as-Asfahani, dan inilah pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa Ijma' menjadi hujjah qathi dalam agama Islam. Kedua. : Ijma' tidak berfaidah kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik Ijma' itu bersandar pada dalil yang qathi maupun dalil zhanni. Ketiga : Harus dibedakan antara Ijma' yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qathi, dengan Ijma' yang masih diperselisihkan, seperti Ijma' sukuti. Ijma' seperti ini hanya memberi faidah dan ketetapan hukum secara zhanni. Dan inilah yang shahh seperti dikuatkan Ibnu Taimiyya rahimahullahh Tafsir Ahkam bagi Pengembangan Urf

Definisi adat dan urf 'Urf biasa diterjemahkan dengan adat atau kebiasaan sebuah masyarakat, Ahmad Fahmi Abu Sunnah mengatakan dalam Al-'Urf wa Al-'Adah fi Ra'yi Al-Fuqaha bahwa adat adalah Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.14 Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa 'urf adalah setiap sesuatu yang menjadi adat kebiasaan manusia dalam bertindak sesuai dengannya seperti segi perkataan, perbuatan dan caracara lainnya yang disebut juga adat. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara 'urf dan al-'adah. 'Urf atau adat terbagi menjadi dua yaitu : 'urf 'amaly misalnya jual belinya manusia tanpa menggunakan lafadz yang jelas, dan 'urf qauly misalnya memutlakkan kata walad dengan anak laki-laki.15 Jika dilihat dari segi keabsahannya maka 'urf ini terbagi menjadi dua, yaitu Al-'Urf AlShahih dan Al-'Urf Al-Fasid. Al-'Urf Al-Shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Adapun Al-'Urf AlFasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara' dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara'.16 Dari pemaparan tersebut dapat dipastikan bahwa 'urf yang dapat dijadikan dalil/sumber hukum adalah 'urf yang shahih, yaitu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat yang tidak ada nashnya secara sharih dan tidak bertentangan dengan syara'. Mengenai landasan hukum berupa 'urf (adat) para ulama sejak dulu sudah menggunakannya.17 Makna urf secara bahasa adalah kebaikan atau nama sesuatu yang dicurahkan oleh jiwa. imam Thobari mengatakan dalam tafsir firman Allah : bahwa kebenaran dari ucapan tersebut adalah Allah menyuruh nabinya SAW untuk memerintah manusia dengan urf yakni sesuatu yang masyhur di kalangan arab. sedangkan makna urf secara syara para ulama mendefinisikan dengan makna yang berbeda-beda, tetapi penulis disini merasa cukup dengan menyebutkan satu definisi saja yaitu definisi oleh imam Jurjani yang mengatakan bahwa urf adalah sesuatu yang mendasar dalam diri manusia yang diterima oleh akal sehat dan watak dasar manusia. Sedangkan makna adat secara bahasa adalah sesuatu yang terus menerus artinya setiap
14 15

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 139. Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 79. 16 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 141.
17 Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Ushul Al-Fiqh Al-Islamy, hlm. 840.

sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia. adapun makna adat secara syara adalah sesuatu kebiasaan yang berulang ulang yang melekat dalam jiwa manusia serta diterima oleh akal sehat manusia. Adat dan urf adalah dua kata yang sama artinya karena urf adalah suatu ketentuan manusia dalam kebiasaan dan adatnya yang diterima dengan lapang dada oleh hati nurani manusia. hanya saja cakupan adat lebih luas dari pada urf karena wilayah urf hanya mencakup sesuatu yang diketahui oleh semua manusia yang disebut sebagai urf am atau diketahui oleh sebagian Negara tertentu yang disebut urf khash. Adapun adat adalah sesuatu yang kembali pada muslimin secara mutlak atau pada Negara atau kelompok tertentu. Bisa juga dikatakan pada seseorang tertentu seperti adat perempuan ketika haid dan nifas. Konklusinya urf dan adat adalah suatu kebiasaan manusia yang diterima hati nurani secara lapang dada.18 Macam macam urf Para ulama membagi urf menjadi empat bagian dengan sudut pandang yang berbedabeda yang insya Allah perinciannya sebagai berikut : urf tetap dan urf yang berubah-ubah. Jenis urf ini dilihat dari sudut pandang kelanggengan urf tersebut. urf yang tetap adalah kebiasan-kebiasan yang berdasarkan pada sifat alami manusia dan fitrahnya. Sifat sifat yang absolut pada diri manusia selamanya tidak akan beubah seperti rasa senang, sedih, lapar, haus dan sebagainya yang berhubungan dengan tabiat manusia. Begitu juga dengan urf yang ditetapkan oleh syariat seperti sesuatu yang wajib dan haram dalam syariat selamanya tidak akan berubah. Begitu juga dengan tata cara shalat seperti sujud, ruku dan tasyahhud selamanya seperti yang kita ketahui adanya tidak akan berubah. Adapun urf yang berubah-ubah adalah sesuatu yang berubah mengikuti zaman, tempat, dan lingkungan seperti pakaian yang berbeda pada setiap tempat. Urf am dan Urf khash : Urf am adalah sesuatu yang diketahui oleh muslimin sejak masa sahabat sampai sekarang yang diakui oleh mujtahid serta masih diamalkan meskipun bertentangan dengan qiyas ketika tak ada nash dan dalil. Inilah yang diambil oleh fuqaha dan menetapkanya sebagai hukum-hukum syariat yang berdasarkan ijma karena urf ini sudah dianggap sebagai ijma. adapun definisi urf khash adalah sesuatu yang diketahui oleh sebagian orang saja seperti istilah-istilah yang dipakai oleh para ilmuan dan karyawan perusahaan tertentu.

18

`Abd al-Karim Zaydan, al-Wajiz Fi Usul al- Fiqh, Baghdad,1987, h.252

Satu contoh lafadz dabah apabila disebutkan oleh orang mesir berarti himar berbeda apabila disebutkan oleh orang Iraq yang berarti kuda. Urf qauli dan urf amali : urf qauli adalah kebiasaan bagi seseorang dalam pemakaian lafadz terhadap suatu makna. jika seseorang mengucapkan suatu kata, maka hanya makna tertentu saja yang tertuju dan tak ada yang lain. Sedangkan yang dimaksud urf amali adalah sesuatu yang masyhur oleh masyarakat baik dalam bermuamalah atau yang lainya mengenai semua kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat seperti jual beli muathoh. Urf shahih dan Urf fasid : Yang dimaksud dengan urf shahih adalah kebiasaan yang diterima oleh akal yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat. Abu Zahroh menerangkan bahwa suatu kebiasaan manusia yang sesuai dengan syarat-syarat muamalah dan jual beli maka kebiasaan tersebut bisa diterima selama tidak bertentangan dengan nash Sedangkan urf fasid adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi kebiasaan tersebut bertentangan dengan syariat agama, maka urf ini tidak bisa diterima oleh agama walau bagaimanapun. Syarat syarat Adat Para ulama mengatakan bahwa suatu adat bisa diterima apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan yakni sebagai berikut : Adat tersebut harus aghlab artinya kebiasaan yang dilakukan oleh manusia itu harus terus menerus dan umum serta tidak boleh jarang baik adat tersebut khash atau am. Oleh karena itu apabila ada amal yang terkadang dilakukan tidak bisa dianggap oleh hukum. Seperti dalam suatu Negara seorang pedagang menjual barangnya dengan harga 100 tanpa menyebutkan mata uangnya maka yang dianggap adalah mata uang negara tersebut, apabila dalam negara tersebut beredar mata uang yang banyak maka yang dianggap adalah yang sering dipakai. Oleh karena itu terdapat kaidah yang mengatakan Adanya adat tersebut bersamaan dengan pelaksanaan ketika itu atau sudah ada pada masa dahulu. Maka berarti adat di masa mendatang tidak dianggap karena memang belum ada seperti adat yang berlaku pada satu Negara kalau perabotan rumah tangga ditanggung oleh istri kemudian setelah beberapa tahun adat tersebut berubah, maka apabila terjadi perselisihan yang dinggap adalah adat ketika terjadinya akad bukan adat sebelum akad. Adat tersebut tidak bertentangan dengan nash syari atau nash bukan syari. apabila bertentangan maka yang dianggap adalah nash karena lebih kuat dari pada adat. seperti adat

biaya pengiriman barang ditanggung oleh pembeli tetapi telah terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli bahwa biaya pengiriman ditanggung oleh penjual maka yang diamalkan adalah kesepakatan tersebut bukan adat. Pertentangan Antara Adat dengan Syara Apabila terjadi perbedaan antara adat dengan syara maka perinciannya sebagai berikut : jika syara tersebut tidak berhubungan dengan hukum, maka yang dimenangkan adalah adat. Seperti seseorang yang bersumpah tidak akan makan daging selamanya kemudian makan ikan maka tidak dianggap melanggar sumpahnya walaupun al-Quran mengganggap ikan sebagai daging dalam firman Allah taala : Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan) QS An-nahl : 14. Tetapi ayat tersebut ketika menamakan ikan sebagai salah satu dari macamnya daging tidak ada hubunganya dengan hukum. Tetapi apabila syara tersebut berhubungan dengan hukum maka yang dimenangkan adalah syara. Seperti seseorang yang bersumpah tidak akan sholat kemudian melakukan sholat sebagaimana kita lakukan setiap hari, maka dia melanggar sumpah tersebut. Kecuali melakukan sholatnya orang nashrani maka tidak melanggar sumpah karena yang dimaksud dengan sholat adalah perkataan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Pertentangan Antara Adat dengan Bahasa Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, Qadli Husain mengatakan bahwa hakikat bahasa lebih dianggap daripada adat karena asal dalam ucapan adalah hakikat bahasa tersebut, lain halnya dengan pendapat imam Baghawi yang lebih mengedepankan adat daripada bahasa karena adat lebih berpengaruh dalam muamalah manusia. Namun ada poin penting dalam permasalahan ini yakni apabila tidak ada niat, namun jika ada niat maka yang dimenangkan adalah niat tersebut. Madzhab jumhur lebih mengedepankan makna yang ada ketika lafadh diucapkan, apabila makna ucapan tersebut lebih cenderung pada adat, maka itu yang diamalkan begitu juga dengan sebaliknya. untuk lebih jelasnya apabila seseorang bersumpah tidak akan memakan roti kemudian makan roti yang terbuat dari nasi maka orang tersebut melanggar sumpah atau tidak maka para ulama berbeda pandapat seperti di atas. Pertentangan majaz yang sudah menjadi adat dengan hakikat yang berlaku

Para ulama juga berbeda pendapat dalam masalah ini, imam Abu Hanifah lebih memenangkan hakikat yang berlaku daripada majaz yang sudah menjadi adat karena hakikat adalah asal dan asal tidak boleh ditinggalkan kecuali dalam keadaan darurat, sedangkan majaz adalah cabang. Berbeda dengan jumhur yang mengedepankan majaz yang sudah jadi adat daripada hakikat yang berlaku karena lebih cepat dimengerti dalam bermuamalah antara manusia. Satu contoh apabila seseorang yang bersumpah tidak akan makan gandum, maka menurut Abu Hanifah tidak melanggar sumpah apabila makan roti yang terbuat dari gandum dan melanggar sumpah menurut jumhur apabila makan sesuatu yang asalnya terbuat dari gandum. Semua itu apabila tidak ada niat, namun jika terdapat niat maka itulah yang diamalkan. Pertentangan antara adat am dengan khash Apabila terjadi pertentangan antara dua adat yang satu adat yang meluas semua daerah dan yang satunya adapt pada suatu wilayah tertentu maka mana yang didahulukan?. Para ulama mentafsil dalam masalah ini yaitu apabila adat khash tersebut terbatas maka yang dianggap adalah adat am dan apabila adat tersebut tidak terbatas maka adat khash itulah yang dianggap. Seperti adapt pada suatu desa yang menjaga hewan ternak dimalam hari dan menjaga pertaniannya di siang hari, maka apabila pertanianya tersebut dirusak pada siang hari maka pemilik hewan tidak menanggung kerusakannya. Dalil-dalil Adat dan Urf Lafadz al-adah tidak terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah, namun yang terdapat pada keduanya adalah lafadh al-urf dan al-maruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah firman Allah Taala :


Jadilah Engkau Pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. QS Al-Araf : 199.


Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf. QS.Al-Baqarah : 180. Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh urf atau maruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan maruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah misalnya salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Masud disebutkan, Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh). Sementara Qawaid Fiqhiyah yang berkaitan dengan Urf, dalam qaidah fiqhiyah disebutkan : Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum Qaidah yang lain : Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash. Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Quran dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qaidah

fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah: Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuanketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan. Kalau kita teliti lebih lanjut dasar dianggapnya adat sebagai hukum adalah firman Allah taala : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. QS An-Nisaa : 115. Makna sabil adalah jalan, maka jalanya mukmin adalah yang dianggap baik, sedangkan Allah mengancam orang-orang yang mengikuti jalannya selain mukmin maka ayat diatas menunjukan bahwasanya mengikuti jalannya orang mukmin adalah wajib. Sabda Rasullah Shalallahu Alaihi Wasalam :

Apa-apa yang dipandang baik oleh umat Islam maka di sisi Allah juga baik. Ijma ulama tentang penganggapan adat sebagai hukum selama tidak bertentangan dengan nash dan maqashid syariah karena adat merupakan sesuatu kebutuhan dan kemaslahatan Tafsir Ahkam Bagi Pengembang Ijma dan Urf Setelah kita memahami mengenai ijma dan urf, maka bagaimana relevansinya dengan tafsir ahkam? Sesungguhnya ijma adalah kesepakatan umat Islam secara keseluruhan tentang sesuatu permasalahan. Maka hal ini (ijma) dapat dihasilkan dari pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berdimensi hukum. Pengembangan ijma ini didasarkan pada kaidah bahwa kesepakatan umat Islam adalah terjaga, terutama berkaitan dengan hal-hal yang bersifat muamalah. Ijma menjadi hal yang urgen saat ini, apalagi dengan telah berkembangnya tekhnologi yang memungkinkan umat Islam berkomunikasi sehingga kesepakatan antar mereka sangat dimungkinkan. Demikian pula pada urf, tafsir ahkam akan menjadi pondasi dasar bagi pengembangan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, terutama adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pondasi dasar ini akan memperkuat kearifan local (local genius) yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Maka tafsir ahkam sebagai pengembangan bagi ijma dan urf sangat diperlukan saat ini, terutama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya kontemporer yang dihadapi umat Islam. Hal ini juga sebagai solusi bagi hukum Islam dalam menjawab setiap permasalahan baru yang belum ada sebelumnya.

Daftar Pustaka Abrar, Indal, Al-Jami li Ahkam al-Quran wal Mubayyin Lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ayil Furqan Karya al-Qurthubi, dalam Muhammmad Yusuf dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004. A. Hanafie, Usul Fiqh., Cetakan ketiga 1962 Al-Jurzani, Ahmad, Kitab al-Tarifat, Mesir: Dar al-Maarif, 1965. Al-Qatthan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulum al-Quran, ttp.: Mansyurat al-Asr al-Hadits, tt.

Al-Suyuthi, Syaikh a-Islam Jalal al-Din Abd al-Rahman, al-Itqan fi Ulum al-Quran, Juz I, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1951. Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, ttp.: Dar al-Kutub, tt. Al-Zarqani, Muhammad al-Adzim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran, Juz II, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Syurakauh, tt. Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Quran, Bandung: Mizan, 1989. Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Cet.II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta, 1995. Mahfudz, Mahsun, Sejarah Perkembangan Pemikiran Al-Quran (Memotret Wajah al-Quran sejak Masa Nabi hingga Kontemporer), dalam Jurnal Citra Ilmu, Edisi 5, Vol.III, April, 2007: 19-32 Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992 Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, cet. Ke-2 Hasaballah, Ali, Ushul at-Tasyri al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,1998 Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa, Beirut: Dar al-Qalam, 1972 ____________, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, cet.ke-20 Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1 Nasution, Lahmuddin, 2001, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafii, Jakarta: PT Remaja Rosda Karya, Cet.ke-1 Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2 Mansur, Muhammad, Maani al-Quran Karya al-Farra, dalam Muhammmad Yusuf dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004. Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet.IX, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Shihab, H.M. Quraish, Membumikan al-Quran, Cet.II, Bandung: Mizan, 1992. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jil.I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Umar, Muin dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1985. Wehr, Hans, A Dictionary of Written Arabic, Beirut: Librairie Du Liban & London: Mc Donald & Evand Ltd., 1974. Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-Arabi. Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Maasasah ar-Risalah, 1986 Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1 Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 2001

Anda mungkin juga menyukai