Anda di halaman 1dari 16

STUDI ILMU KALAM ATAU ILMU TAUHID

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah metodologi studi islam

Dosen Pengampu:
FEBRI DELMI YETTI, S.EI, MA

Oleh:
Kelompok 14
Fani Ramadhani NIM. 12270312107
Yogi Maisa Kesuma NIM. 12270311594
Yudha Andrian NIM. 12270313627

KELAS E
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayahnya sehingga mampu menyelesaikan makalah pada mata kuliah
Metodologi Studi Islam dengan judul makalah “Studi ilmu kalam / ilmu tauhid”.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 01 Oktober 2022

Kelompok 14

2
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… iii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………. 4
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………… 4
1.3 Tujuan Penulisan ………………………………………………….......... 4
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Pengertian tauhid ………………………………………………………. 5
2.2 Pengertian ilmu tauhid …………………………………………………. 5
2.3 Kedudukan tauhid ……………………………………………………… 6
2.4 Pembagian tauhid ...…………………………………………………….. 7
2.5 Makna Laailaaha illalloh, Ma’rifutllah dan Muraqabah..…………......... 9
BAB III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………... 15
3.2 Saran……………………………………………………………………. 15
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tauhid merupakan permasalahan yang penting di dalam agama. Ia merupakan
syarat utama untuk menjadikan dirinya muslim. Seorang muslim haruslah memahami
konsep tauhid ini untuk menjalankan memahami tujuan penciptaannya. Apabila
pemahaman konsep tauhid ini kuat, maka akan kuat pula pilar-pilar keislamannya
untuk mengimplementasikan kewajiban-kewajibannya dalam beribadah kepada
Allah. Tauhid merupakan konsep akidah islam yang menyatakan keesaan Allah, dan
sumpah ini menuntut adanya kesetian dan kepercayaan yang mutlak terhadap
keesaan-Nya serta menolak untuk mempercayai tuhan-tuhan selain-Nya.

Dari uraian-uraian tersebut kami berharap agar para pembaca dapat memahami
mengenai konsep ilmu tauhid berikut macam-macamnya, dan cara untuk mengenal
Allah serta mendekatkan diri pada-Nya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian tauhid dan ilmu tauhid?
2. Apa macam-macam tauhid?
3. Apa makna dari lafadz Laailaaha illalloh, Ma’rifatulloh dan Muqarabah?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mengetahui pengertian tauhid dan ilmu tauhid.
2. Mengetahui macam-macam tauhid.
3. Mengetahui makna dari lafadz Laailaaha illalloh, Ma’rifatulloh dan Muqarabah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tauhid


Kata “tauhid” di dalam bahasa Arab berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-
tauhidan, yang artinya menjadikan (sesuatu) satu-satunya. Kata tersebut berasal dari
kata wahidun yang berarti satu atau tunggal. Adapun menurut istilah adalah
menyendirikan atau mengesakan Allah dalam beribadah. Adapun pengertian secara
lebih luas lagi adalah menyendirikan atau mengesakan Allah dalam hal-hal yang
merupakan kekhususan bagi Allah, baik dalam rububuiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya,
maupun nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tidak ada sekutu bagi Allah dalam
semua hal tersebut.

Istilah tauhid sendiri tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an dan
hadis, tetapi dari ayat-yat Al-Qur’an dan hadis Nabi menyerukan pada pengakuan
keesaan Allah maka muncullah istilah tauhid ini. Tidak diketaui pula siapa yang
mempopulerkan istilah ini. Imam bukhari dalam kitab sahihnya mencantumkan salah
satu bab berjudul ‘kitab at-Tauhid’. Hal ini berarti kata tauhid telah dikenal sebelum
atau pada masa Imam Bukhari (194 - 256 H).

2.2 Pengertian Ilmu tauhid


Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan keesaan Allah dan hal-hal yang
terkait dengannya. Ilmu ini berkaitan dengan pembahasan tentang penetapan akidah
yang diambil dari dalil-dalil yang diyakini, yaitu Al-Qur’an dan hadist serta dalil
naqli. Para ulama memiliki istilah yang beragam tentang ilmu ini berikut adalah
beberapa nama yang digunakan oleh para ulama untuk menyebut ilmu tauhid.
a. Ilmu Aqa’id. Dinamakan Aqa’id karena ilmu ini membicarakan tentang akidah
atau kepercayaan.
5
b. Ilmu Kalam. Disebut demikian karena persoalan akidah yang dulu sering
dipersilisihkan oleh para ulama adalah masalah kalamullah, apakah ia bersifat
qodhim atau baru.
c. Ilmu sifat. Disebut demikian karena ilmu ini mempelajari sifat-sifat Allah yang
wajib diketahui oleh setiap muslim.
d. Ilmu Ushuluddin. Dinamakan demikian karena ia membicarakan persoalan-
persoalan pokok (usul) dalam agama, yaitu soal keimanan.
e. Ilmu ma’rifat. Disebut demikian karena ilmu ini berkaitan dengan Allah dan
rasul-Nya.
f. Fikih Akbar. Imam Abu Hanifah menamai pembahasan tentang akidah dengan
sebutan fikih akbar. Abu Hanifah menamai istilah tersebut karena pada masanya
semua kegiatan intelektual agama disebut dengan fikih.

2.3 Kedudukan Tauhid


Prinsip tauhid tidak bisa dipisahkan dari ajaran islam karena tauhid adalah inti
ajaran islam, bahkan islam sendiri. Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju


kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak
menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun,
dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.” Jika
mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah bahwa kami
adalah orang muslim.” (QS. ali-Imron/3: 64)

Ayat ini menerangkan bahwa orang yang menjadikan tauhid sebagai agamanya
adalah orang yang berhak menyandang gelar sebagai seorang muslim, bukan orang
yang menolaknya karena menolak tauhid sama saja menolak Islam sebagai
agamanya.

6
2.4 Pembagian tauhid
Berdasarkan pengkajian tentang dalil-dalil yang menjelaskan tentang keesaan
Allah SWT. Maka para ulama menyimpulkan adanya pembagian tauhid. Secara
umum, para ulama membagi tauhid ke dalam tiga bagian, yaitu tauhid rububiyyah,
tauhid uluhiyyah, tauhid al-asma’ wa as sifat.

1. Tauhid Rububiyyah
Rububiyyah berasal dari perkataan rabb. Kata ini mempunyai beberapa arti seperti
pemimpin, pemilik, penguasa dan pemelihara. Adapun yang dimaksud tauhid
rububiyyah adalah meyakini Allah SWT dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa
dilakukan oleh Allah serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah adalah Rabb, Raja,
dan Pencipta semua makhluk, dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan
mereka.
Allah-lah yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan hidup serta
mengendalikan segala urusan. Dia yang memberikan manfaat dan masfadat
(kerusakan), menganugerahkan kemuliaan dan kehinaan.

Dan allah berfirman dalam al-quran yang artinya :


Artinya : Wahai manusia, Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan
orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan
bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dialah yang menurunkan
air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai
rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi
Allah, padahal kamu mengetahuinya. (Q.S. al-Baqarah : 21-22).

2. Tauhdi Uluhiyyah
Istilah ulihiyyah berasal dari kata ilah yang berarti Tuhan yang patut di sembah.
Yang dimaksud dengan tauhid uluhiyyah adalah mengesakan Allah dalam
penyembahan dan peribadatan. Segala bentuk penyembahan dan peribadatan, baik

7
yang zahir maupun batin, tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, termasuk
berdo’a, cinta, takut dan tawakal.

Jadi, seorang yang bertauhid uluhyyah hanya menyerahkan semua ibdahnya


kepada Allah semata, tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliah, selain
beribadah kepada Allah, mereka juga memohon, berdo’a dan beristighasah kepada
selain Allah. Inilah yang diperangi Rasululullah SAW karena ajaran para nabi dan
Rasul utusan Allah adalah tauhid.

3. Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat


Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat adalah mengesakan Allah SWT. Dalam penetapan
nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam al-
Qur’an dan hadits. Cara bertauhid al-Asma’ wa as-Sifat ialah dengan menetapkan
nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diri-Nya serta menafikan nama
dan sifat yang Allah nafikan dari diri-Nya, tanpa tahrif, ta’til, takyif dan tasbyih.

a. Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah
dari makana zahir menjadi makna yang batil.
Contoh : menafsirkan gadab (murah) dengan iradatul intiqam (keinginan untuk
balas dendam), rahmah (kasih sayang) dengan iradatul in’am (keinginan untuk
memberi nikmat), al-yadu (tangan) dengan an-ni’mah (nikmat), dan kata istiwa’
yang artinya bersemayam dipalingkan menjadi menguasai.
b. Ta’til adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat Allah. Sebagian orang
menolak bahwa Allah berada di atas langit dan berkata bahwa Allah di mana-
mana.
c. Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah, padahal Allah sama sekali
tidak serupa dengan makhluk-Nya sehigga tidak ada makhluk yang mampu
menggambarkan hakikat wujud-Nya. Misalnya sebagian orang berusaha
menggambarkan bentuk tangan Allah atau bentuk wajah Allah.

8
d. Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya,
padahal Allah telah berfirman yang artinya :
Artinya : (Dia) pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-
pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan
Melihat. (Q.S. Asy-Syuro : 11)

2.5 Makna Laailaaha illalloh, Ma’rifutllah dan Muraqabah


1. Laailaaha illalloh
Laailaaha illalloh merupakan dakwah semua rasul AS dari Adam, Nuh sampai
Muhammad SAW. Sikap orang-orang jahiliyah dalam mengantisipasinya juga sama
yaitu tidak berubah, tetap menolak, menghalang-halangi, berpaling dan menyingkir.
Mengetahui makna kalimat yang mulia ini merupakan salah satu prinsip yang sangat
mendasar pada ‘aqidah seorang muslim. Karena jika seseorang mengucapkan kalimat
tauhid ini maka dia tidak akan bisa melaksanakan konsekuensinya sebelum
mengetahui apa maknanya serta dia tidak akan mendapat berbagai keutamaan kalimat
yang mulia ini.

Keutamaan kalimat laailaaha illalloh adalah “Barang siapa yang meninggal dalam
keadaan mengetahui bahwa sesungguhnya tiada sembahan yang berhak disembah
kecuali Allah maka akan masuk Surga” (HSR. Bukhari)

a. Makna kalimat tauhid laailaaha illalloh


Laailaaha illalloh adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu : laa, ilaha, illa,
Allah. Adapun secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut:
1. Laa adalah nafiyah lil jins (Meniadakan keberadaan semua jenis kata benda
yang datang setelahnya). Sehingga laa dalam kalimat tauhid ini bermakna
penafian semua jenis penyembahan dan peribadahan yang haq dari siapapun
juga kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
9
2. Ilaha bermakna ma`luh yang artinya adalah ma’bud (yang diibadahi). Karena
Ilaha adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) sehingga
ilaha maknanya adalah ‘abada sehingga makna ma’luh adalah ma’bud. Hal ini
sebagaimana dalam bacaan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma terhadap ayat
127 pada surah Al-A’raf: “Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun
(kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk
membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta
ilahatahmu (peribadatan kepadamu)?”.Ilahataka (ilahatahmu) yaitu
peribadatan kepadamu, karena Fir’aun itu disembah dan tidak menyembah.
Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas memahami bahwa kata Ilahah
artinya adalah Ibadah.
3. Illa (kecuali). Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak
setelah illa dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Dan laa dalam
bahasa arap yang artinya tidak ada atau hanya. Sehingga Jika diterapkan
dalam kalimat tauhid ini maka maknanya adalah bahwa hanya Allah yang
diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa
sebelumnya.
4. Lafadz “Allah” asal katanya adalah Al-Ilah dibuang hamzahnya untuk
mempermudah membacanya, lalu lam yang pertama diidhgamkan
(digabungkan) pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid
dan lam yang kedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i
dan Imam AlFarra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih. Adapun
maknanya, berkata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin (1/18) :
“Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang
disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya
dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan”.

10
2. Muraqabah
Muraqabah berarti adanya keyakinan seseorang yang kuat akan adanya pantauan
Allah SWT terhadap segala gerak-geriknya. Kesadaran itu lahir dari keimanannya
bahwa Allah SWT dengan sifat’ilmu, bashar dan sama’ (mengetahui, melihat, dan
mendengar)-Nya mengetahui apa saja yang dia lakukan kapan dan dimana saja. Dia
mengetahui apa yang dia pikirkan dan rasakan. Tidak ada satupun yang luput dari
pengawasan-Nya.

Dan dengan muraqabah, manusia menyadari keikutsertaan (ma’iyah) Allah


dalam setiap langkahnya. Dengan pemahaman seperti ini maka segala niat buruk atau
aktualisasinya akan dicegah oleh sistem muraqabah dalam dirinya. Misalnya, kalau
mau, siapapun bisa berbohong kepada sesamanya, namun siapa yang sanggup
berbohong kepada Allah dzat yang Maha Melihat dan Maha Cermat? Tingkatan
muraqabah yang paling tinggi ialah al-Ihsan, yang maknanya dijelaskan oleh Nabi
SAW sebagai berikut :“... bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau
melihatnya, Kalau engkau tidak melihatnya (ketahuilah) bahwa sesungguhnya dia
melihatmu”

Kalau kesadaran seperti ini telah ada dalam hati, namun dipatahkan oleh diri
sendiri maka menurut Rasulullah SAW manusia seperti ini mengalami degradasi
iman yang sangat tajam. Beliau SAW bersabda. “...dan tidaklah mencuri seseorang,
bila saat mencuri ada iman di hatinya” (HR Bukhari).
Dengan demikian, muraqabah merupakan mekanisme pengendalian diri yang paling
efektif dan sempurna, karena energi positif ini datangnya dari dalam diri, bukan
kekuatan luar yang dipaksakan, atau sistem buatan manusia yang dipasang dengan
tekanan.

Dan dengan bekal keimanan yang kuat maka setiap datang bisikan dari syaitan
untuk bermaksiyat kepada Allah dalam segala bentuknya, maka segera cahaya iman
dalam hatinya akan memberi sinyal peringatan untuk menolak bisikan tersebut.
11
Sebaliknya setiap kali ada peluang untuk berbuat kebajikan, sinyal hidayah dari hati
akan mendorongnya untuk mengaktualisasikannya. Inilah puncak dari al-ihsan yang
telah mengakar dalam kalbu.

3. Ma’rifatulláh
Secara teoretis, ma’rifatulláh bisa dicapai dari berbagai bidang studi keilmuan,
misalnya ilmu filsafat, ilmu ushuluddin (teologi), ilmu akhlak, ilmu syara' (fiqh), dan
ilmu taṣawwuf. Jadi, sebenarnya ma’rifatulláh bukan monopoli para ṣūfī. Di kalangan
para ṣūfī, ma’rifatulláh adalah puncak pencapaian żikir kepada Alláh yang memberi
pengaruh besar kepada jiwa seseorang dan tercermin pada ke salehan-kesalehan
hidupnya. Orang yang berżikir akan merasakan nikmatnya żikir sehingga hidupnya
tidak lagi mau berpaling dari Alláh atau membelakangi tuntunan-Nya. Kalau para ahli
taṣawwuf mengaku memperoleh ma’rifatulláh melalui pengetahuan batinnya, maka
para ahli filsafat berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu dapat diperoleh dengan
pengetahuan akalnya. Para ahli tauhid berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu dapat
diperoleh dengan keimanan-ketauhidan yang murni kepada Alláh.

Sedangkan menurut para ahli akhlak, ma’rifatulláh itu dapat dicapai dengan amal
shaleh. Menurut para ahli syara', ma’rifatulláh dapat dicapai dengan menjalankan
syariat yang benar. Bila demikian halnya, ma’rifatulláh yang paling komplit adalah
ma’rifatulláh yang dapat dicapai melalui semua pengetahuan yang ada, baik
pengetahuan akal, maupun pengetahuan batin, kemurnian iman-tauhid, kebaikan
akhlak dan melalui syariat yang benar. Sebab orang yang mengenal Alláh dengan
akalnya pasti membuat keyakinannya kepada Alláh amat kokoh dan bisa dibuktikan
secara rasional serta tidak dapat dipatahkan oleh keunggulan ilmu pengetahuan apa
pun di muka bumi ini.

Dan para ulama taṣawwuf dan kaum ṣūfīyah menempuh beberapa cara untuk
mecapai tingkat tertinggi dalam ṣūfīyah, atau ma’rifatulláh.

12
Delapan langkah mencapai ma’rifatullah :
1. Kodrat
Secara harfiah, meiliki arti “kuasa” atau “kekuasaan”, sehingga kodratullah dapat
diartikan sebagai kekuasaan Allah. Suatu kekuasaan yang tunggal atau hanya satu-
satunya, suatu kekuasaan yang “mutlak”.
2. Iradat
Secara harfiah iradat memiliki arti “kehendak”, sehingga iradat Allah diartikan
sebagai kehendak Allah. Suatu kehendak yang datang dari Yang Maha Berkehendak
atas segala sesuatu. Tidak ada kehendak yang lain selain kehendak-Nya. Tidak ada
kemauan yang lain selain kemauan-Nya. Tidak ada pelaku yang lain selain pelaku-
Nya. Dengan demikian, akal akan membenarkan bahwa hanya Dia-lah yang
berkehendak, hanya Dia-lah yang merencana, dan hanya Dia pula sebagai pelaksana.
Sebagaimana firmannya di dalam al-quran yang artinya :
Artinya : “Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!"
Lalu jadilah ia”. (QS Al-Baqarah (2): 117)
3. Ilmu
Ilmu atau pengetahuan merupakan langkah ketiga yang harus dilalui oleh seorang
pencari Tuhan (salik). Manusia dituntut untuk menyadari bahwa ilmu yang ada di
dunia ini adalah ilmu Tuhan, milik Tuhan, dan pengetahuan Tuhsn. Sesungguhnya
ilmu Allah meliputi keseluruhan yang meliputi pada alam raya ini karena semua
berada dalam bingkai pengetahuan-Nya.
4. Hayat
Diartikan sebagai hidup, Maha Hidup. Keyakinan bahwa Allah ada dan hidup, maka
harus menjadi keyakinan utama bagi kaum muslim. Dari sifat Maha Pemurah-Nya,
Allah tidak membiarkan para ciptaan-Nya mati kelaparan. Oleh karena itu, Allah
menyiapkan pula sarana dan prasarana untuk kelanjutan hidup dan kehidupan para
ciptaan-Nya tersebut. Artinya, Dia-lah sumber dari segala kehidupan itu sendiri. Dia-
lah yang menyiapkan rezekinya bagi semua makhluk ciptaan-Nya, baik pada
makhluk-Nya yang tampak maupun yang tidak tampak.
13
5. Sama’
Diartikan sebagai mendengar, suatu sifat wajib bagi Allah. Dia maha mendengar atas
segala sesuatu, bukan saja terbatas pada mendengar yang memang terdengar jelas
bagi telinga manusia, tetapi Dia mendengar pula yang halus yang tidak terdengar oleh
manusia, dan yang ada didalam lubuk hati manusia.
6. Bashar
Diartikan sebagai “melihat”, sehingga “bashar Allah” diartikan sebagai “penglihatan
Allah” atau “pandangan/pandangan Allah”. Dalam arti lebih luas bashar Allah
sebagai “Allah Yang Maha Melihat, Allah Yang Maha Mengetahui, ataupun Allah
Yang Maha Menyaksikan”.
7. Kalam
Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan atau mengandung keterangan tentang
kalam Allah berupa firman-firman-Nya, yang kemudian tersampaikan kepada umat
manusia melalui para utusan-Nya. Melalui kalam inilah kemudian manusia mengenal
Tuhannya, mengenal kitab-Nya, mengenal rasul-Nya, mengenal seluk-beluk ciptaan-
Nya, mengenal kebaikan dan keburukan, mengenal dirinya, dan akhirnya dapat men
ghantarkannya mengenal Tuhannya.Kalam diartikan sebagai “percakapan” atau
“pembicaraan”. Dalam arti spesifik, kalam diartikan pula sebagai “kajian tentang
pembicaraan Tuhan”.
8. Syariat
Syariat berasal dari asal kata syara yang diartikan memperkenalkan atau
mengedepankan ataupun menetapkan. Artinya, Allah telah memperkenalkan,
mengedepankan, dan menetapkan aturan main di dunia ini kepada makhluk ciptaan-
Nya yang disebut manusia, melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an Al-Karim bacaan
yang mulia”.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tauhid adalah menyendirikan atau mengesakan Allah dalam hal-hal yang
merupakan kekhususan bagi Allah, baik dalam rububuiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya,
maupun nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tidak ada sekutu bagi Allah dalam
semua hal tersebut. Sedangkan Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan keesaan
Allah dan hal-hal yang terkait dengannya. Ilmu ini berkaitan dengan pembahasan
tentang penetapan akidah yang diambil dari dalil-dalil yang diyakini, yaitu Al-Qur’an
dan hadist serta dalil naqli.
Kedudukan tauhid jelaslah bahwa tauhid merupakan inti dari risalah Islam dalam
kehidupan manusia. Tidak hanya untuk umat Nabi Muhammad, tetapi juga untuk
seluruh umat manusia. Tauhid secara umum dibagi para ulama ke dalam tiga bagian,
yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, tauhid al-asma’ wa as sifat. , ada juga
pembagian tauhid lain yang dikemukakan oleh para ulama yaitu tauhid dzat, tauhid
sifat, tauhid ibadi dan tauhid af’ali.

3.2 Saran
Berdasarkan makalah yang kami susun, kami dapat menyarankan kepada para
pembaca agar dapat mengetahui mengenai tauhid secara lebih mendalam. Dan kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, kami terbuka
dengan kritik dan saran yang membangun.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Bin Sulaiman. 1994. Kebenaran Tauhid Wahabi. Surabaya: Al-Ikhlas.


Hammad Abu Muawwiyah. 2006. Jurnal Al-Atsariyah .Vol. 01.
Latifah, Aenul. 2014. Paham Ilmu Kalam. Surakarta: PT Tiga Serangkai Mandiri.
Quthub, Muhammad. 1987. Koreksi Atas Pemahaman Lailaha Illallah. Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar.

16

Anda mungkin juga menyukai