Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH STUDI KEBANTENAN

Masjid Agung Banten

Disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Studi Kebantenan

Dosen pengampu Alief Maulana S.T.,M.T

Disusun Oleh :

Rivan Andi Ghifary

5552180124

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Serang – Banten
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini dapat
selesai tepat waktu . Sholawat serta salam tak lupa penulis panjatkan kepada nabi Muhammad
SAW beserta keluarganya,sahabat-sahabatnya hingga umat hingga akhir zaman. Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Studi Kebantenan.

Dengan membaca makalah ini Penulis berharap dapat membantu memahami isi materi
dan dapat memperkaya wawasan tentang Masjid Agung Banten bagi Pembaca. Namun terlepas
dari itu, Penulis memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
Penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada teman- teman yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini dan kepada pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk
membaca makalah ini.

Serang, Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii


DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah..................................................................................................... 5
1.3. Tujuan Masalah .......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Masjid Agung Banten .................................................................................... 6
2.2. Perpaduan Arsitektur Budaya di Masjid Agung Banten ............................................. 8
2.3. Keunikan Masjid Agung Banten ............................................................................... 11
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan................................................................................................................ 13
3.2. Saran .......................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Banten merupakan salah satu bumi intelektualitas yang banyak melahirkan ulama
ilmiah dan pejuang. Syekh Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten, menjadi salah
satu contoh teladan bagi kemajuan perkembangan gerakan keagamaan Islam di Indonesia.
Keulamaan beliau sangat dihormati oleh kalangan tokoh-tokoh Islam Indonesia pada abad
ke-18, tidak pelak lagi, banyak murid yang dulu berguru kepadanya menjadi tokoh yang
punya pengaruh besar di nusantara. Di antara yang pernah menjadi murid beliau adalah
pendiri Nahdlatul Ulama (NU) almarhum Hadraatussyekh Kyai Haji Hasyim Asy’ari.

Banten tidak hanya dikenal dengan intelektualitas keulamaannya, tetapi juga dari segi
pewacanaan masa lampau, daerah ini menyimpan segudang sejarah yang banyak dikaji oleh
peneliti dari dalam maupun manca. Daerah yang dikenal dengan permainan tradisional
debusnya ini, banyak sekali dibahas dalam literatur-literatur asing.

Kekhasan dan keunikan sumber sejarah Banten yang beraneka ragam tidak bisa lepas
dari letak geografis yang berada di ujung barat Pulau Jawa dan berbatasan Pulau Sumatera
dengan Selat Sunda sebagai pemisah kedua wilayah. Letak geografisnya menjadikan
Banten -meminjam istilah Guillot- termasuk ke dalam “dua dunia” yaitu Jawa dan
Sumatera yang keduanya memiliki perbedaan mendasar.

Memotret perkembangan Banten yang kini tengah menjadi salah satu daerah industri
nusantara, tidak terlepas dari sejarah yang menyelimuti sebelumnya. Sejak awal abad ke-
16, pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan besar Kerajaan Pajajaran setelah
Sunda Kelapa yang ramai dikunjungi para pedagang asing. Wilayah ini dikuasai oleh suatu
kerajaan bercorak Hindu dan merupakan daerah vassal dari Kerajaan Pajajaran, nama
kerajaan itu terkenal dengan nama Banten Girang. Penguasa terakhir Kerajaan Banten
Girang adalah Pucuk Umun.

Kebesaran Kerajaan Banten Girang sudah masyhur terdengar dan didatangi oleh para
pedagang asing yang terlibat dalam perdagangan lada. Maklum saja, lada merupakan
komoditas yang banyak terdapat di wilayah kerajaan yang letaknya sekitar 13 kilometer
dari arah pesisir laut ini. Selain itu, kegiatan metalurgi atau pengolahan bijih besi menjadi

1
sumber pendapatan bagi masyarakat di Kerajaan Banten Girang. Banyaknya temuan
beberapa alat-alat dalam kegiatan metalurgi, berupa bungkah bijih besi, sebuah batu yang
pernah menjadi dasar sebuah dapur pengecoran besi, sejumlah besar terak besi dan sisasisa
benda besi di bekas situs kerajaan yang disebut juga Banten Hulu ini, cukup menyakinkan
bahwa kebesaran Kerajaan Banten Girang salah satunya disebabkan oleh kegiatan ini.
Kerajaan Banten Girang juga sudah memiliki infrastruktur kota secara menetap. Kerajaan
ini dikelilingi oleh bentang alamiah seperti perbukitan dan hutan dan pagar buatan berupa
parit-parit yang tidak lain berfungsi sebagai benteng pelindung kerajaan. Seirama dengan
itu, Sungai Cibanten yang mengalir di pusat kota seperti menjadi berkah bagi Kerajaan
Banten Girang. Sungai inilah yang menjadi alat transportasi utama dari pedalaman menuju
ke pelabuhan. Berkembangnya agama Islam secara bertahap di wilayah Banten pada
akhirnya menggantikan posisi politis Banten Girang sebagai kerajaan bercorak Hindu.

Era Kesultanan pun perlahan mulai menggoreskan tinta sejarah di Tatar Banten.
Penting untuk dikaji, adalah mengenai perkembangan Kesultanan Banten sekitar abad ke-
16 dan ke-17, yang menurut kabar dari orang Perancis saat itu melihat Kesultanan Banten
sebagai kota kosmopolitan bersanding dengan Kota Paris, Perancis.5 Letaknya yang
strategis antara Malaka dan Gresik, telah menjadikan Kesultanan Banten sebagai salah satu
bandar internasional yang berpengaruh di Nusantara baik secara sosial, politik, ekonomi,
budaya maupun agama. Kapalkapal yang berlabuh di Bandar Banten berasal dari berbagai
daerah di Indonesia dan dari negara asing terutama Cina, India, Arab dan lebih kemudian
Eropa.6 Konsep penataan ruang Kesultanan Banten pertama kali terlihat dari keputusan
Sunan Gunung Jati7 yang memerintahkan kepada putranya (Maulana Hasanuddin) untuk
melakukan ‘hijrah pemerintahan.’ Pusat pemerintahan Kerajaan Banten yang semula di
daerah pedalaman di Banten Girang (tiga kilometer dari Kota Serang), dialihkan ke pesisir
Teluk Banten. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 1 Muharram tahun 933 Hijriah, bertepatan
dengan tanggal 8 Oktober 1526. Tanggal perpindahan ini kemudian dijadikan ‘hari jadi
(HUT)’ Kabupaten Serang.

Keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari pedalaman ke pesisir


merupakan langkah strategis, karena pada saat itu Teluk Banten merupakan kawasan yang
cukup ramai didatangi para pedagang dari berbagai wilayah, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri. Dengan perpindahan ini, Kesultanan Banten menjadi daerah terbuka untuk
tujuan perdagangan. Kesultanan Banten pun lebih dinamis, karena menjadi daerah tujuan
pedagang dari berbagai belahan dunia.8 Sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin,

2
memerintah tahun 1527- 1570. Pada masa pemerintahan Hasanuddin, kekuasaan
Kesultanan Banten diperluas ke Lampung hingga Sumatera Selatan.9 Pasca Maulana
Hasanuddin, Kesultanan Banten menunjukkan signifikansi kemajuan sebagai sebuah
kerajaan Islam di Nusantara. Sultan Maulana Yusuf, sebagai pengganti ayahnya,
memimpin pembangunan Kesultanan Banten di segala bidang. Strategi pembangunan lebih
dititikberatkan pada pengembangan infrastruktur kota, pemukiman penduduk, keamanan
wilayah, perdagangan dan pertanian.

Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, perdagangan sudah sedemikian maju


sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang-barang dari segala penjuru dunia
yang nantinya disebarkan ke seluruh kerajaan di Nusantara. Karangantu menjadi Pelabuhan
Banten utama sebagai pintu gerbang dan tempat yang ramai dikunjungi oleh para pedagang
dari berbagai daerah. Sultan Maulana Yusuf juga mencetuskan sebuah konsep
pembangunan infrastruktur kota yang dikenal dengan semboyannya gawe kuta baluwarti
bata kalawan kawis.

Sultan Banten kedua yang bergelar Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan Gede,
dikenal dengan semangat membangun yang disebut-sebut memiliki tenaga jasmani yang
kuat. Motonya yang terkenal gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis berhasil membangun
kota dengan perbentengan yang kuat. Pembangunan yang dihasilkan bukan hanya sekitar
keraton, tetapi juga membangun beberapa pemukiman baru, membangun persawahan
lengkap dengan irigasinya, membuka ladang, membangun bendungan dan kanal-kanal
yang bisa dilayari kapal kecil, termasuk membangun SituTasikardi, tempat rekreasi
keluarga dan tempat menerima tamu kehormatan.

Pengembangan kota yang dilakukan Sultan Maulana Yusuf telah mendorong


pembangunan-pembangunan infrastruktur kota dan pesatnya kegiatan ekonomi kota.
Demikian pula telah terjadi perubahan sosial akibat migrasi yang dilakukan para pendatang
dari dalam maupun mancanegara. Kesultanan Banten saat itu bukan hanya dipadati oleh
orang-orang pribumi (Banten), tetapi juga dari orang-orang asing yang menetap, seperti
dari Pegu (Birma/Myanmar) dan Siam, Persia, Arab, Turki, Cina, dan orang-orang dari
Kepulauan Nusantara, yaitu dari Melayu, Ternate, Banda, Banjar, Bugis dan Makassar.
Setiap bangsa memiliki pemukiman tersendiri yang dibatasi oleh dinding.

Perubahan sosial menimbulkan dampak bagi beragamnya kegiatan masyarakat kota,


seperti kegiatan politis-pemerintahan, agama, ekonomis dan kultural. Tanpa terkecuali

3
berdampak pula pada beragamnya pemukiman penduduk. Sejalan dengan itu, Sultan
Maulana Yusuf membangun pemukimanpemukiman masyarakat sesuai dengan pembagian
penduduk berdasarkan pekerjaan, status dalam pemerintahan, ras dan sosial ekonomi.
Kampung Kasunyatan merupakan salah satu pemukiman yang dibangun bagi kaum ulama.

Sesuai dengan namanya kampung ini merupakan pusat pembelajaran agama Islam masa
Sultan Maulana Yusuf, bahkan sampai sekarang. Hadirnya Sultan Maulana Yusuf
memberikan arti penting bagi kemajuan Kesultanan Banten. Periode pemerintahannya
selama kurun waktu sepuluh tahun (1570-1580) dapat dianggap sebagai fase awal bagi
pembangunan Kesultanan Banten sebagai kota kosmopolitan yang maju pesat di segala
bidang. Tahun 1570- 1580 mengacu pada buku Tinjauan Historis Sajarah Banten karya
Husein Djajadiningrat. Lebih lanjut, Husein Djajadiningrat menulis dalam bukunya
tersebut bahwa Maulana Yusuf memerintah selama 10 tahun lamanya (1570- 1580).

Dari kurun waktu tersebut penulis mengkaji perkembangan Kesultanan Banten pada
masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580), baik dipandang dari segi ekologis,
sosial, politik, budaya dan ekonomi. Perubahanperubahan kebijakan yang dilakukan Sultan
Maulana Yusuf dalam mengembangkan infrastruktur kota dan pemukiman masyarakat di
Kesultanan Banten menjadi pembeda di era sebelum dan selanjutnya, dimana hal ini
menjadi ciri khas pada rentang waktu 1570-1580. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan
Sultan Maulana Yusuf dalam pengembangan kota di Kesultanan Banten patut menjadi
renungan atau cerminan khususnya bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dalam
mengembangkan Provinsi Banten yang ramah lingkungan (go green), karena dewasa ini
tanah jawara khususnya wilayah Banten Utara,16 telah banyak ditumbuhi oleh hutanhutan
beton dan langitnya diselimuti oleh asap-asap hasil pembakaran pabrik.

Perjuangan Sultan Maulana Yusuf perlu diketahui oleh generasi muda sekarang,
apalagi yang mengaku dirinya sebagai wong Banten (sebutan lokal bagi masyarakat
Banten) sudah semestinya menjadi tanggung jawab ilmiah untuk tetap mewariskan sejarah
dan senantiasa mengambil nilai-nilai tauladan dari perjuangan Sultan Maulana Yusuf.

Alasan-alasan di atas merupakan pangkal tolak dan pendorong studi ini untuk
merekonstruksi perkembangan Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan
Maulana Yusuf (1570-1580), terutama berdasarkan pembuktianpembuktian historis.
Pentingnya mengangkat topik di atas sebagai kajian strategis bagi pewacanaan dan

4
pewarisan sejarah masa silam, sekaligus mengangkat studi tentang sejarah kota ataupun
sejarah lokal yang akhir-akhir ini telah banyak mendapat perhatian kalangan sejarawan.

1.2. Perumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah Masjid Agung Banten?
2. Bagaimana perpaduan arsitektur budaya di Masjid Agung Banten?
3. Apa keunikan yang dimiliki Masjid Agung Banten?
1.3. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan sejarah berdirinya Masjid Agung Banten.
2. Mengetahui Perpaduan arsitektur budaya di Masjid Agung Banten.
3. Menjelaskan keunikan yang dimiliki Masjid Agung Banten.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten didirikan pada masa Sultan Maulana Hasanuddin, sultan
pertama Kesultanan Demak, yang merupakan putra pertama Sunan Gunung Jati. Masjid
ini merupakan satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia.

Masjid Agung Banten di antara masjid-masjid tua di Indonesia, khususnya Pulau


Jawa, Masjid Agung Banten memiliki ciri yang cukup mencolok, yakni pada bentuk
menara masjid yang menyerupai Mercusuar. Kala itu, kebanyakan masjid di Nusantara
belum memiliki menara karena bukan merupakan tradisi pelengkap masjid di Jawa.

Perbedaan lainnya adalah letak masjid. Pada umumnya, masjid tua di Pulau Jawa
berada di sisi barat, namun Masjid Agung Banten terletak di sisi utara. Adapun di
sebelah baratnya terdapat makam Syarif Husein yang merupakan penasihat Maulana
Hasanuddin.

Tata bangunan masjid mendapat pengaruh dari tiga arsitek yang memiliki latar
belakang berbeda. Arsitek pertama adalah Raden Sepat yang berasal dari Kerajaan
Majapahit. Raden Sepat juga terlibat dalam pembangunan Masjid Agung Demak dan
Masjid Ciptarasa Cirebon.Arsitek kedua berasal dari negeri Cina, yakni Tjek Ban Tjut.
Arsitek ini memberikan pengaruh kuat pada bentuk atap masjid bersusun lima layaknya
pagoda Cina. Tjek Ban Tjut memperoleh gelar Pangeran Adiguna sebagai penghargaan
atas jasanya dalam membangun masjid.

Arsitek ketiga adalah seorang Belanda yang kabur dari Batavia ke Banten, Hendrik
Lucaz Cardeei. Arsitek berstatus mualaf tersebut memberikan pengaruh pada bentuk
menara layaknya mercusuar di Negeri Kincir Angin. Lucaz pun mendapat gelar
kehormatan Pangeran Wiraguna. Menara tersebut berfungsi sebagai menara pandang
atau pengamat ke lepas pantai serta digunakan untuk menyimpan senjata dan amunisi
pasukan Banten.

Masjid Agung Banten memiliki banyak makna filosofis pada setiap detailnya.
Enam pintu masjid menggambarkan rukun iman. Pintu masuk tersebut sengaja dibuat

6
pendek sehingga memaksa pengunjung merunduk sebagai simbol ketundukan kepada
Sang Pencipta. Adapun tiang masjid terdiri dari 24 buah sebagai simbol waktu 24 jam.

Elemen unik lainnya adalah umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran
besar dan beragam di setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran terbesar dengan garis
labu terbanyak adalah umpak pada empat tiang soko guru di tengah-tengah ruang shalat.

Di bagian depan ruang utama terdapat mimbar besar antik yang penuh motif hias
dan kombinasi warna. Mimbar ini dinaungi atap bergaya Cina. Mihrab yang menjadi
tempat iman- memimpin shalat justru bertolak belakang dengan mimbar yang sanga:
menyedot perhatian. Mihrab hama berbentuk ceruk berukuran sangat keci’. sempit, dan
sederhana.

Seperti masjid-masjid lainnya, bangunan masjid ini berdenah segi empat, atapnya
merupakan atap bersusun lima. Di kiri dan kanan bangunan ini terdapat masing-masing
serambi, namun serambi ini dibangun kemudian.

Di depan masjid terdapat menara yang cukup tinggi. Menurut sumber yang ada,
menara ini dibangun oleh seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucaszoon Cardael. Pada
waktu itu, Cardeal memang membelot ke pihak Banten, dan kemudian dianugerahi
gelar Pangeran Wiraguna. Kapan bangunan ini didirikan tidak diketahui dengan pasti.
Di dalam “Journal van de Reyse” (De Earste Schipvaart de Nederlanders naar Oost
Indie Onder Cornelis de Houtman (1595-1597)), terdapat sebuah peta Banten yang
memperlihatkan adanya menara tersebut, sedangkan di dalam sejarah Banten antara
lain disebutkan bahwa “Kanjeng Maulana Hasanuddin adarbe putra satunggal lanang
jeneng putra mangke nuli den wastane Maulana Yusuf ingkang punika jeneng Yusuf
sampunggung ikeng putra pan sampan adarbe rayi naliki iku waktu ning wangun
munare”.

Berdasarkan atas pemberian tersebut, C. Crucq berpendapat bahwa Menara Masjid


Agung Banten sudah ada sebelum tahun 1569/1570. Berdasarkan tinjauan seni
bangunan dan hiasannya, ia berkesimpulan bahwa menara tersebut pada pertengahan
kedua abad ke-16, yaitu antara tahun 1560-1570.

7
Selain sebagai objek wisata ziarah. Masjid Agung Banten juga menjadi objek wisata
pendidikan dan sejarah. Dengan mengunjungi masjid ini,wisatawan dapat menyaksikan
peninggalan bersejarah kerajaan Islam di Banten pada abad ke-16 M yang memadukan
gaya arsitektur Hindu Jawa, China, dan Belanda.

2.2. Perpaduan Arsitektur Budaya di Masjid Agung Banten

Masjid ini menjadi salah satu bangunan bersejarah perkembangan Islam di Provinsi
Banten. Di bangun pada masa Sultan Maulana Hasanuddin, masjid ini masuk dalam
kategori bangunan cagar budaya yang dilindungi. Inilah Masjid Agung Banten atau
biasa disebut dengan Masjid Banten oleh masyarakat sekitar. Uniknya atap di masjid
ini memiliki 5 tingkatan dengan bentuk yang menyerupai tumpeng. Konon terdapat dua
versi yang menceritakan siapa arsitektur pembangunan masjid ini. Versi pertama
menyebutkan, Masjid Agung Banten dibangun oleh arsitek keturunan Tiongkok yang
bernama Tjek ban Tjut. Sedangkan versi lainnya menyebutkan, masjid ini diarsiteki
oleh Raden Sepat yang berasal dari Demak.

Serambi utama masjid di hiasi dengan tiang-tiang penyangga yang secara


keseluruhan berjumlah 24 buah. Sedangkan serambi di sisi kiri masjid terdapat
kompleks makam sultan dan keluarga kerajaan. Makam Pahlawan Sultan Ageng
Tirtayasa juga terdapat di dalam kawasan makam tersebut. Bagian dalam masjid ini
berbentuk bujur sangkar dengan tiang-tiang yang disebut saka guru sebagai penyangga.
Tiang-tiang ini disangga dengan umpak yang terbuat dari batu andesit dan berbentuk
motif buah labu. Tidak ketinggalan mimbar yang terbuat dari kayu bertangga marmer
berada di paling depan. Mimbar ini dahulu berfungsi sebagai tempat berdirinya khotib
saat menyiarkan agama islam. Sedangkan di sisi depan dan samping dibatasi dengan
pintu yang berjumlah 5 buah. Jumlah ini mengikuti rukun islam sebagai sumber acuan.

Masjid Banten memiliki menara yang terletak di sisi timur masjid. Dibatasi dengan
kolam, menara ini memiliki ketinggian 24 meter dan berdiameter 10 meter. Dibangun
oleh orang Belanda bernama Hendrik Lucaszoon Cardeel pada tahun 1629 atas perintah
Sultan Haji, menara ini memiliki beberapa fungsi, antara lain, tempat bilal
mengumandangkan adzan. Selain itu, pada masa peperangan menara ini digunakan
sebagai tempat penyimpanan senjata dan menara pengawas. Karena dari sini terlihat
laut yang hanya berjarak 1,5 km dari masjid.

8
Sisi selatan masjid terdapat bangunan yang bernama Tiyamah. Bangunan ini
digunakan sebagai tempat musyarawah juga berdiskusi tentang keagamaan khususnya
agama islam. Masjid Agung Banten merupakan bangunan kebanggan masyarakat
Banten khususnya Kota Serang. Tiap harinya masjid ini selalu dikunjungi peziarah
yang ingin berdoa dan ziarah ke makam-makam Raja Banten dan Keluarga. Masjid ini
telah menjadi simbol wisata ziarah Banten khususnya di Kota Serang.

Masjid ini menjadi salah satu bangunan bersejarah perkembangan Islam di Provinsi
Banten. Di bangun pada masa Sultan Maulana Hasanuddin, masjid ini masuk dalam
kategori bangunan cagar budaya yang dilindungi. Inilah Masjid Agung Banten atau
biasa disebut dengan Masjid Banten oleh masyarakat sekitar.

Masjid yang terletak di Kecamatan Kasemen, daerah Banten Lama atau tepatnya 10
km arah utara dari Kota Serang ini dibangun antara tahun 1552-1570 saat Sultan
Maulana Hasanuddin memerintah. Bangunan masjid ini memadukan unsur Jawa Kuno
dan Tiongkok. Terlihat dari serambi yang lapang dan atap yang bertingkat. Uniknya
atap di masjid ini memiliki 5 tingkatan dengan bentuk yang menyerupai tumpeng.

Konon terdapat dua versi yang menceritakan siapa arsitektur pembangunan masjid
ini. Versi pertama menyebutkan, Masjid Agung Banten dibangun oleh arsitek
keturunan Tiongkok yang bernama Tjek ban Tjut. Sedangkan versi lainnya
menyebutkan, masjid ini diarsiteki oleh Raden Sepat yang berasal dari Demak.

Serambi utama masjid di hiasi dengan tiang-tiang penyangga yang secara


keseluruhan berjumlah 24 buah. Sedangkan serambi di sisi kiri masjid terdapat
kompleks makam sultan dan keluarga kerajaan. Makam Pahlawan Sultan Ageng
Tirtayasa juga terdapat di dalam kawasan makam tersebut.

Bagian dalam masjid ini berbentuk bujur sangkar dengan tiang-tiang yang disebut
saka guru sebagai penyangga. Tiang-tiang ini disangga dengan umpak yang terbuat dari
batu andesit dan berbentuk motif buah labu. Tidak ketinggalan mimbar yang terbuat
dari kayu bertangga marmer berada di paling depan.

Mimbar ini dahulu berfungsi sebagai tempat berdirinya khotib saat menyiarkan
agama islam. Sedangkan di sisi depan dan samping dibatasi dengan pintu yang
berjumlah 5 buah. Jumlah ini mengikuti rukun islam sebagai sumber acuan.

9
Masjid Banten memiliki menara yang terletak di sisi timur masjid. Dibatasi dengan
kolam, menara ini memiliki ketinggian 24 meter dan berdiameter 10 meter. Dibangun
oleh orang Belanda bernama Hendrik Lucaszoon Cardeel pada tahun 1629 atas perintah
Sultan Haji, menara ini memiliki beberapa fungsi, antara lain, tempat bilal
mengumandangkan adzan. Selain itu, pada masa peperangan menara ini digunakan
sebagai tempat penyimpanan senjata dan menara pengawas. Karena dari sini terlihat
laut yang hanya berjarak 1,5 km dari masjid.

Sisi selatan masjid terdapat bangunan yang bernama Tiyamah. Bangunan ini
digunakan sebagai tempat musyarawah juga berdiskusi tentang keagamaan khususnya
agama islam.

Masjid Agung Banten merupakan bangunan kebanggan masyarakat Banten


khususnya Kota Serang. Tiap harinya masjid ini selalu dikunjungi peziarah yang ingin
berdoa dan ziarah ke makam-makam Raja Banten dan Keluarga. Masjid ini telah
menjadi simbol wisata ziarah Banten khususnya di Kota Serang.

Masjid Agung Banten memiliki Perpaduan budaya Jawa, Cina, dan Belanda pada
arsitekturnya yaitu :

(1) Budaya Jawa pada Arsitektur Masjid Agung Banten


Pada Masjid Agung Banten terdapat sebuah pendopo di sebelah selatan masjid,
yang padabudaya jawa berfungsi untuk tempat berkumpul, musyawarah, dan
segala aktivitas yang lebihprofan (tidak bersangkutan dengan agama), meskipun
memiliki fungsi yang lebih profane,pendopo ini dapat memberi manfaat bagi
masyarakat sekitarnya, sesuai nilai-nilai Islam. Pada pendopo ini terdapat
umpak batu andesit berbentuk labu ukuran besar yang terdapat pada tiapdasar
tiang masjid dan juga pendopo digambarkan sebagai simbol pertanian untuk
mengingatkan serta menunjukkan kemakmuran kesultanan Banten lama pada
masanya. Umpak tersebut semakin memperkuat nuansa budaya jawa.Pengaruh
budaya jawa ini tentu dibawa oleh arsitek bernama Raden Sepat.
(2) Budaya Cina pada arsitektur Masjid Agung Banten
Pengaruh budaya Cina yang paling terasa pada Masjid Agung Banten ialah
bentuk atap daribangunan utama masjid. Atap dari masjid ini memiliki lima
susun atap. Ini adalah karyaarsitektur China yang bernama Tjek Ban Tjut.
Makna dari lima susun atap tersebut adalah rukun Islam, namun yang menarik

10
pada atap ini adalah dua tumpukan atap yang paling atas seakan terpisah dengan
tiga tumpuk lainnya,hal ini mengesankan dua tumpukan atap
tersebutdigambarkan sebagai mahkota dari Masjid Agung Banten.

(3) Budaya Belanda pada arsitektur Masjid Agung Banten


Pada sisi timur masjid terdapat sebuah menara yang mirip mercusuar menjadi
ciri khas Masjid Agung Banten. Terletak di sebelah timur masjid, menara ini
terbuat dari batu bata, dengan diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter.
Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki
dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas
menara ini, dapat melihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas
pantai, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km. Dahulu,
selain digunakan sebagai tempang mengumandangkan azan, menara ini juga
digunakan sebagai tempat menyimpan senjata. Penggunaan menara pada masjid
pada kala itu sebenarnya belum ada di pulau Jawa, ini merupakan pengaruh dari
budaya Belanda yang dibawa oleh Arsitek Hendrik Lucaz Cardeel.
2.3. Keunikan Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten memiliki menara yang sangat unik. Bentuknya mirip
mercusuar. Tingginya mencapai 24 meter. Menara ini terletak di sebelah timur masjid.
Terbuat dari batu bata dengan diameter bagian bawahnya kurang lebih sepuluh meter.
Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki dan yang
melewati lorong, yang hanya dapat ditempuh oleh satu orang. Dari atas menara ini akan
terlihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai. Sebab, jarak antara
menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km. Dahulu, selain digunakan sebagai tempat
mengumandangkan azan, menara ini juga digunakan sebagai tempat menyimpan
senjata.

Masjid banten ini juga memiliki pintu yang unik. Pintu masuk masjid di sisi depan
berjumlah enam buah yang melambangkan rukun Iman. Enam pintu itu dibuat pendek.
Tujuannya, agar setiap jamaah senantiasa merendahkan diri di hadapan Allah SWT,
serta menanggalkan segala bentuk keangkuhan. Di dalam masjid juga terdapat mimbar
yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Beberapa kalangan mengatakan, tempat
khutbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada 23 Syawal 1323
Hijriyah (1903 Masehi), sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada lengkung

11
bagian atas muka mimbar. Selain itu, Masjid Agung Banten juga memiliki paviliun
tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti. Paviliun dua lantai ini dinamakan
Tiyamah yang berbentuk persegi panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno.
Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda yang bernama Hendick Lucasz
Cardeel. Biasanya, acara-acara seperti rapat dan kajian Islami dilakukan di sini. Banyak
lagi hal-hal unik yang terdapat di Masjid Agung Banten ini. Misalnya, umpak dari batu
andesit berbentuk labu yang berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang
masjid. Adapun yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak
adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat.

Menurut Hatta, labu tersebut merupakan simbol dari pertanian. Sebab, Banten
Lama terkenal makmur, gemah rimpah loh jinawi. Bahkan, pada masa kepemimpinan
Maulana Yusuf, Banten terkenal dengan persawahannya yang luas hingga mencapai
batas sungai Citarum. Keberadaan Danau Tasikardi di sekitar masjid (bagian belakang
masjid lebih kurang 100 meter dari masjid) merupakan bukti lain yang menguatkan
pendapat ini. Di sebelah selatan masjid terdapat makam para Sultan Banten beserta
keluarganya. Di antaranya, makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan
Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara itu, di sisi utara
serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin.
Masjid Agung Banten merupakan situs bersejarah penyebaran Islam di Jawa. Masjid
Agung Banten adalah salah satu peninggalan yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan
multibudaya, termasuk Islam. Masjid Agung Banten ini juga menjadi tempat favorit
ziarah umat Islam di Jawa. Namun, ada beberapa catatan yang mesti diperhatikan oleh
warga sekitar dan Pemda setempat. Misalnya, perlunya penataan kios pedagang agar
lebih rapi sehingga tidak merusak pemandangan dan keindahan masjid. Selain itu,
perlunya menjaga kebersihan pekarangan masjid. Tentunya, dengan lingkungan yang
asri, kios pedagang yang tertata rapi di sekitar Masjid Agung Banteng bisa menjadi
salah satu objek pariwisata unggulan Provinsi Banten.

12
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Masjid Agung Banten didirikan pada masa Sultan Maulana Hasanuddin, sultan pertama
Kesultanan Demak, yang merupakan putra pertama Sunan Gunung Jati. Masjid ini
merupakan satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia.Seperti masjid-masjid lainnya,
bangunan masjid ini berdenah segi empat, atapnya merupakan atap bersusun lima. Di kiri
dan kanan bangunan ini terdapat masing-masing serambi, namun serambi ini dibangun
kemudian. Masjid Agung Banten menjadi objek wisata pendidikan dan sejarah. Dengan
mengunjungi masjid ini,wisatawan dapat menyaksikan peninggalan bersejarah kerajaan
Islam di Banten pada abad ke-16 M yang memadukan gaya arsitektur Hindu Jawa, China,
dan Belanda.Masjid Agung Banten memiliki Perpaduan budaya Jawa, Cina, dan Belanda
pada arsitekturnya. Selain itu, Masjid Agung Banten juga memiliki keunikan tersendiri.

3.2. Saran

Berkaitan dengan tema dan topik penelitian, maka penulis mengemukakan beberapa
saran, yaitu:

1. Masyarakat Banten khususnya maupun masyarakat lain pada umumnya,


hendaknya mengetahui sejarah berdirinya Masjid Agung Banten .
2. Disarankan agar pengelolaan dan perawatan Masjid Agung Banten harus
terprogram lebih baik lagi. Hal ini bertujuan untuk melindungi dan menjaga
situs bersejarah di Banten.
3. Disarankan kepada seluruh masyarakat, untuk turut berperan serta dalam upaya
menjaga kelestarian Masjid Agung Banten.

13
DAFTAR PUSTAKA

Aminudin, Sandjin. 1997. Banten kota pelabuhan jalan sutra. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

https://eprints.uny.ac.id/19133/3/3.%20BAB%20I

https://situsbudaya.id/sejarah-masjid-agung-banten/

https://seminar.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2017/06/HERITAGE2017-A-365-368-
Masjid-Agung-Banten-Perpaduan-Tiga-Budaya-dalam-Satu-Arsitektur.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai