Anda di halaman 1dari 16

TEORI KEBENARAN DAN KEKHILAFAN/KESALAHAN

Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Ilmu
fakultas Tarbiyah program studi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah
IAIN

Oleh:

Kelompok 11

1. LISA ARIANTI
NIM.862322019061

2. RAHIMA USMAN
NIM.862322019062

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT., atas petunjuk dan
hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teori Kebenaran
dan Kehilafan/Kesalahan” guna memenuhi tugas pada mata kuliah “Filsafat
Ilmu”.

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini belumlah sempurna, untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini, agar kami bisa
mengetahui secara mendalam tentang Filsafat Ilmu.

Kami mengharapkan agar makalah ini, dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Kepala Allah dan Rasulnya kami mohon ampun jika dalam penulisan dan dalam
penyampaian banyak terdapat kesalahan. Kepada ibu Dosen pembimbing “A. Asriani
Abidin, S.Pd.I, M.Pd.I” kami ucapkan terima kasih atas bimbingannya dalam mata
kuliah ini.

Watampone, 01 Maret 2020

Kelompok 11

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………..………….. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………..………. ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………..…………. 1

A. Latar Belakang………………………………………………….…………... 1

B. Rumusan Masalah………………………………………………..………….. 2

C. Tujuan Masalah…………………………………………………..………….. 2

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………..…………….. 3

A. Teori Kebenaran………………………………………………..…………… 3

B. Kekhilafan/ Kesalahan……………………………………….……………... 8

BAB III PENUTUP……………………………………………………………… 10

A. Kesimpulan……………………………..…………………………………… 10

B. Saran…………………………………..……….……………………………. 10

DAFTAR RUJUKAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh
untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional,
kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan
harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan
yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu
pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau
simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut
menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan
struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi
adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap
kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur,
khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan
ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat
pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar
terstruktur dengan jelas.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya
dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa
dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern,
realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak
terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu
pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi

1
2

diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan.


Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan
adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme.
Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan,
mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek
ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang
dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara
konsekuen dan penuh disiplin. misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun
rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka
muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal
dan masyarakat pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna:
kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral
menjadi bahasa, etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan
dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi,
logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas
objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan
dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang
ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori kebenaran?
2. Bagaimana kekhilafan/kesalahan?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana teori kebenaran!
2. Untuk mengetahui bagaimana kekhilafan/kesalahan!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Kebenaran
Ketika berbicara tentang teori-teori kebenaran, secara klasikal terdapat tiga
teori kebenaran yang sudah sangat popular dalam kajian filsafat ilmu yakni: (1)
teori kebenaran korespondensi; (2) teori kebenaran koherensi; (3) tepri kebenaran
koherensi. Namun, disamping ketiga teori kebenaran yang sangat masyhur
tersebut, dalam konteks kontemporer dikenal juga dua teori kebenaran lain, yaitu:
(4) teori kebenaran performatif dan (5) teori kebenaran konsensus.1
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespodensi paling awal dan paling tua yang
berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala
sesuatu yang kita ketahui dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh
subjek.
Teori kebenaran korespondensi menyatakan bahwa satu teori/proposisi
benar bila proposisi atau teori itu sesuai dengan fakta (kenyataan) atau suatu
proposisi bernilai benar apabila saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan.
Kebenaran adalah kesetiaan pada realitas objektif. Keberadaan demikian dapat
dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan. Misalnya pengetahuan ‘air
akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat’. Pengetahuan tersebut
dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air diukur sampai seratus
derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan
tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka pengetahuan
tersebut dinyatakan benar.2

1
Zaprulkhan. Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer. ( Jakarta: Rajawali Pers. 2015), h.
106.
2
Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangan di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2017), h. 105.

3
4

2. Teori Kebenaran Koherensi


Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasional seperti Leibniz
Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff dalam bukunya Elements of
Philosophy teori koherensi dijelaskan “….suatu proposisi cenderung benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi lain
yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling
berhubungan dengan pengalaman kita”.
Dengan memperhatikan pendapat Kattsof di atas, dapat diungkapkan
bahwa suatu proposisi itu benar apabila berhubungan dengan ide-ide dari
proposisi yang telah ada atau benar, atau juga apabila proposisi itu berhubungan
proposisi terdahulu yang benar. Pembuktian teori kebenaran koherensi dapat
melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi sejarah atau memakai logika
dengan pernyataan yang bersifat logis.
Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya
kerajaan Majapahit pada tahun 1478. Kita tidak dapat membuktikan secara
langsung dari isi pengetahuan itu melainkan kita hanya dapat menghubungkan
dengan proposisi yang terdahulu, baik dalam buku atau peninggalan sejarah.3
3. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori pragmatis pandangannya adalah suatu proposisi bernilai benar
apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau bermanfaat.
Kattsoff menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini bahwa
penganut pragmatism meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu jenis
konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan
penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah
benar. Misalnya pengetahuan naik bis, kemudian akan turun dan bilang kepada
kondektur ‘kiri’, kemudian bis berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi
kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan

3
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h. 58.
5

dilihat karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan
selamat karena berhenti di posisi kiri.4
4. Teori kebenaran Performatif
Teori kebenaran performatif adalah teori yang menegaskan bahwa suatu
pernyataan atau ujaran itu benar apabila apa yang dinyatakan itu sungguh
terjadi ketika pernyataan atau ujaran itu dilakukan (performed). Teori
kebenaran performatif sebenarnya berasal dari salah satu filsafat analitik bahasa
yang digulirkan oleh seorang filsuf ternama Inggris, John Langshaw Austin.
Namun, kontribusi termasyhur Austin dalam filsafat bahasa adalah perbedaan
yang dilakukannya antara performative utterance (ucapan-ucapan performatif)
dengan constative utterances (ucapan-ucapan konstatif).
a. Ucapan konstatif (constative utterances)
Ucapan konstatif adalah salah satu jenis ucapan yang melukiskan
suatu keadaan faktual, yang menyatakan sesuatu atau terdapat sesuatu yang
konstatir dalam ucapan tersebut. Dalam pengertian ini, ucapan konstatif
memang memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah, yang
tampaknya memilki kemiripan dengan ungkapan proposisi ke bagaimana
dikemukakan oleh kaum atomisme logis. Namun demikian, perbedaan
karena konsep Austin walaupun ucapan konstatif itu dapat dibuktikan benar
atau salahnya oleh si pendengar, namun Austin tidak menuliskan fakta
melalui ucapan konstatif itu berdasarkan formulasi logika. Benar atau salah
dari ucapan konstatif itu didasarkan atas konsekuensi ucapan dengan fakta
yang terjadi yang dilukiskan melalui ucapan tersebut. Untuk memahami
ucapan tersebut dapat kita analisis contoh berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 disahkan tanggal 18 Agustus 1945.
2) Di kebun binatang Gembira Loka ada seekor gajah yang sedang beranak.
3) Perekonomian Indonesia mengalami guncangan karena jatuhnya nilai
rupiah terhadap dolar AS.
4
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Depok: Rajawali Pers, 2017), h. 73-74.
6

4) Banyak tenaga kerja wanita Indonesia terlantar dan bermasalah di Arab


Saudi.
Contoh-contoh kalimat tersebut termasuk ucapan yang bersifat
konstatif, yaitu ucapan yang melukiskan suatu fakta atau kejadian pada
waktu yang telah lampau. Hal ini dapat dibuktikan benar atau salahnya
berdasarkan fakta atau kejadian itu sendiri, artinya apakah fakta yang
dilukiskan tersebut benar-benar terjadi pada waktu yang telah lalu. Untuk
membuktikan kebenarannya dapat dilakukan misalnya dengan menyelidiki
atau membuktikannya. Oleh karena itu, menurut Austin bahwa ucapan
konstatif itu isinya mengandung acuan kejadian atau fakta historis yaitu
kejadian masa lampau yang merupakan peristiwa nyata atau benar-benar
terjadi.
b. Ucaapan performatif (performative utterance)
Dalam kajian Austin, selain ucapan konstatif terdapat juga jenis
ucapan yang disebut ucapan performatif. Ucapan performatif tidak dapat
ditentukan benar dan salah berdasarkan peristiwa atau fakta yang telah
lampau, melainkan suatu ucapan yang memilki konsekuensi perbuatan bagi
penuturnya. Dengan suatu ucapan performatif seseorang bukannya
memberitahukan suatu peristiwa atau kejadian, melainkan dengan
mengucapkan kalimat itu seseorang sungguh-sungguh berbuat sesuatu
misalnya mengadakan suatu perjanjian. Oleh karena itu, Austin
menanamkan ucapan semacam itu sebagai ucapan ‘performatif’
(performative utterance), yang berdasarkan pada kata di dalam bahasa
Inggris ‘to perform’ dan ‘performance’. Beberapa contoh ucapan performatif
dapat diamati pada contoh kalimat berikut:
1) Saya menunjuk saudara sebagai katua panitia ujian Negara kelompok
ilmu ekonomi.
2) Aku berjanji akan memberi hadiah kepada saudara, jika saya naik
pangkat.
7

3) Saya mengangkat saudara menjadi Dekan Fakultas Filsafat Universitas


Gajah Mada.
Ucapan-ucapan semacam itu tidak dibutuhkan benar atau salahnya
baik berdasarkan logika maupun fakta yang terjadi, melainkan berkaitan
dengan layak atau tidak layak diucapkan oleh seseorang. Ucapan-ucapan
tersebut juga bukan berkaitan dengan bermakna atau tidaknya suatu
ungkapan yang diucapkan oleh seseorang, melainkan suatu ucapan
performatif akan tidak layak diucapkan manakala seseorang tersebut tidak
memilki kewewenangan dalam mengucapkannya. Misalnya yang
diungkapkan “saya mengangkat saudara menjadi Dekan Fakultas Filsafat
Universitas Gajah Mada”, adalah tidak layak bilamana diucapkan oleh
seorang mahasiswa atau seorang dosen biasa, karena mereka itu secara
formal tidak memiliki kewenangan untuk mengucapkan ungkapan tersebut.

Dengan demikian kita tidak sekedar menggunakan bahasa untuk


mengatakan sesuatu (to make statements), tetapi juga bisa untuk melakukan
sesuatu (to perform actions). Karena itu pula, kebenaran performatif
berhubungan dengan kebenaran pernyataan yang diungkapkan oleh orang-orang
yang memilki kompetensi dan legitimasi dalam bidang yang diungkapkan.5

5. Teori Kebenaran Konsensus


Teori kebenaran konsensus pertama-tama dikemukakan oleh Thomas
Kuhn (dalam buku The Structure of Scientific Revolution) dan kemudian secara
khusus, dalam konteks mengembangkan Etika Diskursus, juga dikembangkan
oleh J. Habermas. Dengan teori kebenaran konsensus sebagaimana
dikemukakan oleh Thomas Kuhn adalah teori yang mengajarkan bahwa suatu
teori ilmiah dianggap benar kalau dapat disetujui oleh komunitas ilmuwan
bidang yang bersangkutan sebagai benar. Konsensus para ahli bidang yang

5
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), h. 40-41.
8

bersangkutan de facto dalam praktik menjadi penentu benar tidaknya suatu


teori. Seperti dia sendiri katakana “there is no standard higher than the assent
of the relevant community”. Memang bagi Kuhn, tujuan pokok sains, yang
kegiatannya selalu tergantung pada suatu paradigm yang dianut, bukan untuk
mencari kebenaran, tetapi untuk memecahkan teka-teki yang disajikan oleh
alam. Salah satu tolok ukur utama untuk menilai apakah pengetahuan sains
mengalami kemajuan atau tidak adalah dari kenyataan apakah dibandingkan
dengan waktu sebelumnya semakin banyak teka-teki yang disajikan oleh alam
itu terpecahkan atau tidak.
Sedangkan dalam teori kebenaran konsensus yang dikemukakan oleh
Jurgen Habermas, syarat untuk kebenaran pernyataan-pernyataan adalah
kemungkinan adanya persetujuan dari para partisipan rasional dalam suatu
diskursus. Kebenaran berarti suatu janji akan tercapainya suatu konsensus
rasional. Suatu pernyataan dapat disebut benar kalau kaim validitas yang
dimunculkan oleh tindak-tutur yang kita pakai untuk menegaskan pernyataan
tersebut adalah absah. Untuk itu, maka syarat-syarat berikut diandaikan
terpenuhi.
a. Ujaran itu mesti dapat dipahami.
b. Isi proposisional dari uraian tersebut benar.
c. Sewajarnya atau dapat dibenarkan bahwa si pembicara membuat ujaran
tersebut.
d. Si pembicara benar dan jujur.6

ٰۤ ‫هّٰللا‬ ٰۤ
ِ ‫ول ِٕٕىِ َك ُه ْم اُولُوا ااْل َ ْل َبا‬
‫ب‬ ُ ‫ول ِٕٕىِ َك الَّ ِذ ْينَ ه َٰدى ُه ُم ُ َوا‬ َ ‫الَّ ِذ ْينَ َي ْس َت ِم ُع ْونَ ا ْل َق ْول َ َف َي َّت ِب ُع ْونَ اَ ْح‬
ُ ‫س َن ٗه ۗ ا‬

6
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h.
127.
9

(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.7

Surah Al-Zumar ayat 18 dapat dipahami bahwa disamping ada kebenaran


mutlak yang terdapat pada agama dan terbantahkan dalam wujud al-Quran juga
diakui adanya kebenaran yang sesuai dengan kebenaran mutlak, yaitu kebenaran
yang tidak bertentangan dengan Al-Quran. Kebenaran tersebut merupakan hasil
usaha manusia dengan akalnya. Akal adalah pemberian Allah Yang Maha Benar,
dan Allah menciptakannya tidaklah dengan kesiasiaan. Karena itu akal bukanlah
untuk disia-siakan, tapi harus dimanfaatkan dengan senantiasa mengingat sifat
kerelatifannya. Artinya dengan berpegang kepada kebenaran realtif, seseorang
harus siap untuk meninggalkannya manakalah ditemukan hasil yang lebih benar
dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Manakala kebenaran relative
bertentangan dengan kebenaran mutlak, ia harus berpindah kepada kebenaran
mutlak tersebut.

Dengan keterangan di atas jelaslah bahwa disamping ada kebenaran mutlak


dari Allah, diakui pula ada kebenaran relative dari hasil budaya manusia, baik
kebenaran itu berupa kebenaran spekulatif (filsafat) dan kebenaran positif (ilmu
pengetahuan) maupun kebenaran sehari-hari.

Manusia tidak bisa hidup dengan hanya berpegang kepada kebenaran ilmu
pengetahuan dan filsafat, tanpa adanya kebenaran agama. Sebaliknya, manusia
tidak bisa hidup wajar hanya kebenaran mutlak agama saja, tanpa kebenaran-
kebenaran relative. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa manusia hanya dapat
hidup dengan benar dan wajar manakala ia mau mengikuti kebenaran mutlak
sekaligus mengakui eksistensi dan mengakui kebenaran lain yang berkesesuaian
dengan kebenaran mutlak agama tersebut.

7
Al-Quran dan Terjemahannya. 2014. Jakarta: Departemen Agama RI.
10

Wilayah agama, wilayah ilmu pengetahuan dan wilayah filsafat memang


berbeda, agama mengenai kepercayaan dan ilmu mengenai soal ilmu pengetahuan.
Pelita agama ada di hati dan pelita ilmu ada di otak. Meski arenanya berbeda,
tetapi ketiganya saling berkaitan dan berhubungan timbale balik. Agama
menetapkan tujuan, tetapi ia tidak mencapainya tanpa bantuan ilmu pengetahuan
dan filsafat. Ilmu yang kuat dapat memperkuat keyakinan keagamaan.

Dengan demikian agama menetapkan konsep-konsep ilmu pengetahuan


dan filsafat demi untuk perkembangan dan kemajuan umat. Karena tanpa
pengembangan maka akan statis suatu agama, sedang Allah menyuruh kita untuk
berpikir dan membaca.

B. Kekhilafan/Kesalahan
Dalam pengetahuan kekhilafan terjadi karena kesalahan pengambilan
kesimpulan yang tidak runtut terhadap pengalaman-pengalaman. Jadi dalam hal ini
khilaf muncul karena adanya anggapan atau pernyataan yang sudah dianggap
benar secara umum. Erat hubungannya dengan masalah keikhlafan ini pndapat
Francis Bacon dengan terinya yang terkenal yang dinamakan idola yang tercermin
dalam bentuk ilusi dan prejudice yang menyelewengkan pemikiran ilmiah. Idola
tersebut antara lain sebagai berikut.8
1. Idola teatri (sandiwara), yaitu sesuatu yang sering dilihat oleh seseorang atau
selalu tampak dalam kehidupan sehari-hari, lama-kelamaan tanpa didasari dan
diselidiki dianggap sebagai kebenaran.
2. Idola fori (pasar), yaitu keadaan dalam pikiran seseorang yang menyebabkan
pikirannya tidak dapat berfungsi dengan baik, karena orang tersebut hanya
melihat sesuatu dari segi bentuk atau luarnya saja.
3. Idola specus (gua), yaitu suatu idola yang diakibatkan oleh individualitas
manusia. Seorang seolah-olah berada dalam tempat yang gelap seperti di dalam

8
Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangan di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2017), h. 107.
11

gua. Hal ini terjadi karena tidak didukung oleh lingkungan, pendidikan, dan
karakter yang baik, sehingga orang ini selalu terkungkung dengan keterbatasan
dirinya yang menyebebkan dirinya tidak memahami segala sesuatu yang baik.
4. Idola tribus, yaitu idola yang diakibatkan oleh kodrat manusiawi sehingga
orang yang terkena idola ini tidak dapat memahami apa yang dihadapinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam
kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan
manusia. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi
sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional
dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak
ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya
selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang
kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
Dari beberapa Teori Tentang Kebenaran dapat disimpulkan Teori
Korespondensi: "Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan
halnya/faktanya"
Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu
dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan
yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat
kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi
standar kebenaran/keadaan benar.
B. Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat
bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang
buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata
sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan
kritiknya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah
selanjutnya.

12
DAFTAR RUJUKAN

Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. 2017.
Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali
Pers. 2016.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Depok: Rajawali Pers. 2017.
Zaprulkhan. Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
2015.
Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2005.
Al-Quran dan Terjemahannya. 2014. Jakarta: Departemen Agama RI.

Anda mungkin juga menyukai