Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan limpahan karunia yang
tidak terhingga sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan dengan baik,
shalawat dan salam kepada janjungan alam Nabi besar Muhammad Saw. pembawa
risalah Allah swt mengandung pedoman hidup yang terang bagi umat manusia
didunia dan diakhirat.

Makalah ini membahas tentang “Jarimah Ta’zir”. Saya sadar bahwa


penyusun makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka dari ini saya sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa/i. Semoga juga menjadi amal
yang baik dan diterima disisi Allah SWT. Amiin.

Penulis

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1

BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................. 2

A. Pengertian Ta’zir .................................................................................. 2


B. Bentuk – Bentuk Hukuman Ta’zir ....................................................... 3
C. Hukuman Bagi Kesalahan Ta’zir ......................................................... 6
D. Pendapat Imam Mazhab ..................................................................... 7

BAB III : PENUTUP...................................................................................... 9

A. Kesimpulan .......................................................................................... 9
B. Penutup................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Pidana atau Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang
berlaku semenjak diutusnya Rasulullah saw. Oleh karenanya pada zaman Rasulullah
dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu
hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah
atau ulil amri.
Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan
paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana
ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba
menjelaskan tentanghadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir, berikut
dengan pengertian, dasar hukum serta jarimah-jarimah yang meliputinya.
Ada tiga bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya hukuman,
yaitu Hudud, Qishas-Diyat dan Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah
hukuman yang telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang
apabila dimaafkan maka qishas dapat diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah
jarimah yang belum ada ketentuan nasnya dalam Al-Qur’an. Belum ditentukan
seberapa kadar hukuman yang akan diterima oleh si tersangka/si pelaku kejahatan.
Jarimah ta’zir lebih di tekankan pada hukuman yang diberikan oleh
pemerintah/kekuasaan mutlak berada di tangan pemerintah tapi masih dalam koridor
agama yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ta’zir ?
2. Apa saja bentuk-bentuk hukuman dalam ta’zir ?
3. Bagaimana pendapat Imam Mazhab tentang ta’zir ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’zir
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti menolak
dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati,
membantunya, menguatkan, dan menolong.1
Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian
pertama yaitu mencegah dan menolak, dan pengertian kedua yaitu mendidik. Karena
ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan
mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar
ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.
Pengertian ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah2 dan
Wahbah Zuhaili.3
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
‫والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود‬
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.4
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu
istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan
oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk
hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana)

1
Ibrahim Unais, et. al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, tanpa
tahun, hlm. 598.

2
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, Dar Al-Kitab Al-A’rabi,
Beirut, tanpa tahun, hlm. 81.

3
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989,
hlm. 197.

4
Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1996,
hlm. 236.

2
Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya
diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir
tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah
dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian,
syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan
hukuman kepada pelaku jarimah.

B. Bentuk – Bentuk Hukuman Ta’zir


Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan
penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota
masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir
harus sesuai dengan prinsip syar'i. Bentuk hukuman hukuman ta'zir banyak
jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang
terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman
tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya.
Bentuk hukuman hukuman ta'zir antara lain:
1. Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir adalah untuk
memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu,
dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan
nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha' memberikan pengecualian dari aturan umum
tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum
menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali
dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang
membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta'zir
tidak ada hukuman mati.
2. Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid
dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama' Maliki, batas
tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas

3
kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah
dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah
39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama
sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama
dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta'zir
boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa
jarimah ta'zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan
pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang
diancam atas sesuatu perbuatan jarimahtidak boleh menyamai hukuman yang
dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman
jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman
ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda
sebagai berikut: "Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam
salah satu hukuman hudud".
3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini
didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas
terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama' berbeda
pendapat. Ulama' Syafi'iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena
mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara
ulama' ulama' lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan
ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai
terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini
adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah
jarimah yang berbahaya. , Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa
hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang

4
yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang
berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan
(hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan
tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh
hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak
dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam
menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha'
tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan
membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan
dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku
mengulangi tindakannya lagi. Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh
Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan
menghinakan ibunya. Maka Rasulullah saw berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau
menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih
dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah. "Hukuman peringatan juga diterapkan dalam
syari'at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa
hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana hukuman terhadap
istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan ialah merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang
disyari'atkan oleh agama Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan
hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk,
yaitu Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka
dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman
Allah:
"Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit
oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka

5
mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan
menerima taubat mereka agar mereka bertaubat."
7. Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman. Antara
lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya
didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang
sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rasulullah saw, "Dan barang siapa yang
membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta
hukuman." Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang
menyembunyikan barang hilang.

C. Hukuman Bagi Kesalahan Ta’zir


1. Ta`zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang
belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada
keputusan Hakim. Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan
dengan mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannya pun bisa berbeda,
tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa
dikenakan pada anak kecil.
2. Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan
penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota
masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah
ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i.
3. Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara
garis besar dapat dibedakan menjadibeberapa macam, diantaranya yaitu
hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-
ulang. Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman untuk pengasingan,
menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman berupa denda,
peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan,
pemecatan, dan publikasi.

6
4. Lihat QS. Al-Maidah: 12, al-A’raf: 157.
Disamping itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat
dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash,
tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti
pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
b. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi
hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran
dan timbangan.
c. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh
syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti
pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap
lingkungan hidupdan lalu lintas.5

D. Pendapat Imam Mazhab


1. Tersebut di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu
menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur
rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau
radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar
suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang
disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah,
Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.6
2. Adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.

E. Pendapat Pemakalah
Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan
maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya.

5
Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Hlm.
255

Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi,
6

Malang : Cahaya Tauhid Press,Hal. 76

7
Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam syariat.
Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang diperbuat,
sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang berat.
Bentuk hukuman ta’zir tidak boleh dengan cara memotong janggut seseorang. Sebab,
hukuman ini bisa masuk kedalam kategori pelecehan dan penghinaan. Tidak boleh
juga menjatuhkan ta’zir dengan cara yang dilarang agama seperti menyiram pelaku
dengan khamr dan minuman keras. Dikarenakan hukuman ta’zir harus dilakukan
dengan cara yang tidak bertentangan dengan syariat demi menciptakan
kemaslahatan.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang
menarik perhatian kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang
pengertian atau definisi hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan,
yaitu :
1. Kita dapat menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan
kebijakan hukuman paling ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini
pun memiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman
sangat bergantung pada hakim.
2. Rasulullah melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa
pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah
ditetapkan hukumannya oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah
ta’zir di tujukan untuk mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.

B. Saran
Demikian isi pembahasan makalah kami ini, tentunya masih banyak terdapat
kesalahan dalam penyampaian materi. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang
membangun jiwa penulis sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua, khususnya bagi kami sebagai pemakalah sendiri. Aminn...

9
DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, Dar Al-Kitab Al-A’rabi,
Beirut
Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar Al-Fikr,
Beirut, 1996
Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2005
Ibrahim Unais, et. al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi,
Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin
Subaidi, Malang : Cahaya Tauhid Press
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus,
1989

10

Anda mungkin juga menyukai