Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang sudah dikenal baik
oleh masyarakat awam; penyakit tersebut dapat menyerang setiap umur.
Kesehatan umum yang buruk, penyakit yang menyelingi, penyakit obstruksi
paru-paru akut atau kronik dan cedera inhalasi yang mengenai sel epitel
trakeobronkial (disebabkan oleh rokok atau asap yang merugikan), semuanya
merupakan faktor resiko yang merupakan faktor predisposisi pneumonia.

Menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 2002, penyakit saluran


napas merupakan penyebab kematian nomor 2 di Indonesia. Data dari SEAMIC
Health Statistic tahun 2001 menunjukkan bahwa influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7
di Malaysia, nomor 3 di Singapura dan Vietnam. Laporan di WHO tahun 1999
menyebutkan bahwa penyebab kematian akibat infeksi saluran napas akut
termasuk influenza dan pneumonia. Di Amerika Serikat, terdapat dua juta
sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata
45.000 orang. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian
(Misnadiarly, 2008).

C. TUJUAN
Makalah ini bertujuan Untuk mengetahui tentang penyakit dan
Penanganan aspirasi pneumonia.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring
maupun isi lambung pada saat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat
menimbulkan kerusakan parenkim paru. Pada manusia sehat, aspirasi tidak
jarang terjadi dan biasanya membaik tanpa komplikasi karena material yang
teraspirasi dibersihkan oleh aktivitas mukosilier dan makrofag alveoli.
Kerusakan paru akibat aspirasi tergantung pada volume dan kandungan
inokulum serta mekanisme pertahanan inang.( Dahlan Z. 2015)
Pneumonia aspirasi adalah kerusakan paru yang disebabkan oleh
masuknya cairan, partikel eksogen, atau sekresi endogen ke dalam saluran
napas bawah. Secara konvensional aspirasi pneumonia didefinisikan
sebagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang kurang virulen, terutama
bakteri anaerob, yang biasanya merupakan flora normal pada inang yang rentan
mengalami aspirasi. (Bartlett JG. 2015)

B. Epidemiologi
Kebanyakan pneumonia terjadi setelah aspirasi mikroorganisme dari
rongga mulut atau nasofaring. Di Amerika Serikat pneumonia aspirasi yang
terjadi pada komunitas sebanyak 10%, pneumonia pada pusat perawatan
kesehatan 30%, dan pneumonia aspirasi nosokomial sebanyak 800 pasien
per 100.000 pasien rawat inap per tahun. Pneumonia aspirasi pada
pasien dari fasilitas kesehatan jangka panjang ditemukan 3 kali lipat lebih
banyak daripada pneumonia aspirasi dari komunitas. Mortalitas
pneumonia aspirasi komunitas berbanding pneumonia aspirasi di pusat
fasilitas kesehatan adalah 19,4% berbanding 28,4%.( Dahlan Z. 2015)
Penelitian lain melaporkan bahwa 5 – 15 % dari 4,5 juta kasus
pneumonia komunitas (community acquired pneumonia) disebabkan oleh
pneumonia aspirasi. Sebuah penelitian retrospektif melaporkan bahwa angka
kematian-30 hari pneumonia aspirasi 21 % dan sedikit lebih tinggi pada

2
pneumonia aspirasi yang didapat di rumah sakit atau nosokomial (29,7 %).
Pneumonia aspirasi nosokomial merupakan infeksi nosokomial kedua
terbanyak setelah infeksi saluran kemih, dan merupakan penyebab kematian
utama pada infeksi nosokomial. Sekitar 10 % pasien yang drawat inap
akibat overdosis obat akan menderita pneumonitis aspirasi. Insidensi pasti
aspirasi pneumonia sulit diprediksi karena sebagian besar aspirasi tidak
bergejala dan tidak diketahui terjadinya. Sebuah penelitian prospektif
yang dilakukan pada pasien penyakit kritis, dengan menggunakan kadar
pepsin dalam cairan broncoalveolar Lavage (BAL) sebagai marker penentu
aspirasi diperkirakan aspirasi terjadi pada setidaknya + 88,9 % pasien.
( Ragahavendran, Nemzek J.1011)
Pneumonia aspirasi lebih sering dijumpai pada orang dewasa daripada
anak-anak, dimana laki-laki lebih berisiko daripada perempuan. Faktor risiko
yang paling berpengaruh adalah usia lanjut, dimana kelompok usia ini paling
rentan menderita pneumonia aspirasi.

C. Pencegahan
Beberapa perlakuan (misalnya posisikan, perubahan diet, obat
-obatan menjaga kebersihan mulut, dan pemakaian selang makan) telah
diajukan untuk mencegah aspirasi pada orang dewasa, khususnya pada pasien
lanjut usia dan stroke: (American Association of Critical-Care
Nurses.2016)
1. Posisikan pasien yang menderita penurunan kesadaran dalam posisi

semifowler dengan sudut antara kepala dengan temat tidur 30 – 45 o


(level evidence B). Sebuah penelitian kecil pada pasien yang dipasang
ventilasi mekanis, aspirasi lebih jarang terjadi pada pasien yang
diposisikan semifowler bila dibandingkan dengan posisi supinasi.
Walaupun demikian, penelitian systematic review melaporkan bahwa
tidak cukup data untuk menyimpulkan hal tersebut.
2. Minimalkan penggunaan sedasi (level evidence C).
3. Sebuah penelitian terandomisasi pada 711 orang pasien Parkinson

3
membandingkan insidensi aspirasi pada pemberian makanan oral
dengan konsistensi encer (honey-thickened liquids) dengan konsistensi
kental (nectar-tickened liquids), dilaporkan bahwa insidensi aspirasi
secara signifikan lebih tinggi pada yang mendapat makanan encer.
Namun demikian, pada akhirnya yang berkembang menjadi aspirasi
pneumonia 3 bulan setelah itu tidak berbeda signifikan antara kedua
kelompok.
4. Untuk pasien yang memiliki kesulitan menelan, teknik untuk
menurunkan aspirasi antara lain bentuk makanan lunak dan makan
sedikit demi sedikit. Walaupun memposisikan semifowler dan
mengganti konsisitensi makanan tampaknya sesuai, efikasinya
belum terbukti pada penelitian dengan kontrol.
5. Pada pasien yang diberi makan melalui NGT, nilai intoleransi
saluran cerna terhadap makanan tiap 4 jam (level evidence C).
Hindari pemberian makanan secara bolus pada pasien yang berisiko
tinggi aspirasi (level evidence E). Pemberian makan dengan NGT
mungkin diperlukan untuk pasien dengan disfagia berat.
Percutaneus endoscopic gastrostomy tubes dan NGT lebih efisien
untuk memberikan nutrisi dan obat-obatan oral pada pasien dengan
disfagia, tetapi belum terbukti menurunkan insidensi aspirasi
pneumonia. Penelitian terbaru melaporkan bahwa pengobatan pasien
dengan gastrostomy tube dan mosaprid sitrat (obat gastroprokinetik)
berhubungan dengan risiko aspirasi yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan plasebo dan terapi proton pump inhibitor
(PPI). Sebelum memulai enteral feeding tube, lokasi tip (ujung
tube) sebaiknya dikonfirmasi secara radiologis. Volume residu
lambung dipantau secara reguler. Untuk pemberian makanan secara
bolus, volume residu makanan sebaiknya tidak melebihi 150 mL
sebelum pemberian bolus makanan berikutnya.
6. Evaluasi kemampuan menelan sebelum memulai makanan per oral
pada pasien yang baru saja diekstubasi bila ia sebelumnya diintubasi

4
selama > 2 hari (level evidence C). Ekstubasi sebaiknya dilakukan pada
posisi lateral kiri atau posisi duduk.
D. Klasifikasi
Karakter inokulum, patogenesis kondisi paru -paru, dan gejala
klinis membantu membedakan sindrom-sindrom klinis dalam klasifikasi
pneumonia aspirasi. Empat sindrom yang paling sering dijumpai secara
klinis adalah aspirasi asam lambung yang menyebabkan pneumonitis
kimia (pneumonitis aspirasi), aspirasi bakteri dari rongga mulut dan
faring menyebabkan pneumonia aspirasi, aspirasi benda asing yang
menyebabkan obstruksi saluran napas, dan aspirasi minyak yang

menyebabkan pneumonia aspirasi lipoid (jarang).3 Kadang- kadang pasien


memiliki pneumonia aspirasi yang saling tumpang tindih dan tidak bisa
diklasifikasikan dalam satu kasus. (Bartlett JG. 2015)
a. Pneumonitis Kimia
Pneumonitis kimia, dikenal juga dengan pneumonitis aspirasi,
merupakan reaksi inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh

aspirasi isi lambung dalam jumlah besar tanpa infeksi.2,3 Salah satu
contoh pneumonitis aspirasi adalah yang disebabkan oleh aspirasi asam
lambung yang pertama kali diungkapkan oleh Mendelson pada tahun
1946 sehingga disebut juga sindrom Mendelson. (Bartlett JG. 2015)
Pada pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh aspirasi partikel
makanan dalam jumlah kecil dan tidak asam pada tikus ditemukan
inflamasi neutrofilik akut dalam 4 – 6 jam, tetapi tidak dijumpai edema
dini sebagaimana dijumpai pada aspirasi asam. Puncak respon
monositik dijumpai pada jam ke-48 paska aspirasi, dimana jaringan
paru menunjukkan tanda-tanda awal dari pembentukan granuloma.
(American Association of Critical-Care Nurses.2016)
b. Pneumonia Aspirasi akibat Infeksi Bakteri
Bentuk pneumonia aspirasi yang paling sering dijumpai adalah yang
disebabkan oleh bakteri flora normal saluran napas bagian atas atau

5
lambung. Pneumonia aspirasi biasanya didefinisikan sebagai infeksi
akibat bakteri yang kurang virulen, terutama bakteri anaerob dari
mulut dan Streptococcus, pada inang yang rentan mengalami
aspirasi. Penelitian terakhir melaporkan dominasi bakteri anaerob pada
pneumonia aspirasi, dengan bakteri yang lebih virulen seperti S. aureus,
Pseudomonas aeruginosa, dan basil garam negatif fakultatif lain.
(Bartlett JG. 2015)
Pneumonia aspirasi nosokomial sering disebabkan oleh bakteri gram
negatif, yaitu Pseudomonas aeruginosa, khususnya pada pasien yang
terintubasi. Selain itu, methicillin- resistant S. Aureus (MRSA)
lebih sering dijumpai pada pasien pneumonia aspirasi nosokomial
daripada di komunitas (4,2 % vs 1,4 %). Spesimen sputum dari pasien
dengan pneumonia aspirasi nosokimial, bahkan spesimen transtracheal
aspiration yang diproses di laboratorium terspesialisasi, menunjukkan
pertumbuhan patogen aerob disertai patogen anaerob obligat.
(Bartlett JG. 2015)
c. Pneumonitis Aspirasi yang menyebabkan Obstruksi Saluran Napas
Pneumonitis aspirasi bisa melibatkan cairan atau partikel yang tidak
toksik terhadap paru, tetapi bisa menyebabkan obstruksi saluran napas
atau refleks penutupan saluran napas. Contoh cairan yang tidak
toksik terhadap paru tapi bisa menyebabkan obstruksi saluran napas
adalah larutan salin, barium, cairan yang diminum, isi lambung dengan
pH > 2,5. (Bartlett JG. 2015)
Penatalaksanaan terpenting adalah tracheal suctioning. Jika selanjutnya
foto toraks tidak menunjukkan gambaran infiltrat pada paru, tidak
perlu diberikan terapi lebih lanjut selain mencegah episode aspirasi
terulang kembali. Pada pasien rawat inap dianjurkan posisi semifowler
atau posisi tegak.
d. Pneumonia Lipoid
Pneumonia lipoid sering disebabkan oleh aspirasi mineral oil ketika
digunakan untuk konstipasi. Pasien yang paling sering terkena adalah

6
usia tua yang memiliki faktor risiko aspirasi. Akibatnya terjadi
respon inflamasi dengan edema regional dan perdarahan
intraalveolar atau parafinoma dimana minyak yang teraspirasi
dikapsulasi oleh jaringan fibrosa. Gambaran klinis awal adalah batuk,
demam, dan dispnu; selanjutnya tampak massa pada pemeriksaan
pencitraaan pasien yang sudah asimtomatik. (Bartlett JG. 2015)

E. Diagnosis
Aspirasi bisa asimtomatik atau muncul dengan gejala dan tanda

yang hebat, seperti wheezing, sesak napas, sianosis, dan hipoksia.4 Klinisi
harus mempertimbangkan diagnosis pneumonia aspirasi jika seorang pasien
memiliki gambaran klinis disertai faktor risiko dan gambaran infiltrat pada foto
toraks yang mengarah pada pneumonia aspirasi. Lokasi infiltrat tergantung
pada posisi pasien ketika terjadi aspirasi.
Kejadian aspirasi yang diketahui merupakan bukti dari pneumonia
aspirasi dengan dokumenasi partikel makanan atau isi saluran cerna dalam
tracho-bronchial tree. Sedangkan aspirasi cairan lambung yang tidak
diketahui merupakan suatu kondisi yang paling sulit untuk didiagnosis.
Tidak ada standard baku emas untuk mendiagnosis pneumonia aspirasi.
Sering kali pneumonia aspirasi merupakan suatu penyakit eksklusi, dimana
etiologi lain dari hipoksia, seperti edema paru, emboli paru, community
acquired pneumonia (CAP) atau hospital acquired pneumonia (HAP) sudah
disingkirkan. (American Association of Critical-Care Nurses.2016)
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan sebaiknya mengarah pada
gambaran klinis pasien. Pasien dengan gejala dan tanda sepsis dan syok
sepsis memerlukan pemeriksaan laboratorium yang lebih banyak daripada
pasien dengan sindrom aspirasi yang lebih ringan.

F. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Prehospital

7
Penatalaksanaan prehospital sebaiknya difokuskan pada stabilisasi
jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Pada pasien yang dengan tanda
aspirasi asam lambung (misalnya dengan vomitus) men-suction saluran
napas bagian atas bisa membersihkan sejumlah besar aspirat. Intubasi
sebaiknya dipertimbangkan pada setiap pasien yang tidak bisa melindungi
saluran napasnya. Kemampuan paramedis untuk melakukan intervensi ini
bergantung pada tingkat pelatihan mereka. Selain itu, emergency
medical technician (EMT) dilatih untuk melakukan intubasi bisa
memutuskan untuk mengintubasi pasien dengan gangguan refleks tersedak
untuk mencegah aspirasi. Terapi lain yang diberikan antara lain suplementasi
oksigen, monitoring jantung dan pulse oxymetri, pemasangan kateter
intravena dan pemberian cairan intravena bila diperlukan.( Teramoto S.
2014)
b. Penatalaksanaan di Intensive Care Unit (ICU)
Penatalaksanaan di ICU sebaikanya dimulai dengan stabilisasi jalan
napas pasien, pernapasan, dan sirkulasi. Suction orofaring / trakeal mungkin
diperlukan untuk membersihkan aspirat. Penilaian ulang perlunya intubasi
secara periodik berdasarkan oksigenasi pasien, kesadaran, sesak napas,
atau gagal napas. Lanjutkan pemberian oksigen sesuai kebutuhan, begitu juga
monitoring jantung dan pulse oximetry, serta perawatan suportif dengan
cairan intravena dan substitusi elektrolit.
c. Penatalaksanaan Rawat Inap
Pasien dengan pneumonia aspirasi, baik pneumonitis kimia maupun
pneumonia bakterial, memerlukan rawat inap untuk beberapa alasan, antara
lain penyakit akut, faktor inang, dan perjalanan penyakit yang tidak
pasti serta prognosis pneumonia aspirasi. Pasien dengan gangguan
hemodinamik berat dan atau sesak napas persisten sebaiknya dirawat di
ICU. Pasien yang terintubasi dan ventilasi harus dirujuk ke rumah sakit
yang memiliki ICU, begitu juga pasien dengan sepsis berat atau syok sepsis.
Pasien dengan status pernapasan dan hemodinamik stabil bisa dirawat di
ruang rawat inap biasa. ( Teramoto S. 2014)

8
d. Pemberian Antibiotika
Antibiotika diindikasikan untuk pneumonia aspirasi. Namun,
pada pneumonitis aspirasi pemberian antibiotika profilaksis tidak
direkomendasikan karena bisa menyebabkan resistensi. Selain itu, pasien
yang dengan aspirasi baru, demam, dan leukositosis sebaiknya tidak diberikan
antibiotika walaupun secara radiologis dijumpai infiltrat karena bisa
menyebabkan resistensi. Indikasi pemberian antibiotika pada pneumonitis
aspirasi antara lain:
- Jika pneumonitis tidak membaik dalam 48 jam
- Pasien dengan obsruksi usus kecil, khususnya yang bagian bawah,
sebaiknya diberikan antibiotika karena bakteri bisa mengkolonisasi isi
lambung
- Pasien yang mengkonsumsi antasida karena berpotensi mengalami
kolonisasi bakteri di lambung
Pada pasien tanpa gejala toksik, pemberian antibiotika sebaiknya yang
dapat membunuh patogen pneumonia komunitas tipikal. Ceftriaxone
dikombinasi dengan azitromycin, levofloxacin, atau moxifloxacin merupakan

pilihan yang sesuai.3


Pada pasien dengan gejala toksik atau yang pernah dirawat inap akhir
-akhir ini, walaupun patogen pneumonia komunitas masih merupakan
penyebab tersering, patogen lain seperti bakteri gram negatif seperti P.
aeruginosa dan K. pneumoniae, serta methicillin-resistant S. Aureus
(MRSA) harus dapat dibunuh oleh antibiotika empiris yang diberikan.
Piperacillin / tazobactam atau imipenem / cilastatin dikombinasi
dengan vancomycin juga sesuai. Telavancin diindikasikan untuk
pneumonia nosokomial, termasuk di dalamnya pneumonia ventilator yang
disebabkan oleh S. aureus, dimana terapi alternatif tidak cocok. Adanya
risiko aspirasi kronis, putrid discharge, indolent hospital course, dan
pneumonia nekrotikans mengarahkan kecurigaan pada keterlibatan bakteri
anaerob dan pertimbangkan untuk menambahkan klindamicin. ( Teramoto S.

9
2014)
Penatalaksanaan pasien pneumonitis kimia harus meliputi
pertahankan jalan napas dan membersihkan sekresi dengan tracheal suction,
pemberian oksigen, dan ventilasi mekanis. Jika pasien tidak bisa
mempertahankan ok sigenasi yang adekuat walaupun telah diberikan
oksigen fraksi tinggi, positive end expiratory pressure (PEEP) sebaiknya
dipertimbangkan. Pemberian kortikosteroid secara rutin tidak
direkomendasikan, karena berdasarkan pen elitian pada hewan coba maupun
manusia tidak menunjukkan manfaat. Pemberian antibiotika profilaksis pada
pneumonitis kimia sebelum terbukti adanya infeksi bakteri tidak didukung
oleh bukti yang kuat.
Pemberian antibiotika berdasarkan hasil kultur sputum, aspirat trakea,
atau aspirat yang diperoleh dari protected cathether bronchoscopy lebih
tepat daripada antibiotika empiris. Namun, karena bronkus yang
mengalami cedera kimia sangat rentan terhadap infeksi bakteri, maka
pemberian antibiotika dapat diterima berdasarkan probabilitas infeksi bakteri,
beratnya pneumonia, dan faktor risiko inang (misalnya malnutrisi, penyakit
komorbid), faktor intervensi (misalnya penggunaan antibiotika sebelumnya,
kortikosteroi d, obat sitotoksik, dan NGT), serta lama rawat inap.
Penatalaksanaan awal pasien yang diduga menderita pneumonia
aspirasi tanpa faktor risiko keterlibatan bakteri anaerob sebaiknya serupa
dengan penatalaksanaan pneumonia komunitas: sefalosporin generasi ketiga
dengan makrolid atau fluorokuinolon saja. Namun, pada pneumonia berat
yang terjadi lama setelah pemasangan ventilasi mekanis, probabilitas
patogen resisten, seperti P. Aeruginosa, Acinetobacter sp, dan MRSA
meningkat, sehingga harus diberikan antibiotika spektrum lebih luas.
Sebuah penelitian pada pneumonia aspirasi di ICU melaporkan
bahwa bakteri yang paling sering ditemukan adalah basil gram negatif (57,8
%), infeksi jamur (28,9 %), dan coccus gram positif (13,3 %), sering dengan
resistensi antibiotika. Antibiotika pilihan antara lain fluorokuinolon respirasi,
aminoglikosida dengan penisilin antipseudomonas, cefalosporin generasi

10
keempat, imipenem, dan vancomisin. ( Teramoto S. 2014)
e. Pemberian Kortikosteroid
Dahulu kortikosteroid diberikan pada pneumonitis aspirasi, tetapi
penelitan terandomisasi dengan kelompok kontrol belum bisa membuktikan
manfaat pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Dokter harus
mempertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis tinggi padad pasien
syok sepsis yang memerlukan zat vasoaktif untuk mempertahankan
tekanan darah dan pada pasien yang sedang dalam terapi kortikosteroid
jangka panjang.
f. Penatalaksanaan Setelah Dipulangkan
Pasien yang pulih dari pneumonitis kimia secara umum tidak
memerlukan perawatan lanjutan dari rawat jalan, selain sebagai alat untuk
mencegah episode aspirasi selanjutnya. Tidak seperti pneumonitis kimia,
infeksi bakteri anaerob memerlukan terapi antibiotika jangka panjang sehingga
terapi lanjutan di rawat jalan diperlukan. Pasien bisa dipulangkan dari
rumah sakit setelah stabil dan ada perbaikan klinis (misalnya tidak demam,
tidak leukositosis, resolusi dari hipoksemia) dan perbaikan radiologis
(misalnya berkurangnya infiltrat dan ukuran kavitas, tidak ada efusi pleura).
Pada abses paru, pemberian terapi antibiotika (misalnya klindamisin)
dilanjutkan selama beberapa minggu, walaupun demikian lama pemberian
antibiotika yang dianggap adekuat belum bisa dipastikan. ( Teramoto S.
2014)

G. Komplikasi

Komplikasi aspirasi terdiri dari gagal napas akut, ARDS, dan pneumonia
bakterial. Komplikasi pneumonia bakterial terdiri dari efusi
parapneumonia, empiema, abses paru, superinfeksi, dan fistula
bronkopleura. Pneumonitis aspirasi bisa cepat berkembang menja di gagal
napas.
Pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri anaerob sering

11
berkomplikasi menjadi abses paru. Sekitar 80 % abses paru merupakan
abses paru primer dan sisanya abses paru sekunder. Abses paru primer
sering disebabkan oleh bakteri anaerob dan muncul tanpa penyakit dasar paru
atau sistemik. Sebaliknya abses paru sekunder terjadi pada pasien dengan
penyakit dasar, seperti proses post-obstruksi (misalnya benda asing di
bronkus atau tumor) atau suatu proses sitemik (misalnya infeksi HIV, atau
kondisi imunokompromais lain).( Baron RM, dkk. 2015)

H. Prognosis
Prognosis baik pneumonitis aspirasi maupun pneumonia aspirasi
tergantung pada penyakit dasar, komplikasi, dan status kesehatan
pasien. Sebuah penelitian retrospektif melaporkan bahwa angka kematian-
30 hari pada pneumonia aspirasi secara umum 21 % dan pada pneumonia
aspirasi nosokomial sebesar 29,7 %. Angka kematian ini bervariasi tergantung
komplikasi penyakit. Pada sindrom Mendelson yang dilaporkan pada tahun
1946 pada 61 orang pasien obstetri yang mengalami aspirasi asam lambung
selama anastesi, semuanya mengalami perbaikan klinis menyeluruh dalam
24 – 36 jam. Pada penelitian selanjutnya pada pasien yang lebih tua, angka
kematian pneumonitis aspirasi 30 – 62 % karena sering menyebabkan
ARDS. Angka kematian pneumonitis aspirasi yang berat (sindrom Mendelson)
bisa mencapai 70 %.( Teramoto S. 2014)
Jika pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri tidak diterapi
secara dini, bisa menyebabkan komplikasi, antara lain abses paru dan fistula
bronkopleura. Pneumonia aspirasi nosokomial dihubungkan dengan lama
rawat lebih panjang dan peningkatan angka mortalitas.
Angka mortalitas pneumonia aspirasi dengan komplikasi empiema
diperkirakan 20 %. Angka mortalitas pneumonia aspirasi tanpa komplikasi
sekitar 5 %. Sebuah penelitian pada tikus yang mengalami pneumonitis
aspirasi lebih rentan terhadap infeksi saluran napas.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan materi pada bab sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa:

Pneumonia aspirasi adalah kerusakan paru yang disebabkan oleh


masuknya cairan, partikel eksogen, atau sekresi endogen ke dalam saluran
napas bawah. Secara konvensional aspirasi pneumonia didefinisikan
sebagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang kurang virulen, terutama
bakteri anaerob, yang biasanya merupakan flora normal pada inang yang rentan
mengalami aspirasi.
Pneumonia aspirasi nosokomial merupakan infeksi nosokomial kedua
terbanyak setelah infeksi saluran kemih, dan merupakan penyebab kematian
utama pada infeksi nosokomial. Sekitar 10 % pasien yang drawat inap
akibat overdosis obat akan menderita pneumonitis aspirasi. Insidensi pasti
aspirasi pneumonia sulit diprediksi karena sebagian besar aspirasi tidak
bergejala dan tidak diketahui terjadinya.
Beberapa perlakuan (misalnya posisikan, perubahan diet, obat
-obatan menjaga kebersihan mulut, dan pemakaian selang makan) telah
diajukan untuk mencegah aspirasi pada orang dewasa

13
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Critical-Care Nurses. Prevention of aspiration


in adults.Critical Care Nurse.2016.
Baron RM, Barshak MB. Lung Abscess. In: Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Ed.
New York: 2015.
Bartlett JG. Aspiration pneumonia in adults. Updated on July 6, 2015.
Available from:
Dahlan Z. 2015. Pneumonia bentuk khusus. Dalam Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiohadi B, Syam AF (Ed.). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing. 2015.
Ragahavendran, Nemzek J, Napolitano LM, et al. Aspiration-induced lung
injury. Crit Care Med.2011.
Teramoto S. Clinical significance of aspiration pneumonia and diffuse
aspiration bronchiolitis in the elderly. J Gerontol Geriat Res.2014.

14

Anda mungkin juga menyukai