Anda di halaman 1dari 149

PENAFSIRAN AYAT-AYAT HAID DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP HUKUM
(STUDI PEMIKIRAN ALI ASSHOBUNI DALAM KITAB
RAWAI’ BAYAN)
HALAMAN JUDUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Rizqi Fi’ismatillah
NIM. 53020150015

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2019
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rizqi Fi‘ismatillah

Nim : 53020150015

Fakultas : Ushuluddin, Adab dan Humaniora (FUADAH)

Program Studi : Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir

Menyatakan bahwa naskah skripsi saya berjudul ―Penafsiran Ayat-ayat Haid


dan Implikasinya terhadap Hukum (Studi Pemikiran Ali Asshobuni dalam Kitab
Rawai‘ Bayan)‖ adalah benar-benar hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada
bagaian-bagian yang dirujuk sumbernya berdasarkan kode etik ilmiah dan bebas dari
plagiarisme. Jika kemudian hari terbukti ditemukan plagiarisme, maka saya siap
ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Salatiga, 4 September 2019

Yang menyatakan

Rizqi Fi‘ismatillah

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah dikoreksi dan di perbaiki, maka skripsi saudarai:

Nama : Rizqi Fi‘ismatillah

Nim : 53020150015

Fakultas : Ushuluddin, Adab dan Humaniora (FUADAH)

Program Studi : Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir

Judul :PENAFSIRAN AYAT-AYAT HAID DAN IMPLIKASINYA


TERHADAP HUKUM (STUDI PEMIKIRAN ALI ASSHOBUNI
DALAM KITAB RAWAI‘ BAYAN

Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.

Salatiga, 4 September 2019

Pembimbing

Dr. H. Mubasirun. M. Ag
NIP. 195902021990031001

iii
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

Jalan Nakula Sadewa VA/No. 09 Salatiga 50721 Telp (0298)


323706 Fax. 323433

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi Saudara/i Rizqi Fi‘ismatillah dengan Nomor Induk Mahasiswa 53020150015


yang berjudul ―Penafisran Ayat-Ayat Haid dan Implikasinya Terhadap Hukum (Studi
Pemikiran Ali Asshobuni dalam Kitab Rawai‘ Bayan‖ telah dimunaqosyahkan dalam
Sidang Panitia Ujian Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga pada Selasa, 24 September 2019 dan telah diterima
sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program
Studi Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir.

Salatiga, 24 Muharam 1441 H


24 September 2019 M

Panitia Ujian

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dr. Benny Ridwan, M. Hum. Dr. H. Mubasirun M.Ag.


NIP. 197305201999031006 NIP. 195902021990031001

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. H. Budiarjo, M.Ag. Dr. M. Ghufron, M.Ag.


NIP. 195410021984031001 NIP.1972081420003121001

iv
MOTTO

‫فَِإنَّ َم ََّع الْعُ ْس َِّر يُ ْسًرا‬

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

(QS. al-Insyrah:5)

waktu seperti pedang

jika engkau tidak memanfaatkannya dengan baik,

maka ia akan memanfaatkanmu

(HR. Muslim)

mulailah dari tempatmu berada

gunakan yan gkau punya

lakukan yang kau bisa

(Arthur Ashe)

v
PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi lautan ilmu yang tidak bertepi, dengan keringat dan
air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk mereka yang tetap setia
berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:

Kedua orang tua yang telah memberi kasih sayang yang tak terhingga, motivasi,

dorongan, dan do‘a untukku hingga skripsi ini selesai.

Teruntuk kakak-kakak yang semoga Allah jadikan insan sholeh-sholehah dan

berbakti kepada kedua orang tua

Teruntuk pula segenap keluarga, sahabat dan khususnya teman-teman IAT angkatan

2015

Dengan segala kekurangan dan dengan segala upaya dan usaha yang ada, penulis

persembahkan tulisan ini untuk semua kalangan

vi
KATA PENGANTAR

‫بِ ْس ِمَّالل ِوَّالر ْْحَ ِنَّالرِحيم‬

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah menurunkan kitab Al-Qur‘an sebagai petunjuk untuk umat manusia.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi akhir zaman yang
telah menjelaskan Al-Qur‘an melalui ucapan, tindakan serta keteladan yang
syafa‘atnya diharapkan oleh seluruh manusia di akhirat kelak, yakni Nabi
Muhammad SAW, demikian pula kepada keluarga dan para sahabat beliau.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin bisa terselesaikan tanpa
adanya bantuan dan dorongan baik moril maupun materil dari semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan skripsi ini. Berkat bantuan, saran dan motivasi dari
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung akhirnya skripsi ini
dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga, Prof. Zakiyudin, M.Ag. beserta segenap jajaranya.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga, Dr. Benny
Ridwan, M.Hum beserta jajaranya
3. Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir IAIN Salatiga, Tri Wahyu Hidayati,
M.Ag. yang telah memberikan izin untuk penelitian dan penyusunan skripsi ini.
4. Dr. H. Mubasirun. M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
membimbing, memberi nasihat, arahan serta masukan-masukan yang sangat
membantu penyusunan tugas akhir ini.
5. Seluruh dosen fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga, terlebih
dosen ilmu tafsir atas ilmu-ilmu dan warisan-warisan intelektual beliau curahkan
dan mengantarkan penulis untuk berproses menjadi lebih baik lagi.

vii
6. Bapak Rofik selaku staf perpustakaan kampus dua IAIN Salatiga yang telah
memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan
skripsi ini.
7. Bapak Sadzali Marjan dan Ibu Siti Mukhibah tercinta yang tak pernah lelah
mendo‘akan dan memberikan restunya untuk penulis agar tetap semangat dalam
menuntut ilmu.
8. Kepada Mas Ulul dan Mba Sayin, Mba Lia dan Mas Reza, Mba Muna, beserta
ponakan-ponakan yang lucu, yaitu: Naufal, Fia, Aghitsna dan Hilya yang selalu
memberikan warna-warni kehidupan penulis selama ini.
9. Untuk semua guru-guru yang telah mendidik penulis hingga sekarang, terkhusus
Ustadz Ahmad Darojat yang selalu membimbing ketika penulis kehilangan arah.
10. Teman-teman program studi ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir angkatan 2015 yang terus
memberikan dukungan serta selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan
ocehan penulis di tengah-tengah perjalanan luar biasa dalam menulis dan
menyelesaikan skripsi. Untuk semua yang masih berjuang, semoga semangat
selalu tersemat dalam diri kita. Untuk mba Bicha selaku kakak tingkat yang selalu
sabar dengan keluh kesahku. Untuk yang teman-teman seperjuangan yang telah
wisuda (mb Fia, mb Dewi, mb Amanah, Kuni, Azim dan Adha) selamat
menempuh di kehidupan nyata. Semoga kita semua termasuk orang yang sukses
dunia akhirat, aamiin.
11. Keluarga Qaryah-Thayyibah yang selalu memberikan ruang bagi penulis, dan
kepada Fani, mba Zulfa, Pak Jos, Riyanto yang biasa aku repotkan dalam
penulisan skripsi ini.
12. Grup Muslimah mengaji yang memberikan segala macam ilmu, semoga untuk
para admin, mba Fina, mba Liza dan semua anggotanya, semoga silaturahmi ini
tetap selalu terjaga.
13. Terakhir, untuk semua pihak dan elemen yang secara langsung maupun tidak
langsung dalam membantu menyelesaikan tulisan ini dari awal hingga proses
penelitian hingga skripsi ini terselesaikan.

viii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dipergunakan sebagaimana mesti.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya.

Salatiga, 5 September 2019

Penulis

Rizqi Fi‘ismatillah

ix
ABSTRAK

Skripsi ini hasil dari penelitian kepustakaan dengan judul ―Penafsiran Ayat-
Ayat Haid dan Implikasinya Terhadap Hukum (Studi Pemikiran Ali Asshobuni
dalamn Kitab Rawai‘ Bayan)‖. Haid adalah suatu keadaan yang akan terus dialami
oleh setiap wanita. Darah keluar dari kemaluan wanita pada kondisi sehat, bukan
karena faktor persalinan ataupun pecahnya selaput keperawanan. Dibalik keluarnya
darah haid tersebut ada aturan hukum islam yang timbul akibatnya, yakni berupa
larangan-larangan yang terkait dengan ibadah maupun munakahah. Maka penulis
tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai persoalan-persoalan haid dan
implikasinya terhadap hukum islam. Adapun rumusan masalah yang akan diajukan
dalam penelitian ini ada tiga. Pertama, bagaimana prespektif-prespektif tentang haid?
Kedua, bagaimana penafsiran Ali Asshobuni terhadap ayat-ayat haid dalam Al-
Qur'an? Ketiga, apa implikasi hukum bagi wanita yang sedang mengalami haid?
Dalam menyusun skripsi ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif.
Data Primer yang digunakan itu menggunakan karya Ali Asshobuni yang berjudul
Rawai‘ Bayan. Sementara data sekunder yang digunakan yaitu menggunakan karya
literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun teknik pengumpulan
data menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan), sedangkan
metode analisisnya adalah metode deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Ali Asshobuni melarang wanita
yang sedang mengalami haid masuk masjid, hal ini sependapat dengan Imam Abu
Hanifah. Namun melihat kondisi sekarang, yang sudah ditemukan cara yang efisien
untuk wanita yang sedang haid agar darah tidak tercecer ke mana-mana, maka penulis
membolehkan wanita yang sedang haid masuk masjid. Dan hal ini berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh Aisyah yang menceritakan bahwa ada wanita yang tinggal di
dalam masjid, dan tidak ditemukan Nabi SAW memerintahkan pada wanita tersebut
keluar dari masjid ketika haidnya tiba.
Kata Kunci: Penafsiran, Ayat-Ayat, Haid, Implikasi, Hukum

x
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi huruf (pengalihan huruf) dari huruf Arab ke huruf Latin
yang digunakan adalah hasil Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun 1987 atau Nomor 0543 b/u 1987,
tanggal 22 Januari 1988, dengan melakukan sedikit modifikasi untuk membedakan
adanya kemiripan dalam penulisan.

A. Penulisan huruf :

No Huruf Arab Nama Huruf Latin


1. ‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan

ٕ. ‫ب‬ Ba‘ B

ٖ. ‫ت‬ Ta T

ٗ. ‫ث‬ ṡa ṡ

٘. ‫ج‬ Jim J

ٙ. ‫ح‬ Ḥa ḥ

ٚ. ‫خ‬ Kha Kh

ٛ. ‫د‬ Dal D

ٜ. ‫ذ‬ ẑal ẑ

ٔٓ. ‫ر‬ Ra R

ٔٔ. ‫ز‬ Za Z

ٕٔ. ‫س‬ Sin S

ٖٔ. ‫ش‬ Syin Sy

ٔٗ. ‫ص‬ Ṣad ṣ

ٔ٘. ‫ض‬ Ḍad ḍ

xi
ٔٙ. ‫ط‬ Ṭa‘ ṭ

ٔٚ. ‫ظ‬ Ẓa ẓ

ٔٛ. ‫ع‬ ‗ain ‘ (koma terbalik di atas)

ٜٔ. ‫غ‬ Gain G

ٕٓ. ‫ف‬ Fa‘ F

ٕٔ. ‫ق‬ Qaf Q

ٕٕ. ‫ك‬ Kaf K

ٕٖ. ‫ل‬ Lam L

ٕٗ. ‫م‬ Mim M

ٕ٘. ‫ن‬ Nun N

ٕٙ. ‫و‬ Wawu W

ٕٚ. ‫ه‬ Ha‘ H

ٕٛ. ‫ء‬ Hamzah ‗ (apostrof)

ٕٜ. ‫ي‬ Ya‘ Y

B. Vokal:

َََّ Fathah Ditulisَّ “ a “

ِ Kasroh Ditulisَّ “ i “

ََُّ Dhammah Ditulis ََّّ “ u “

C. VOKAL PANJANG:

xii
‫ا‬+ِ Fathah + alif Ditulis “ ã “ ‫جاهلية‬ Jãhiliyah

‫ى‬+ِ Fathah + alif


Ditulis “ ã “ ‫تنسى‬ Tansã
Layin
Kasrah +ya‘
‫ي‬+ِ Ditulis “ ỉ “ ‫حكيم‬ Hakỉm
Mati
‫و‬+ِ Dlammah +
Ditulis “ ủ “ ‫فروض‬ Furủd
wawu mati

D. Vokal rangkap:

Fathah + ya‘
‫ا‬+ِ Ditulis “ ai “ ‫بينكم‬ Bainakum
mati
‫و‬+ِ Fathah +
Ditulis “ au “ ‫قول‬ Qaul
wawu mati

E. Huruf rangkap karena tasydid ( ِ ) ditulis rangkap:

‫د‬ Ditulis ” dd “ ‫عدة‬ ‗Iddah

‫ن‬ Ditulis “ nn “ ‫منا‬ Minna

F. Ta’ Marbuthah:
1. Bila dimatikan ditulis h :

‫حكمة‬ Hikmah

‫جزية‬ Jizah
(ketentuan ini tidak berlaku untuk kata-kata bahasa arab yang sudah
diserap kedalam bahasa indonesia)

2. Bila Ta‘ Marbuthah hidup atau berharakat maka ditulis t :

xiii
‫زكاةالفطر‬ Zakãt al-fiṭr

‫حياةاالنسان‬ Ḥayãt al-insãn

G. Vokal pendek berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan Apostrof (‘)

‫أأنتم‬ A‘antum

‫أعدد‬ U‘iddat

‫لئن شكرتم‬ La‘insyakartum

H. Kata sandang alif +lam

Al-qamariyah ‫القران‬ al-Qur‘ãn


Al-syamsiyah ‫السماء‬ al-samã‘

I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat:

Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya

‫ذوي الفروض‬ Ẑawi al-furủd

‫أهل السنة‬ Ahl al-sunnah

xiv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................ iii
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................................. iv
MOTTO ........................................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ........................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vii
ABSTRAK .................................................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 9
4. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 10
5. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 10
6. Kerangka Teori................................................................................................. 10
7. Kajian Pustaka.................................................................................................. 13
8. Metode Penelitian............................................................................................. 16
9. Sistematika penulisan ....................................................................................... 18
BAB II HAID DALAM BERBAGAI PRESPEKTIF ................................................. 20
A. Haid Dalam Prespektif Hukum Islam .............................................................. 20
1. Pengertian Haid ............................................................................................ 20
2. Usia Seorang Mengalami Haid ..................................................................... 23
3. Masa Minimal dan Maksimal Haid .............................................................. 24
4. Jenis Dan Sifat-Sifat Darah Haid ................................................................. 26
5. Hal-Hal di Luar Kebiasaan Haid .................................................................. 28
B. Haid Dalam Prespektif Medis .......................................................................... 31

xv
1. Pengertian Haid (menstruasi) ....................................................................... 31
2. Kandungan Darah haid (menstruasi) ............................................................ 32
3. Siklus Haid (menstruasi) .............................................................................. 33
4. Gangguan Haid (menstruasi) ........................................................................ 36
5. Dampak Berhubungan Seks Saat Menstruasi ............................................... 40
BAB III ALI ASSHOBUNI DAN PENAFSIRAN AYAT-AYAT HAID ................. 44
A. Riwayat Singkat Tentang Ali Asshobuni ......................................................... 44
1. Tempat Kelahiran dan Pendidikan Ali Asshobuni ....................................... 44
2. Karya Ali Asshobuni .................................................................................... 47
B. Tafsir Rawai‘ Bayan ........................................................................................ 48
1. Deskripsi Umum Tentang Tafsir Rawai‘ Bayan .......................................... 48
2. Metodologi Tafsir Rawai‘ Bayan ................................................................. 51
3. Sistematika Tafsir Rawai‘ Bayan ................................................................. 54
C. Penafsiran Ali Asshobuni Terhadap Ayat-Ayat Haid Dalam Al-Qur‘an......... 55
1. Surat al Baqarah Ayat 222............................................................................ 55
2. Surat al-Baqarah Ayat 228 ........................................................................... 70
3. Surat an-Nisa Ayat 43 .................................................................................. 82
BAB IV IMPLIKASI HUKUM ISLAM BAGI WANITA YANG SEDANG
MENGALAMI HAID ................................................................................................. 98
A. Polemik Menyetubuhi Wanita Haid ................................................................. 98
B. Polemik Iddah Wanita Haid ........................................................................... 107
C. Polemik Wanita Haid Masuk Masjid ............................................................. 113
D. Polemik Wanita Haid Membaca dan Memegang Al-Qur‘an ......................... 119
BAB V PENUTUP ................................................................................................... 125
A. KESIMPULAN .............................................................................................. 125
B. SARAN .......................................................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 128
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................................. 133

xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Al-Qur‘an memiliki muatan yang tidak terbatas pada tema atau kajian tertentu,

tetapi berisi keseluruhan sistem hidup. Al-Qur‘an mencakup permasalahan yang

utuh, mulai dari perintah dan larangan, hak dan kewajiban, kejahatan dan

hukuman, ajaran tentang masalah pribadi dan sosial dan lain-lain. Cara Al-Qur‘an

mengungkapkan isinya juga bervariasi, seperti melalui sindiran, peringatan,

teguran bahkan ancaman. Dibandingkan dengan kitab yang lainnya, Al-Qur‘an

merupakan kitab yang paling sempurna. Hal ini dikarenakan Al-Qur‘an berfungsi

sebagai burhan, huda dan furqon adalah juga sebagai penyempurna kitab-kitab

sebelumnya. Al-Qur‘an sempurna kandungannya yang mencangkup kehidupan

secara fisik maupun psikis. Hukumnya mencangkup hal yang ushul (pokok-pokok

aqidah) maupun yang furu (cabang-cabang amaliyah). Sebagaimana firman Allah

Ta‘ala dalam surat al-Maidah ayat 3:

ِ ‫الْي ومَّأَ ْكم ْلتَّلَ َُّكم‬


...‫َّدينَ ُك َّْم‬ ْ ُ َ ََْ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu...1

Salah satu kesempurnaan Al-Qur‘an adalah adanya aturan dan hukum-hukum

bagi wanita yang sedang haid. Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan

wanita pada kondisi sehat, bukan karena faktor persalinan ataupun pecahnya

1
Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, al-Qur’an
dan Terjemahannya (Medinah Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd Ii Thiba‘at al-Mush-haf,
1415), a. QS. al-Maidah: 3.

1
selaput keperawanan.2 Haram hukumnya berhubungan badan saat wanita sedang

mengalami haid, kecuali setelah berhentinya darah haid dan mandi dengan niat

bersuci terlebih dahulu.3 Larangan Allah dalam ayat ini tentu hanya bisa

diaplikasikan kepada wanita yang sedang dalam ikatan pernikahan.

Adanya aturan mengenai hukum bagi wanita yang sedang haid ini

menunjukkan betapa komprehensifnya cakupan hukum Islam yang ada dalam Al-

Qur‘an, sehingga perkara yang dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat juga

telah diatur dalam Al-Qur‘an. Sebagaimana yang tercantum dalam Surat Al-

Baqarah ayat 222:

َّ‫ّت‬
َّ‫وىنَّ َّ َح ى‬ ُ ُ‫يض َّۖ َّ َوََّل َّتَ ْقَرب‬َِّ ‫ف َّالْ َم ِح‬ َّ َِّ َ‫اء‬
َّ ‫ِّس‬ ِ ْ َ‫يض َّۖ َّقُ َّل َّ ُى َّو َّأَ ًذى َّف‬
َ ‫اعتَزلُوا َّالن‬ َ ْ ِ ‫َّع ِن َّالْ َم ِح‬ َ ‫ك‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
ََّ ‫يَّ َوُُِيبََّّالْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ََّ ِ‫ثَّأ ََمَرُك َُّمَّاللوََُّّۖإِنََّّالل ََّوَّ ُُِيبََّّالت واب‬
َُّ ‫وىنََّّ ِم َّْنَّ َحْي‬
ُ ُ‫يَطْ ُه ْر ََّنََّّۖفَِإ َذاَّتَطَه ْر ََّنَّفَأْت‬
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.4

Pertanyaan dalam ayat tersebut pada hakikatnya bukan pertanyaan tentang

apa itu pengertian dari haid, tetapi bagaimana tuntunan Illahi kepada suami pada

saat istrinya sedang mengalami haid. Karena pertanyaan itu muncul atas

2
Abdul Wahhab Khallaf, Fikih Empat Mazhab Praktis (Jakarta: Umul Qura‘, 2018), 296.
3
Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), 72–73.
4
al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 222.

2
perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh orang Yahudi kepada wanita-wanita

yang sedang mengalami haid.5

Bahwa Al-Qur‘an telah memberi peringatan dalam ayat tersebut, Nabi

Muhammad juga lebih merincikan konsekuensi yang harus dibayarkan terhadap

pelanggaran atas larangan berhubungan badan dengan istri yang sedang

mengalami haid. Hal tersebut direkam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu

Daud, Ibnu Majah, ad-Darimi dan Ahmad.

َّ‫صد ُقَّبِ ِدينَا ٍرَّأ َْو‬


َ َ‫يَت‬: " َّ‫ال‬
َ َ‫َّق‬،‫ض‬ ِ ‫ع ِنَّالنِِبَّصلىَّاللوَّعلَي ِوَّوسلم َِّفَّال ِذيَّيأِِْتَّامرأَتَوَّوِىي‬
ٌ ‫َّحائ‬
َ َ َ ُ َْ َ َ ََ َْ ُ َ ِّ َ
6ٍ ِ‫ف‬
‫َّدينَا َّر‬ ِ‫ص‬ ِ
ْ‫ن‬

Rasulullah shallallahu ‗alaihi wasallam menyuruh orang yang mendatangi


isterinya (jima') dalam keadaan haid untuk bersedekah dengan satu dinar
atau setengahnya.

Haid mangakibatkan gangguan terhadap fisik dan psikis wanita dan juga

terhadap laki-laki. Secara fisik, dengan keluarnya darah yang kotor,

mengakibatkan gangguan pada jasmani wanita, seperti rasa sakit yang sering kali

melilit perutnya akibat kontraksi pada rahim. Di sisi lain, haid mengakibatkan

nafsu seksual wanita sangat menurun, dan emosinya sering kali tidak terkontrol.

Hubungan badan ketika itu tidak melahirkan hubungan intim antara pasangan,

apalagi dengan darah yang selalu siap keluar. Hal tersebut merupakan gangguan

psikis bagi wanita. Darah yang aromanya tidak sedap serta tidak menyenangkan

5
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Tangerang: Lentera
Hati, 2012), 582.
6
Abu Dawud Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Siria: Dar al-Fikr, t.t.), 69, nomor hadis: 264.

3
untuk dilihat merupakan salah satu aspek gangguan kepada laki-laki.7 Lalu apa

hikmah dibalik pelarangan Al-Qur‘an untuk para suami agar tidak menggauli

isrtinya ketika dalam keadaan haid?

Hikmah pelarangan Allah tentang ketidak bolehan menggauli istri ketika

dalam keadaan haid ini dapat dibuktikan secara ilmiah. Saat mengalami haid,

kelamin wanita sangat rentan jika terjadi gesekan atau kemasukan benda asing.

Pada saat itu sel-sel di dalam kelamin wanita kondisinya tidak sama pada saat

wanita sedang suci (tidak haid). Beberapa penelitian membuktikan bahwa wanita

yang tetap melakukan hubungan badan pada saat haid atau nifas mempunyai

resiko kanker yang lebih tinggi dibading yang tidak sedang haid.8

Dalam ilmu kesehatan pun menunjukkan bahwa saat haid, saluran antara

vagina dan rahim (mulut rahim) sedang terbuka, sehingga akan mempermudah

masuknya penyakit ke dalam rahim. Disamping itu juga ada resiko yang cukup

fatal, di mana jika melakukan hubungan badan ketika sedang haid maka udara

akan terdorong masuk ke dalam mulut rahim, lalu masuk ke dalam pembuluh

darah, hal tersebut akan membawa kuman ke jantung sehingga menimbulkan

gangguan jantung. Apabila terbawa ke otak, dengan cepat akan terjadi suatu

7
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 583.
8
Nada Fitra Lestari, ―Hukum Mencampuri Istri yang Sedang Haid Menurut Islam dan Kesehatan‖
(Universitas Islam Negri Alauddin Makasar, 2015), 32.

4
reaksi alergi atau akan menyebabkan gangguan otak (akan mengalami kejang-

kejang dan diikuti dengan kematian mendadak).9

Wanita yang sedang mengalami haid karena suatu proses hormonal akan

mengalami nyeri. Tingkatan rasa nyeri ketika haid dan pengaruhnya pada wanita

berbeda antara wanita yang satu dengan yang lainnya. Ada kalanya rasa nyeri

tersebut terasa ringan bahkan hampir tidak dirasakan sama sekali, namun ada pula

kadar rasa nyerinya sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan 10. Nyeri dan

gangguan ini akan terasa sakit terutama di hari pertama dan kedua. Ada yang

mampu tetap beraktifitas seperti biasa, ada yang harus minum obat penghilang

nyeri, bahkan ada yang harus berbaring beberapa hari sampai haid itu selesai.

Selain mengalami gangguan fisik, wanita juga mengalami gangguan psikis.

Proses hormonal yang sedang terjadi memberikan dampak terhadap psikologis

wanita. Perubahan hormon ekstrogen dan progesterone menyebabkan perubahan

psikologis di mana wanita menjadi lebih mudah tersinggung, marah bahkan

depresi.

Permasalahan haid merupakan salah satu aspek yang penting dalam

membangun kualitas sumber daya manusia. Selain itu, permasalahan haid sangat

erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi. Sudah selayaknya untuk setiap

9
Ibid., 2.
10
Muhammad Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Madzhab (Bandung: Ahsan Publishing,
2010), 63.

5
wanita mengetahui seperangkat hukum yang telah ditetapkan Allah SWT untuk

kemashlahatan dirinya.11

Pengetahuan tentang haid dan juga permasalahan-permasalahan yang

terdapat di dalamnya merupakan materi yang sangat sulit untuk dipahami,

sehingga untuk memahaminya diperlukan ketekunan serta ketelitian dalam

mempelajari Al-Qur‘an, hadis Nabi, perkataan sahabat yang berbicara tentangnya.

Di samping itu, diperlukan juga pemahaman yang mendalam dengan menelaah

penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh para pakar yang secara khusus

mendalami masalah tersebut. Karena terkadang ulama berselisih pendapat terkait

dengan hukum tersebut. Seperti misalnya hukum wanita yang sedang haid masuk

ke dalam masjid. Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita yang sedang

mengalami haid tidak diperbolehkan masuk ke dalamnya.

Di sisi yang lain, kondisi masyarakat sekarang ini, khususnya para wanita

yang sedang mengalami haid cenderung menganggap biasa jika masuk ke dalam

masjid, meskipun hukumnya sudah jelas, tidak diperbolehkan menurut

kebanyakan imam madzhab. Bahkan tidak jarang, seminar kajian agama atau

perkuliahan di kampus yang berbasis islam juga menyelenggarakannya di dalam

masjid. Padahal akan sangat mungkin ada wanita yang mengikuti kajian tersebut

mengalami haid.

11
Fitra Lestari, ―Hukum Mencampuri Istri yang Sedang Haid Menurut Islam dan Kesehatan,‖ 63.

6
Aturan tentang ketidakbolehan wanita yang sedang mengalami haid

memasuki masjid ini telah diatur dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 43:

َّ‫َّجنُبًا‬ ِ
ُ ‫اَّماَّتَ ُقولُو َن ََّوَل‬
َ ‫ّت َّتَ ْعلَ ُمو‬ َّ‫ى َّ َح ى‬ َّ‫َّس َك َار ى‬
ُ ‫اَّل َّتَ ْقَربُواَّالص ََلةَ ََّوأَنْتُ ْم‬ َ ‫َّآمنُو‬
َ ‫ين‬َ ‫يَاَّأَي َهاَّالذ‬
َّ‫َح ٌد َِّمْن ُك ْم‬ َ ‫ض ىَّىَّأ ََّْوَّ َعلَ ىَّىَّ َس َف ٍَّرَّأ َْو‬
َ ‫َّجاءََّأ‬
ِ َّ ‫إِلَّعابِ ِريَّسبِ ٍيلَّح‬
َ ‫ّتَّتَ ْغتَسلُواََّّۖ َوإِ َّْنَّ ُكْنتُ َّْمَّ َم ْر‬ ‫َ َى‬ َ
ً ِ‫َّصع‬
َّ‫يدا َّطَيِّبًا َّفَ ْام َس ُحوا‬ َ ‫ََّت ُدوا ََّماءً َّفَتَ يَم ُموا‬
َِ ‫ِم َّن َّالْغَائِ ِط َّأَو ََّلمستُم َّالنِّساء َّفَلَم‬
ْ ََ ُ َْ ْ َ
‫ورا‬ ِ ِ ِ ِ
ً ‫ب ُو ُجوى ُك ْم ََّوأَيْدي ُك ْمََّّۖإنََّّالل َّوََّ َكا ََّنَّ َع ُف ًّواَّ َغ ُف‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh wanita, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.12

Memang harus diakui, meskipun tidak disebutkan secara exsplisit mengenai

pelarangan wanita yang sedang mengalami haid dalam ayat tersebut. namun

ulama menqiyaskan wanita yang sedang mengalami haid dengan seseorang yang

junub.

Menurut pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah melarang wanita yang

sedang mengalami haid memasuki masjid secara mutlak, baik berdiam diri di

dalamnya maupun hanya sekedar melewatinya saja. Sedangkan pendapat Imam

Syafi‘i membolehkan wanita yang sedang mengalami haid jika sekedar melewati

masjid, namun tetap melarang jika memasuki masjid dan berdiam diri di

dalamnya.

12
al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Nisa: 43.

7
Para imam madzhab memiliki pandangan yang sama, yaitu melarang wanita

yang sedang haid memasuki masjid, meskipun tetap terjadi perbedaan mengenai

sampai batas mana kebolehan wanita yang sedang haid memasuki masjid.

Dari paparan tersebut, Ali Asshobuni lebih cenderung pada pendapatnya

madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa haram hukumnya memasuki masjid

bagi wanita yang sedang mengalami haid. Karena darah haid merupakan sesuatu

yang najis, dan haram hukumnya mengotori masjid dengan sesuatu yang najis.

Berangkat dari persoalan-persoalan yang telah disebutkan di atas, maka

penulis ingin meneliti tentang ―Penafsiran Ayat-Ayat Haid dan Implikasinya

Terhadap Hukum, Studi Pemikiran Ali Asshobuni dalam Kitab Rawai‘ Bayan).

Dan dari hal tersebut penulis ingin mengupas lebih dalam persoalan tentang haid

dengan melakukan penelitian serta membedah kembali tentang penafsiran ayat-

ayat haid dan implikasinya serta relevansi terhadap konteks yang sekarang ini.

Karena persoalan terkait dengan haid merupakan sisi yang akan terus dialami oleh

setiap wanita. Dalam hal ini penulis mengambil judul ―Penafsiran Ayat-Ayat Haid

dan Implikasinya Terhadap Hukum (Studi Pemikiran Ali Asshobuni dalam Kitab

Rawai‘ Bayan)‖.

Dalam persoalan haid yang dijadikan objek penelitian penulis adalah ayat-

ayat haid dalam penafsiran Ali Asshobuni dalam kitabnya tafsirnya yang berjudul

Rawai‘ Bayan.

Kitab Rawai‘ Bayan ini adalah kitab yang paling baik dalam masalah tafsir

terhadap ayat-ayat hukum. Hal ini karena pola penyusunan yang digunakan oleh

8
Ali Asshobuni dalam menulis kitab ini menggabungkan pola lama dari segi

kekayaan materi pembahasan dan pola baru dari segi metode, sistematika dan

gaya (uslub) yang memudahkan pembaca untuk memahami kandungan-

kandungan tersebut.13

Dalam menafsirkan Al-Qur‘an, Ali Asshobuni menggunakan pola klasik dari

segi kekayaan materi dalam penafsirannya. Ali Asshobuni terlebih dahulu

mencantumkan penafsiran ulama-ulama lain sebelum beliau menjelaskan

penafsirannya sendiri atas suatu ayat. Bahkan Ali Asshobuni juga menjelaskan

penafsiran yang bersifat kontradiktif dengan memaparkan masing-masing

penafsiran baru kemudian menjelaskan pemikirannya mengenai hal tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disinggung sebelumnya, agar tidak terjadi

pembahasan yang terlalu luas sehingga akan mengaburkan permasalahan yang

ada, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana prespektif-prespektif tentang haid?

2. Bagaimana penafsiran Ali Asshobuni terhadap ayat-ayat haid dalam Al-

Qur‘an?

3. Apa implikasi hukum Islam bagi wanita yang sedang mengalami haid?

13
Mu‘amal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1983), xii. (Syekh Abdullah Al-Khayyath, kata sambutan untuk Muhammad Ali
Asshobuni dalam Rawai‘ Bayan juz 1

9
4. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan pokok permasalahan diatas, maka tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui prespektif-prespektif tentang haid.

2. Untuk mengetahui penafsiran Ali Asshobuni terhadap ayat-ayat haid dalam

Al-Qur‘an.

3. Untuk mengetahui implikasi hukum Islam bagi wanita yang sedang

mengalami haid.

5. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang dipaparkan di atas, maka penelitian ini diharapkan agar

berguna:

1. Sebagai sumbangan pemikiran positif, khususnya dalam memahami dan

mempelajari implikasi haid dari prespektif hukum Islam.

2. Dapat memperkaya wacana kajian wanita dalam Islam di dunia akademis.

3. Untuk menampah wawasan penulis serta sebagai kontribusi pemikiran dalam

bidang Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir.

4. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir pada program

strata satu program Studi Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir di Institut Agama Islam

Negri Salatiga.

6. Kerangka Teori

Al-Qur‘an merupakan petunjuk (huda). Tidak hanya petunjuk bagi suatu umat

tertentu dan untuk periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk universal

10
dan berlaku sepanjang waktu. Bukan hanya petunjuk untuk orang-orang beriman,

namun juga petunjuk umat seluruh umat manusia (hudan li al-nas).

Sebagai kitab petunjuk yang berlaku sepanjang zaman, isi kandungan Al-

Qur‘an tentu mencangkup seluruh aspek kehidupan masyarakat, serta memuat

informasi-informasi dasar tentang berbagai hal. Di dalamnya tidak hanya dibahas

persoalan akidah, namun juga persoalan hukum.

Seiring dengan perubahan dan kemajuan perkembangan zaman, umat Islam

selalu menghadapi berbagai masalah baru yang meliputi hampir semua aspek

kehidupan. Seperti misalnya persoalan yang terkait dengan haid. Meskipun

hukum haid sudah ada sejak masa Nabi SAW, namun hukum yang terkait dengan

hal ini masih dibutuhkan agar mampu menghadapi tantangan zaman sehingga

tetap relevan diterapkan sebagai hukum Islam di era sekarang.

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji lebih dalam mengenai penafsiran

ayat-ayat haid dan hukumnya serta relevansi dengan konteks yang sekarang ini.

Metode pembahasan dalam penelitian ini berdasarkan tema-tema yang berkaitan,

atau dalam istilah ilmu tafsir dikenal dengan metode maudhu‘i.

Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya

tafsir berdasarkan metode maudhu‘i adalah:

1. Menentukan topik bahasan setelah menemukan batas-batasnya, dan

mengetahui jangkauannya di dalam ayat-ayat Al-Qur‘an.

2. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah

tersebut.

11
3. Merangkai urutan-urutan ayat sesuai dengan masa turunnya, misalnya

dengan mendahulukan ayat Makkiyah dari pada ayat Madaniyah, karena

ayat-ayat yang diturunkan di Makkah biasanya bersifat umum.

4. Kajian tafsir ini merupakan kajian yang memerlukan bantuan kitab-kitab

tafsir tahlili, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat sepanjang

yang dapat dijumpai, munasabat dan pengetahuan tentang dilalah suatu

lafal dan penggunannya. Maka mufassir perlu mengetahui itu semua,

meskipun tidak harus dituangkan dalam pembahasan.

5. Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna.

6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut masalah

yang dibahas itu.

7. Mempelajari ayat-ayat yang dipilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat

yang sama pengertiannya. Atau mengkompromikan antara am (umum)

dan khash (khusus), yang mutlaq dengan muqayyad, atau yang

kelihatannya kontraditif, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara

tanpa perbedaan atau pemakasaan dalam penafsiran.

8. Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa fasal, dan

setiap fasal itu dibahas, kemudian ditetapkan unsur pokok yang meliputi

macam-macam pembahasan yang terdapat pada bab, kemudian

12
menjadikan unsur yang bersifat cabang (furu) sebagai satu macam dari

fasal.14

Adapun Corak dan kecenderungan yang peneliti gunakan dalam mengkaji

tema ini menggunakan corak fiqih (tafsir fiqhi) yang khusus membahas ayat-ayat

hukum dalam Al-Qur‘an. Tafsir fiqhi secara spesifik mengulas fanatisme

madzhab satu sisi dan sisi lain melemahkan madzhab yang lain.15

Penulis berharap dengan menggunakan metode dan corak seperti ini akan

terkuak bagaimana Al-Quran dapat memberikan jawaban bagi permasalahan

manusia, khususnya untuk prempuan atas masalah haid.

7. Kajian Pustaka

Tema tentang haid memang sudah banyak yang mengkajinya, baik dalam bentuk

skripsi, tesis, artikel, maupun buku dengan menggunakan metode yang berbeda-

beda, diantaranya sebagai berikut:

Tesis yang berjudul Haid (Menstruasi) dalam Hadis karya Ahmad Suhendra

membahas tentang haid dalam prespektif hadis. Di dalam tesisnya, Ahmad

Suhendra menelaah ulang hadis-hadis tentang haid dari aspek pemaknaan dan

pemahaman hadis-hadis wanita yang bias gender. Selain itu, Suhendra membatasi

penelitiannya pada hadis-hadis yang memiliki korelasi dengan mitos-mitos yang

terjadi di masyarakat terkait dengan wanita yang sedang mengalami haid. Ahmad

14
Ahmat Roes, ―Kajian Terhadap Kitab-Kitab Tafsir‖ (Universitas Islam Negri Walisongo, 2014),
7.
15
Ibid., 10.

13
Suhendra menelusuri hadis-hadis dan sumber-sumber yang berkaitan tentang

haid, maka jenis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Adapun sifat

penelitian ini adalah kepustakaan murni (library research), yakni penelitian yang

menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data.

Tesis berjudul Larangan Bagi Wanita Haid Menurut Ibn Hazm dalam

Tinjauan Maqashid Al-Syari'ah dan Relasinya dengan Kemajuan Ilmu

Pengetahuan karya Syahmi Hartis. Syahmi Hartis mengulas tentang pandangan

Ibn Hazm tentang larangan bagi wanita yang sedang haid dalam tinjauan

maqashid al-syari'ah dan relevansinya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Penelitiannya dibatasi pada permasalahan larangan membaca dan

menyentuh Al-Qur‘an serta larangan masuk masjid ditinjau dari maqashid al-

syari'ah. Syahmi Hartis menggunakan metode pustaka (library research) untuk

penelitiannya tersebut.

Skripsi yang berjudul Study Analisis Pemahamam Materi Haid dan

Istihadhah pada Siswi Kelas VII MTS Al-Hadi Girikusuma Kecamatan Mranggen

Kabupaten Demak Tahun Ajaran 2014/2015 karya Siti Fajaroh mengulas tentang

pengertian haid dan istihadhoh, ciri-cirinya serta masa paling minimal dan

maksimal haid serta istihadhoh. Dalam skripsi ini, Siti Fajaroh menggunakan

metode kuantitatif yang dilakukan di MTS Al-Hadi Girikusuma Kabupaten

Demak.

Skripsi yang berjudul Kesadaran Hukum Wanita Haid Berdiam Diri Di

Masjid (Studi Kasus Mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon) karya Rochmat

14
Fauzi mengulas tentang haid secara umum, hikmah adanya haid, masa haid serta

disebutkan juga jenis dan sifat darah haid dan apa saja perkara yang diharamkan

ketika haid. Dalam skripsinya, Rochmat Fauzi mengunakan metode kuantitatif

yang dilakukan di IAIN Syekh Nurjati Cirebon untuk mengetahui pemahaman

wanita terutama mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon berdiam diri di masjid

pada saat mengalami haid.

Skripsi yang berjudul Regulasi Emosi dengan Rasa Nyeri Haid (Dismenore)

pada Remaja karya Dwi Anna Khoerunisya ini mengulas tentang haid dari sisi

kesehatan, seperti misalnya pengertian nyeri haid, macam-macam nyeri serta

bagaimana tingkatan nyeri haid. Dalam skripsi ini, Dwi Anna Khoerunisya

menggunakan metode kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui seberapa

berpengaruhnya nyeri haid (disminore) pada emosi remaja.

Meskipun penelitian mengenai haid sudah banyak dilakukan, penelitian ini

setidaknya layak untuk dilanjutkan untuk melengkapi tulisan-tulisan dan

penelitian-penelitian sebelumnya. Karena menurut penulis, belum ada kajian yang

membahas secara khusus penafsiran ayat-ayat haid dan implikasinya terhadap

hukum islam. Yang membedakan dengan kajian pustaka di atas, dalam skripsi ini

menyebutkan secara keseluruhan mengenai ayat-ayat yang bersangkutan dengan

permasalahan haid.

Dalam kajian ini, penulis menggunakan tafsir ahkam karya Ali Ashobuni

sebagai sumber utama dalam memahami tafsir ayat-ayat yang berhubungan

dengan haid. Karena sejauh penelusuran penulis, meskipun banyak peneliti

15
menyebutkan hukum-hukum haid, namun belum ada kajian yang merujuk secara

spesifik pada tafsir ahkam, terutama karya Ali Ashobuni.

8. Metode Penelitian

Metodologi penelitian sangat menentukan sebuah keberhasilan atas maksud yang

ingin dicapai dalam sebuah tulisan. Persoalan yang penting patut dikedepankan

dalam metodologi penelitian adalah dengan cara apa dan bagaimana data yang

diperlukan dapat dikumpulkan sehingga hasil akhir penelitian mampu menyajikan

informasi yang valid dan reliable.16

Oleh karena itu, untuk memperoleh bahan informasi yang akurat dalam

pembahasan Skripsi ini, digunakanlah metodologi dan langkah-langkah sebagai

berikut :

1. Jenis Data

Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan) melalui

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena fokus penelitian

menitik beratkan pada kajian konseptual mengenai haid, dengan membaca

buku referensi dari literatur yang berkenaan dengan penelitian ini, yaitu

berupa karya tulis dan sebagainya.

2. Sumber Data

Karena penelitian ini merupakan library research, maka semua penelitian

dipusatkan pada kajian terhadap data dan buku-buku yang berkaitan dengan

16
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metologis ke Arah Ragam Varian
Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 42.

16
permasalahan ini. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua sumber,

yaitu:

a. Data Primer

Yaitu data yang diambil dari sumber asli yang memuat suatu informasi.

Artinya sumber data yang digunakan merupakan karya yang langsung

diperoleh dari tangan pertama yang terkait dengan tema penelitian. Jadi,

data-data primer ini mencangkup Al-Qur‘an, Hadis, serta Tafsir Ayat-

Ayat Ahkam karya Ali Ashobuni.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh bersifat pelengkap. Biasanya data ini tersusun

dalam bentuk dokumen-dokumen untuk memberikan penjelasan tentang

pokok permasalahan. Dalam hal ini penulis mengambil data dari buku-

buku yang ada relevansinya dengan permasalahan yang sedang penulis

bahas, seperti kitab Tafsir Al-Lubab, M. Quraish Shihab Menjawab: 101

Soal Wanita yang Patut Anda Ketahui, Fiqih Sunnah Lin Nisa‘, Fikih

Empat Madzhab, dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dipakai untuk mengumpulkan

informasi atau fakta-fakta di lapangan.17

17
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian
(Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014), 208.

17
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode riset

kepustakaan. Penulisan dalam kajian pustaka sebagaian besar hanya

merupakan kutipan dari berbagai karya ilmiah dan buku refrensi yang

mendukung pembahasan masalah judul skripsi ini.

4. Analisis Data

Setelah semua data yang dibutuhkan didapatkan, penulis akan mengolah data

dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode yang bersifat

deskriptif, yaitu bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini

berlaku.18

9. Sistematika penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini antara lain memuat beberapa bab dan

sub-bab yang meliputi point-point penting terhadap permasalahan yang ada. Pada

Bab pertama adalah pendahuluan, yang memuat pembahasan tentang latar

belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,

metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab kedua, menampilkan persoalan-persoalan wanita mengenai tentang haid.

Dalam bab ini dijelaskan pula mengenai pengertian haid, masa terjadinya haid,

gangguan-gangguan yang terjadi selama haid, serta dijelaskan pula haid dari segi

medis, mulai dari pengertian, siklus haid, gangguan-gangguan yang dialami

18
Mardalis, Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal) (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), 26.

18
wanita ketika mengalami haid serta menyebutkan akibat berhubungan badan

ketika wanita sedang mengalami haid.

Setelah mengetahui apa saja pengertian serta persoalan-persoalan wanita

mengenai tentang haid, pada bab ketiga ini dijelaskan persoalan haid dalam

prespektif Al-Qur‘an. Di sini penulis memaparkan penafsiran ayat-ayat haid

dengan menggunakan tafsir ahkam karya ali Ashobuni. Serta memaparkan pula

dampak-dampak hukum ketika wanita sedang mengalami haid dalam prespektif

Al-Qur‘an

Pembahasan dilanjutkan dengan bab keempat yang menampilkan analisis

penulis terhadap hal-hal yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya.

Dan yang terakhir yaitu bab kelima. Pada bab ini berisi kesimpulan dari

seluruh uraian yang telah dikemukakan dan merupakan jawaban dari rumusan

masalah yang telah dipaparkan diatas, serta saran-saran yang dapat disumbangkan

sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut, serta lampiran-lampiran.

19
BAB II
HAID DALAM BERBAGAI PRESPEKTIF

A. Haid Dalam Prespektif Hukum Islam

1. Pengertian Haid

Menurut bahasa, kata haid merupakan mashdar dari fi’il: khaada- yahidu-

khaidon. Dalam kamus Maqoyisul Lughoh disebutkan bahwa khaada artinya

adalah mengeluarkan air yang berwarna merah.19 Adapun dalam kamus Al-

Munawir khaada mempunyai arti mengalirkan.20 Dan menurut arti syara‘ ialah

darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada

waktu tertentu. Haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit,

luka, keguguran atau melahirkan. Karena haid adalah darah normal, maka darah

tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi

perbedaan yang nyata pada setiap wanita.21

Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada kondisi sehat,

bukan karena faktor persalinan ataupun pecahnya selaput keperawanan. Apabila

seorang wanita melihat darah sebelum menginjak usia Sembilan tahun atau

melihat darah setelah menginjak usia menopause, darah tersebut bukan darah

haid, tetapi darah kotor atau biasa disebut dengan istihadoh.22

19
Ahmad Faris, Mu’jam Maqoyisul Lughoh Jilid 2 (Beirut: Darul Fik, 1979), 124.
20
Ahmad Warson Munawir, Kamus AL-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap (Jakarta: Pustaka
Progressif, 1984), 314.
21
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsmani, Darah Kebiasaan Wanita, t.t., 6.
22
Wahhab Khallaf, Fikih Empat Mazhab Praktis, 296.

20
Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya menyebutkan bahwa haid

adalah darah yang biasa keluar dari diri seseorang wanita pada hari-hari tertentu.

Haid itu mempunyai dampak yang membolehkan meninggalkan ibadah dan

menjadi patokan selesainya iddah bagi wanita yang dicerai.23

Ada beberapa hal yang berbeda dalam pandangan imam madzhab terkait

dengan permasalahan haid ini:24

a. Hanafiyah

Apabila darah keluar dari (kemaluan) wanita berusia sembilan tahun,

darah tersebut adalah darah haid menurut pendapat terbaik. Apabila yang

bersangkutan melihat darah tersebut, ia tidak boleh berpuasa dan shalat.

Apabila seorang wanita melihat darah keluar dari (kemaluannya)

setelah itu, darah tersebut bukan darah haid. Kecuali jika ia melihat darah

kental berwarna hitam atau merah pekat setelah menginjak usia

menopause, saat itu darah tersebut dinilai sebagai darah haid.

b. Malikiyah

Apabila darah keluar dari (kemaluan) gadis remaja berusia sembilan

hingga tiga belas tahun, lalu hal itu ditanyakan kepada para wanita,

kemudian mereka memastikan darah tersebut darah haid atau

meragukannya, berarti darah tersebut adalah darah haid. Sementara jika

23
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera, 2007), 34.
24
Wahhab Khallaf, Fikih Empat Mazhab Praktis, 296–97.

21
mereka memastikan darah tersebut bukan darah haid, berarti bukan darah

haid, tetapi darah penyakit atau darah kotor.

Apabila darah keluar dari (kemaluan) wanita yang berusia lebih dari

tiga belas tahun hingga usia lima puluh tahun, darah tersebut dipastikan

haid. Dan jika darah keluar dari (kemaluan) wanita yang berusia lebih

dari lima puluh tahun hingga usia tujuh puluh tahun, lalu hal tersebut

ditanyakan kepada para wanita, kemudian pendapat mereka diterapkan,

dipastikan darah tersebut bukan darah haid, tapi darah istihadhah. Seperti

itu juga ketika darah keluar dari anak wanita yang belum menginjak usia

Sembilan tahun.

c. Syafi‘iyah

Masa haid tidak ada batas akhirnya. Haid mungkin saja terus dialami

seorang wanita sepanjang hidup. Namun umumnya darah haid berhenti

setelah menginjak usia enam puluh dua tahun.

d. Hanabilah

Mereka memperkirakan batas usia menopause adalah lima puluh tahun.

Misalkan seorang wanita melihat darah setelah batas usia ini, darah

tersebut bukan darah haid meski kental.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa darah haid

adalah darah yang keluar dari rahim wanita pada kondisi sehat yang

sudah mencapai usai sembilan tahun melalui vagina. Darah haid keluar

secara alami pada waktu-waktu tertentu, bukan disebabkan oleh suatu

22
penyakit, pecahnya selaput keprawanan, keguguran ataupun melahirkan.

Oleh karena haid adalah darah normal, maka darah tersebut berbeda

sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya sehingga terjadi perbedaan yang

nyata pada setiap wanita. Haid juga merupakan indikasi wanita telah

mencapai usia baligh.

2. Usia Seorang Mengalami Haid

Semua ulama madzhab bersepakat bahwa usia terendah bagi seorang wanita

untuk menjalani masa haid adalah sembilan tahun. Oleh karena itu, apabila

ada seorang wanita yang mengeluarkan darah melalui kemaluannya sebelum

usia tersebut, maka itu bukanlah darah haid. Artinya tidak berlaku baginya

hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah haid. Karena tidak ada

ketetapan hukum yang mengatur bahwa seorang wanita mampu menjalani

masa haid sebelum usia tersebut.25 Telah diriwayatkan dari Aisyah

Radhiyallahu anha, dimana dia berkata:

ِ ِ ِ ْ َّ‫ت‬ َِّ َ‫َّعائِ َشةَُّإِذَاَّبَلَغ‬


ْ ‫يَّفَ ِه َى‬
َّ 26.ٌ‫َّامَرأَة‬ َ ‫اْلَا ِريَةَُّت ْس َعَّسن‬ َ ‫ت‬ ْ َ‫َوقَ ْدَّقَال‬
Apabila seorang anak wanita mencapai usia sembilan tahun, maka ia
sudah termasuk permpuan (memasuki usia baligh). (HR. Imam At-
tirmidzi)

Hanya saja para Ulama‘ berbeda pendapat mengenai batas usia lanjut

yang haidnya telah berhenti. Adapun Hambali berpendapat, maksimal wanita

mengalami haid itu jika dia berusia lima puluh tahun, Hanafi berpendapat lima
25
Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 84.
26
Muhammad bin ‘Isa Al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya al-Turots al-‘Arobiy, t.t.),
419, nomor hadis: 1109.

23
puluh lima tahun, adapun Maliki berpendapat tujuh puluh tahun, dan Syafi‘i

berpendapat bahwa selama masih hidup maka haid itu masih mungkin,

sekalipun biasanya darah akan berhenti setelah berusia enam puluh dua

tahun.27

Ad Darimi juga berpendapat bahwa, haid yang menjadi acuannya adalah

keberadaannya darah. Maka seberapa pun adanya, dalam kondisi

bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi

sebagai darah haid. Jadi kapanpun seorang wanita mengeluarkan darah berarti

ia haid, meskipun usianya belum mencapai sembilan tahun atau di atas lima

puluh tahun. Sebab Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum

haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu

kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum.28

Perbedaan pendapat mengenai usia terakhir haid tersebut disebabkan

karena tidak adanya penjelasan dari Al-Qur‘an maupun hadis. Adapun para

ulama menetapkan batasan tersebut dengan melihat kebiasaan dan keadaan

wanita.

3. Masa Minimal dan Maksimal Haid

Sama seperti usia maksimal wanita mengalami haid, para ulama berbeda

pendapat mengenai penetapan masa minimal dan maksimal lamanya masa

haid. Boleh jadi perbedaan ini dikarenakan hasil penelitian dan pengamatan

27
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 34.
28
Darah Kebiasaan Wanita, 7.

24
para ulama terhadap wanita yang mengalaminya berbeda-beda antara seorang

dengan yang lain.29 Menurut Ulama Hanafiyah, batas minimal masa haid

adalah tiga hari tiga malam, dan batas maksimalnya sepuluh hari sepuluh

malam. Jika darah haid terjadi secara rutin dan batas waktunya melebihi

waktu normal namun kurang dari sepuluh hari, selebihnya tersebut termasuk

haid.30

Ulama Malikiyah berkata, ―Tidak ada batas minimal haid dalam

kaitannya dengan ibadah, bukan berdasarkan darah yang keluar, juga bukan

berdasarkan waktunya. Andaikan darah keluar dari kemaluan seorang wanita

satu kali dalam sesaat, darah tersebut dianggap sebagai darah haid. Namun

jika kaitannya dengan ‗iddah dan istibra‘, maka batas minimalnya sehari atau

kurang dari sehari. Juga tidak ada batas maksimal haid, namun berdasarkan

darah yang keluar. Untuk itu haid tidak dibatasi sebanyak satu rithel misalnya.

Lebih dari itu atau kurang dari itu. Adapun batas maksimal haid-berdasarkan

waktu-diperkirakan selama lima belas hari bagi wanita pemula yang tidak

sedang hamil.31

Batas minimal masa suci menurut imam madzhab juga berbeda pendapat.

Ulama Hanabilah berpendapat, Batas minimal masa suci di antara dua haid

adalah tifa belas hari. Ulama‘ Syafi‘iyah berpendapat, Batas minimal masa

29
Quraish Shihab, M Quraish Shihab menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui
(Tangerang: Lentera Hati, 2010), 52.
30
Wahhab Khallaf, Fikih Empat Mazhab Praktis, 299.
31
Ibid., 300.

25
suci adalah lima belas hari, dengan syarat masa suci berada di antara dua

darah haid.

Bersih yang berada diantara dua haid dalam satu rentang masa imkanul

haid (masa 15 hari sejak awal darah haid keluar) dianggap sebagai darah haid.

Misalkan seseorang wanita melihat darah pada suatu hari, dan pada hari

berikutnya melihat bersih, lalu pada hari berikutnya melihat darah, dan semua

ini terjadi dalam masa haid, semua dianggap haid. Sedangkan menurut ulama

Hanabilah dan Malikiyah berpendapat, Bersih pada masa haid adalah suci.

Misalkan darah berhenti pada satu hari di antara dua haid, masa tersebut

dianggap masa suci. Pada masa itu, wanita yang bersangkutan melakukan hal-

hal yang dilakukan wanita-wanita yang bersih (tidak sedang haid).32

Dan berhentinya darah haid dapat diketahui dengan cara wanita

memasukkan kain bersih atau kapas ke dalam kemaluannya untuk melihat ada

sisa darah atau tidak. Jika sudah benar-benar bersih, tidak ada cairan yang

berwarna keruh maka dapat di pastikan kalau masa haid telah berakhir.33

4. Jenis Dan Sifat-Sifat Darah Haid

Adapun syaratnya warna darah haid itu harus memiliki warna seperti salah

satu warna darah, yaitu:

a. Hitam (warna yang paling kuat)

32
Ibid., 301.
33
Erna Sinaga, Nonon Saribanon, dan Nailus Sa‘adah, Manajemen Kesehatan Menstruasi
(Universitas Nasional: IWWASH Hlobal One, 2017), 118.

26
b. Merah

c. Kuning

d. Keruh34

Jika darah yang keluar berwarna kuning atau keruh apabila keluarnya setelah

suci dari haid, maka cairan tersebut tidak termasuk sebagai darah haid.35 Dan

dihukumi najis sebagaimana darah istihadoh, karena keluarnya dari bagian dalam

(batin).36

Adapun yang menjadi sebab perselisihan pendapat di kalangan ulama

mengenai masalah warna darah di antaranya adalah, pemahaman terhadap makna

lahiriyyah dari hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyyah dan hadis yang

diriwayatkan oleh Aisyah.

Hadis Ummu Athiyyah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

َّ‫ت‬ ِ ‫َّعْنأ ُِّم‬،َّ‫َّع َّنَّ ُُمم ٍَّد‬،َّ‫وب‬ ِ ‫َّحدثَنَاإِ ْْس‬:َّ ‫ال‬ ٍَّ ِ‫َّسع‬
ْ َ‫َّقَال‬،َّ‫َّعطي ََّة‬
َ َ َ ْ َ ََّ ‫َّع َّْنَّأَي‬،
َ َّ‫يل‬
َُّ ‫اع‬َ َ َ َ‫َّق‬،َّ‫يد‬ َ ‫َحدثَنَاَّقُتَ ْيبَةَُّبْ ُن‬
37
.‫َّشْيئًا‬
َ ‫اَّلَّنَعُدَّالْ ُك ْد َرَة ََّوالص ْفَرَة‬
َ ‫َّ ُكن‬:
Sesungguhnya kami tidak menganggap cairan keruh dan keluning-kuningan
(setelah suci) sebagai suatu masalah.

Sedangkan hadis Aisyah diriwayatkan oleh Imam Malik:

ِِ ِ ِ‫ َّموَلة‬-َّ‫َّع َّنَّأ ُِّم َِّو‬،َّ‫َّعْن ع ْل َقمةَ َّب ِن َّأَِِب َّع ْل َقم ََّة‬،‫ك‬ ٍ ِ َ ‫ن َّ َُْيَي‬
َّ-َّ ‫ي‬ َ ‫َّعائ َشةَ َّأ ُِّم َّالْ ُم ْؤمن‬
َ َْ َْ َ َ ْ َ َ َ ‫َّع ْن ََّمال‬، َ َّ َِ‫َحدث‬
َُّ‫َّفِ ِيو َّالص ْفََّرة‬،َّ‫ف‬ َُّ ‫َّفِ َيهاَّالْ ُك ْر ُس‬،َّ‫ِّر َج َِّة‬ ِ ِِ ِ ََّ ِ‫َّ َكا َن َّالنِّساء َّي ب عثْن َّإ‬:َّ ‫أَن هاَّقَالَت‬
َ ‫لَّ َعائ َش َّةََّأ ُِّم َّالْ ُم ْؤمنينَبالد‬ َ َ َْ ُ َ ْ َ
34
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Fikr, 2007), 510.
35
Ibid.
36
M. Masykur Khoir, Haidl & Thoharoh (Kediri, 2002), 20.
37
Muhammad bin Isma‘il Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), 99, nomor
hadis: 326.

27
َّ.ََّ‫اء‬
َّ ‫ض‬
َ ‫َّحّت َّتَ َريْ ََّنَّالْ َقص َة َّالْبَ ْي‬ ُ ‫َّفَتَ ُق‬،ِ‫اَّع ِن َّالص ََلة‬
َ ‫ََّل َّتَ ْع َج ْل َن‬:َّ ‫ول َّ ََلُن‬
ِ ‫َّاْلي‬
َ َْْ ‫َّدِم‬
َ ‫َّيَ ْسأَلْنَ َه‬،‫ضة‬ َ ‫م ْن‬
ِ
.38‫ض َِّة‬ ْ ‫كَّالط ْهَر َِّم َن‬ ِ ‫تُِر‬
َ ‫َّاْلَْي‬ َ ‫يدَّبِ َذل‬
ُ
Yahya bercerita kepadaku dari Malik, dari ‗Al Qomah, dari ibunya, maula
(mantan hamba sahaya) Aisyah, bahwasanya ia mengatakan, Para wanita
mengutus seseorang kepada ummul mukminin Aisyah dengan membawa
kain yang berisikan kapas yang terdapat cairan berwarna kekuningan dari
darah haid, mereka menanyakan kepadanya tentang bolehnya mereka untuk
shalat (setelah keluarnya cairan kuning tersebut). Maka Aisyah berkata
kepada mereka, ―Janganlah terburu-buru hingga kalian melihat cairan putih.‖
Yang dimaksudkan adalah suci dari haid.39

Untuk menjawab kedua hadis yang terlihat kontradiksi, maka kedua hadis ini

dikompromikan oleh Imam Syafi‘i dengan memunculkan konsep imkanul haid

(masa 15 hari sejak awal darah haid keluar).

Sedangkan sifat-sifat darah haid adalah:

a. Kental

b. Cair

c. Berbau busuk

d. Tidak berbau40

5. Hal-Hal di Luar Kebiasaan Haid

a. Waktu datangnya haid tidak sesuai dengan kebiasaan.

38
Malik bin Anas, Al-Muwatta (Mesir: Dar al-Syu‘bi, t.t.), 59, nomor hadis: 128.
39
Abu Malik Kamal, fiqih sunnah lin nisaa’ ENSIKLOPEDI FIQIH WANITA (Depok: Pustaka
Khazanah Fawa‘id, 2016), 93. Hanya dishohihkan oleh Ibnu Hiban dan Al ‗Ijli
40
Khoir, Haidl & Thoharoh, 20.

28
Misalkan seorang wanita terbiasa haid pada awal bulan, lalu ternyata dia

haid di akhir bulan, atau sebaliknya, misalkan dia terbiasa haid pada akhir

bulan, lalu ternyata di awal bulan dia sudah mengalami haid.

Terlambatnya waktu datang haid itu disebabkan oleh kondisi

kejiwaan seseorang. Perasaan takut, sedih, gelisah dapat juga

mempengaruhi keteraturan waktu datangnya haid, akibatnya datangnya

haid akan terlambat, tidak seperti biasanya. Bisa juga haid datangnya

terlambat dikarenakan oleh suatu penyakit.41

b. Darah haid keluar lebih lama.

Misalnya seorang wanita biasanya haid selama lima hari setiap bulannya,

namun pada bulan-bulan berikutnya, masanya lebih lama menjadi tujuh

delapan atau sepuluh hari. Jika masih dalam masa maksimal haid tidaklah

masalah. Tetapi jika darah masih keluar melebihi waktu batas maksimal

haid, maka yang keluar bukan lagi darah haid, melainkan darah istihadoh.

c. Darah haid keluar secara terputus-putus.

Menurut Imam Syafi‘i, apabila saat terputus-putus jumlah darah yang

keluar belum mencapai 24 jam, maka tidak wajib mandi. Bahkan hanya

cukup membersihkan kemaluan lalu berwudhu. Setelah itu boleh

melakukan aktivitas ibadah selayaknya orang yang tidak mengalami haid.

Karena darah yang keluar tidak mencapai 24 jam itu bukanlah darah haid.

41
Khalid Jad, Hanya Untuk Perempuan (Solo: Era Intermedia, 2006), 88.

29
Namun jika darah yang keluar sudah mencapai 24 jam, maka diwajibkan

untuk mandi.42

Jika yang terjadi adalan an-naqa (seorang wanita yang sedang haid

kemudian dalam sehari haidnya terputus dan hari setelahnya keluar

kembali), dalam masalah ini ada dua pendapat ulama. Yang pertama

pendapat imam Hanafi dan Syafi‘i berpendapat bahwa masa darah

berhenti mengalir (an-naqa) ditengah-tengah masa haid dianggap sebagai

haid. Artinya keseluruhan masa-masa tersebut dianggap sebagai masa

haid. Namun jika terjadi melebihi masa maksimal haid (15 hari) maka

setelah melewati masa 15 hari itu adalah darah istihadhah (jika wanita

tidak memiliki adat dan dia bukan orang yang tamyiz).43

Sedangkan pendapat kedua yang merupakan pendapatnya Imam

Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa masa tidak keluarnya darah di

antara masa keluarnya darah adalah sebagai suci.

d. Keluarnya darah ketika hamil.

Menurut kaidah yang berlaku, wanita hamil sebenarnya tidak mengalami

haid. Namun, terkadang ada wanita yang tidak normal sehingga keluar

darah pada saat hamil. Apabila dilihat kondisi darahnya menyerupai darah

42
Khoir, Haidl & Thoharoh, 9.
43
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 514.

30
baik secara warnanya, baunya dan ciri-cirinya, serta keluar pada masa

haid, maka darah tersebut dianggap sebagai darah haid.44

Sedangkan ulama madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa

permpuan yang sedang hamil tidak akan didatangi haid, karena keluarnya

darah haid merupakan tanda bersihnya rahim. Hal ini menunjukkan bahwa

haid tidak akan dapat bersatu dengan kehamilan. Maka jika seseorang

yang hamil mengeluarkan darah sebelum melahirkan, dia tetap

mempunyai kewajiban untuk melaksanakan shalat, puasa, i‘tikaf, thawaf

dan sebagainya. Karena darah yang keluar tersebut merupakan darah

penyakit (fasad), bukan darah haid.45

B. Haid Dalam Prespektif Medis

1. Pengertian Haid (menstruasi)

Menstruasi adalah suatu proses pelepasan lapisan dalam dinding rahim akibat

pengaruh hormon yang terjadi secara berkala pada wanita yang sudah mencapai

usia subur.46 Menstruasi merupakan proses biologis yang terkait dengan

pencapaian kematangan seks, kesuburan, ketidakhamilan, normalitas, kesehatan

tubuh dan bahkan pembaharuan tubuh itu sendiri.47 Menstruasi merupakan

44
Malik Kamal, fiqih sunnah lin nisaa’ ENSIKLOPEDI FIQIH WANITA, 96.
45
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 510.
46
Dewi Ratna Sulistina, ―Hubungan Pengetahuan Menstruasi dengan Prilaku Kesehatan Remaja
Putri Tentang Menstruasi Di SMPN 1 Trenggalek‖ (Universitas Sebelas Maret, 2009), 31.
47
Irwan Abdullah, ―Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender‖ 14, no.
Humaniora (1 Februari 2002): 34.

31
kejadian fisiologis bagi wanita yang sudah remaja, dalam hal ini hormon-hormon

reproduksi mereka sudah mulai bekerja. Menstruasi merupakan sebuah indikator

kematangan seksual pada remaja putri.48 Menstruasi dikendalikan oleh hormon

dan aktif terjadi pada masa reproduktif, yaitu sejak pubertas hingga menopause,

kecuali selama kehamilan.

Menstruasi yang terjadi pertama kali disebut menarche, dan menjadi tanda

bahwa tubuh wanita tersebut sedang melakukan proses pelepasan telur. Setiap

tahap dalam siklus menstruasi diatur oleh hormon-hormon yang berbeda,

termasuk memproduksi estrogen.49 Pada tiap siklus menstruasi, terdapat 3-30

folikel yang akan diproses lebih lanjut lagi. Selanjutnya hanya akan ada satu

folikel terpilih yang akan dikeluarkan dalam bentuk sel telur (oosit). Perdarahan

yang terjadi pada kejadian menstruasi menandakan bahwa rahim telah berfungsi.

2. Kandungan Darah haid (menstruasi)

Darah menstruasi yang dikeluarkan oleh vagina mengandung berbagai macam

substansi (zat) atau unsur-unsur, yaitu sebagai berikut:

a. 50-80% hasil campuran dari peluruhan lapisan endometrium uteri.

b. bekuan darah yang telah mengalami proses hemolisis dan aglutinasi.

c. sel-sel epitel dan sroma (jaringan ikat pada organ tubuh) dari dinding

uterus dan vagina yang mengalami disintegrasi dan otolisis.

48
Mira Trisyani, ―Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Keluhan Tentang Menstruasi Di Antara
Remaja Putri,‖ Jurnal Keperawatan Komprehensif, Vol. 4 No. 2 (Juli 2018): 87.
49
Caroline J. Bohme, Jannette C. Gosch-Weisbrodt, dan Rona B. Warton, Yang Perlu Anda
Ketahui Kesehatan Wanita di Atas Usia 40 Tahun (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, t.t.), 2.

32
d. cairan dan lender (terutama yang dilekuarkan dari dinding uterus, vagina

dan vulva).

e. beberapa bakteri dan mikroorganisme yang senantiasa hidup di beberapa

kemaluan wanita (flora normal) seberti basil doderleine, streptokokus,

diferoid dan echerichia.50

3. Siklus Haid (menstruasi)

Siklus menstruasi adalah jarak dari hari pertama menstruasi sampai hari pertama

menstruasi berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus.

Panjang siklus menstruasi yang normal atau dianggap sebagai siklus

menstruasi yang klasik ialah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas antara

wanita satu dengan wanita yang lain.51

Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, selaput lendir

(endometrium) uterus mengalami perubahan-perubahan siklik yang berkaitan erat

dengan aktivitas ovarium. Dapat dibedakan tiga fase endometrium dalam siklus

menstruasi.52 Masing-masing fase tersebut adalah sebagai berikut:

a. Fase Proliferasi

Setelah masing-masing daerah endometrium mengelupas sewaktu

menstruasi, mulai terjadi proses perbaikan regeneratif, permukaan

50
H. Hendrik, Problema Haid Tinjauan Syariat dan Medis (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2006), 96.
51
Syamhartis, ―Larangan Bagi Wanita Haid Menurut Ibn Hazm Dalam Tinjauan Maqasidh Al-
Syari‘ah dan Relevansinya dengan Kemajuan Ilmu Pengetahuan‖ (Universitas Islam Sultan Syarif
Kasim, 2011), 73.
52
Ibid.

33
endometrium dibentuk kembali dengan metaplasia sel-sel stroma dan

dengan pertumbuhan keluar sel-sel epitel kelenjar endometrium.

Dalam fase ini, salah satu gelembung dari gelembung-gelembung

indung telur mengeluarkan hormon estrogen yang memiliki peran

mengembangkan rahim. sehingga ukurannya mengalami peningkatan

yang berlipat, di mana yang semulanya hanya berukuran 1mm menjadi

5 mm.53

Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal lebih

kurang 3,5 mm. Fase ini berlangsung menjadi tiga tahap, yaitu:

1) Fase proliferasi dini Fase ini terjadi pada hari ke 4 sampai hari ke

7. Fase ini dapat dikenali dari epitel permukaan yang tipis dan

adanya regenerasi epitel.

2) Fase proliferasi madya. Fase ini terejadi pada hari ke 8 sampai hari

ke 10. Fase ini merupakan bentuk transisi dan dapat dikenali dari

epitel permukaan yang berbentuk torak yang tinggi.

3) Fase proliferasi akhir. Fase ini berlangsung antara hari ke-11

sampai hari ke- 14. fase ini dapat dikenali dari permukaan yang

tidak rata dan dijumpai banyaknya mitosis.54

b. Fase luteal

53
Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Madzhab, 48.
54
Syamhartis, ―Larangan Bagi Wanita Haid Menurut Ibn Hazm Dalam Tinjauan Maqasidh Al-
Syari‘ah dan Relevansinya dengan Kemajuan Ilmu Pengetahuan,‖ 74.

34
Pada akhir fase luteal, endometrium sekretorius yang matang dengan

sempurna mencapai ketebalan seperti beludru yang tebal dan halus.

Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar.

Umumnya pada fase pasca ovulasi wanita akan lebih sensitif. Sebab

pada fase ini hormon reproduksi (FSH, LH, estrogen dan progesteron)

mengalami peningkatan. Jadi pada fase ini wanita mengalami yang

namanya Pre Menstrual Syndrome (PMS).55

Sekitar seminggu setelah pembentukannya, produksi estradiol

dan progesteron menurun. Sampai hari ke-28 dalam siklus, kadar

steroid ovarium tidak cukup untuk mendukung penebalan

endometrium dan akhirnya luruh masuk ke uterus. Luruhan darah ini

melaui vagina disebut menstruasi.

c. Masa menstruasi

Pada masa ini endometrium diluruhkan dari dinding rahim disertai

perdarahan, hanya lapisan tipis yang tinggal yang disebut stratum

basale, fase ini berlangsung 4 hari. Pengelupasan ini terjadi secara

tidak teratur, serampangan, beberapa daerah tidak terganggu, bagian

lain mengalami perbaikan, sedangkan tempat-tempat lain secara

serentak dilepaskan. Endometrium yang lepas, bersama dengan cairan

jaringan dan darah, membentuk koagulum di dalam rongga uterus.

55
Sinaga, Saribanon, dan Sa‘adah, Manajemen Kesehatan Menstruasi, 27.

35
Jadi dengan menstruasi itu keluar darah, potongan-potongan

endometrium dan lendir dari servik. Darah itu tidak membeku karena

ada fermen yang mencegah pembekuan darah dan mencairkan

potongan-potongan mucosa (selaput lender). Hanya kalau banyak

darah keluar maka fermen tersebut tidak mencukupi hingga timbul

bekuan-bekuan darah dalam darah menstruasi. Banyaknya perdarahan

selama menstruasi normal lebih kurang 50 cc.56

4. Gangguan Haid (menstruasi )

a. PMS (Pre Menstruasi Syndrome)

Merupakan gabungan dari tanda-tanda fisik dan kejiwaan yang

menyertai sebelum atau saat menstruasi (haid) berlangsung dan akan

hilang dalam beberapa jam setelah darah haid keluar. PMS biasanya

disertai dengan perasaan mudah tersinggung, emosi menjadi labil,

sensitive, mudah uring-uringan, perasaan tertekan, sakit punggung, sakit

kepala, kram perut, , berat badan bertambah karna cairan di dalam tubuh

meningkat akibatnya payudara menjadi bengkak dan sakit, sembab pada

muka atau kaki. Hal ini dikarenakan tidak adanya keseimbangan antara

hormone estrogen dan progesterone di dalam tubuh seseorang,di mana

estrogen mempengaruhi penumpukan cairan pada tubuh. 57

56
Syamhartis, ―Larangan Bagi Wanita Haid Menurut Ibn Hazm Dalam Tinjauan Maqasidh Al-
Syari‘ah dan Relevansinya dengan Kemajuan Ilmu Pengetahuan,‖ 76.
57
Faisal Yatim DTM, Haid Tidak Wajar Dan Menopause (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2001),
3–37.

36
PMS biasanya tidak memerlukan pengobatan khusus, kecuali jika

kondisinya menjadi sangat berat. Namun perlunya mengatur diet dari kopi,

makanan yang manis-manis. Serta perbanyak makan biji-bijian, sayur-

sayuran dan asam linoleat yang banyak terdapat pada biji sejenis bunga

rose. Serta harus diimbangi juga dengan olehraga dengan teratur. Keluhan

PMS ini berbeda antara wanita satu dengan yang lain. Dan beberapa

wanita, PMS bisa berlanjut dengan dismenorrhoe (rasa nyeri sewaktu

darah haid keluar)58

b. Dismenorrhoe

Dismenorrhoe merupakan istilah untuk rasa sakit sewaktu haid.

Dismenorrhoe dikaitkan dengan produksi hormone progesterone yang

meningkat. Hormone ini dihasilkan oleh jaringan ikat (corpus luteum)

yang berfungsi sebagai pengganti jaringan indung telur setelah

melepaskan sel telur yang matang setiap bulan. Berdasarkan nyerinya,

dismenorrhoe dibagi menjadi:

1) Dismenorrhoe primer

Adalah rasa nyeri yang timbul sejak pertama kali mengalami haid. Dan

akan berkurang keluhan sakitnya seiring berjalannya waktu, tepatnya

setelah stabilnya hormone tubuh atau perubahan posisi rahim setelah

menikah dan melahirkan.

58
Ibid.

37
2) Dismenorrhoe Sekunder

Rasa sakit akibat dismenorrhoe primer muncul ketika ada penyakit

atau kelainan seperti misalnya rahim yang kurang sempurna karena

ukurannya yang tidak normal (terlalu kecil), kelainan kedudukan

rahim yang mengganggu organ dan jaringan di sekitarnya, adanya

tumor dalam rongga Rahim (misalnya infeksi rahim, kista atau polip),

atau penyakit-penyakit tubuh lain seperti tuberkulosa, kurang darah

(anemia).

Adapun untuk pencegahan dan pengobatannya, olahraga dan latihan

peregangan otot-otot dan ligament sekitar rongga panggul lebih

diutamakan., agar aliran darah di rongga panggul lancar. Selain itu

harus membiasakan makan makanna berserat. Dan bila perlu,

pemberian obat anitsakit juga kadang diperlukan.59

c. Nyeri dan Pendarahan di Antara Siklus Menstruasi

Pendarahan saat haid bisa terjadi tanpa disertai dengan rasa sakit.

Keluhan sakit ini biasanya terjadi pada pertengahan siklus haid. Dan

tingkat keluhannya pun berbeda-beda antara wanita satu dengan

wanita lain, bisa ringan bahkan ada juga yang berat. Keadaan ini

biasanya bersamaan dengan keluarnya darah haid yang bertambah

banyak atau menjadi sedikit bahkan hanya bercak-bercak kecoklatan.

59
Ibid.

38
Rasa nyeri ini terjadi karena adanya pendarahan dalam rongga perut

pada saat pecahnya indung telur sewaktu melepaskan sel telur saat

ovulasi.

Untuk mengatasi keluhan atas rasa sakit ini cukup diberikan

dengan pemberian obat antisakit biasa. Namun untuk mengobati

adanya kelainan pada selaput Rahim, perlu dilakukan kuretase untuk

menghentikan perdarahan.

d. Perdarahan yang Tidak Wajar

Terdapat beberapa macam gangguan menstruasi yang paling sering

muncul, yaitu:

1) Jangka waktu haid lebih lama dari biasanya, atau biasa disebut

dengan menorrhagia atau oligomenore.

2) Jangka waktu haid lebih sering dari biasanya, atau biasa

disebut dengan poly menorrhea atau polimenore.

3) Tidak mengalami menstruasi sama sekali, atau biasa disebut

dengan amenore

4) Darah yang keluar saat haid berlangsung terlalu banyak, atau

biasa disebut dengan hipermenore

5) Darah yang keluar saat haid berlangsung terlalu sedikit, atau

biasa disebut hipomenore

Maka sangat dianjurkan untuk membuat catatan siklus haid

agar mengetahui pola siklus haid yang dialami. Dari catatan

39
tersebut bisa dijadikan bahan evaluasi atas perubahan siklus yang

terjadi saat haid.

5. Dampak Berhubungan Seks Saat Menstruasi

Berhubungan seks saat menstruasi dapat merugikan kesehatan kedua

pasangan. Bahkan dapat mmengakibatkan tertularnya penyakit seksual

menular, diantaranya: 60

a. Penyakit Menular Seksual

Saat wanita mengalami menstruasi leher rahim akan terbuka. Terbukanya

leher rahim dapat mempermudah kuman dan bakteri masuk, bahkan

menyebar hingga ke rongga pinggul. Wanit ajuga berpotensi tertular virus

HIV dan hepatitis jika melakukan hubungan seks saat menstruasi.

b. Resiko Infeksi

Saat menstruasi, dinding vagina akan mengalami inflamasi atau

pembengkakan sebagai proses alami tubuh. Saat inflamasi terjadi, lapisan

dinding rahim akan mengalami peluruhan bebarengan dengan keluarnya

darah haid. Darah tersebut merupakan media yang berpotensi

menggembangkan kuman dan bakteri yang bisa mengakibatkan infeksi

saluran kencing, sperma dan prostat pada pria.

c. Endometriosis

60
Rena Erlianisyah Putri, Biologicaliosopy (Asrifa, 2014), 44.

40
Endometriosis mengacu pada pertumbuhan sel-sel di luar endometrium

(dinding rahim) atau di tempat lain. Dalam tingkat lanjut pertumbuhan sel-

sel tersebut akan memicu rasa nyeri saat haid atau biasa disebut dengan

dismenore. Salah satu penyebabnya adalah regurgitasi atau aliran balik

darah haid dari dalam rahim ke saluran indung telur dan masuk ke dinding

perut. ini dapat terjadi jika melakukan hubungan seks saat haid. Resiko

infeksi juga semakin meningkat baik pada pria maupun wanita. Tingkat

keasaman dan kemampuan lendir vagina untuk melawan bakteri saat

berhubungan seks akan mengalami penurunan, sehingga berpotensi

mengembangkan bakteri dan kuman yang membahayakan kesehatan.

d. Sudden Death

Gerakan penis pasa saat berhubungan seks di masa haid juga bisa menjadi

pemicu terjadinya gelembung udara ke pembuluh darah yang terbuka, jika

gelembung udara masuk ke dalam pembuluh darah maka akan

mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah dan bisa mengakibatkan

sudden death atau mati mendadak.

e. Luka Trauma di Mulut Rahim

Darah adalah sumber makanan bagi kuman, banyak zat-zat yang

terkandung di dalamnya. Jika darah masuk ke dalam perut bisa menjadi

medium yang sangat baik untuk perkembangbiakan bakteri yang ada di

tubuh. Dan berhubungan seks dengan wanita haid bisa menyebabkan luka

trauma di mulut rahim yang diakibatkan adanya infeksi.

41
f. Aids

Aids merupakan singkatan Acquired Immune Deficiency Syndrome

adalah kumpulan penyakit yang diakibatkan sebagai dampak dari

perkembangbiakan virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Jenis

virus ini menyerang sel darah putih sehingga mengakibatkan rusaknya

sistem kekebalan tubuh manusia. Apabila seorang telah terkena virus ini,

maka akan mudah terjangkit berbagai penyakit, baik penyakit berat

maupun ringan sekalipun. Penyakit AIDS merupakan penyakit yang

menular, dan penularannya bisa melalui dua cara yaitu:

1) kontak tidak langsung, kontak tidak langsung dalam penularan

penyakit AIDS bisa terjadi melalui transfusi darah yang berasal

dari penderita AIDS, penggunaan jarum suntik secara bergantian

dengan penderita AIDS, bayi yang dilahirkan ileh ibu yang

menderita AIDS, pemberian ASI dari seorang ibu menyusui yang

menderita penyakit AIDS

2) kontas langsung, yang dimaksud adalah berhubungan seks dengan

penderita AIDS, baik yang dilakukan secara vaginal ataupun

anal.61

g. Sifilis

61
Obi Andarto, Penyakit Menular di Sekitar Anda (Begitu Mudah Menular dan Berbahaya, Kenali,
Hindari, dan Jauhi Jangan Sampai Tertular Obi Andarto Jakarta Penyakit Menular di Sekitar Anda
(Begitu Mudah Menular dan Berbahaya, Kenali, Hindari, dan Jauhi Jangan Sampai Tertular (Jakarta:
Pustaka Ilmu Semesta, 2015), 7.

42
Sifilis merupakan penyakit akibat dari berhubungan seks bebas dan

berganti-ganti pasangan. Sifilis merupakan penyakit yang berbahaya

hanya dalam waktu beberapa minggu dan penyakit ini sifatnya dapat

menular. Penularannya dengan cara berhubungan seksual, sifilis juga bisa

menular kepada janin oleh ibu yang menderita penyakit ini, bahkan bayi

yang nanti dilahirkannya mengalami cacat atau bahkan meninggal dunia.62

62
Ibid., 10.

43
BAB III
ALI ASSHOBUNI DAN PENAFSIRAN AYAT-AYAT HAID

A. Riwayat Singkat Tentang Ali Asshobuni

1. Tempat Kelahiran dan Pendidikan Ali Asshobuni

Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali bin Jamil Ash-Shabuni yang lahir di

kota Halab (kini menjadi Alepo) Syiria pada tahun 1928 M/1347H. Ali

Asshobuni dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar. Ayahnya bernama

Syekh Jamil merupakan salah satu ulama senior di kota Aleppo. Pendidikan

dasar agama Ali Assobuni didapatkan dari ayahnya sendiri, di mulai dengan

belajar bahasa Arab, ilmu mawaris dan ilmu-ilmu agama lainnya.63

Sejak kanak-kanak Ali Asshobuni sudah memperlihatkan bakat dan

kecerdasan dalam menyerap berbagai illmu agama, hal ini terbukti. dengan

berhasilnya ia menghafal seluruh juz dalam Al-Quran di usia yang masih

sangat belia.64 Untuk menambah pengetahuannya, Ali Asshobuni juga kerap

mengikuti kajian-kajian para ulama lainnya yang biasa diselenggarakan di

berbagai masjid. Ali Asshobuni juga berguru kepada ulama terkemuka di

Aleppo, seperti Syaikh Muhammad Najib Sirajuddin, Syaikh Ahmad al-

63
Fiddian Khairudin dan Syafril, ―Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi Kitab Rawai‘u al
Bayan Karya Ali al-Shabuni Syafril, Jurnal Syahadah, Vol V, No 1, April 2017 Universitas Islam
Tembilahan‖ V no 1, no. Syahadah (April 2017): 111.
64
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/07/17/m7bb0f-hujjatul-islam-syekh-
aliashshabuni-1. Diakses 16 Agustus 2019

44
Shama, Syaikh Muhammad Said al-Idlibi, Syekh Muhammad Raghib al-

Tabbakh, dan Syekh Muhammad Najib Khayatah.65

Setelah menyelesaikan studinya di bangku sekolah dasar, Ali Assabuni

melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah milik pemerintah yang bernama

Madrasah Al-Tijariyya. Di sekolah tersebut Ali Assabuni hanya mengenyam

pendidikan selama satu tahun, hal itu karena dia tidak setuju atas

kecenderungan ilmiah sekolah tersebut dalam mengajarkan perdagangan

dengan sistem ribawi yang terjadi di bank. Kemudian Ali Assabuni

melanjutkan pendidikannya di Khasrawiyya yang berada di kota Alepo. Saat

bersekolah di Khasrawiyya, Ali Assabuni tidak hanya mempelajari bidang

ilmu-ilmu Islam, tetapi juga mata mempelajari ilmu umum. Ali Assabuni

berhasil menyelesaikan pendidikan di Khasrawiyya dan lulus tahun 1949.66

Atas beasiswa yang diberikan Departemen Wakaf Suriah, ia kemudian

melanjutkan pendidikannya di Fakultas Syari‘ah Universitas al-Azhar Mesir,

hingga selesai strata satu pada tahun 1952. Dua tahun berikutnya di

Universitas yang sama ia memperoleh gelar megister dengan konsentrasi

peradilan syari’ah atau perundang-undangan Islam.67

65
http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2012/12/biografi-singkat-mufassir-syaikh-ali_453.html
Diakses pada Jumat, 16 Agustus 2019, 11.55 WIB
66
Andy Haryono, ―Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabuni dalam Kitab Rawaiu‘ al-
Bayan Wardah Vol. 18 No.1 2017‖ 18 No.1, no. Wardah (2017): 57.
67
Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2006), 56.

45
Setelah menempuh pendidikannya di Mesir, Ail Assabuni kembali ke kota

kelahirannya mengajar diberbagai sekolah menengah atas yang berada di kota

Aleppo. Pekerjaan sebagai guru sekolah menengah atas ini ia lakoni selama

delapan tahun, dari tahun 1955 hingga 1962. Setelah itu, ia mendapatkan

tawaran untuk mengajar di Fakultas Syariah Universitas Umm Al Qura dan

Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz yang berada di

Kota Makkah. Ali Assabuni mengajar didua perguruan tinggi tersebut selama

28 tahun.68

Dengan pengalaman prestasi akademik dan kemampuannya dalam

menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm Al Qura, Ali Asshobuni

pernah menyandang jabatan ketua Fakultas Syari‘ah. Ia juga dipercaya untuk

mengepalai Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam. Selain

kesibukannya mengajar di kedua Universitas tersebut, Ail Assabuni juga

sering memberikan kuliah terbuka untuk masyarakat umum yang bertempat di

Masjidil Haram. Selain Masjidil Haram, kuliah tafsir juga disampaikan pada

salah satu masjid di Kota Jeddah. Kuliah ini berlangsung lebih kurang delapan

tahun. Materi-materi kuliah yang disampaikan kemudian direkam dalam

kaset. Bahkan, tidak sedikit hasil rekaman kuliah tersebut yang ditayangkan

68
Ibid., 57.

46
dalam program khusus di televisi. Kegiatan perekaman materi kuliah al-

Shabuniy berhasil diselesaikan pada tahun 1998.69

2. Karya Ali Asshobuni

Ali Asshobuni adalah seorang akademisi yang memiliki minat tinggi dalam

kegiatan penelitian dan penulisan terlebih dalam hal kajian Al-Qur‘an. Ali

Asshobuni termasuk salah satu ilmuan produktif dalam melahirkan berbagai

karya. Banyak karyanya kemudian tersebar luas di dunia Islam dan menjadi

rujukan di kalangan akademisi.

Berikut di antara karya-karya al-Shabuniy yang di klasifikasi berdasarkan

bidang keilmuan:

d. Rawa’iu al-Bayan fi Tasair Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an

e. Al-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Pengantar Studi Al-Qur’an)

f. al-Nubuwah wa al-Anbiya (Para Nabi dalam Al-Qur’an)

g. Qabasun min Nur Al-Qur’an (cahaya Al-Qur’an)

h. Shafwah al-Tafasir

i. Mausu’ah Al-Fiqh As-Syar’I al-Muyassar

j. At’ Tafsir Al-Wadhih Al-Muyassar

k. Ijazu’l Bayan fi Suwari’l Quran

l. Mauqifu’s Syari‘ah Al-Gharra’ min’ Nikahi’l Mut’ah

m. Aqidah Ahlus’s Sunnah fi Mizani’s Syar’i

69
Ibid.

47
n. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir

o. Mukhtashar Tafsir Thabari

p. Fathu’r Rahman bi Kasyfi ma Yatalabbasu fi’l Qura’an.70

B. Tafsir Rawai’ Bayan

1. Deskripsi Umum Tentang Tafsir Rawai’ Bayan

Dari buah pemikiran seorang ilmuwan yang berasal dari Aleppo lahirlah

sebuah karya tafsīr yang menambah khazanah keilmuan keislaman dalam

bidang tafsir Al-Qur‘an, yaitu Rawāi‘ul Bayān fi tafsiri ayati‘l Ahkam mina‘l

Quran atau terjemahan harfiahnya adalah ―Keterangan yang indah dalam tafsir

ayat-ayat hukum dari Al-Quran‖ Kitab ini sempurna di diselesaikan Ali

Asshobuni selama 10 tahun. Karena sebelum lahirnya karya ini, Ali

Asshobuni menelaah terlebih dahulu terhadap apa-apa yang ditulis oleh para

mufasir sebelumnya.

Kitab tafsir Rawāi‘ul Bayānini masuk ke dalam dalam corak Tafsir

Ahkam yang fokus pembahasan pada ayat-ayat hukum. Pembatasan ayat-ayat

hukum yang terdapat di dalam Al-Quran inilah yang menjadi ciri khas dari

tafsir Ahkam.

Metode yang digunakan dalam kitab Rawai' al-Bayan adalah metode

tematik. Uraiannya diacukan pada tema-tema ayat-ayat hukum yang menjadi

70
Haryono, ―Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabuni dalam Kitab Rawaiu‘ al-Bayan
Wardah Vol. 18 No.1 2017,‖ 59.

48
pilihan penulisnya. Seperti yang telah dipetakan, buku ini terdiri atas dua jilid

besar. Pada jilid pertama terdapat 699 dan 701 halaman pada jilid kedua.

Jilid pertama dimulai dari surat Al-Fatihah hingga pertemuan ke empat

puluh tentang pendekatan diri kepada Allah dengan berkurban. Sedangkan

jilid ke dua terdiri dari 30 pertemuan, diawali dengan Surat An Nur dan

diakhiri dengan pembahasan mengenai pembacaan Al-Quran, yakni tafsir Q.S.

Al-Muzammil.

Kitab Rawai‘ al-Bayan ada 70 tema pembahasan ayat hukum yang

menjadi objek kajian al-Shabuniy, di mana pada juz yang pertama dibahas 40

tema dan di juz kedua terdapat 30 puluh tema. Jumlah ayat hukum yang dikaji

sebanyak 248 ayat yang tersebar dalam 21 surat. Dengan rincian, selain surat

al-Fatihah, surat al-Baqarah 20 tema, Ali ‗Imran 2 tema, al-Nisa‘ 7 tema, al-

Maidah 4 tema, al-Taubah 2 tema, al-Anfal 3 tema, al-Hajj 1 tema, al-Nur 9

tema, Luqman 1 tema, al-Ahzab 7 tema, Saba‘ 1 tema, Shad 1 tema,

Muhammad 2 tema, al-Hujurat 1 tema, al-Waqi‘ah 1 tema, al-Mujadalah 2

tema, al-Mumtahanah 1 tema, al-Jum‘ah 1 tema, al-Thalaq 2 tema, dan al-

Muzammil 1 tema.71

Dibandingkan dengan karya tafsir ahkam sebelumnya, seperti, Ahkam Al-

Qur‘an karya al-Jassas, Ahkam Al-Qur‘an karya Ibnu al-‗Arabi, Ahkam Al-

Qur‘an karya al-Baihaqi yang menghimpun riwayat-riwayat tafsir tafsir


71
Khairudin dan Syafril, ―Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi Kitab Rawai‘u al Bayan
Karya Ali al-Shabuni Syafril, Jurnal Syahadah, Vol V, No 1, April 2017 Universitas Islam
Tembilahan,‖ 115.

49
ahkam dari Imam Syafi‘i, dan Muhammad ‗Ali al-Sayis dengan karya Tafsir

Ayat al-Ahkam, maka buah tangan ‗Ali al-Shabuni ini merupakan tafsir

ahkam yang komprehensif dari aspek pembahasannya. Karena di samping

mengulas ayat dari segi penafsiran dan kandungan hukumnya, Ali Asshobuni

juga mengkaji aspek aksiologis dari hukum Islam- yaitu hikmatu al-Tasyri‘, di

mana dalam produk tafsir ahkam sebelumnya, persoalan ini tidak begitu

mendapat perhatian yang serius dari penulisnya.72

Dikarenakan tafsir ini dihimpun khusus untuk mengkaji ayat-ayat hukum,

maka tidak semua ayat dalam surat Al-Qur‘an ditafsirkan oleh Ali Asshobuni,

namun demikian ia tetap menafsirkan ayat sesuat dengan urutan surat dalam

mushaf Al-Quran.

Penting untuk dikemukakan bahwa ayat hukum adalah ayat-ayat Al-

Qur‘an yang mengandung hukum terkait dengan perbuatan manusia. Tidak

seperti hukum taklifî yang dikategorisasi-kan para ulama fikih yang berupa

wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Maka dalam menjelaskan hukum,

Al-Qur‘an hanya menggunakan kata perintah dan larangan. Paling jauh, Al-

Qur‘an menggunakan diksi halal dan haram untuk menjelaskan sesuatu yang

boleh dan tidak boleh untuk dilakukan.73

72
Ibid., 127.
73
Lilik Ummi Kaltsum dan Abd Moqsith, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Ciputat: UIN Press, 2015
(Ciputat: UIN Press, 2015), 111.

50
Pengkategorisasian hukum dalam fiqih sudah lebih detail. mencangkup

wajib sunah haram makruh mubah. Sedangkan penjelasan hukum dalam al

qur‘an hanya menggunakan kata perintah dan larangan. Paling jauh, Al-

Qur‘an menggunakan diksi ‚halal‛ dan ‚haram‛ untuk menjelaskan sesuatu

yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan.

Kitab Rawai' al-Bayan ini termasuk dalam kategori tafsir ahkam atau tafsir

fiqhi, karena tafsir ini secara khusus hanya membahas masalah hukum yang

berorientasi pada hukum Islam (fiqh).

Tafsir ahkam merupakan salah satu corak dari beragam corak penafsiran

Al-Qur‘an. Di mana corak ini lebih memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat

Al-Qur‘an yang berpotensi menjadi dasar hukum fiqih. Sebagaimana ayat-

ayat ahkam dimaknai sebagai ayat-ayat Al-Qur‘an yang berisikan rangkaian

tentang perintah dan larangan, atau masalah-masalah fiqih lainnya.74

Dalam menetapkan hukum, Ali Ashobuni sendiri tidak berpegang pada

satu madzhab tertentu namun beliau mengambil pendapat yang dianggapnya

lebih kuat dan menimbang pendapat mana yang lebih dekat dengan

kebenaran.

2. Metodologi Tafsir Rawai’ Bayan

Secara metodologis, tafsir Rawai’ al-Bayan menggunakan metode pemikiran

atau ra’y. Dari penelitian yang dilakukan terkait dengan ―prosedur penafsiran‖

74
Isnan Ansory, Mengenal Tafsir Ayat Ahkam (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), 5.

51
yang dibangun Ali Asshobuni, dapat diketahui bahwa yang menjadi perangkat

dasar atau basis penalarannya ketika menafsirkan ayat ahkam adalah sebagai

berikut:75

a) Analisa Bahasa

Langkah awal Ali Asshobuni dalam menafsirkan ayat ahkam yaitu

dengan menggunakan analisis bahasa. Ali Asshobuni menganalisis

kosa kata-kosa kata yang dianggap penting untuk dijelaskan.

Contohnya ketika Ali Asshobuni menafsirkan surat Al-Baqarah

dalam ayat 228-231 yang menjelaskan masalah thalaq dalam

syariat islam.

b) Analisa Asbab an-Nuzul

Asbabun nuzul juga tidak luput dalam kajian tafsir Rawai‘ Bayan.

Karena pemahaman terhadap asbabun nuzul akan mempermudah

para penafsir untuk memberikan implikasi pemaknaan sesuai

dengan kondisi tempat dan saat penafsir hidup.76 Contohnya ketika

Ali Asshobuni menafsirkan surat Al-Baqarah dalam ayat 222

berkenaan batasan menjauhi wanita yang sedang mengalami haid.

Di situ dijelaskan bahwa orang-orang Yahudi apabila istrinya

sedang haid, maka mereka tidak mengajak istri-istrinya berkumpul


75
Khairudin dan Syafril, ―Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi Kitab Rawai‘u al Bayan
Karya Ali al-Shabuni Syafril, Jurnal Syahadah, Vol V, No 1, April 2017 Universitas Islam
Tembilahan,‖ 118.
76
Nurcholish Madjid, Konsep Asbabun Nuzul: Relevansi bagi Pandangan Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 1995), 25.

52
dalam rumah, tidak diberikan kepadanya makan dan minum, serta

para istri diasingkan di luar rumah. Maka atas peristiwa tersebut,

ada seseorang yang bertanya hal itu kepada Nabi Muhammad. Lalu

turunlah firman Allah ayat 222 surat al-Baqarah yang

menjelaskannya. Nabi Muhammad menyampaikan ayat tersebut

serta membolehkan melakukan apa saja kecuali jima‘77

c) Analisa Istinbath hukum

Dalam menjelaskan kandungan hukum, Ali Asshobuni merujuk

pada pandangan Fuqaha‘, khususnya pada empat imam mazhab,

yakni Hanafiyyah, Malikiyah, Syafi‘iyyah dan Hanabilah. Setelah

mendiskripsikan pendapat para fuqaha‘, Ali Asshobuniy

melakukan tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil dari beberapa

dalil, sehingga dapat diketahui dalil mana yang lebih kuat yang

telah dikemukakan oleh fuqaha‘.

d) Analisis Hikmah at-Tasyri‘

Tahap akhir penafsiran Ali Asshobuni dalam kitabnya Rawai‘

Bayan, beliau menyertakan hikmah at-tasyri sebagai penutup

pembahasan. Hikmah at-tasyri adalah hikmah ditetapkannya

hukum islam yang bertujuan mengungkap makna filosofi suatu

77
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 239.

53
hukum secara rasional dan logis yang terdapat pada ayat yang

ditafsirkan.

3. Sistematika Tafsir Rawai’ Bayan

Dalam menyajikan penafsiran-penafsirannya, Ali Asshobuni memberikan

urutan sebagai berikut:

a. Penjelasan teks dengan berpegang pada pendapat-pendapat ahli tafsir

dan ahli bahasa Arab.

b. Makna global dari ayat-ayat Al-Quran dengan bentuk yang ringkas.

c. Menerangkan sebab turunnya ayat jika terdapat riwayat mengenai hal

tersebut.

d. Relasi antara ayat sebelum dan sesudah.

e. Membahas ragam bacaan (qiraat) yang mutawatir.

f. Membahas ragam i’rab dengan ringkas (ijaz). Dalam penafsirannya,

Ali Asshobuni membahas i’rab dari ayat-ayat yang hendak ditafsirkan.

g. Lathaif yakni Keunikan-keunikan yang terdapat dari ayat yang

ditafsirkan

h. Hukum syarak dan dalil para ahli fikih, dengan menguatkan salah satu

dari dalil-dalil tersebut. Hukum fiqih sangat kental sekali dalam tafsir

ini. Seperti pada surat Al-Baqarah ayat 182—187, Ash-Shabuni

menjelaskan beberapa pendapat ulama terkait bolehnya tidak berpuasa

bagi orang yang sakit, dan Ali Asshobuni pun menguatkan (tarjih)

pendapat jumhur. Ujarnya, ―Aku sependapat dengan jumhur ulama,

54
dimana pendapatnya lebih rasional bahwa hikmah diperbolehkannya

tidak berpuasa bagi mereka yang sakit adalah suatu kemudahan...‖

i. Menjelaskan maksud yang dikehendaki dari ayat-ayat dengan ringkas.

Setelah menjelaskan hukum fikih dan menguatkan salah satu

pendapat, Ali Asshobuni menjelaskan maksud ayat secara ringkas.

Dapat kita sebut dengan rangkuman.

j. Penutup pembahasan dengan menampilkan hikmah at-tasyri’ atau

hikmah di balik penetapan suatu hukum bertujuan mengungkap makna

filosofi suatu hukum secara rasional dan logis yang terdapat pada ayat

yang ditafsirkan.78

C. Penafsiran Ali Asshobuni Terhadap Ayat-Ayat Haid Dalam Al-Qur’an

1. Surat al Baqarah Ayat 222

a) Redaksi Ayat

َّ‫يض َّۖ َّ َوََّل‬ َِّ ‫ف َّالْ َم ِح‬ َّ َِّ َ‫اء‬


َّ ‫ِّس‬ ِ ْ َ‫يض َّۖ َّقُ َّل َّ ُى َّو َّأَذًى َّف‬
َ ‫اعتَزلُوا َّالن‬ َ ْ ِ ‫َّع ِن َّالْ َم ِح‬ َ ‫ك‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
ََّّ‫ث َّأ ََمَرُك َُّم َّالل َّوُ َّۖ َّإِنَّ َّالل َّوَ َّ ُُِيب‬
َُّ ‫وىنَّ َّ ِم َّْن َّ َحْي‬
ُ ُ‫ّت َّيَطْ ُه ْر ََّن َّۖ َّفَِإذَا َّتَطَه ْر ََّن َّفَأْت‬
َّ‫وىنَّ َّ َح ى‬ ُ ُ‫تَ ْقَرب‬
ََّ ‫يَّ َوُُِيبَّالْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ََّ ِ‫الت واب‬
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu
adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

78
Ibid., xviii. Dalam muqaddimah yang disampaikan Ali Asshobuni dalam kitab Rawai‘ Bayan.

55
b) Mufrodad

Al-Mahid biasa juga disebut dengan al-haid. Keduanya merupakan

masdar dari fi‘il (kata kerja) hada-yahidu-haidan wa mahidan yang

berarti keluar darah. Sedangkan menurut istilah, al-mahid adalah darah

yang keluar dari pangkal rahim wanita setelah mencapai umur baligh dan

memproduksi sel telur. Jika sel telur tidak dibuahi oleh sperma laki-laki,

maka sel telur tersebut akan membusuk dan rusak, dan akhirnya keluar

dalam bentuk darah haid.79

c) Asbabun Nuzul

Imam Muslim dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bahwa orang-

orang Yahudi apabila istrinya sedang haid, maka mereka tidak mengajak

istri-istrinya berkumpul dalam rumah, tidak diberikan kepadanya makan

dan minum, serta para istri diasingkan di luar rumah. Maka ada seseorang

yang bertanya hal itu kepada Nabi Muhammad. Dalam tafsir al-Baidhawi,

orang yang menanyakan hal tersebut adalah Abu Dahdah.80 Lalu turunlah

firman Allah QS. Al-Baqarah: 222 tersebut.

Sebenarnya esensi dari pertanyaan orang-orang Yahudi bukanlah apa

itu haid, melainkan bagaimana tuntunan Illahi kepada suami yang istrinya

sedang mengalami haid. Meski jawaban dari ayat tersebut sangat singkat,

namun sudah cukup memberikan informasi tentang keadaan wanita yang

79
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 329.
80
Mardani, Tafsir Ahkam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 212.

56
sedang mengalami haid dan bagaimana seharusnya menghadapi mereka

pada saat itu.81

Setelah ayat itu turun, Nabi Muhammad menyampaikan ayat tersebut

dengan menyatakan kepada para penanya dan seluruh umat Islam, serta

memerintahkan kaum laki-laki untuk mengajak istrinya berkumpul di

dalam rumah meskipun jika istrinya sedang haid, mengajaknya makan

dan minum serta melakukan apa saja kecuali mengaulinya. Dalam hadis

yang diriwayatkan oleh Muslim:

َّ‫اح‬ ِ ٍ َ ‫اصنَ عُواَّ ُكل‬


َ ‫َّش ْيءَّإلَّالنِّ َك‬
82
ْ
Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh.

Namun ada seorang Yahudi yang menanggapi hal tersebut, ―apa yang

dikatakan Muhammad itu semata-mata agar terlihat berbeda dengan apa

yang kita lakukan‖. Lalu mendengar hal itu, sahabat Abbad bin Bisyr dan

Usaid bin Hudhair menghadap Nabi Muhammad serta menceritakan apa

yang telah dikatakan Yahudi. Mereka juga menanyakan tentang

kebolehan mengauli istri ketika sedang haid. Mendengar pertanyaan

sahabat Abbad bin Bisyr dan Usaid bin Hudhair seketika raut muka Nabi

Muhammad berubah. Sehingga Anas (yang meriwayatkan hadis yang

pertama) mengira bahwa Nabi Muhammad marah kepada mereka berdua.

Lalu Anas menghidangkan susu, lalu Nabi Muhammad menyilahkan


81
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 582.
82
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turots al-‘Arobiy, t.t.), 195, nomor hadis:
303.

57
mereka berdua untuk meminumnya. Maka merekapun tahu kalau

sebenarnya Nabi Muhammad tidaklah marah.83

d) Penafsiran

Kaum Yahudi berlebihan atas sikap yang diberikan kepada wanita-wanita

atau istri yang sedang haid. Mereka enggan untuk berinteraksi kepada

wanita yang sedang haid, meskipun hanya sekedar makan dan minum

saja. Dan wanita yang sedang haid dianggap sebagai penyakit atau

kotoran yang menjijikkan sehingga harus di keluarkan dari rumah.

Berbeda dengan kaum Yahudi, kaum Nasrani justru memandang haid

bukanlah suatu masalah yang besar. Sehingga mereka tetap berinteraksi

kepada istrinya selayaknya keadaan biasanya diwaktu suci, bahkan

mereka tetap mengumpulinya meskipun istrinya sedang haid.84

Dan syari‘at Islam datang dengan ketentuan yang berada di tengah-

tengah antara keduanya. Dalam ajarannya, yang dijauhi hanya hal bersifat

membahayakan dalam pandangan medis biologis, sedangkan untuk hal

hal yang bersifat sosial psikologis islam tidak mempermasalahkan.

Dengan sabda Nabi:

َّ‫اح‬ ِ ٍ َ ‫اصنَ عُواَّ ُكل‬


َ ‫َّش ْيءَّإلَّالنِّ َك‬
85
ْ
Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh.

83
Kadar M. Yusuf, Tafsir ayat ahkam (Jakarta: Amzah, 2013), 239.
84
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 240.
85
Sahih Muslim, 195, nomor hadis: 303.

58
Lafald mahidh terkadang mempunyai arti haid dan terkadang juga

menunjukkan arti tempat haid. Jawaban dari ayat ini, ―haid adalah

kotoran‖ dalam konteks ini mempunyai arti sifatnya darah haid, bukan

sifatnya tempat haid.86 Maka perintah untuk menjauhkan diri dari wanita

yang sedang mengalami haid ini berarti perintah untuk menjauhkan diri

dari tempat keluarnya haid, bukan secara mutlak menjauhi wanita yang

sedang haid. Bahkan Nabi Muhammad memperbolehkan tidur bersama

dengan istri yang sedang mengalami haid dan mencumbuinya, asalkan

tidak melakukan hubungan seks antara pusar dan lutut.

Dalam ayat ini penyebutan mahid diulang dua kali sebagai bentuk

taukid bahwa yang benar-benar dilarang berhubungan seks itu ketika

wanita mengalami haid. Karena yang keluar dari vagina wanita tidak

hanya darah haid, melainkan juga istihadhoh dan nifas. Adapun dampak

gangguan wanita saat mengalami haid dan istihadhoh tentu berbeda, dan

dampak hukum yang dihasilkan pun juga perbeda tentunya. Makanya

ditegaskan dalam ayat ini dengan menyebutkan lafald mahid sebanyak

dua kali.

Apabila lafald la taqrab dibaca dengan fathah ra‘nya, maka

mempunyai arti ―jangan engkau pakai‖. Sedangkan jika dibaca dengan

dhomah ra‘nya menjadi la taqrub, maka mempunyai arti ―jangan engkau

86
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 240.

59
dekati‖. Dalam ayat ini, ‫ن‬
ََّ ‫ّتَّيَطْ ُه ْر‬
َّ‫َّح ى‬
َ ‫وىن‬
ُ ُ‫ َوَلَّتَ ْقرب‬, maka yang dimaksud adalah
َ

dilarang mengumpuli, Dalam ayat ini memerintahkan jangan dekati,

bukan jangan lakukan. Bahkan untuk mendekatinya saja tidak

diperbolehkan, apalagi melakukan. Dan pelarangan mendekati ini yang

dimaksud adalah mendekati tempat terjadinya hubungan seks yang

berbuah.87

e) Kandungan Hukum

1) Yang harus dijauhi ketika wanita dalam keadaan haid.

Antara ulama berbeda pendapat mengenai apa yang wajib dijauhi

terhadap wanita yang dalam keadaan haid. Diantaranya:

a) Menurut Ibnu Abbas dan Ubaidh Silmi yang wajib dijauhi adalah

seluruh tubuhnya. Pendapat ini berdasarkan perintah Allah untuk

menjauhi wanita-wanita yang sedang haid dengan tidak

mengecualikan sesuatu apapun. Maka laki-laki harus menjauhi

seluruh tubuhnya karena keumuman ayat yang telah

difirmankanNya ―maka jauhilah wanita-wanita yang dalam

keadaan haid‖. 88

Namun pendapat ini disanggah oleh Al-Qurtubi dengan

mengatakan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang

87
Ibid.
88
Ibid., 241.

60
janggal yang sangat berbeda dengan pandangan Ulama‘ pada

umumnya. Meskipun ayat tersebut menunjukkan keumuman

tanpa menyertakan apa-apa saja yang dilarang dilarang ketika

wanita haid, namun masih ada banyak penjelasan dari hadis Nabi

yang menjelaskan hal ini.89

b) Madzhab Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa yang wajib

dijauhi adalah antara pusar dan lutut.90 Pendapat ini

berlandaskan dengan adanya riwayat dari Aisyah r.a bahwa ia

berkata:

ِ ٍِ ٍ ِ ِ ِ
َّ‫ ََّوَكا َن‬،‫ب‬ ٌ ُ‫َّجن‬ُ ‫ت َّأَ ْغتَس ُل َّأَنَا ََّوالنِِب َّصلى َّاهلل َّعليو َّوسلم َّم ْن َّإنَاء ََّواحد َّك ََلنَا‬ ُ ‫ُكْن‬
َّ‫ف َّفَأَ ْغ ِسلُوُ ََّوأَنَا‬
ٌ ‫َّم ْعتَ ِك‬ ِ
ُ ‫ِج ََّرأْ َسوُ ََّّإ ََل ََّوُى َو‬
ُ ‫َِّيْر‬
ُ ‫َّوَكا َن‬،
َ ‫ض‬
ِ َ‫اشرِِن َّوأَن‬
ِ
َ َ ُ َ‫يَأْ ُم ُرِِن َّفَأَت ِزُر َّفَيُب‬
ٌ ‫اَّحائ‬
َّ 91‫ض‬ ٌَّ ِ‫َحائ‬
Aku pernah mandi bersama Nabi Muhammad SAW dari satu bejana,
sedang kami dalam keadaan junub, lalu Nabi SAW menyuruhku agar
aku memakai kain, kemudian ia memelukku sedangkan aku dalam
keadaan haid. (HR Bukhori, Muslim dan Tirmidzi)
Dan juga pendapat dari Maimunah, bahwa ia berkata:

ِ ِ ِ ُ ‫َكا َنَّرس‬
َّ‫ض‬ ُ ‫ولَّاللوَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّيُبَاش ُرَّن َساءَهَُّفَ ْو َقَّا ِإل َزا ِر ََّوُىن‬
ٌ ‫َّحي‬
92
َُ
Adalah Rasulullah SAW biasa memeluk istri-istrinya di atas kain,
sedang mereka dalam keadaan haid. HR Bukhori-Muslim

89
Ibid., 242.
90
Ibid., 241.
91
Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 91, nomor hadis: 63:1.
92
Sahih Muslim, 192, nomor hadis: 297.

61
c) Madzhab Syafi‘i berpendapat bahwa yang wajib dijauhi adalah

tempat keluarnya haid, yaitu vaginanya.93 Hal ini berdasarkan

pada sabda Nabi SAW:

َّ‫اح‬ ِ ٍ َ ‫اصنَ عُواَّ ُكل‬


َ ‫َّش ْيءَّإلَّالنِّ َك‬
94
ْ
Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh.

Dan juga riwayat dari Masruq, ia berkata:

َّ‫اع‬ ِْ ‫َّشي ٍءَّإِل‬ َّْ َ‫َّصائِ ًما؟َّقَال‬ ِِ ‫اَُّيلَّلِلرج ِل َِّمن‬


َِ ‫سأَلْتَّعائِ َشةََّم‬
َ ‫َّاْل َم‬ ْ َ ‫َّ ُكل‬:‫ت‬ َ ‫َّامَرأَتو‬ َ ُ َ
95
ْ َ ُ َ
Aku pernah bertanya kepada Aisyah r.a. (tentang) apa yang boleh
bagi laki-laki (suami) terhadap istrinya yang sedang mengalami haid?
Aisyah menjawab: (boleh berbuat) apa saja kecuali bersetubuh. HR
Ibnu Jarir at-Thabari dari Masruq bin Ajda‘.

d) Tarjih

Setelah melihat pendapat para ulama beserta dengan dalilnya,

bahwa yang lebih kuat adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik.

Dan pendapat inilah yang dipilih Ibnu Jarir at-Thabari dengan

mengatakan bahwa bagi laki-laki terhadap istrinya yang sedang

mengalami haid (boleh mengaulinya dalam batas-batas) apa yang

di atas kain penutup kemaluan.96 Dan pelarangan bermain-main

apa yang di antara pusar dan lutut merupakan bentuk kehati-

hatian. Karena jika berada di tempat yang dekat dengan area

93
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 241.
94
Sahih Muslim, 195, nomor hadis: 303.
95
Abu Bakar Abd al-Razzaq Al-Shan‘ani, Mushannaf Abd al-Razzaq (Beirut: Al-Maktab al-Islami,
1403H), bk. 4, hlm. 189, nomor hadis: 7439.
96
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 243.

62
terlarang, maka akan mudah sekali jatuh di dalamnya. Hal ini

sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. setelah

meriwayatkan hadis mubasyarah:

ِ َُّ ِ‫َوأَي ُك ْمَّّيَْل‬


ُ‫كَّإِْربََّو‬
ُ ‫كَّإِْربَوَُّ َك َماَّ َكا َنَّالنِِبَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّّيَْل‬
97

―Siapakah diantara kamu yang dapat mengekang hasratnya


sebagaimana Rasulullah SAW dapat mengekangnya?‖

Menurut ulama ushul, jika terdapat dua hadis yang satu

membolehkan dan yang satu melarang, maka yang didahulukan

adalah hadis yang melarang.

2) Kafarat (denda) bagi orang yang menggauli istrinya yang sedang

mengalami haid.

Semua Ulama telah bersepakat tentang keharaman menggauli istri

dalam keadaan haid. Tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang

adanya hukum kafarat bagi orang yang mengumpuli istrinya ketika

keadaan haid.

Imam Malik, Syafi‘i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa orang

yang telah terlanjur mengumpuli istrinya yang sedang mengalami

haid harus bertaubat dan beristighfar.98 Menurut mereka tidak ada

kafarat apapun selain kedua hal tersebut.

97
Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 91, nomor hadis: 302.
98
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 244.

63
Lain halnya dengan pendapat Imam Ahmad, menurutnya orang

yang telah terlanjur mengumpuli istrinya yang sedang mengalami

haid harus bersedekah sedinar atau setengah dinar.99 Pendapat ini

mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah,

Ad-Darimi dan Ahmad.

َّ ‫ال‬
َ َ‫َّق‬،‫ض‬ ِ ‫ع ِن َّالنِِب َّصلىَّاللو َّعلَي ِو َّوسلم َِّف َّال ِذيَّيأِِْت َّامرأَتَو َّوِىي‬
:" ٌ ‫َّحائ‬
َ َ َ ُ َْ َ َ ََ َْ ُ َ ِّ َ
ِ‫ف‬ ِ‫ص‬ ِ ِ
ْ ‫صد ُقَّبِدينَا ٍرَّأ َْوَّن‬
100 ٍ
‫َّدينَا َّر‬ َ َ‫يَت‬

Rasulullah shallallahu ‗alaihi wasallam menyuruh orang yang


mendatangi isterinya (jima') dalam keadaan haid untuk
bersedekah dengan satu dinar atau setengahnya.

Sebagian dari ahli hadis berpendapat bahwa jika wanita waktu

disetubuhi masih ada darah yang mengalir, maka wajib bersedekah

satu dinar. Namun jika waktu disetubuhi darah telah kering maka

membayar dengan setengah dinar.101

Al-Qurtubi mengatakan alasan ulama yang tidak mewajibkan

adanya kafarat dan hanya dengan bertaubat serta beristighfar adalah

mengacu pada pendapat Ibnu Abas. Sedangkan hadis-hadis lain yang

tentang itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Dan tentang dzimah

(tanggungan atau denda) adalah kembali kepada asal mulanya (tidak

99
Ibid.
100
Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 69, nomor hadis: 264.
101
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 244.

64
ada).102 Karena kaidah dasarnya adalah sebuah tanggungan/ denda itu

tidak ada kecuali diadakan oleh dalil-dalil yang jelas.

3) Lamanya masa haid.

Para ulama berbeda pendapat mengenai penetapan masa minimal dan

maksimal lamanya masa haid. Boleh jadi perbedaan ini dikarenakan

hasil penelitian dan pengamatan para ulama terhadap wanita yang

mengalaminya berbeda-beda antara seorang dengan yang lain.

Bahwa dalam Al-Qur‘an tidak ada yang menerangkan tentang

sedikit atau lamanya masa haid. Namun permasalahan seperti ini

dapat dilihat dalam kitab-kitab furu‘ (fiqih).

Adapun menurut Ulama Abu Hanifah dan ats-Tsauri , batas

minimal masa haid adalah tiga hari tiga malam, dan batas

maksimalnya sepuluh hari sepuluh malam103 Hal ini karena

berlandaskan pada hadis Abi Ummah:

ٍَّ ‫شَرةَُّأَي‬
َّ 104‫ام‬ َ ُ‫َّوأَ ْكثَ َره‬،
ََّ ‫َّع‬ ٍ ِ ‫َّاْلَْي‬
َ ‫ضَّثََلثَةَُّأَيام‬ ْ ‫أَقَل‬
Sedikit-dikitnya haid itu tiga hari dan selama-lamanya haid itu
sepuluh hari.

As-syatr (dalam arabnya) mempunyai arti setengah. Maka dari

sini menunjukkan bahwa masa haid itu terkadang bisa mencapai lima

belas hari.105

102
Ibid.
103
Ibid., 245.
104
Al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 229, nomor hadis: 836.

65
Dan pendapat termasyhur dari Imam Malik berpendapat, tidak

ada batas minimal masa haid, tapi yang diperhitungkan adalah darah

yang keluar tersebut.106 Meskipun darah yang keluar dari kemaluan

wanita hanya setetes dalam sesaat, maka darah tersebut tetap

dianggap sebagai darah haid.

4) Kapankah diperbolehkannya mengumpuli wanita (yang dalam

keadaan haid).

―Dan janganlah kamu mengumpuli mereka sehingga mereka suci‖.

Pelarangan tersebut menunjukkan ketidakhalalan laki-laki

mengumpuli istrinya yang sedang haid sampai istrinya itu suci.

Ulama fiqih masih berbeda pendapat mengenai apa yang di maksud

suci dalam ayat tersebut.

a) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud suci adalah

berhentinya darah. Apabila darah haid telah berhenti maka boleh

bagi laki-laki untuk mengumpuli istrinya sebelum mandi. Hal ini

apabila berhentinya darah haid ini melebihi masa maksimal

lamanya haid (sepuluh hari), tetapi jika berhentinya darah itu

kurang dari masa maksimalnya haid, maka belum boleh

mengaulinya sebelum mandi.107

105
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 245.
106
Ibid.
107
Ibid., 246.

66
b) Jumhur Ulama (Malik, Syafi‘i dan Ahmad) mengartikan suci

adalah berhentinya darah haid dan telah mandi dengan air

sebagaimana bersuci karena junub. Maka sang suami tidak

diperbolehkan untuk menggauli istrinya meskipun darah haid telah

berhenti nammun belum mandi sampai ia mandi dengan niat

bersuci karena hadas besar.108

c) Dan menurut at-Thawus dan Mujahid bahwa untuk bolehnya

mengauli istri itu ketika darah haid telah berhenti dan cukup

dengan membasuh farjinya dengan air, dan kemudian berwudhu.109

Dan yang menjadi sebab perbedaan pendapat ini adalah dalam

firman Allah:

110
َّ‫ّتَّيَطْ ُه ْر َنََّّۖفَِإذَاَّتَطَه ْر َن‬
َّ‫َّح ى‬
َ ‫وىن‬
ُ ُ‫َوَلَّتَ ْقَرب‬

Yang pernama takhfif َّ‫َّيَطْ ُه ْر َن‬ (dengan di baca sukun ra‘ nya),

thahura-yathhuru mempunyai arti bersih atau suci tanpa upaya

manusia. Dalam konteks ini maka menjadi berhentinya darah haid.

Sedangkan َّ‫تَطَه ْر َن‬ (tatahhara-yatathaharu-tathohuran) artinya

bersuci, yaitu kata kerja yang terjadi dengan upaya manusia, yaitu

108
Ibid.
109
Ibid.
110
al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 222.

67
mandi dengan air.111 Jadi perbedaan pemilihan penekanan dalil

tentang kesucian akan yang berbeda ini akan membawa

konsekuensi hukum yang berbeda. Yang satu menekankan pada

tataharna, yang satunya menekankan pada yathurna.

Dan ulama jumhur mengartikan ayat tersebut dengan: ―Dan

janganlah kamu mengumpuli mereka sehingga mereka mandi,

maka apabila mereka telah mandi, maka kumpulilah‖. Di sini

jumhur Ulama memperlakukan kata yathhurna dalam arti

yutahhirna dan mereka berpegangan dengan bacaan hamzah dan al

kisa‘i yang membaca yuthahirna. Dan di antara yang menunjukkan

kebenaran pendapat ini adalah bahwa Allah mengkaitkan hukum

tersebut dengan dua syarat, yaitu berhentinya darah.112 Dalam

firman Allah ―sehingga mereka suci‖. Masudnya berhentinya

darah haid. Kemudian dalam firman selanjutnya ―maka apabila

mereka telah suci‖ yakni mandi setelah berhentinya darah haid.

d) Tarjih

Pendapat jumhurlah yang lebih kuat, karena dalam akhir ayat

Allah berfirman ―Sesungguhnya Allah menyukai orang yang

bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci‖.113 Bertaubat

111
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 246.
112
Ibid., 247.
113
Ibid.

68
merupakan menyucikan dirinya dari kotoran batin. Dan mandi dan

berwudhu merupakan menyucikan dirinya dari kotoran lahir.

f) Hikmatus Syar‘i

Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi menjadikan wanita sebagai

tempat untuk mengembangkan keturunan dan menghalalkan

mengumpuli mereka dalam segala waktu kecuali pada sebagian

keadaan di mana wanita sedang menjalani ibadah, seperti ketika ihram,

berpuasa dan i‘tikaf, atau dalam keadaan sedang haid, yaitu situasi di

mana seorang wanita disamakan ihwalnya seperti orang yang sedang

sakit fisiknya, karena pada saat itu wanita sedang mengalami masa

pembuahan telur-telur yang tidak berhasil dibuahi dalam rahimnya,

yang pada ghalibnya, wanita yang ketika berada di situasi demikian

akan mengalami rasa kurang enak dan atau menderita serta dalam

kondisi tidak siap mental untuk digauli secara seksual dalam rangka

bersenang-senang antara seorang suami dengan istrinya.114

Disamping itu, darah haid itu berbeda dengan darah lainnya,

karena darah haid itu berbau tidak sedap, berwarna kehitam-hitaman

dan sangat pekat. Darah haid sendiri adalah darah yang secalami harus

dibuang, karena sudah tidak berfungsi lagi. Tentu saja melihat darah

seperti itu akan tidak menyenangkan. Dan mengumpuli wanita dalam

114
Ibid., 248.

69
keadaan seperti itu akan membawa akibat negative, baik untuk wanita

maupun laki-laki itu sendiri. Al-Qur‘an juga telah mengungkapkan

bahwa haid itu adalah ―kotoran‖. Pengungkapan itu cukup jelas

menggambarkan darah haid dengan segala hal yang menyangkutnya.115

Dalam ilmu medis juga telah menemukan adanya dampak buruk

akibat berhubungan seksual dalam keadaan haid, terlebih untuk

wanita. Di mana akibat percampuran antara darah haid dengan air

mani laki-laki dapat menimbulkan bengkak pada mulut rahim,

demikian juga dengan laki-laki dapat mengalami bahaya fisik. Oleh

Karena itu para dokter menyarankan untuk tidak mencampuri wanita

yang sedang haid sampai dia suci. Dan ini merupakan salah satu bukti

tentang kebenaran Al-Qur‘an.

2. Surat al-Baqarah Ayat 228

a. Redaksi Ayat

َّ‫ف‬ ٍ ‫والْمطَلقاتَّي ت ربصنَّبِأَنْف ِس ِهنَّثَََلثَةَّقُر‬


َّ َُِّ‫وءََّّۖ َوََّلَّ َُِيلََّّ ََلُنََّّأَ َّْنَّيَكْتُ ْم ََّنَّ َماَّ َخلَ ََّقَّالل َّو‬ ُ َ ُ َ ْ َ ََ ُ َ ُ َ
ََّ ِ‫ف َّ ىََّذل‬
َّ‫ك َّإِ َّْن‬ َّ َِّ َّ‫َحقَّ َّبَِرِّد ِىن‬ ِ ْ ‫أَرح ِام ِهن َّإِ ْن َّ ُكن َّي ْؤِمن َّبِالل ِو َّوالْي وِم‬
َ ‫َّاْلخ ِر َّۖ َّ َوبُعُولَتُ ُهنَّ َّأ‬ َْ َ ُ َْ
ِ
َِّ ‫وف َّۖ َّ َول ِّلر َج‬ ِ ِ ِ
َّ ‫ص ََل ًحاَّۖ َّ َوََلُنَّ َّمثْ َُّل َّالذي َّ َعلَْي ِهنَّ َّبِالْ َم ْع ُر‬
ََّّۖ ٌ‫ال َّ َعلَْي ِهنَّ َّ َد َر َج َّة‬ ْ ِ‫أَََّر ُادواَّإ‬
ٌَّ ‫يزَّ َح ِك‬
‫يم‬ ٌَّ ‫َوالل َّوَُّ َع ِز‬

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga


kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari

115
Ibid., 249.

70
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.116

b. Mufrodad

Al-Mutallaqat adalah jamak dari kata al-mutallaqah, yaitu isim maful

yang diambil dari kata talaq, yang berarti ―wanita yang dicerai oleh

suaminya‖. Sedangkan arti kata dasarnya ‫طلق‬ adalah ―melepaskan,

mengkosongkan‖117

c. Asbabun Nuzul

Diriwayatkan dari Umar bin Muhajir yang diterima dari Ayahnya, Asma‘

binti Yazid Al-Anshariyah berkata: ―Saya diceraikan oleh suami saya,

dan belum ada bilangan iddah untuk wanita yang ditalak suaminya‖.

Maka Allah menurunkan ayat tentang iddah untuk wanita yang ditalak

oleh suaminya. Dan Asma‘ merupakan wanita pertama yang menerima

iddah talak setelah ayat itu disampaikan oleh Nabi Muhammad.118

d. Penafsiran

Redaksi ―wanita wanita yang menunggu dengan menahan diri mereka‖

merupakan kalimat berita (kalam khabar) tetapi mengandung makna

116
al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 228.
117
Al-Qur’an Dan Tafsirnya, 336.
118
Tafsir Ahkam, 274.

71
perintah. Cara seperti ini dinilai lebih keras daripada menggunakan

redaksi yang menggunakan gaya bahasa perintah.119 Bentuk seperti ini

berguna untuk menarik perhatian. Khususnya bagi para wanita agar

benar-benar memperhatikan hal ini, supaya perintah itu segera diterima

dan dilaksanakan dengan sepenuh hatinya.

Kata ―menunggu‖ dalam ayat di atas diikuti dengan kata ―anfus‖

menunjukkan bahwa agar setiap wanita dalam masa menunggu dapat

menahan dirinya dari hawa nafsunya.120 Karena wanita yang akan menjadi

penentu keberlangsungan iddah tersebut. Dalam arti jika wanita tegas

pada dirinya sendiri, maka laki-laki yang ingin meminangnya tidak akan

berani mendekat sampai iddahnya selesai.

―Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir‖ itu merupakan

syarat, dan jawabnya dibuang. Hal ini tidak mengecualikan wanita ahli

kitab tidak termasuk di dalamnya. Bahkan perintah untuk menunggu

sampai akhir masa iddah juga tetap berlaku untuk mereka. seperti

misalnya jika ada perkataan, ―jika engkau beriman, janganlah menipu

orang lain‖. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman berarti

boleh menipu orang lain.121

119
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 263.
120
Ibid., 264.
121
Ibid.

72
―Suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuknya” Bahwa

hikmah ditetapkan rujuk dalam pernikahan itu untuk membuktikan

kosongnya rahim dari janin, selain itu untuk memberi kesempatan kepada

suami untuk mempertimbangkan keputusannya, antara bercerai atau

rujuk, sekaligus digunakan untuk merenung dan introspeksi untuk kedua

belah pihak.122 Karena manusia terkadang baru merasa kehilangan ketika

yang dimilikinya sudah tidak berada di sisinya. Manusia terkadang hanya

terbawa oleh emosi sesaat ketika mengucapkan kata perpisahan. Padahal

dia tidak tau apa yang dirasakan jika benar-benar sudah berpisah. Maka

dari itu, Allah menetapkan hak rujuk sebanyak dua kali dalam

pernikahan. Dan ini merupakan kesempurnaan rahmat Allah dan kasih

sayang terhadap hambaNya.

―Dan wanita mempunyai hak sebanding dengan kewajiban mereka

dengan cara yang baik‖ merupakan perkataan yang singkat (ijaz) dan

indah (badi’) yang dikenal dikalangan oleh ahli ilmu balaghoh. Dengan

dibuang yang pertama dengan qarinah kedua dan dibuang yang kedua

dengan qarinah yang pertama, sehingga seolah-olah Allah mengatakan:

Wanita-wanita mempunyai beberapa hak atas laki-laki, sebanding dengan

hak laki-laki atas wanita.123 Rasulullah SAW juga pernah menjelaskan

122
Ibid.
123
Ibid.

73
tentang hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri dalam haji

wada‘, yaitu

َّ‫َّعلَىَّنِ َسائِ ُك ْم‬ ِ ِِ ‫أََل َّإِن َّلَ ُكم َّعلَىَّنِسائِ ُكم َّحق‬
َ ‫اَّحق ُك ْم‬
َ َّ‫َّفَأَم‬،‫َّحقًّا‬ َ ‫َّعلَْي ُك ْم‬
َ ‫ًّاَّولن َسائ ُك ْم‬
َ َ ْ َ َ ْ
ِ ِ ِ
َّ‫َّحق ُهن‬ َ ‫َّأََل ََّوإن‬،‫فَ ََل َّيُوطْئ َن َّفُ ُر َش ُك ْم ََّم ْن َّتَكَْرُىو َن ََّوَل َّيَأْ َذن َِّف َّبُيُوت ُك ْم ََّم ْن َّتَكَْرُىو َن‬
َّ 124َّ‫َُّت ِسنُواَّإِلَْي ِهن َِّفَّكِ ْس َوِتِِن ََّوطَ َع ِام ِهن‬
ُْ ‫َعلَْي ُك ْمَّأَ ْن‬
Ketahuilah, Sesungguhnya bagi kamu (laki-laki) mempunyai hak atas
isteri-isterimu dan isteri-isterimu juga mempunyai hak atas kamu.
Adapun hakmu atas isterimu yaitu: sekiranya mereka tidak
mempersilahkan orang yang kamu benci untuk menginjak tempat
tidurmu, dan tidak mengijinkan orang yang kamu benci untuk masuk
rumahmu. Sedang hak mereka atau kamu, yaitu: hendanya kamu
berbuat baik kepada mereka, dalam hal memberi pakaian dan makan.
(HR Nasai, Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Derajat yang dimaksudkan dalam ayat diatas bukanlah derajat

kemuliaan, karena untuk derajat kemuliaan Allah telah menetapkannya

dalam firman Allah Surat al-Hujurat ayat 13 Sesungguhnya yang paling

mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa‖. Sedangkan

derajat yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah derajat tanggung

jawab. Hal ini diperjelas dalam surat an-Nisa ayat 3 yang menjelaskan

bahwa: ―Laki-laki adalah pengurus atas wanita‖. Yang dimaksudkan

pengurus itu meliputi tentang penyantunan, pertanggung jawaban serta

nafkah untuk istrinya dan anak-anaknya.125

124
Al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, 1147, nomor hadis: 3087.
125
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 266.

74
e. Kandungan Hukum

1) Iddah wanita yang ditalak

Berdasarkan ayat di atas, iddahnya wanita yang ditalak adalah tiga kali

quru. Adapun wanita yang dimaksud adalah wanita yang sudah pernah

dicampuri dan tidak dalam keadaan hamil. Karena kedua keadaan

tersebut akan membawa dampak hukum yang berbeda, seperti wanita

yang belum pernah dicampuri itu tidak ada iddah baginya (QS al-

Ahdzab 49), sedangkan iddahnya wanita hamil adalah sampai lahir

anak yang dikandungnya. 126

2) Makna kata quru

Quru secara bahasa berarti haid dan suci.127 Namun para ulama ahli

fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan arti yang dimaksud dalam

ayat tersebut. Di sini ada dua pendapat yang berbeda, yaitu:

a) Imam Malik dan Imam Syafi‘i, berpendapat bahwa quru adalah

suci. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, Aisyah, Zaid

bin Tsabit dan juga salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad.128

Adanya ta dalam kata bilangan tsalsata quru yang

menunjukkan bahwa kata quru itu berarti mudzakar. Sedangkan

kata quru dengan arti mudzakar itu berarti suci. Seandainya

126
Ibid., 267.
127
Ibid.
128
Ibid.

75
bermakna haid, maka ayat itu akan berbunyi tsalasa quru. Karena

dengan begitu, berarti quru’ itu muannas, karena haid itu muannas.

Padahal di-muannats-kannya kata tsalasa bersamaan dengan

mudzakkar-nya quru itu sudah maklum.129

Aisyah juga telah meriwayatkan sebuah hadis:

َّ 130‫ار‬
َُّ ‫َّاْلَطْ َه‬ ْ َ‫اَّاْلَقْ َراءُ؟َّإَِّن‬
ْ ُ‫اَّاْلَقْ َراء‬ ْ ‫تَ ْد ُرو َن ََّم‬
Tahukah kamu, apakah aqra‘ itu? Aqra‘ adalah suci.

Dan juga Firman Allah dalam surat at-Thalaq yang

mengatakan: ―Talaklah mereka itu ketika dia bisa menghadapi

masa iddah mereka‖

Dari ayat tersebut memerintahkan bagi para suami jika

mentalak istrinya haruslah dalam keadaan suci, tidak pada saat istri

sedang mengalami haid.

b) Abu Hanifah dan Ahmad (dalam satu riwayah) berpendapat bahwa

yang dimaksud quru adalah haid, karena iddah itu ditetapkan untuk

mengetahui kebersihan rahim.131 Sedangkan untuk mengetahui

kebersihan rahim adalah dengan adanya haid.

Nabi SAW telah bersabda kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:

129
Ibid.
130
Al-Muwatta, 576, nomor hadis: 1197.
131
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 267.

76
َّ 132‫دعيَّالصَلةَّأيامَّأقرائك‬
Tinggalkanlah shalatmu pada hari-hari haidmu. (HR. Al-
Daruquthni)

Para ulama fiqih bersepakat bahwa iddahnya seorang budak

adalah satu kali haid. Maka begitu juga seharusnya dengan wanita

yang merdeka. Karena haid merupakan satu-satunya pertanda

untuk menunjukkan bahwa kosongnya rahim.133

Dalam surat at-Thalaq ayat 4, Allah menetapkan iddah tiga

bulan bagi wanita yang sudah tidak haid atau yang memang tidak

pernah haid sebagai ganti iddah haid. Hal ini jelas menunjukkan

bahwa iddah itu dinilai dengan haid, bukan dengan suci.134

Jika iddah itu dihitung dengan haid, maka kemungkinan besar

akan terpenuhinya tiga quru secara sempurna. Karena wanita yang

ditalak itu hanya bisa keluar dari iddah dengan hilangnya haid

yang ketiga. Akan berbeda jika yang menjadi patokannya adalah

suci, ditambah dengan sebagian suci, kalau misalnya wanita yang

ditalak itu diakhir suci.135

c) Tarjih

132
Al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, 394, nomor hadis: 822.
133
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 269.
134
Ibid.
135
Ibid.

77
Ashobuni berpendapat bahwa pendapat Hanafiyah dan Ahmad

inilah yang lebih kuat, karena tujuan utama diadakannya iddah

adalah untuk melihat kebersihan rahim, sedangkan kebersihan

rahim itu bisa dilihat dengan adanya haid.136

Ibnu Qayim juga memperkuat pendapat Hanafiyah dan

Ahmad dengan berkata:

Lafald quru itu tidak dipakai dalam istilah syar‘i selain untuk
arti haid. Tidak ada satu kata pun yang dipakai untuk arti suci.
Oleh karena itu, mengartikan dengan kata haid lebih baik
untuk ayat di atas, bahkan lebih jelas. Sebab Rasulullah SAW
bersabda kepada wanita mustahadhah:

َّ 137‫دعيَّالصَلةَّأيامَّأقرائك‬
Tinggalkanlah shalatmu pada hari-hari haidmu.

Apabila Allah menyebutkan kalamnya dengan kata

musytarak, maka wajib diartikan menurut arti semuanya itu, jika

tidak ada satu pun keterangan yang memperkuat pada salah satu

arti. Jika syar‘i sendiri sudah mempergunakan kata quru dengan

arti haid, maka berarti ini adalah bahasa Al-Qur‘an dan harus

diartikan demikian. Hal ini juga dapat diketahui dari konteks ayat

itu sendiri, di mana sesudah menyebutkan kata quru dilanjutkan

dengan kalimat ―Dan tidak boleh mereka menyembuyikan apa

yang Allah jadikan dalam Rahim mereka‖. Sedangkan yang berada

136
Ibid.
137
Al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, 394, nomor hadis: 822.

78
dalam rahim adalah haid dan rahim. Dalam surat at-Thalaq,

dijelaskan bahwa kepastian hukummnya disebutkan dengan tidak

ada haid, bukan tidak ada kesucian.138

3) Dalam ayat ―Dan tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang ada

di dalam rahim mereka‖. Dalam hal ini ulama ahli tafsir berbeda

pendapat:

Umar, Ibnu Abas dan Mujahir mengatakan, yang dimaksud dalam ayat

tersebut adalah kehamilan. Sedangkan ‗Ikrimah, Nakha‘i dan az-Zuhri

berpendapat itu merupakan haid. Dan Ibnu Umar berpendapat bahwa

yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kehamilan dan haid.139

Pendapat ketiga ini didukung oleh Ibnu ‗Arabi dengan berkata:

―pendapat ketiga itulah yang benar, karena Allah menjadikan rahim

wanita itu lengkap dengan haid dan kehamilan. Jadi apa yang

dikatakan wanita tentang rahimnya haruslah diterima selama wanita

itu tidak berdusta, karena tidak ada seorangpun yang mengetahui atas

pemberian dariNya‖.140

Ali Asshobuni berkata: Allah hanya mengharamkan wanita

merahasiakan yang ada dalam rahimnya. Karena dari situ ada hak

rujuk bagi suaminya, dan supaya tidak terjadi percampuran nasab

138
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 270.
139
Ibid.
140
Ibid., 271.

79
karena mengaku telah berakhir masa iddahnya sedangkan rahimnya

telah terisi dan kemudian menikah dengan lelaki lain. Dan barangkali

wanita itu sudah tidak mau dirujuk oleh suaminya. Dari situlah, Allah

mengharamkan wanita merahasiakan apa yang ada dalam rahimnya.141

4) Maksud dari kata muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak)

Kata muthallaqat ini merupakan kata yang masih umum, karena talak

sendiri ada dua macam, yaitu talak raja‘i (yang masih bisa kembali)

dan ghaira raja‘i (yang tidak bisa kembali), namun kemudian ditaskhih

(dikecualikan) dengan kalimat: ―Dan suami mereka berhak untuk

merujuk mereka. Dengan begitu, ayat ini khusus bagi wanita yang

ditalak raj‘i, bukan prempuan yang ditalak bai‘in. Karena wanita yang

ditalak bain telah menguasai dirinya.142

Talak berada di tangan laki-laki, karena wanita biasanya lebih

terpengaruh dengan perasaan dibandingkan laki-laki. Jika prempuan

memiliki hak untuk mentalak, maka akan berkemungkinan dia

menjatuhkan talak dengan alasan yang sederhana yang tidak perlu

membuat kehancuran kehidupan perkawinan. Selain itu, talak diikuti

dengan berbagai perkara keuangan yang terdiri dari pembayaran

mahar yang ditangguhkan, nafkah iddah dan mut‘ah. Dengan beban

keuangan ini dapat membuat laki-laki berhati-hati dalam menjatuhkan

141
Ibid.
142
Ibid.

80
talak. Demi mencapai kemaslahatan dan kebaikan, maka dari itu talak

diberikan kepada orang yang lebih kuat dalam menjaga ikatan

pernikahan.

f. Hikmatus Syar‘i

Islam menghalalkan adanya talak adalah sebagai jalan keluar dari

kekacauan rumah tangga yang berkepanjangan, karena dirasa sudah tidak

ada lagi keharmonisan antara suami dan istri. Jika diteruskan akan

membawa kekhawatiran terhadap Hal ini sebagai bukti bahwa hukum

agama islam itu luwes, karena Islam memberi hak kebebasan untuk

memilih pada umatnya. Meskipun talak merupakan suatu pekerjaan yang

sangat dibenci oleh Allah.143

Islam juga menilai akibat dari seseorang melakukan talak dapat

menghancurkan kehidupan rumah tangga dan meretakkan ikatan anggota

rumah tangga, khususnya terhadap anak-anak, di mana anak-anak sangat

membutuhkan asuhan dan pendidikan dari ibunya dengan segala kasih

sayangnya. Maka jika kasih saying ibu itu telah tiada, maka nak-anak anak

berantakan. Oleh karena itu diperbolehkannya talak itu untuk menghindari

bahaya yang lebih besar guna mendapatkan kemaslahatan yang lebih

banyak. Maka memisahkan antara dua orang yang sedang bertengkar terus

itu justru akan lebih baik. Sedang rumah tangga itu bersumber dari rasa

143
Ibid., 287.

81
cinta, ketenangan dan kedamaian, bukan saling menohok, pertentangan

dan perkelahian.144

Kalau semua jalan untuk menghimpun kembali kehidupan rumah

tangga yang harmonis itu sudah tidak didapat, maka satu-satunya jalan

ialah bercerai. Dan diantara keharusan yang membolehkan cerai itu adalah

keragu-raguan suami atas istrinya, misalkan istrinya berlaku tidak benar.

Jika dalam kondisi seperti itu tentu tidak bias jika hanya didiamkan dan

akan merusak moral keturunan. Maka dengan bercerai adalah lebih baik

untuk kemaslahatan. Selain itu ada sebab lain, yaitu sebab mandul

sedangkan istri tidak berkenan dipoligami atau karena sakit yang tidak

memungkinkan untuk mengadakan hubungan seksual.145

3. Surat an-Nisa Ayat 43

a. Redaksi

َّ‫َّجنُبًا‬ ِ
ُ ‫اَّماَّتَ ُقولُو َن ََّوَل‬ َ ‫ّت َّتَ ْعلَ ُمو‬ َّ‫ى َّ َح ى‬ َّ‫َّس َك َار ى‬ُ ‫اَّل َّتَ ْقَربُوا َّالص ََل َة ََّوأَنْتُ ْم‬ َ ‫َّآمنُو‬َ ‫ين‬ َ ‫يَاَّأَي َهاَّالذ‬
َّ‫َح ٌَّدَّ ِمْن ُك َّْم‬ َّ ‫ض ىَّىَّأ ََّْوَّ َعلَ ىَّىَّ َس َف ٍَّرَّأ ََّْوَّ َج‬
َ ‫اءََّأ‬
ِ َّ ‫إِلَّعابِ ِريَّسبِ ٍيلَّح‬
َ ‫ّتَّتَ ْغتَسلُواََّّۖ َوإِ َّْنَّ ُكْنتُ َّْمَّ َم ْر‬ ‫َ َى‬ َ
َّ‫يدا َّطَيِّبًا َّفَ ْام َس ُحوا‬ ً ِ‫صع‬ َ َّ ‫اءً َّفَتَ يَم ُموا‬ َّ ‫اءَ َّفَلَ َّْم َّ ََِت َُّدوا َّ َم‬
َّ ‫ِّس‬
َ ‫ط َّأ ََّْو ََّل َم ْستُ َُّم َّالن‬َِّ ِ‫ِم ََّن َّالْغَائ‬
ِ ِ
‫ورا‬ َ ‫بُِو ُجوى ُك َّْمَّ َوأَيْدي ُك َّْمََّّۖإِنََّّالل َّوَََّّ َكا َن‬
ً ‫َّع ُف ًّواَّ َغ ُف‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang

144
Ibid.
145
Ibid.

82
air atau kamu telah menyentuh wanita, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.146

b. Mufrodad

Kata lamastum berasal dari lamasa yang berarti menyentuh dengan

permukaan kulit. Ada juga ulama yang berpendapat ahwa lamasa berarti

sentuh-menyentuh, yaitu melakukan hubungan suami istri. Bagi pendapat

ini, jika hanya bersentuhan saja dengan wanita maka tidak akan

membatalkan wudhu147

c. Asbabun Nuzul

Berdasarkan riwayat Tirmidzi yang bersumber dari Ali bin Abi Thalib,

dia berkata: bahwa Abdurrahman bin Auf suatu ketika mengundang para

sahabat dan dia menghidangkan makanan untuk kami serta memberikan

kepada kami minuman yang terbuat dari arak. Lalu kami minumnya dan

kami melaksanakan sholat, karena pada saat itu waktu sholat sudah

datang. Kemudian mereka menyilahkan aku untuk menjadi imam sholat.

Dalam sholat itu aku membaca surat al-kafirun salah, menjadi ―Qul ya

ayyuhal kafirun a‘budu ma ta‘ budun, wa nahnu na‘budu ma ta‘ budun‖

146
Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, al-
Qur’an dan Terjemahannya (Medinah Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd Ii Thiba‘at al-Mush-
haf, 1415), a. QS. an-Nisa: 43.
147
Al-Qur’an Dan Tafsirnya, bk. 2, hlm.180.

83
(Katakanlah, hai orang-orang kafir! Aku menyembah apa yang kamu

sembah dan kami juga menyembah apa yang kamu sembah).148

Padahal yang sebenarnya berbunyi: ―Qul yaa ayyuhaal kaafiruun, laa

a'budu maa ta'buduun, walaa antum 'aabiduuna maa a'budu‖ (Katakanlah:

Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu

sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah). Setelah

itu Allah menurunkan ayat di atas.

d. Penafsiran

Haid dalam ayat ini akan dibahas dalam tengah-tengah ayat. Ia dibahas

bersama dengan pembahasan kebolehan shalat yang meskipun sebenarnya

sholat itu wajib, namun dalam kondisi tertentu tidak boleh melaksanakan

shalat. Bahwa shalat hanya boleh dilakukan dalam keadaan suci dan

dalam keadaan sadar (tidak mabuk). Maka pada awal ayat ini,

pembahasannya adalah tentang pelarangan melaksanakan shalat ketika

dalam keadaan mabuk.

Pelarangan dalam ayat ini mempunyai dua makna, yakni pelarangan

untuk melaksanakan shalat dan pelarangan untuk mendekati tempatnya

shalat (masjid). ―Janganlah kamu mendekati shalat‖ merupakan larangan

yang lebih tajam ungkapannya dibandingkan dengan ―janganlah kamu

melaksanakan shalat‖. Karena jika mendekati saja sudah ada larangan

148
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 418.

84
apalagi untuk melaksanakannya. Dan larangan seperti ini menurut Abu

Su‘ud merupakan lilmubalaghah (larangan yang sangat keras).149

Allah melarang orang yang sedang mabuk melaksanakan shalat,

karena ketika seseorang sedang mabuk akibat minum khamr dan

semacamnya dia tidak akan sadar terhadap apa yang diucapkannya.150

Sama halnya ketika Ali bin Abi Thalib ketika melaksanakan shalat setelah

meminum khamr yang dihidangkan oleh Abdurrahman bin Auf sehingga

menyebabkan kelirunya surat yang dibaca ketika melaksanakan shalat.

Metode Al-Qur‘an ketika mengharamkan minum khamr merupakan

metode yang menggunakan tahapan. Meskipun Al-Qur‘an berjumlah 30

juz telah tertulis lengkap di Lauh Mahfudz, namun Al-Qur‘an diturunkan

ke bumi secara berangsur-angsur sesuai dengan konteks kejadiannya

sehingga akan lebih mudah dipahami serta diterima di masyarakat.

Seperti misalnya proses pengharaman khamr yang berangsur-angsur,

tidak serta merta langsung mengharamkan. Karena bagi orang Arab,

khamr sudah seperti air minum biasa karena terlalu sering mereka

meminumnya. Sehingga apabila Nabi Muhammad langsung memberikan

perintah akan haramnya khamr, orang-orang Arab akan merasa berat

untuk meninggalkan kebiasaannya dan tidak akan mungkin akar-akarnya

itu tercabut dari hati mereka.

149
Ibid., 419.
150
Ibid., 420.

85
―Hingga kamu menyadari apa yang kamu ucapkan‖ merupakan

kalimat yang menunjukkan perintah namun disampaikan dengan bahasa

yang lembut. Dalam ayat ini hendak menyatakan bahwa shalat itu

selayaknya dilakukan dengan khusyu‘, sehingga dapat mengerti dan

meresapi apa yang diucapkan ketika shalat. Dan hendaknya sholat

dilakukan dengan penuh kesadaran serta mengosongkan fikiran dari hal-

hal yang bersifat duniawi, agar tidak terjadi kelupaan bilangan rakaat

sholat yang telah dikerjakannya. Karena apabila terjadi semacam itu,

tidak lain orang itu seperti orang yang mabuk (tidak sadarkan diri).151

Metode Al-Qur‘an dengan biasa mempergunakan kata kinayah

(sindiran) dalam hal-hal yang kurang baik kalau diucapkan dengan cara

terus terang adalah merupakan kehalusan Al-Qur‘an. Redaksi semacam

ini mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya menggunakan kata-

kata sopan dalam mengungkapkan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan.

Sehingga jangankan perbuatannya dirahasiakan, kata atau kalimatnya pun

yang digunakan merupakan kalimat yang sepintas seperti rahasia. Di sini

misalnya Allah memberi kinayah tentang orang yang sedang hadast

karena buang air dengan menggunakan kata al-ghaith, sedangkan al-

ghaith sendiri mempunyai arti tempat yang rendah yang biasa dituju

seseorang ketika ia hendak buang hair agar terlindung dari pandangan

151
Ibid.

86
manusia. Kemudian kata ini popular digunakan dengan arti ―hadast‖,

karena seringnya dipakai.152

Sedangkan ―menyentuh wanita‖ adalah suatu kinayah tentang

bercampur. Karena kata jima merupakan kurang layak diucapkan secara

terang-terangan. Maka digantilah dengan kinayah ―menyentuh wanita‖.153

Diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah bepergian bersama Nabi

SAW, lalu kalung Aisyah hilang. Kemudian Nabi SAW beserta sahabat

mencari kalung Aisyah, sedangkan pada saat itu mereka tidak membawa

air. Maka Abu Bakar marah kepada Aisyah sambil berkata: ―engkau

merepotkan Nabi SAW dan orang-orang lain yang bersamanya‖. Lalu

ayat ini diturunkan. Setelah para rombongan tadi shalat dengan tayamum

dan berkemas-kemas hendak berangkat, tiba-tiba mereka mendapatkan

kalung Aisyah di bawah unta. 154

e. Kandungan Hukum

1) Yang dimaksud perkataan, ―Janganlah kamu mendekati shalat padahal

kamu sedang mabuk‖

Dalam hal ini Ulama berbeda pendapat. Sebagian besar ulama ahli

tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata shalat tersebut

mempunyai arti shalat itu sendiri, yang demikian itu adalah pendapat

152
Ibid.
153
Ibid.
154
Ibid., 421.

87
Abu Hanifah dan yang diriwayatkan dari Ali, Mujahid dan Qatadah.

Mereka beralasan bahwa kalimat: ―Sehingga kamu menyadari apa

yang kamu ucapkan‖ menunjukkan bahwa yang dimaksud shalat

adalah hakekatnya shalat itu sendiri, karena di dalam masjid tidak ada

ucapan yang di situ seorang yang sedang mabuk dilarang

mengucapkannya. Adapun dalam shalat ada beberapa bacaan yang

tidak bisa diucapkan oleh orang yang sedang mabuk, seperti bacaan al-

Qaur‘an, do‘a dan dzikir. Karena itu mengartikan kata shalat dalam

arti yang sebenarnya akan lebih sesuai.155

Sebagian yang lain, seperti Imam Syafi‘i dan yang diriwayatkan

dari Ibnu Mas‘ud, Anas dan Sa‘id bin Musayyab berpendapat, bahwa

yang dimaksud adalah tempat-tempat shalat, seperti masjid. Karena

kata dekat dan jauh itu sesuai untuk sesuatu yang bersifat fisik, maka

kata shalat lebih sesuai jika diartikan dengan masjid. Akan tidak sesuai

jika shalat itu diartikan dengan hakikatnya shalat, karena kata itu tidak

benar dipergunakan pengecualian ―kecuali berjalan melalui…‖ tetapi

kalau diartikan dengan masjid, maka pengecualian tersebut adalah

betul. Padahal yang dimaksud adalah larangan masuk masjid bagi

orang yang sedang junub, kecuali sekedar berjalan melaluinya.156

155
Ibid., 422.
156
Ibid.

88
Thabari memilih pendapat yang pertama. Karena kalau terdapat

dua kata yang ada dua kemungkinan, yang satu berarti hakekat

(menurut zahirnya) dan mungkin berarti majaz (tidak sebenarnya)

maka diartikan secara hakekat itu lebih sesuai. Pendapat ini diperkuat

dengan asbabun nuzul ayat tersebut.157

Sedangkan dalam tafsir al-Manar, bahwa yang dimaksud kata

shalat di situ adalah shalat yang sebenarnya, bukan tempatnya seperti

yang dikatakan oleh golongan syafi‘i. sedang larangan mendekati

shalat tanpa disebut ―mengerjakannya‖ itu tidak berarti yang dimaksud

adalah masjid. Karena larangan mendekati suatu amal itu sudah

makruf dikalangan orang Arab. Dan dalam Al-Qur‘an sendriri secara

jelas pun dikatakan, ―janganlah kamu mendekati zina‖. Larangan

mengerjakan suatu amal dengan bentuk seperti ini mencangkup

pelarangan terhadap mengerjakan pendahuluan-pendahuluannya

juga.158

Perbedaan pendapat ini akan menimbulkan permasalahan yang

berkaitan dengan hukum yang lain, yaitu apakah orang yang sedang

junub itu boleh masuk masjid?

157
Ibid., 423.
158
Ibid.

89
Menurut pendapat yang pertama, bahwa pelarangan dalam ayat

Al-Qur‘an tidak tegas, namun dijelaskan melalui hadis Nabi.َّ

Misalnya:

159 ٍ ُ‫َّجن‬
َّ‫ب‬ ٍ ِ‫فَِإ ِِّن ََّلَّأ ُِحلَّالْ َم ْس ِج ََّدَّ ِْلَائ‬
ُ ‫ض ََّوَل‬
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk orang yang
sedang junub dan yang sedang haid.

Sedangkan menurut pendapat kedua, bahwa pelarangan masuk

masjid bagi orang yang sedang junub diterangkan secara jelas dalam

ayat tersebut, yaitu kecuali berjalan melalui, tanpa duduk

diperbolehkan.160

2) Sebab-sebab yang membolehkan tayamum.

Berdasarkan ayat di atas, ada beberapa hal yang diperbolehkan

bertayamum, syaratnya apabila dalam kondisi sakit, bepergian, datang

dari buang air dan bercampur dengan istri.

Syarat bepergian diperbolehkan bertayamum jika tidak

mendapatkan air sama sekali, begitu juga setelah junub dan buang air.

Sedangkan untuk orang yang sedang sakit, diperbolehkan tayamum

meskipun di situ terdapat banya air atau tidak, karena yang menjadi

159
Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 61, nomor hadis: 232.
160
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 423.

90
perhatian adalah sakitnya itu apabila terkena air khawatir sakitnya

akan bertambah parah dan lama untuk sembuh.161

ِ ِ َِّ ‫َلً ِمنا حجر فَ َشج َّو‬ ََّ َ‫َع َّْن َجابٍَِّر ق‬
ْ ‫ف َرأْس َّو َُّث‬
َّ‫احتَ لَ َم‬ ُ َ َ َّ ‫اب َر ُج‬ ََّ ‫َص‬ َ ‫ف َس َف ٍَّر فَأ‬ َِّ ‫ َخَر ْجنَا‬: ‫ال‬
ََّ ْ‫ص َّةً َوأَن‬
‫ت‬ َ ‫ك ُر ْخ‬ ََّ َ‫ َما ََِن َُّد ل‬: ‫ف الت يَمم ؟ فَ َقالُوا‬ َِّ ‫ص ًَّة‬ َِّ ‫َص َحابََّوُ َى َّْل ََِت ُدو ََّن‬
ََّ ‫َل ُر ْخ‬ ْ ‫َل أ‬ ََّ ‫فَ َسأ‬
‫اهللِ صلىَّاهللَّعليوَّوسلم‬ َّ ‫ول‬ ََّ ‫ات فَلَما قَ ِد ْمنَا َع‬
َِّ ‫لى َر ُس‬ ََّ ‫تَ ْق ِد َُّر َعلى املاء فَا ْغتَ َس ََّل فَ َم‬
ِ َ ِ
‫الع َِّّي‬ َّ
‫اء‬ ‫ف‬ ‫ش‬ ‫ا‬‫َّن‬ ِ
‫إ‬
َ ُ َ َ َ ُ َْ َ َ َ َ َ‫ف‬ ‫؟‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ي‬ َّ
‫ل‬ ‫ا‬‫ذ‬ ِ
‫إ‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ل‬
َُ‫أ‬ ‫س‬ َّ
‫ل‬ َ‫أ‬ ‫اهلل‬ َّ
‫م‬
ُ ُ َ ََ ُ ُ ََ َ َ ‫ك‬
‫ه‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ‫ق‬ َّ
‫وه‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ‫ق‬ : َّ
‫ال‬
َ ‫ق‬ ‫ف‬ ََّ ‫َخبَ ََّر بِ َذل‬
ْ‫أ‬
‫ب َعلَى ُج ْرِح َِّو ِخ ْرقََّةً َُّث ّيَْ َس ََّح َعلَْي َها‬ ِ ‫ْف َِّيو أَ َّْن ي تَ يم َّم وي ع‬
ََّ ‫ص‬ ِ ‫السؤال إَِّنَا َكا ََّن يك‬
ََْ َ َ َ َ َ
162ِ ِ
‫َويَ ْغ ِس ََّل َسائََِّر َج َسدَّه‬

Dari Jabir radhiyallahuanhu berkata"Kami dalam perjalanan tiba-


tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya.
Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada
temannya"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum?"
Teman-temannya menjawab"Kami tidak menemukan keringanan
bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan
air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi).
Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan
hal itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya semoga
Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak
tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya.(HR.
Abu Daud, Ad-Daruquthuny).

3) Maksud kata ―menyentuh‖ dalam ayat di atas.

Para ulama salaf berbeda pendapat dalam mengartikan kata ―sentuh‖.

Ali, Ibnu Abbas dan Hasan berpendapat bahwa yang dimaksud adalah

bercampur. Dan ini juga merupakan pendapat madzhab Hanafiyah.

Sedangkan Ibnu Mas‘ud, Ibnu Umar dan Sya‘bi berpendapat bahwa

161
Ibid., 424.
162
Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 92, nomor hadis: 336.

91
yang dimaksud kata ―sentuh‖ itu adalah bersentuhan dengan tangan.

Dan ini juga merupakan pendapat madzhab Syafi‘iyah.163

Terkati dengan perbedaan arti kata menyentuh, maka akan

memunculkan pertanyaan baru, apakah bersentuhan dengan lawan

jenis dapat membatalkan wudhu atau tidak? Di sini Imam Madzhab

berpendapat:

a) Abu Hanifah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu tidak

membatalkan wudhu, baik bersentuhan itu dengan syahwat

ataupun tidak. Karena lafald ―lamastumun nisa‖ itu merupakan

suatu kinayah dari bercampur, seperti yang diriwayatkan Ibnu

Abas. Meskipun pada dasarnya bermakna menyentuh dengan

tangan, namun di dalam Al-Qur‘an sendiri sering dipakai dengan

arti kinayah, seperti misalnya firman Allah: ―Dan jika kamu

mencerai mereka, sebelum kamu sentuh mereka itu‖ (QS al-

Baqarah 237).164 Selain itu Abu Hanifah beralasan dengan hadis

Aisyah yang mengatakan:

َّ‫صلِّي ََّوَل‬ ُ ‫ض َّأ َْزَو ِاج ِو‬


َ ُ‫َّث َّي‬ َ ‫أَ َّّن َّالنِِب َّصلى َّاهلل َّعليو َّوسلم َّ" َّ َكا َن َّيُ َقبِّ ُل َّبَ ْع‬
َّ 165"َُّ‫يَتَ َوضأ‬

163
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 426.
164
Ibid., 427.
165
Abu Abdi al-Rahman Ahmad Al-Nasa‘i, Sunan al-Nasa’i (Halb: Maktab al-Mathbu‘at al-
Islamiyah, 1986), 44, nomor hadis: 170.

92
Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya,
kemudian shalat dan tidak berwudhu lagi.

Dan juga hadis Aisyah yang mengatakan:

َّ‫َّفَلَ ْم‬،‫ات َّلَْي لَ ٍة َِّف َّفَِر ِاشي‬


َ ‫ول َّاللو َّصلىَّاهللَّعليوَّوسلم َّ َذ‬
ِ َ ‫َّطَلَبت َّرس‬:‫قَالَت‬
َُ ُ ْ ْ
َّ‫ص َّقَ َد َمْي ِو‬ ِ ‫اش َّفَوقََّع‬ ِ ِ ِ
ِ َ‫َْخ‬ ْ ‫يَّعلَىَّأ‬
َ ‫ت َّيَد‬ ْ َ َ ِ ‫ىَّرأْ ِس َّالْفَر‬ َ َ‫يَّعل‬َ ‫ت َّبِيَد‬ ُ ْ‫ضَرب‬
َ َ‫َّف‬،ُ‫أُصْبو‬
َّ‫اك َِّم ْن‬ ِ ‫ َّ" َّأَعوذُ َّبِع ْف ِو َك َِّمن‬:‫ول‬ ِ ‫فَِإ َذا َّىو َّس‬
َ‫ض‬ َ ‫َعوذُ َّبِ ِر‬
ُ ‫ ََّوأ‬،‫ك‬َ ِ‫َّع َقاب‬ ْ َ ُ ُ ‫ َّيَ ُق‬،‫اج ٌد‬ َ َُ
"َّ‫ك‬َ ‫ك َِّمْن‬
َ ِ‫َّوأَعُوذَُّب‬،
َ ‫ك‬ َ ‫َس َخ ِط‬
166

Pernah suatu malam, ia mencari Nabi SAW, ia berkata: Maka


tanganku menyentuh telapak kakinya sedangkan Nabi SAW
pada saat itu sedang bersujud sambil membaca: a‘udzu
biridhaka min sakhatika (aku berlindung diri dengan
keridhoanMu dan murkaMu)

b) Sedangkan Imam Syafi‘i berpendapat bahwa menyentuh wanita itu

membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak. Karena

lafald ―lamasa‖ pada mulanya bermakna menyentuh dengan

tangan. Sedangkan ―lamasa‖ dengan arti bercampur merupakan

majaz atau kinayah. Padahal asalnya, setiap perkataan itu harus

diartikan menurut hakikatnya, tidak diperbolehkan pindah pada arti

majaz, kecuali apabila tidak memungkinkan bila diartikan secara

hakikat. Dan ini diperkuat dengan lafald ―aulamastumun nisa‖

dengan lam pendek yang berarti menyentuh yang sebenarnya.167

c) Dan Imam Malik berpendapat bahwa menyentuh wanita itu

membatalkan wudhu jika menyentuhnya dengan bersyahwat, tetapi

166
Ibid., 1485, nomor hadis: 5534.
167
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 427.

93
jika menyentuhnya tidak dengan bersyahwat itu tidak

membatalkan wudhu.168

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd berkata: Penyebab

perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah kata ―lamasa‖ itu

mempunyai arti ganda (musytarak). Orang-orang Arab biasa

mengartikan dengan menyentuh dengan tangan, namun terkadang juga

dikinayahkan untuk arti bercampur (jima‘). Namun ada asalnya kata

―lamasa‖ itu berarti menyentuh dengan tangan, sedangkan jika

diartikan dengan jima‘ merupakan majaz. Dan jika terjadi dua

kemungkinan antara hakikat dan majaz pada suatu lafal, maka yang

lebih tepat adalah mengartikan secara hakikat sampai ada dalil yang

mengalihkan pada makna majaz. Dan Ibnu Rusyd mengartikan

―lamasa‖ sebagai jima‘, meskipun dengan mengartikan jima‘ itu

merupakan sebuah majaz. Karena Allah telah membuat kinayah jima

dengan mubasyarah dan massa yang kedua-duanya juga berarti

lamasa.169

Ibnu Rusyd juga berkata, ―saya sendiri berketeguhan hati, bahwa

kata lamasa meskipun mempunyai dua arti, namun yang tepat adalah

dengan mengartikan dengan kata jima, meskipun jima sendiri adalah

kata majaz. Karena Allah telah membuat kinayah jima dengan

168
Ibid.
169
Ibid., 429.

94
mubasyarah dan masa yang keduanya juga berarti lamasa

(menyentuh).170

d) Tarjih

Barangkali pendapat inilah yang lebih kuat, karena dengan ini

berarti suatu kemungkinan untuk memadukan antara ayat tersebut

dengan riwayat-riwayat di atas karena sudah menjadi keumuman

kata massa itu kalau dihubungkan dengan wanita berarti jima‘,

sehingga arti ini sudah seperti menjadi zahir (hakekatnya).171

4) Yang dimaksud kata sha’id (tanah) dalam ayat di atas.

Dalam masalah ini, para ahli bahasa berbeda pendapat, akibatnya akan

timbul pula perbedaan dikalangan ahli fiqih tentang penggunaan media

untuk bertayamum. Sebab sebagian ada yang mengartikan sha‘id ini

sebagai turab (debu), ada juga yang mengartikan permukaan bumi

baik itu berupa debu atau yang lainnya. Dan ada juga yang

mengartikan tanah gundul yang tidak ada tumbuhan maupun tanaman

apapun.172

Abu Hanifah berpendapat bahwa tayamum itu boleh dengan debu,

batu atau sesuatu apapun yang berasal dari bumi meskipun tidak

berdebu. Karena dzahirnya lafald tayamum itu berarti al-qashdu

170
Ibid.
171
Ibid.
172
Ibid., 429–30.

95
(bermaksud) dan sha‘id itu artinya semua yang berada di permukaan

bumi. Dengan begitu firman Allah: ―fatayammamu sha‘idan thayiban‖

itu berarti menujulah kamu ke suatu tanah yang suci. Jadi ukuran ini

sudah dipandang cukup.173

Sedangkan Syafi‘i berpendapat bahwa tanah yang dipakai untuk

bertayamum itu harus tanah yang baik. Tanah yang baik adalah yang

subur yang dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Hal ini

berdasarkan pada firman Allah pada surat al-A‘raf ayat 57: ―Dan tanah

yang baik yang tumbuh-tumbuhannya itu tumbuh dengan ijin

Tuhannya.

Dan Syafi‘i berpendapat bahwa ayat itu mutlaq, dan diikat dengan

kata minhu dalam surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi‖

ِ ِ ِ
ُ‫فَ ْام َس ُحوا بُِو ُجوى ُك َّْم َوأَيْدي ُك َّْم مْن َّو‬
Maka usaplah muka-mukamu dan tangan-tanganmu dengannya.174

Sedangkan kata min di situ berarti littab’idh, untuk menunjukkan

arti sebagian. Hal ini tidak mungkin jika terdapat pada batu halus yang

tidak berdebu. Maka dipastikan bahwa tayamum itu tidak dinilai sah

kecuali dengan debu.175

173
Ibid., 430.
174
al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Maidah: 6.
175
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 430.

96
Tarjih : Barangkali pendapat Syafi‘i inilah yang benar, terlebih

karena Nabi SAW sendiri telah menegaskan dengan sabdanya:

َّ 176‫ي‬ ِ ‫ََّي ِدَّالْماءَّع ْشر‬


ََّ ِ‫َّسن‬ ِ ِ ِِ َ ِ‫إِنَّالصع‬
َ َ َ َ َ ْ‫ورَّالْ ُم ْسل َّمَّ َوإ ْنَّ َل‬
ُ ‫بَّطَ ُه‬
َ ِّ‫يدَّالطي‬
Debu adalah alat bersuci bagi orang Islam apabila ia tidak
mendapatkan air.

176
Al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, 52, nomor hadis: 124.

97
BAB IV
IMPLIKASI HUKUM ISLAM BAGI WANITA YANG SEDANG
MENGALAMI HAID

A. Polemik Menyetubuhi Wanita Haid

Ketika Allah memerintahkan atau melarang sesuatu pasti terdapat hikmah di

dalamnya. Ketika Allah mengharamkan sesuatu pasti terdapat keburukan di

baliknya. Ketika Allah menghalalkan sesuatu pasti ada manfaat untuk manusia di

dunia maupun di akhirat.

Salah satu bentuk larangan Allah yang dapat membawa manfaat lebih banyak

bagi diri manusia adalah dengan tidak diperbolehkannya menggauli istri ketika

mengalami haid. Larangan ini dengan jelas difirmankan Allah dalam Al-Qur‘an

surat al-Baqarah ayat 222:

َّ‫يض َّۖ َّ َوََّل‬ َِّ ‫ف َّالْ َم ِح‬ َّ َِّ َ‫اء‬


َّ ‫ِّس‬ ِ ْ َ‫يض َّۖ َّقُ َّل َّ ُى َّو َّأَذًى َّف‬
َ ‫اعتَزلُوا َّالن‬ َ ْ ِ ‫َّع ِن َّالْ َم ِح‬ ََّ ‫ك‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬
ََّّ‫ث َّأ ََمَرُك َُّم َّالل َّوُ َّۖ َّإِنَّ َّالل َّوَ َّ ُُِيب‬
َُّ ‫وىنَّ َّ ِم َّْن َّ َحْي‬
ُ ُ‫ّت َّيَطْ ُه ْر ََّن َّۖ َّفَِإذَا َّتَطَه ْر ََّن َّفَأْت‬َّ‫وىنَّ َّ َح ى‬ ُ ُ‫تَ ْقَرب‬
ََّ ‫يَّ َوُُِيبََّّالْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ََّ ِ‫الت واب‬
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu
adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.177

Dalam ayat di atas menjelaskan tentang perintah untuk para suami agar tidak

menggauli istrinya yang sedang haid. Semua ulama bersepakat bahwa haram

177
al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 222.

98
hukumnya berhubungan seksual ketika istrinya sedang haid adalah haram. Namun

masih terjadi perbedaan antara ulama mengenai apa saja yang wajib dijauhi

terhadap wanita yang sedang mengalami haid. Diantaranya:

a. Ibnu Abbas dan Ubaidh Silmi yang wajib dijauhi adalah seluruh tubuhnya.

Pendapat ini berdasarkan perintah Allah untuk menjauhi wanita-wanita

yang sedang haid dengan tidak mengecualikan sesuatu apapun. Maka laki-

laki harus menjauhi seluruh tubuhnya karena keumuman ayat yang telah

difirmankanNya ―maka jauhilah wanita-wanita yang dalam keadaan haid‖.


178

Namun pendapat ini disanggah oleh Al-Qurtubi dengan mengatakan

bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang janggal yang sangat

berbeda dengan pandangan ulama pada umumnya. Meskipun ayat tersebut

menunjukkan keumuman tanpa menyertakan apa-apa saja yang dilarang

dilarang ketika wanita haid, namun masih ada banyak penjelasan dari

hadis Nabi yang menjelaskan hal ini.179

b. Madzhab Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa yang wajib dijauhi

adalah antara pusar dan lutut.180 Pendapat ini berlandaskan dengan adanya

riwayat dari Aisyah r.a bahwa ia berkata:

178
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 241.
179
Ibid., 242.
180
Ibid., 241.

99
ِ ٍِ ٍ ِ ِ ِ
َّ‫ ََّوَكا َن‬،‫ب‬ ٌ ُ‫َّجن‬ُ ‫ت َّأَ ْغتَس ُل َّأَنَا ََّوالنِِب َّصلى َّاهلل َّعليو َّوسلم َّم ْن َّإنَاء ََّواحد َّك ََلنَا‬ ُ ‫ُكْن‬
َّ‫ف َّفَأَ ْغ ِسلُوُ ََّوأَنَا‬
ٌ ‫َّم ْعتَ ِك‬ ِ
ُ ‫َِّيَِّْر ُج ََّرأْ َسوُ َّإ ََل ََّوُى َو‬
ُ ‫َّوَكا َن‬،
َ ‫ض‬
ِ َ‫اشرِِن َّوأَن‬
ِ
َ َ ُ َ‫يَأْ ُم ُرِِن َّفَأَت ِزُر َّفَيُب‬
ٌ ‫اَّحائ‬
َّ 181‫ض‬ ٌَّ ِ‫َحائ‬
Aku pernah mandi bersama Nabi Muhammad SAW dari satu bejana,
sedang kami dalam keadaan junub, lalu Nabi SAW menyuruhku agar
aku memakai kain, kemudian ia memelukku sedangkan aku dalam
keadaan haid. (HR Bukhori, Muslim dan Tirmidzi)
Dan juga pendapat dari Maimunah, bahwa ia berkata:

ِ ِ ِ ُ ‫َكا َنَّرس‬
َّ‫ض‬ ُ ‫ولَّاللوَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّيُبَاش ُرَّن َساءَهَُّفَ ْو َقَّا ِإل َزا ِرَّ َوُىن‬
ٌ ‫َّحي‬
182
َُ
Adalah Rasulullah SAW biasa memeluk istri-istrinya di atas kain,
sedang mereka dalam keadaan haid. HR Bukhori-Muslim

c. Madzhab Syafi‘i berpendapat bahwa yang wajib dijauhi adalah tempat

keluarnya haid, yaitu vaginanya.183 Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi

SAW:

َّ‫اح‬ ِ ٍ َ ‫اصنَ عُواَّ ُكل‬


َ ‫َّش ْيءَّإلَّالنِّ َك‬
184
ْ
Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh.

Dan juga riwayat dari Masruq, ia berkata:

َّ‫اع‬ ِْ ‫َّشي ٍءَّإِل‬ َّْ َ‫َّصائِ ًما؟َّقَال‬ ِِ ‫اَُّيلَّلِلرج ِل َِّمن‬


َِ ‫سأَلْتَّعائِ َشةََّم‬
َ ‫َّاْل َم‬ ْ َ ‫َّ ُكل‬:‫ت‬ َ ‫َّامَرأَتو‬ َ ُ َ
185
ْ َ ُ َ
Aku pernah bertanya kepada Aisyah r.a. (tentang) apa yang boleh
bagi laki-laki (suami) terhadap istrinya yang sedang mengalami haid?
Aisyah menjawab: (boleh berbuat) apa saja kecuali bersetubuh. HR
Ibnu Jarir at-Thabari dari Masruq bin Ajda‘.

181
Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 91, nomor hadis: 63:1.
182
Sahih Muslim, 192, nomor hadis: 297.
183
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 241.
184
Sahih Muslim, 195, nomor hadis: 303.
185
Al-Shan‘ani, Mushannaf Abd al-Razzaq, bk. 4, hlm. 189, nomor hadis: 7439.

100
Ali Asshobuni berpendapat bahwa pendapat Abu Hanifah dan Malik inilah

yang lebih kuat diantara yang lain. Dan pendapat inilah yang dipilih Ibnu Jarir at-

Thabari dengan mengatakan bahwa bagi laki-laki terhadap istrinya yang sedang

mengalami haid (boleh mengaulinya dalam batas-batas) apa yang di atas kain

penutup kemaluan.186

Para suami diperbolehkan mengumpuli istrinya kembali tentu dengan syarat,

sang istri telah suci. Karena aturan ini juga telah disebutkan dalam ayat yang

sama. Namun ulama fiqih masih berbeda pendapat mengenai apa yang di maksud

suci dalam ayat tersebut. Diantaranya:

a. Dan menurut at-Thawus dan Mujahid bahwa untuk bolehnya mengauli

istri itu ketika darah haid telah berhenti dan cukup dengan membasuh

farjinya dengan air, dan kemudian berwudhu.187

b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud suci adalah

berhentinya darah. Apabila darah haid telah berhenti maka boleh bagi laki-

laki untuk mengumpuli istrinya sebelum mandi. Hal ini apabila

berhentinya darah haid ini melebihi masa maksimal lamanya haid

(sepuluh hari), tetapi jika berhentinya darah itu kurang dari masa

maksimalnya haid, maka belum boleh mengaulinya sebelum mandi.188

186
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 243.
187
Ibid., 246.
188
Ibid.

101
c. Jumhur Ulama‘ (Malik, Syafi‘i dan Ahmad) mengartikan suci adalah

berhentinya darah haid dan telah mandi dengan air sebagaimana bersuci

karena junub. Maka sang suami tidak diperbolehkan untuk menggauli

istrinya meskipun darah haid telah berhenti nammun belum mandi sampai

ia mandi dengan niat bersuci karena hadas besar.189

Menurut Ali Asshobuni pendapat jumhurlah yang lebih kuat, karena dalam

akhir ayat Allah berfirman:

ِ ِ‫َُّيبَّالت واب‬
ُِ ‫إِنَّاللو‬
َ ‫ي ََّوُُيبَّالْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
َّ‫ين‬ َ َ
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang bersuci‖.190

Bertaubat merupakan menyucikan dirinya dari kotoran batin. Dan mandi dan

berwudhu merupakan menyucikan dirinya dari kotoran lahir.

Dari uraian tersebut, menurut penulis ayat di atas merupakan nash yang

sharih. Semua ulama telah bersepakat bahwa hukum berhubungan seksual ketika

istri sedang mengalami haid adalah haram, maka para suami diperintahkan untuk

menjauhi istrinya ketika sedang mengalami haid. Perlu diketahui bahwa perintah

ini menunjukkan perintah untuk menjauhkan diri dari tempat keluarnya haid,

bukan secara mutlak menjauhi wanita yang sedang haid sehingga membuat istri

jadi terasingkan.

189
Ibid.
190
al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 222.

102
Setidaknya para imam madzhab memiliki pandangan yang sama, yaitu

melarang suami menggauli istrinya yang sedang haid, meskipun tetap terjadi

perbedaan mengenai sampai batas mana keboleh suami mencumbui istrinya.

Adapun dalil yang dijadikan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik

sebagai berikut:

ِ ‫َّاْل‬ ِ ِ
َّ‫َّع ْن‬
َ ،‫َس َود‬ ْ ْ ‫َّع ِن‬
َ ،‫يم‬ َ ،‫صوٍر‬
َ ‫َّع ْن َّإبْ َراى‬ ُ ‫َّع ْن ََّمْن‬
َ ،‫َّس ْفيَا ُن‬ُ ‫َّحدثَنَا‬ َ :‫ال‬ َ ِ‫َحدثَنَا َّقَب‬
َ َ‫ َّق‬،ُ‫يصة‬
َّ ِ‫َّوَكا َن َّيَأْ ُم ُر‬، ِ ٍِ ٍ ِ ِ ِ ِ
َّ‫ِن‬ َ ‫ب‬ ُ َ‫اَّوالنِِب َّم ْن َّإنَاء ََّواحد َّك ََلن‬
ٌ ُ‫اَّجن‬ َ َ‫ت َّأَ ْغتَس ُل َّأَن‬
ُ ‫َّ"َّ ُكْن‬:‫ت‬ ْ َ‫َّقَال‬،َ‫َعائ َشة‬
َّ‫ف َّفَأَ ْغ ِسلُوُ ََّوأَنَا‬ٌ ‫َّم ْعتَ ِك‬ ِ
ُ ‫ِج ََّرأْ َسوُ َّإ ََل ََّوُى َو‬
ُ ‫َِّيْر‬
ُ ‫ ََّوَكا َن‬،‫ض‬ ِ ‫اشرِِن َّوأَنَا‬
ٌ ‫َّحائ‬
ِ
َ َ ُ َ‫فَأَت ِزُر َّفَيُب‬
ٌَّ ِ‫َحائ‬
َّ َّ191‫ض‬
Telah menceritakan kepada kami Qabishah berkata, telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Manshur dari Ibrahim dari Al
Aswad dari Aisyah berkata, "Aku dan Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam pernah mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami
berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku
mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang
haid. Beliau juga pernah mendekatkan kepalanya kepadaku saat
beliau i'tikaf, aku lalu basuh kepalanya padahal saat itu aku sedang
haid."

Hadis di atas diriwayatkan oleh sangat banyak Imam Hadis. Di antaranya

adalah al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa‘i, al-Darimi, dan Ahmad dengan

sanad sahih dari Aisyah, al-Tirmidzi dari Maimunah binti al-Haris juga dengan

sanad sahih. Maka hadis ini termasuk hadis yang sangat kuat.

Dan juga hadis:

191
Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 91, nomor hadis: 63:1.

103
‫َّعْب ِد َّالل ِو َّبْ ِنَّ‬ ‫َّع ِن َّالشْيبَ ِاِنِّ‪َ ،‬‬
‫َّع ْن َ‬
‫َُّيَي‪َّ ،‬أَخب رنَا َّخالِ ُد َّبن ِ ِ‬
‫َّعْبد َّاللو‪َ ،‬‬
‫َُّي ََي َّبْ ُن َْ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ‬ ‫َحدثَنَا َْ‬
‫اش ُر َّنِ َساءَهَُّ‬‫ول َّالل ِو َّصلىَّاهلل َّعليوَّوسلم َّي ب ِ‬ ‫ت‪َ َّ"َّ:‬كا َن ََّر ُس ُ‬ ‫ٍ‬
‫َُ‬ ‫‪َّ،‬ع ْن ََّمْي ُمونَةَ‪َّ،‬قَالَ ْ‬
‫َشداد َ‬
‫ضَّ"‪َّ 192‬‬‫َّحي ٌ‬‫فَ ْو َقَّا ِإل َزا ِر ََّوُىن ُ‬
‫‪Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah‬‬
‫‪mengabarkan kepada kami Khalid bin Abdullah dari asy-Syaibani‬‬
‫‪dari Abdullah bin Syaddad dari Maimunah dia berkata, "Rasulullah‬‬
‫‪shallallahu 'alaihi wasallam mencumbu isteri-isterinya di atas‬‬
‫"‪(berlapiskan) sarung, sedangkan mereka dalam keadaan haid.‬‬

‫‪Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim dan al-Darimi dari Maimunah binti‬‬

‫‪al-Haris dengan sanad sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad dari A‘isyah dengan‬‬

‫‪sanad hasan. Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Khalid dengan‬‬

‫‪sanad hasan. Maka hadis ini kuat.‬‬

‫‪Adapun yang dijadikan dalil atas pendapatnya Imam Syafi‘i adalah:‬‬

‫َّسلَ َمةَ‪َّ،‬‬
‫اد َّبْ ُن َ‬ ‫َّْح ُ‬
‫ي‪َ َّ ،‬حدثَنَا َ‬ ‫َّعْب ُد َّالر ْْحَ ِن َّبْ ُن ََّم ْه ِد ٍّ‬
‫َّحدثَنَا َ‬ ‫وحدثَِن َُّزَىْي ر َّبْن ٍ‬
‫َّح ْرب‪َ ،‬‬ ‫ُ ُ َ‬ ‫َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫وىا‪َّ،‬‬ ‫اضت َّالْ َم ْرأَةُ َّفي ِه ْم‪َ َّ،‬لَّْيُ َؤاكلُ َ‬ ‫اَّح َ‬ ‫ِ‬
‫ود‪َ َّ،‬كانُواَّإ َذ َ‬ ‫س‪َّ"َّ،‬أَن َّالْيَ ُه َ‬ ‫‪َّ،‬ع ْن َّأَنَ ٍ‬
‫ت َ‬ ‫َحدثَنَاَّثَابِ ٌ‬
‫ِ‬ ‫وَل ُ ِ‬
‫ِبَّالنِِبَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّفَأَنََّْزَلَّاللوَُّ‬ ‫ابَّالنِ ِّ‬‫َص َح ُ‬ ‫وىن َِّفَّالْبُيُوت‪َّ،‬فَ َسأ ََلَّأ ْ‬ ‫ََّيَامعُ ُ‬ ‫َْ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ِّساءَ َِّفَّالْ َمحيضقَّإِ َلَّآخ ِرَّ‬ ‫َّىوَّأَ ًذىَّفَ ْ ِ‬ ‫ِ‬
‫َّع ِنَّالْ َمح ِ‬ ‫ىفَّويَ ْسأَلُونَ َ‬
‫اعتَزلُواَّالن َ‬ ‫يضَّقُ ْل ُ َ‬ ‫ك َ‬ ‫تَ َعالَ َ‬
‫ا‪َّ:‬ماَّ‬ ‫ِ‬ ‫‪َّ:‬اصنَ عُواَّ ُكل َ ٍ ِ‬ ‫الَّرس ُ ِ‬ ‫ِ‬
‫ود‪َّ،‬فَ َقالُو َ‬ ‫كَّالْيَ ُه َ‬ ‫اح‪َّ،‬فَبَ لَ َغَّ َذل َ‬‫َّش ْيء‪َّ،‬إلَّالنِّ َك َ‬ ‫ولَّاللو ْ‬ ‫اْليَة‪َّ،‬فَ َق َ َ ُ‬
‫ِِ‬ ‫ع َِّم ْن َّأ َْم ِرنَ َ‬
‫ض ٍْْي‪َّ،‬‬
‫َّح َ‬ ‫ُسْي ُد َّبْ ُن ُ‬
‫َّخالََفنَاَّفيو‪َّ،‬فَ َجاءَ َّأ َ‬ ‫اَّشْيئًا‪َّ،‬إِل َ‬ ‫َّى ََّذاَّالر ُج ُل‪َّ،‬أَ ْن َّيَ َد َ‬
‫يد َ‬ ‫يُِر ُ‬
‫ََّنَ ِامعُ ُهن‪َّ،‬‬ ‫اَّوَك َذا‪َّ،‬فَ ََل ُ‬
‫ول‪َ َّ:‬ك َذ َ‬ ‫ود‪َّ،‬تَ ُق ُ‬ ‫وعباد َّبن َّبِ ْش ٍر‪َّ،‬فَ َق َال‪َّ:‬ياَّرس َ ِ‬
‫ول َّاللو‪َّ،‬إِن َّالْيَ ُه َ‬ ‫َ َُ‬ ‫ََ ُ ُْ‬
‫اَّى ِديةٌ َِّم ْنَّ‬ ‫َّعلَْي ِه َما‪َّ،‬فَ َخَر َجا‪َّ،‬فَ ْ‬
‫استَ ْقبَ لَ ُه َم َ‬ ‫َّحّتَّظَنَ ناَّأَ ْنَّقَ ْد ََّو َج َد َ‬
‫ِ ِ‬
‫فَتَ غَي َر ََّو ْجوُ ََّر ُسولَّاللَّو َ‬
‫اِهَا َّفَعرفَا َّأَ ْن َّ َل َِ‬ ‫ِ ِِ‬
‫ََّي ْدَّ‬ ‫ْ‬ ‫ِب َّصلى َّاهلل َّعليو َّوسلم َّفَأ َْر َس َل َّف َّآثَارِهَا‪َّ ،‬فَ َس َق ُ َ َ‬ ‫َب َّإِ َل َّالنِ ِّ‬
‫لََ ٍ‬
‫َعلَْي ِه َما‪َّ َّ193‬‬
‫‪192‬‬
‫‪Sahih Muslim, 192, nomor hadis: 297.‬‬
‫‪193‬‬
‫‪Ibid., 195, nomor hadis: 303.‬‬

‫‪104‬‬
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan
kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami Tsabit
dari Anas bahwa kaum Yahudi dahulu apabila kaum wanita mereka,
mereka tidak memberinya makan dan tidak mempergaulinya di
rumah. Maka para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya
kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam. Lalu Allah menurunkan,
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, 'Haidh itu
adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri." (al-Baqarah: 222) maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Perbuatlah segala
sesuatu kecuali nikah". Maka hal tersebut sampai kepada kaum
Yahudi, maka mereka berkata, "Laki-laki ini tidak ingin
meninggalkan sesuatu dari perkara kita melainkan dia menyelisihi
kita padanya." Lalu Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi berkata demikian
dan demikian, maka kami tidak menyenggamai kaum wanita." Raut
wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam spontan berubah
hingga kami mengira bahwa beliau telah marah pada keduanya, lalu
keduanya keluar, keduanya pergi bertepatan ada hadiah susu yang
diperuntukkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Maka beliau kirim
utusan untuk menyusul kepergian keduanya, dan beliau suguhkan
minuman untuk keduanya. Keduanya pun sadar bahwa beliau tidak
marah atas keduanya."

Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa‘i, Ibnu Majah,

Ahmad, al-Darimi, semuanya dengan sanad yang sahih dari Anas bin Malik –

Tsabit bin Aslam – Hammad bin Salamah. Sehingga hadis ini meskipun sahih

namun gharib.194

194
Gawami al-Kalim, versi 4.5, Windows (ISlam Web, al-Idaroh al-‘Ammah li al-Auqaf, t.t.).

105
َّ:‫ال‬ ٍ ‫َّعن َّمسر‬،َ‫ َّعن َّأَِِب َّقِ ََلبة‬،‫َّعن َّأَيوب‬،‫َّعن َّمعم ٍر‬،‫ َّعب ُد َّالرز ِاق‬-َّ ٕٔٙٓ
َ َ‫وق َّق‬ ُْ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ ََْ ْ َ َْ
َّ:‫ت‬ ِ ‫اَُّيلَّلِلرج ِل َِّم ِنَّامرأَتِِو‬ َِ ‫َّياَّأُمَّالْم ْؤِمنِيَّم‬:‫َّفَ ُق ْلت‬،َ‫دخ ْلتَّعلَىَّعائِ َشة‬
ْ َ‫ضا؟َّقَال‬ ً ‫َّحائ‬
َ َْ ُ ََ ُ َ ُ َ َ ُ ََ
َّ‫َّفَ َما‬:‫ت‬ُ ‫َّقُ ْل‬:‫ال‬ ْ ‫وقَّبِيَ ِدهِ ََّر ُج ًَلَّ َكا َن ََّم َعوَُّأَ ِي‬
َ َ‫َّاْسَ ْعَّق‬ ٌ ‫َّفَغَ َمَز ََّم ْس ُر‬:‫ال‬
َ َ‫ََّّق‬.»‫ج‬َِّ‫اَّدو َنَّالْ َف ْر‬
ُ ‫« َم‬
َّ 195.»‫اع‬ ْ ‫َّش ْي ٍءَّإِل‬
ََّ ‫َّاْلِ َم‬ َ ‫َّ« ُكل‬:‫ت‬ ِ ‫َُِيل ََِّل َِّمْن ه‬
ْ َ‫اَّصائ ًما؟َّقَال‬
َ َ
Hadis di atas diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dari Aisyah dengan sanad

sahih. Diriwayatkan pula dengan lafadh yang sedikit berbeda oleh Ibnu Majah,

Abu Naim al-Ashbahani, al-Baihaqi, dari Anas dengan sanad sahih gharib melalui

Tsabit bin Aslam – Hammad bin Salamah.196

Setelah melihat dalil-dalil yang telah ditampilkan, hadis-hadis di atas

merupakan hadis yang sama-sama shohih meskipun berbeda kekuatan, maka

dengan begitu tidak bisa dilakukan pemenangan hadis satu mengalahkan hadis

yang lain. Maka harus dilakukan kompromi terhadap hadis tersebut. Peluang yang

mungkin dilakukan adalah ketika hadis-hadis Imam Syafi‘i ini menyampaikan

bahwa pembolehannya adalah bersifat menyeluruh kecuali farji saja, sedangkan

hadis-hadis yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah ini batasannya lebih sempit,

yaitu hanya bagian antara pusar dan lutut dan ditutupi kain sarung, maka potensi

kehati-hatiannya lebih aman jika menggunakan hadis-hadis yang digunakan oleh

Imam Abu Hanifah, yaitu pembolehan berhubungan yang dilakukan ketika wanita

sedang haid adalah berhubungan kecuali yang ada di antara pusar dan lutut.

195
Al-Shan‘ani, Mushannaf Abd al-Razzaq, 327, nomor hadis: 1260.
196
Gawami al-Kalim.

106
Pelarangan bermain-main apa yang ada di antara pusar dan lutut merupakan

bentuk kehati-hatian. Karena jika berada di tempat yang dekat dengan area

terlarang, maka akan mudah sekali jatuh ke dalamnya

Sikap di atas juga mengantisipasi apabila seorang suami tidak yakin dan

khawatir tidak akan mampu mengekang syahwatnya apabila terjadi jima‘, maka

menghindarinya akan membuat dirinya lebih selamat dan tidak terjerumus dalam

perbuatan dosa.

B. Polemik Iddah Wanita Haid

Setiap wanita tidak bisa dipukul rata dalam menjalani masa iddahnya, karena

masing-masing wanita memiliki perbedaan masa iddah sesuai dengan kondisi dan

situasinya yang dialaminya. Seperti misalnya iddah yang terdapat dalam surat al-

Baqarah ayat 228:

َّ‫ف‬ ٍ ‫والْمطَلقاتَّي ت ربصنَّبِأَنْف ِس ِهنَّثَََلثَةَّقُر‬


َّ َُِّ‫وءََّّۖ َوََّلَّ َُِيلََّّ ََلُنََّّأَ َّْنَّيَكْتُ ْم ََّنَّ َماَّ َخلَ ََّقَّالل َّو‬ ُ َ ُ َ ْ َ ََ ُ َ ُ َ
ََّ ِ‫ف َّ ىَّذَل‬
َّ‫ك َّإِ َّْن‬ َّ َِّ َّ‫َحقَّ َّبَِرِّد ِىن‬ ِ ْ ‫أَرح ِام ِهن َّإِ ْن َّ ُكن َّي ْؤِمن َّبِالل ِو َّوالْي وِم‬
َ ‫َّاْلخ ِر َّۖ َّ َوبُعُولَتُ ُهنَّ َّأ‬ َْ َ ُ َْ
ِ
َِّ ‫وف َّۖ َّ َول ِّلر َج‬ ِ ِ
َّ ‫ص ََل ًحاَّۖ َّ َوََلُنَّ َّ ِمثْ َُّل َّالذي َّ َعلَْي ِهنَّ َّبِالْ َم ْع ُر‬
ََّّۖ ٌ‫ال َّ َعلَْي ِهنَّ َّ َد َر َج َّة‬ ْ ِ‫َّأََر ُادواَّإ‬
ٌَّ ‫يزَّ َح ِك‬
‫يم‬ ٌَّ ‫َوالل َّوَُّ َع ِز‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.197

197
al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. al-Baqarah: 228.

107
Adapun wanita yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 228 adalah

wanita yang pernah dicampuri oleh suaminya kemudian ditalak, pada saat itu dia

tidak dalam keadaan hamil dan masih haid. Berdasarkan ayat di atas, iddahnya

wanita yang ditalak adalah tiga kali quru.

Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan arti kata quru. Di

sini ada dua pendapat yang berbeda, yaitu:

a. Abu Hanifah dan Ahmad (dalam satu riwayah) berpendapat bahwa yang

dimaksud quru adalah haid. Karena iddah itu ditetapkan untuk mengetahui

kebersihan rahim. Sedangkan untuk mengetahui kebersihan rahim adalah

dengan adanya haid198

b. Imam Malik dan Imam Syafi‘i, berpendapat bahwa quru adalah suci. Karena

adanya ta dalam kata bilangan tsalsata quru yang menunjukkan bahwa kata

quru itu berarti mudzakar. Sedangkan kata quru dengan arti mudzakar itu

berarti suci. Seandainya bermakna haid, maka ayat itu akan berbunyi tsalasa

quru. Karena dengan begitu, berarti quru itu muannas, karena haid itu

muannas. Padahal dimuannatskannya kata tsalasa bersamaan dengan

mudzakkarnya quru itu sudah maklum.199

198
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 539.
199
Ibid., 267.

108
Ali Ashobuni berpendapat bahwa pendapat Hanafiyah dan Ahmad lebih

kuat, karena tujuan utama diadakannya iddah adalah untuk melihat kebersihan

rahim, sedangkan kebersihan rahim itu bisa dilihat dengan adanya haid.200

Tidak jauh berbeda dengan alasan yang dikemukakan oleh Ali Asshobuni,

Wahbah az-Zuhaili juga memilih pendapat yang pertama sebagai pendapat yang

rajih. Wahbah az-Zuhaili beranggapan bahwa pendapat Abu Hanifah dan Ahmad

inilah yang sesuai dengan tujuan dari iddah. Biasanya wanita menunggu

datangnya haid sebanyak tiga kali, setelah itu diputuskan telah selesainya masa

iddah. Dan kebersihan Rahim hanya bisa dilihat dengan adanya haid. Jika seorang

wanita mengalami haid, bisa dipastikan bahwa dia tidak hamil. Namun jika dia

terus suci, biasanya dipastikan dia mengalami kehamilan.201

Yang dimaksud dengan ―wanita-wanita yang ditalak‖ adalah wanita yang

pernah dicampuri oleh suaminya kemudian ditalak dan pada saat itu dia tidak

dalam keadaan hamil, karena dijelaskan dalam ayat lain bahwa masa tunggu

wanita yang sedang hamil adalah sampai dengan melahirkan anaknya (QS. at-

Thalaq [65]:4, wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, masa tunggunya empat

bulan sepuluh hari (QS. al-Baqarah [2]:234), wanita tua yang sudah tidak haid

lagi dan wanita yang belum haid, masa tunggu mereka adalah tiga bulan (QA. At-

200
Ibid., 269.
201
Ibid., 541.

109
‫‪Thalaq [65]:4) dan yang dinikahi tanpa dijima‘ oleh suaminya tidak ada‬‬

‫‪kewajiban atasnya masa tunggu (QS. al-Ahzab [33]:49).202‬‬

‫‪Dalil yang dijadikan atas pendapatnya Imam Syafi‘i adalah hadis:‬‬

‫َْحَ ُد َّبْ ُن َّعُبَ ْي ٍد َّالصف ُار‪َّ،‬أناَّإِبْ َر ِاىيَ ُمَّ‬ ‫َّعْب َدا َن‪َّ،‬أناَّأ ْ‬ ‫َّعلِي َّبْ َُّن َّأ ْ‬
‫َْحَ َد َّبْ ِن َ‬ ‫وَّاْلَ َس ِن َ‬
‫َخبَ َرنَاَّأَبُ ْ‬ ‫أْ‬
‫َّشه ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫‪َّ،‬ع ْنَّ‬
‫‪َّ،‬ع ْنَّعُ ْرَوةَ َ‬ ‫اب َ‬ ‫‪َّ،‬ع ِنَّابْ ِن َ‬ ‫ث َ‬ ‫‪َّ،‬حدثَِنَّاللْي ُ‬ ‫‪َّ،‬ثناَُّي ََيَّيَ ْع ِنَّابْ َنَّبُ َك ٍْْي َ‬
‫بْ ُنَّم ْل َحا َن َْ‬
‫ش َّرس َ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ت‪َّ"َّ:‬‬ ‫ول َّاللو َّفَ َقالَ ْ‬ ‫َّج ْح ٍ َ ُ‬ ‫ت َ‬ ‫َّحبِيبَةَ َّبِْن ُ‬‫ت َّأُم َ‬ ‫‪َّ:‬استَ ْفتَ ْ‬
‫ِب َّأَن َهاَّقَالَت ْ‬ ‫َعائ َشةَ ََّزْو ِج َّالنِ ِّ‬
‫تَّ‬ ‫َّصلِّيَّ"‪َّ،‬فَ َكانَ ْ‬ ‫يَّث َ‬ ‫َّع ْر ٌق‪َّ،‬فَا ْغتَ ِسلِ ُ‬ ‫ك ِ‬ ‫ِ‬
‫ال‪َّ"َّ:‬إَِّنَاَّ َذل َ‬ ‫اض َّفََلَّأَطْ ُه ُر‪َّ،‬فَ َق َ‬ ‫ُستَ َح ُ‬ ‫إِ ِِّن َّأ ْ‬
‫تَّ‬ ‫َّحبِيبَةََّبِْن َ‬ ‫ِ ٍ‬
‫ث‪َّ:‬فَلَ ْمَّيَ ْذ ُك ِرَّابْ ُنَّش َهابَّأَنَّالنَِِّبَّأ ََمَرَّأُم َ‬ ‫الَّاللْي ُ‬ ‫َّصَلةٍ‪.‬قَ َ‬ ‫ِ ِ‬
‫تَ ْغتَس ُلَّعْن َدَّ ُك ِّل َ‬
‫َّم ْسلِ ٌم َِّفَّ‬ ‫َّش ْيءٌ َّفَ َعلَْتوُ ََّرَواهُ ُ‬ ‫َّصَلةٍ‪ََّ ،‬ولَ ِكنوُ َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ش َّأَ ْن َّتَ ْغتَس َل َّيَ ْع ِن َّعْن َد َّ ُك ِّل َ‬ ‫َج ْح ٍ‬
‫َّس ْع ٍد ََّوِِبَْعنَاهُ‪َّ،‬‬ ‫ِ‬
‫َلم َّاللْيثَّبْ ِن َ‬
‫ِ‬
‫‪َّ،‬ع ِنَّاللْيث ََّوذَ َكَرَّ َك َ‬
‫ِ‬
‫‪َّ،‬وُُمَمدَّبْ ِن َُّرْم ٍح َ‬ ‫‪.‬ع ْنَّقُتَ ْيبَةَ َ‬‫يح َ‬ ‫الص ِح ِ‬
‫قَالَو َّابن َّعي ي نَةَ‪َّ،‬أَيضاَّوفِيماَّأَجاز ََِّل َّأَب ِ ِ‬
‫‪َّ،‬ع ِنَّ‬
‫اس َ‬ ‫‪.‬ع ْن َّأَِِب َّالْ َعب ِ‬ ‫وَّعْبد َّاللو َّ ِرَوايَتَوُ َ‬
‫َّعْنوُ َ‬ ‫ُ ْ ُ َُ ْ ْ ً َ َ َ َ ُ َ‬
‫سَّفِ َِّيوََّّأَنوَُّ‬ ‫صلِّ َي َ‬
‫‪َّ،‬ولَْي َ‬
‫ِ‬ ‫ال‪َّ:‬إَِّنَاَّأَمرىاَّرس ُ ِ‬
‫ولَّاللوَّأَ ْنَّتَ ْغتَس َل ََّوتُ َ‬ ‫َََ َ ُ‬ ‫‪َّ،‬ع ِنَّالشافِعِ ِّي‪َّ،‬أَنوَُّقَ َ‬ ‫الربِي ِع َ‬
‫َّشاءَ َّاللوُ َّتَ َع َال َّأَن َّغُ ْسلَ َهاَّ َكا َن َّتَطَو ًعاَّ‬ ‫َشك َّإِ ْن َ‬ ‫‪َّ،‬ولَّأ ُ‬ ‫أَمرىاَّأَ ْن َّتَ ْغت ِسل َّلِ ُك ِّل ٍ‬
‫َّصَلة َ‬ ‫َ‬ ‫َ َ‬ ‫َََ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َّعلَْيو‪َّ،‬ثناَّأَبُوَّ‬ ‫ظ َّقَراءَ ًة َ‬ ‫َّاْلَاف ُ‬
‫وَّعْبد َّاللو ْ‬ ‫َخبَ َرنَاهُ َّأَبُ َ‬ ‫ك ََّواس ٌع َّ ََلَا‪.‬أ ْ‬ ‫ت َّبِو ََّو َذل َ‬ ‫َغْي َر ََّماَّأُم ْر َ‬
‫يَّى َذ ْ ِ‬ ‫ال‪َّ:‬قَ َ ِ ِ‬
‫يثَّأَنَّالنِِبَّ‬ ‫اَّاْلَد َ‬ ‫‪َّ:‬وقَ ْد ََّرَوىَّ َغْي ُرََّّالزْى ِر ِّ َ‬ ‫الَّالشافعي َ‬ ‫يع‪َّ،‬قَ َ‬‫اس‪َّ،‬أَنَاَّالربِ ُ‬ ‫الْ َعب َِّ‬
‫اق ََّوالزْى ِريَّ‬ ‫السي ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫أَمرىاَّأَ ْن َّتَ ْغتَ ِسل َّلِ ُك ِّل َّصَلةٍ ِ‬
‫َّع ْمَرَة َِّبَ َذاَّا ِإل ْسنَاد ََّو ِّ َ‬ ‫‪َّ،‬ع ْن َ‬ ‫‪َّ،‬ولَك ْن ََّرَواهُ َ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬ ‫َََ‬
‫ال‪َّ:‬تَْت ُرُكَّالصَل َةَّقَ ْد َرَّ‬ ‫ط‪َّ،‬قَ َ‬ ‫يثَّ َغلَ ٌ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َّاْلَد َ‬ ‫َّعلَىَّأَن ْ‬ ‫َّشْيئًاَّيَ ُدل َ‬ ‫ظَّمْنوُ‪َ َّ،‬وقَ ْد ََّرَوىَّفيو َ‬ ‫َح َف ُ‬
‫أْ‬
‫‪203‬‬
‫‪َّ،‬وإَِّنَاَّأ ََر َاد ََّوالل َوَّأ َْعلَ َُّم‬
‫ول‪َّ:‬اْلَقْ َراءَُّاْلَطْ َه ُار َ‬ ‫ا‪َّ،‬و َعائِ َشةَُّتَ ُق ُ‬ ‫ِ‬
‫أَقْ َرائ َه َ‬

‫‪Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Aisyah dengan sanad yang‬‬

‫‪shohih. Selain itu hadis ini diriwayatkan oleh Al-Syafi‘i dari Aisyah dengan sanad‬‬

‫‪202‬‬
‫‪Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 592.‬‬
‫‪203‬‬
‫‪Al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubro li al-Baihaqi (Makkah: Maktabah Dar al-Bazz, 1994), 575,‬‬
‫‪nomor hadis: 349:1.‬‬

‫‪110‬‬
yang shohih. Dan juga hadis ini diriwayatkan oleh Abu Na‘im al-Ashbahani dari

Umar bin Khattab namun dengan sanad yang daif, karena ada banyak perowi
204
yang dhoif. Maka hadis ini termasuk shohih ghorib karena dirwayatkan

melalui 3 jalur tapi pada generasi tabi‘ tabi‘in hanya satu orang, yaitu Ibnu

Shihab.

Sedangkan dalil yang dijadikan landasan atas pendapatnya Imam Abu

Hanifah adalah:

َّ‫ي‬ ِ ٍ ِ ‫َّناَُّممدَّبن‬، ِ ِ
ُ ْ ‫اَّاْلُ َس‬
ْ َ‫َّحَّو َحدثَن‬.َ ‫يع‬ ٌ ‫َّأناَّوك‬،
َ ‫َّسعيدَّالْ َعط ُار‬ َ ُ ْ ُ َُ ‫يل‬ َ ‫يَّبْ ُنَّإ ْْسَاع‬
ُ ْ ‫اَّاْلُ َس‬
ْ َ‫َحدثَن‬
َّ‫َّع ْن‬، ِ ‫اَّع ِن َّاْل َْع َم‬ َِ ‫َّثناَّعب ُد َّالل ِو َّبن َّداود‬،‫ضل َّبن َّسه ٍل‬ ِ ِ
َ ‫ش‬ َ ‫ََّج ًيع‬، َُ َ ُ ْ َْ ْ َ ُ ْ ُ ْ ‫َّناَّالْ َف‬،‫يل‬ َ ‫بْ ُن َّإ ْْسَاع‬
ِ ِ ‫َّعن‬،‫َّعن َّعروَة َّب ِن َّالزب ِْي‬،‫ت‬ ٍ
َّ‫ت‬ُ ‫ت َّفَاط َمةُ َّبِْن‬ ْ َ‫َّجاء‬:
َ ‫ت‬ ْ َ‫َّقَال‬،َ‫َّعائ َشة‬َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ِ‫يب َّبْ ِن َّأَِِب َّثَاب‬ ِ ِ‫َحب‬
ِ َ ‫ َّيا َّر َّس‬:‫ش َّإِ َل َّالنِِب َّقَالَت‬
ُ ‫اض َّفََل َّأَطْ ُه ُر َّأَفَأ ََد‬
َّ‫ع‬ ْ ‫ َّإِ ِِّن‬،‫ول َّاللو‬
ْ ‫َّامَرأَةٌ َّأ‬
ُ ‫ُستَ َح‬ ُ َ َ ْ ِّ ٍ ‫َّحبَ ْي‬
ُ ‫أَِِب‬
ِِ ُ ‫ك‬ ِ ِ‫َّ"َّد ِعيَّالصَل َةَّأَيامَّإِقْ رائ‬:
َّ‫َّعلَى‬َ ‫َّوإِ ْنَّقَطََرَّالد ُم‬،‫ي‬َ ِّ‫صل‬ َ ‫يَّو‬
َ ‫َّثَّا ْغتَسل‬، َ َ َ ‫ال‬ َ ‫َّفَ َق‬،‫الصَل َة‬
َّ‫َُّمَم ٍد‬
ُ ‫يد َّبْ ُن‬ ُ ِ‫اَّسع‬
َ َ‫َّحدثَن‬."
َ َّ ‫َلة‬
ٍَّ ‫َّ"َّوتَوضئِيَّلِ ُك ِّل َّص‬:‫َّعن َّوكِي ٍع‬،‫ال َّ َغي ره‬
َ ََ َ ْ َ ُُ ْ َ َ‫َّوق‬،"َّ َ ‫اْلَصْي‬
ِِ ْ
َّ‫يَّوتَ َوضئِي‬ ِ ِ ُ ‫ال‬ ِ ِ ِ‫َّناَّوك‬،‫َّناَّيوسف َّبن َّموسى‬،‫ط‬
َ ‫َّ"َّث َّا ْغتَسل‬: َ ‫يع َِّبَ َذاَّا ِإل ْسنَاد‬
َ َ‫َّوق‬، ٌ َ َ ُ ُ ْ ُ ُ ُ ُ ‫اْلَنا‬ ْ
205 ِ ِ ٍ ‫لِ ُك ِّل‬
"َّ‫ىَّاْلَصْي‬
ْ َ‫َّعل‬ َ ‫َّوإِ ْنَّقَطََرَّالد ُم‬،‫ي‬
َ ِّ‫صل‬ َ ‫َّصَلة ََّو‬
َ
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad dan Abu Bakr
bin Abu Syaibah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami
Waki' dari Al A'masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Urwah bin Az
Zubair dari Aisyah ia berkata; Fatimah binti Hubaisy datang
menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya;
"Sesungguhnya aku adalah wanita yang keluar darah istihadlah
hingga tidak suci, maka apakah aku boleh meninggalkan shalat?"
beliau menjawab: "Tidak, itu hanyalah penyakit dan bukan haidl.
Jauhilah shalat di hari-hari haidlmu kemudian shalatlah, dan
wudlulah pada setiap shalat meskipun darah menetes di atas tikar."

204
Gawami al-Kalim.
205
Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 162, nomor hadis: 624.

111
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Al-Daruquthni dari Aisyah,

dengan sanad yang shohih. Dan juga hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari

Aisyah, namun dengan sanad yang matruk. Maka hadis ini termasuk hadis shohih

gharib, karena hanya diriwayatkan hanya satu dari jalur utama, yaitu Aisyah-

Urwah bin Zubair-Habib bin Abi Sabit.

َّ‫س‬ُ ‫َّوقَ ْي‬،


َ ‫اق‬ َ ‫َّع ْنَّأَِِبَّإِ ْس َح‬،
َ ‫يك‬ َ َ‫َّأَن‬:‫َّقَ َال‬،‫َّع ِام ٍر‬
ٌ ‫اَّش ِر‬ َ ‫َس َو ُدَّبْ ُن‬
ْ ‫َّوأ‬،
َ ‫اق‬ َ ‫اَُّي ََيَّبْ ُنَّإِ ْس َح‬
َْ َ‫َحدثَن‬
َّ‫ول َّالل ِو َّصلىَّاهللَّعليو‬ ِّ ‫َّاْلُ ْد ِر‬ ٍ ِ‫َّعن َّأَِِب َّسع‬،‫اك‬ ِ ٍ ‫بْن َّوْى‬
َ ‫َّأَ ّن ََّر ُس‬،‫ي‬ ْ ‫يد‬ َ ْ َ ‫َّع ْن َّأَِِب َّالْ َود‬، َ ‫ب‬ َ ُ
ِ
َّ‫َّوَل َّ َغْي ُر‬،
َ ‫ض َع‬َ َ‫َّ"َّحّت َّت‬:
َ ‫َس َو ُد‬ ْ ‫ال َّأ‬
َ َ‫َّق‬،"َّ ‫َُّحام ٌل‬ َ ‫َّ"َّل َّتُوطَأ‬:
َ ‫اس‬ ٍ َ‫ِب َّأ َْوط‬ َ ‫ال َِّف‬
َِّْ ‫َّس‬ َ َ‫وسلم َّق‬
َّ 206َّ‫ض ٍة‬ ِ
َ ‫َّ"َّأ َْوَّتُ ْستَ ِْْبأََِّبَْي‬:‫َُّي ََي‬
َْ ‫ال‬َ َ‫َّق‬،"َّ‫ض ًة‬
َ ‫َّحْي‬
َ ‫يض‬
َِ ‫ح ِام ٍلَّحّت‬
َ ‫َُّت‬ َ َ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq dan Aswad bin
'Amir mereka berkata; telah memberitakan kepada kami Syarik dari
Abu Ishaq dan Qais bin Wahb dari Abu Al Waddak dari Abu Sa'id Al
Khudri ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda
tentang tawanan perang Authas: "Wanita yang hamil tidak boleh
digauli, " dan Aswad menyebutkan; "sehingga ia melahirkan, dan
wanita yang tidak hamil hingga ia haid dengan satu kali haid, "
sedangkan Yahya menyebutkan, "sehingga ia bersih (rahimnya)
dengan satu kali haid."

Ahmad, Abu Dawud, Al-Darimi, Al-Hakim, al-Baihaqi, al-Thahawi, Ibn al-

Jauzi, al-Jashshosh dengan sanad hasan dan semuanya dari Abu Sa‘id al-Khudri –

Abu al-Waddak – Qais bin Wahb. Al-Rabi meriwayatkan dengan sanad mursal,

dan Al-Baghawi dengan sanad daif. Meskipun ada banyak periwayat, namun

seluruhnya berasal dari satu sanad utama saja. Sehingga hadis ini termasuk hadis

hasan gharib.
206
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Beirut: Dar Ihya al-Turots al-‘Arobiy, t.t.),
2798, nomor hadis: 11202.

112
Dari uraian tersebut di atas, menurut penulis faktanya memang bahwa quru

mempunyai dua makna, yaitu suci dan haid. Hadis yang dijadikan dasar oleh

Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal ini hendak menunjukkan bahwa

dalam hadis tersebut ada makna haid dalam lafald aqra. Tetapi untuk mengetahui

makna quru pada surat al-Baqarah 228 ini, Imam Syafi‘i membawa hadis yang

lebih tepat. Karena ayat tersebut menjatuhkan pilihan pada makna suci, bukan

makna haid. Sehingga dalam hal ini penulis memilih pada pendapatnya Imam

Syafi‘i, karena dalil yang digunakan Imam Syafi‘i lebih khusus sedangkan hadis

yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah masih umum. Maka apa yang dimaksud

dengan tiga kali quru dalam surat al-Baqarah 228 ini adalah bermakna tiga kali

suci.

C. Polemik Wanita Haid Masuk Masjid

Aturan tentang ketidakbolehan wanita yang sedang mengalami haid memasuki

masjid ini telah diatur dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 43:

َّ‫َّجنُبًا‬ ِ
ُ ‫اَّماَّتَ ُقولُو َن ََّوَل‬ َ ‫ّت َّتَ ْعلَ ُمو‬ َّ‫ى َّ َح ى‬ َّ‫َّس َك َار ى‬
ُ ‫اَّل َّتَ ْقَربُواَّالص ََل َة ََّوأَنْتُ ْم‬ ََّ ‫َّآمنُو‬
َ ‫ين‬ َ ‫يَاَّأَي َهاَّالذ‬
َّ‫َح ٌَّدَّ ِمْن ُك َّْم‬ َّ ‫ض ىَّىَّأ ََّْوَّ َعلَ ىَّىَّ َس َف ٍَّرَّأ ََّْوَّ َج‬
َ ‫اءََّأ‬
ِ َّ ‫إِلَّعابِ ِريَّسبِ ٍيلَّح‬
َ ‫ّتَّتَ ْغتَسلُواََّّۖ َوإِ َّْنَّ ُكْنتُ َّْمَّ َم ْر‬ ‫َ َى‬ َ
َّ‫يدا َّطَيِّبًا َّفَ ْام َس ُحوا‬ ً ِ‫صع‬ َ َّ ‫اءً َّفَتَ يَم ُموا‬ َّ ‫اءَ َّفََّلَ َّْم َّ ََِت ُدوا َّ َم‬
َّ ‫ِّس‬ َِّ ِ‫ِم ََّن َّالْغَائ‬
َ ‫ط َّأ ََّْو ََّل َم ْستُ َُّم َّالن‬
ِ ِ
‫ورا‬ َ ‫بُِو ُجوى ُك َّْمَّ َوأَيْدي ُك َّْمََّّۖإِنََّّالل َّوََّ ََّكا َن‬
ً ‫َّع ُف ًّواَّ َغ ُف‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh wanita, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik

113
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.207

Memang harus diakui, meskipun tidak disebutkan secara exsplisit mengenai

pelarangan wanita yang sedang mengalami haid dalam ayat tersebut. Namun

ulama menqiyaskan wanita yang sedang mengalami haid dengan seseorang yang

junub.

Meskipun hukumnya sudah sangat jelas, tidak diperbolehkan berdasarkan Al-

Qur‘an, namun di era sekarang ini banyak ditemukan fenomena wanita yang

sedang mengalami haid cenderung berani masuk ke dalam masjid, Bahkan tidak

jarang, seminar-seminar kajian agama atau perkuliahan di kampus yang berbasis

kampus islam pun juga diselenggarakan di dalam masjid. Padahal akan sangat

mungkin jika partisipan wanita yang mengikuti kajian tersebut mengalami haid.

Ada dua pendapat ulama madzhab terkait dengan aturan wanita yang sedang

mengalami haid masuk masjid, yaitu

a. Madzhab Imam Abu Hanifah melarang wanita yang sedang haid masuk

masjid secara muthlak.208 Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi:

209
‫إِنَّلَّأحلَّاملسجدَّْلائضَّولَّجنب‬
Saya tidak menghalalkan (melarang keras) orang yang haidh dan
junub (masuk/berdiam) dalam masjid. (HR. Abu Dawud & Ibnu
Majah)

207
al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. al-Nisa: 43.
208
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 521.
209
Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 61, nomor hadis: 232.

114
b. Sedangkan pendapat Imam Syafi‘i dan Imam Hanbali membolehkan

wanita yang sedang haid jika sekedar melewati masjid jika ia yakin tidak

akan mengotori masjid dengan najis atau kotoran lainnya, namun tetap

melarang wanita haid memasuki masjid dan berdiam diri di dalamnya. 210

Hal ini berdasarkan pada Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 43:

َّ‫َّجنُبًا‬ ِ
ُ ‫اَّماَّتَ ُقولُو َن ََّوَل‬
َ ‫ّت َّتَ ْعلَ ُمو‬ َّ‫ى َّ َح ى‬
َّ‫َّس َك َار ى‬
ُ ‫اَّل َّتَ ْقَربُواَّالص ََل َة ََّوأَنْتُ ْم‬ َ ‫َّآمنُو‬
َ ‫ين‬َ ‫يَاَّأَي َهاَّالذ‬
َّ‫َح ٌد َِّمْن ُك ْم‬ َ ‫َّعلَ ىَّىَّ َس َف ٍرَّأ َْو‬
َ ‫َّجاءََّأ‬ َ ‫ض ىَّىَّأ َْو‬
ِ َّ ‫إِلَّعابِ ِريَّسبِ ٍيلَّح‬
َ ‫ّتَّتَ ْغتَسلُواََّّۖ َوإِ َّْنَّ ُكْنتُ َّْمَّ َم ْر‬ ‫َ َى‬ َ
ً ِ‫َّصع‬
َّ‫يدا َّطَيِّبًا َّفَ ْام َس ُحوا‬ َ ‫ََّت ُدوا ََّماءً َّفَتَ يَم ُموا‬
َِ ‫ِمن َّالْغَائِ ِط َّأَو ََّلمستُم َّالنِّساء َّفَلَم‬
ْ ََ ُ َْ ْ َ
‫ورا‬ ِ ِ ِ ِ
ً ‫ب ُو ُجوى ُك ْم ََّوأَيْدي ُك ْمََّّۖإنََّّالل َّوََّ َكا ََّنَّ َع ُف ًّواَّ َغ ُف‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu


dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh wanita, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.211

Ali Asshobuni juga lebih cenderung pada pendapatnya Madzhab Abu

Hanifah, yaitu melarang wanita yang sedang haid masuk masjid dan shalat sampai

dia mandi terlebih dahulu.

Sebelum mendalami lebih jauh lagi, ada baiknya untuk memahami fungsi

dari masjid. Masjid merupakan tempat suci yang biasa digunakan untuk beribadah

210
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 521.
211
al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Nisa: 43.

115
bagi orang yang beragama Islam, maka kesucian masjid harus selalu dijaga.

Akibatnya orang yang berhadas besar tidak diperbolehkan masuk kedalamnya.

Kategori yang termasuk hadas besar meliputi orang yang junub, wanita yang

mengeluarkan darah haid serta nifas.

Dalam sejarahnya, bahkan sejak pada masa Nabi Muhammad fungsi masjid

tidak hanya sebagai tempat sujud, namun masjid juga berfungsi sebagai sentra

kegiatan-kegiatan pendidikan, yakni tempat pembinaan dan pembentukan

karakter umat, selain itu masjid menjadi sentra kegiatan politik, ekonomi, sosial

dan budaya umat. Hal ini karena disetiap harinya umat Islam berjumpa dan

mendengar arahan-arahan Rasulullah SAW, tentang hal ini.212

Sebenarnya ulama yang berpandangan bahwa kebolehan melewati masjid itu

jika wanitag yang sedang haid merasa dapat menjamin darahnya tidak menetes.

Jika tidak bisa menjamin, maka ia tidak boleh melewatinya.213

Dewasa ini telah ada cara yang praktis dan efisien agar wanita tidak merasa

khawatir darahnya akan tercecer mengotori tempat-tempat yang di laluinya, yaitu

dengan adanya pembalut. Pembalut sendiri berfungsi untuk menyerap darah yang

keluar dari vagina, sehingga darah tidak akan tercecer ke mana-mana. Maka tentu

saja dengan adanya pembalut ini bisa dijadikan pertimbangan kembali mengenai

hukum kebolehan wanita yang sedang haid masuk masjid. Karena pada jaman

212
Syamsul Kurniawan, ―Masjid dalam Lintasan Sejarah Umat Islam,‖ Jurnal Katulistiwa, vol 4
Nomor 2 (September 2014): 169.
213
Muhammad Nasib Ar-Rifa‘i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir (Riyadh:
Maktabah Ma‘arif, 1410), 717.

116
‫‪dahulu belum ditemukannya alat yang dapat menyerap darah haid sehingga tidak‬‬

‫‪diperbolehkan wanita yang sedang haid masuk masjid karena dikhawatirkan darah‬‬

‫‪akan tercecer mengotori masjid.‬‬

‫‪Ditemukan juga hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa ada seorang‬‬

‫‪wanita yang berkulit hitam tinggal di dalam masjid. Dan tidak ditemukan‬‬

‫‪keterangan bahwa Nabi SAW memerintahkan meninggalkan masjid tersebut pada‬‬

‫‪wanita berkulit hitam ketika masa haidnya tiba.‬‬

‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫َّع ْنَّ‬‫َّع ْن َّأَبِيو َ‬ ‫َّع ْن َّى َش ِام َّبْ ِن َّعُ ْرَوَة َ‬ ‫ُس َامةَ َ‬ ‫َّحدثَنَا َّأَبُو َّأ َ‬ ‫ال َ‬ ‫يل َّقَ َ‬ ‫ََّحدثَنَا َّعُبَ ْي ُد َّبْ ُن َّإ ْْسَاع َ‬
‫ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫تَّ‬ ‫ت ََّم َع ُه ْم َّقَالَ ْ‬ ‫وىا َّفَ َكانَ ْ‬ ‫َّس ْوَداءَ َّْلَ ٍّي َّم ْن َّالْ َعَر ِب َّفَأ َْعتَ ُق َ‬ ‫ت َ‬ ‫يد ًة َّ َكانَ ْ‬ ‫َعائِ َشةَ َّأَن ََّول َ‬
‫ِ‬ ‫فَخَّرجت َّصبِيةٌَّ ََلم َّعلَي هاَّ ِو َشاح َّأ ْ ِ‬
‫تَّ‬ ‫ض َعْتوَُّأ َْو ََّوقَ َع َّمْن َهاَّفَ َمر ْ‬ ‫ت َّفَ َو َ‬‫َّسيُوٍر َّقَالَ ْ‬‫َْحَُر َّم ْن ُ‬ ‫ٌ‬ ‫َ َ َ ْ َ ُْ َ ْ َ‬
‫تَّ‬ ‫ت َّفَالْتَمسوه َّفَلَم َِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِِ‬
‫ََّي ُدوهُ َّقَالَ ْ‬ ‫َّم ْل ًقى َّفَ َحسبَْتوُ َّ َْلْ ًما َّفَ َخط َفْتوُ َّقَالَ ْ َ ُ ُ ْ‬ ‫َّح َدياةٌ ََّوُى َو ُ‬ ‫بو ُ‬
‫ت ََّوالل ِوَّإِ ِِّنَّلََقائِ َمةٌ ََّم َع ُه ْمَّإِ ْذَّ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َّحّتَّفَت ُشواَّقُبُلَ َهاَّقَالَ ْ‬ ‫ِّشو َن َ‬ ‫تََّّفَطَف ُقواَّيُ َفت ُ‬ ‫فَات َه ُم ِوِنَّبِوَّقَالَ ْ‬
‫َّى َذاَّال ِذيَّات َه ْمتُ ُم ِوِن َّبِِو ََّز َع ْمتُ َّْمَّ‬ ‫تَ‬ ‫ت َّفَ ُق ْل ُ‬ ‫ت َّفَ َوقَ َع َّبَْي نَ ُه ْم َّقَالَ ْ‬ ‫َّاْلُ َدياةَُّفَأَلْ َقْتوَُّقَالَ ْ‬
‫ت ْ‬ ‫َمر ْ‬
‫َّعلَْي ِو ََّو َسل َمَّ‬ ‫َّصلى َّاللوُ َ‬
‫ِ ِ‬
‫ت َّإِ َل ََّر ُسول َّاللو َ‬ ‫ت َّفَ َجاءَ ْ‬ ‫َّى َو َّقَالَ ْ‬
‫ِ‬
‫َوأَنَا َّمْنوُ َّبَِريئَةٌ ََّوَُّى َو َّ َذا ُ‬
‫ت َّتَأْتِ ِينَّ‬ ‫ِِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫فَأَسلَمت َّقَالَت ِ‬
‫ت َّفَ َكانَ ْ‬ ‫ش َّقَالَ ْ‬ ‫َّعائ َشةُ َّفَ َكا َن َّ ََلَاَّخبَاءٌ َِّف َّالْ َم ْسجد َّأ َْو َّح ْف ٌ‬ ‫ْ َ ْ ْ َ‬
‫ساَّإِلَّقَالَ َّْ‬
‫ت َّ‬ ‫يََّملِ ًَّ‬
‫َّعْند َْ‬
‫ََّتلِس ِ ِ‬
‫تَّفَ ََل َْ ُ‬ ‫ثَّعْنديَّقَالَ ْ‬
‫فَتحد ِ ِ‬
‫ََ ُ‬
‫اج ِ‬ ‫اح َِّمنَّأَع ِ‬
‫يب ََّربِّنَا‬ ‫َويَ ْوَمَّالْ ِو َش ِ ْ َ‬
‫أََلَّإِنوُ َِّم ْنَّبَْل َد ِةَّالْ ُك ْف ِرَّأ ََْنَ ِ َّ‬
‫اِن َّ‬
‫ِ‬ ‫ك ََّل َّتَ ْقع ِد ِ‬ ‫َّشأْنُ ِ‬ ‫قَالَت ِ‬
‫تَّ‬ ‫َّى َذا َّقَالَ ْ‬ ‫ين ََّمعي ََّم ْق َع ًدا َّإِل َّقُ ْلت َ‬ ‫ُ َ‬ ‫ت َّ ََلَا ََّما َ‬ ‫َّعائ َشةُ َّفَ ُق ْل ُ‬ ‫ْ َ‬
‫يث‪َّ 214‬‬ ‫اَّاْلَ ِد َِّ‬
‫فَ َحدثَْت ِن َِِّبَ َذ ْ‬
‫‪Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Isma'il berkata, telah‬‬
‫‪menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam bin 'Urwah dari‬‬

‫‪214‬‬
‫‪Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 132, nomor hadis: 439.‬‬

‫‪117‬‬
Bapaknya dari Aisyah, bahwa ada seorang budak wanita hitam milik
suatu kaum orang 'Arab telah mereka merdekakan." Aisyah
mengatakan, "Pada suatu hari sahaya ini keluar bersama seorang bayi
wanita dengan membawa kain tikar tenunan berwarna merah terbuat
dari kulit yang dihiasi dengan permata. Berkata, Aisyah radliallahu
'anhu: Maka sahaya itu meletakkan tikar tersebut atau duduk
diatasnya. Lalu tiba-tiba ada burung terluka yang jatuh. Sahaya itu
menganggapnya sebagai daging maka diambilnya. Lalu orang-orang
itu mencari burung tersebut tapi tidak menemukannya. Berkata,
Aisyah radliallahu 'anhu: "Lalu orang-orang itu menanyakannya
kepadaku. Be Aisyah radliallahu 'anhu: "lalu orang-orng iru
menggeledah sampai pada bagian depan sahaya tersebut. Aisyah
radliallahu 'anhu berkata,: "Demi Allah, aku ada bersama mereka saat
butung itu jatuh lalu dia mengambilnya. Maka terjadilah apa yang
terjadi diantara mereka. Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: "Aku
katakan: Inilah yang kalian duga aku berada di balik ini semua
padahal orang ini lah yang berbuat dan aku berlepas diri darinya".
Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: "Lalu sahaya ini menemui
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. dan masuk Islam. Berkata,
Aisyah radliallahu 'anhu: hamba sahaya ini memiliki rumah kecil di
dalam masjid. Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: "Dan setiap dia
menemui aku dia menceritakan disampingku. Aisyah radliallahu
'anhu berkata,: " Tidaklah dia duduk disisiku melainkan selalu
bersya'ir:

―Dan hari selendang itu di antara keajaiban Tuhan kami, Ketahuilah!


Dari negeri kafir Dia menyelamatkann aku.‖

Berkata, Aisyah radliallahu 'anhu: aku katakana kepadanya: "Apa


alasanmmu setiap kali bermajelis denganku kamu bersya'ir seperti
itu?" Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: Maka dia ceritakan seperti
kejadian dalam hadits ini".

Bahwa hadis di atas telah diriwayatkan dalam tujuh sanad, lima diantaranya

shohih dan dua diantaranya hasan. Meskipun yang shohih ada lima jalur, namun

jalur utamanya hanya satu, yaitu melalui Aisyah binti Abi Bakar, Urwah bin

Zubair, Hisam bin Urwah. Sehingga hadis ini termasuk hadis shohih ghorib.

118
Sedangkan hadis yang dijadikan dalil atas pendapat imam malik tentang

keharaman orang junub masuk masjid diriwayatkan dalam 37 sanad, 11

diantaranya hasan yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori, Abu Daud, Ishaq bin

Rahawaih, Al-Baihaqi, Ibnu Khuzaimah, dan diantaranya 26 dhoif. Kesebelas

hadis hasan tersebut berpangkal dari tiga sahabat yang berbeda, yaitu: Aisyah

binti Abu Bakar, Juwairiyah bintu al-Haris, dan Ummu Salamah bintu

Khudzaifah. Ini berarti kesebelas sanad tersebut saling menguatkan satu sama lain

membentuk hadis shohih li ghoirihi, sehingga sudah memiliki kekuatan hujah.215

Membandingkan kedua hadis di atas, dapat diketahui bahwa hadis tersebut

lebih kuat hadis yang shohih lidzatihi meskipun ghorib daripada hadis shohih

lighoirihi. Maka penulis memilih pendapat yang memperbolehkan wanita yang

masuk masjid meskipun dalam keadaaan haid. Hal ini tentu dengan catatan,

wanita yang sedang haid tidak akan mengotori masjid.

D. Polemik Wanita Haid Membaca dan Memegang Al-Qur’an

Ulama madzhab mengakui kemu‘jizatan Al-Qur‘an, sehingga tidak menjadi hal

yang diperselisihkan, apabila menyentuh dan membaca Al-Qur‘an dalam keadaan

suci adalah hal yang utama. Hal ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada

Al-Quran sebagai kitab suci agama Islam.

Lalu apakah suci menjadi syarat bagi orang yang menyentuh Al-Qur‘an?

Bagaimana dengan wanita yang sedang mengalami haid atau nifas? Karena

215
Gawami al-Kalim.

119
selama wanita mengalami haid akan memakan waktu 7 hari (umumnya) dan bagi

orang yang mengalami nifas bahkan bisa mencapai 60 hari lamanya. Apakah

selama itu wanita yang sedang mengalami haid atau nifas tidak boleh memegang

Al-Qur‘an sama sekali? Padahal Al-Qur‘an adalah pegangan hidup manusia yang

tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

Terkait dengan menyentuh mushaf Al-Qur‘an, jumhur ulama meliputi

madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah dan madzhab Syafiiyah sepakat bahwa

tidak boleh menyentuh Al-Qur‘an bagi wanita yang sedang mengalami haid.

Imam Syafi‘i memberikan pengecualian apabila ada kekhawatiran pada

peristiwa ketika Al-Qur‘an akan tengelam, terbakar, akan terkena najis atau akan

direbut oleh orang kafir.216 Sedangkan Imam Hanafi memberikan rukhsoh

(keringanan) bagi para pengkaji kitab syari‘at, baik yang mengkaji hadis, fiqih

atau tafsir, dan juga berlaku anak-anak untuk keperluan belajar.217

Pelarangan wanita haid menyentuh Al-Qur‘an ini berdasarkan pada firman

Allah pada surat al-Waqi‘ah ayat 79:

َّ‫َلََّّيَس َّوَُّإِلَّالْ َُّمطَه ُرو َن‬


Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.218

Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab al-

Muwato‘:

216
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 521.
217
Gawami al-Kalim.
218
al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Waqi‘ah: 79.

120
َّ 219‫أنَّلَّّيسَّالقرآنَّإلَّطاىر‬
Tidak boleh menyentuh Al-Qur‘an kecuali orang yang suci.

Selain itu, hadis serupa juga diriwayatkan oleh al-Daruquthni :

220
‫لَّّيسَّالقرآنَّإلَّطاىر‬
Dan tidaklah menyentuh Al-Qur‘an kecuali orang-orang yang suci.

Terkait dengan dalil yang dijadikan dasar hukum wanita yang sedang

mengalami haid menyentuh Al-Qur‘an pada surat al-Waqi‘ah ayat 78 yang

berbunyi ―Di dalam kitab yang dijaga‖, dalam tafsir Ibnu Katsir memberikan

pengertian bahwa kitab yang dijaga tersebut berada di lauhul mahfudz.221

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Ismail,

telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu

Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya pada surat al-

Waqi‘ah ayat 79, ―Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan‖

yakni memberikan pengertian bahwa isim isyaroh (lafald hu) tersebut merujuk

pada makna kitab yang ada di langit.222

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna

firman-Nya yang terdapat pada surat al-Waqi‘ah ayat 79, ―Tidak menyentuhnya

219
Al-Muwatta, 101, nomor hadis: 468.
220
Al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, 120, nomor hadis: 431.
221
Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Dar Thayyibah, 1999), 545

222
Ibid.

121
kecuali hamba-hamba yang disucikan‖ yaitu memberikan pengertian bahwa

hamba yang disucikan tersebut adalah para malaikat.223

Hal di atas disetujui oleh para ahli hadis sekaligus ahli tafsir, diantaranya:

Anas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu

Zaid. Abu Nuhaik, As-Saddi, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dan lain-

lainnya.224

Maka tidaklah mengapa bagi orang yang memilih ketentuan bahwa wanita

yang sedang mengalami haid diperbolehkan menyentuh mushaf Al-Qur‘an,

karena hal tersebut juga ada dalilnya. Begitu juga bagi orang yang memilih

pendapat bahwa wanita yang sedang mengalami haid tidak boleh menyentuh

mushaf Al-Qur‘an, karena hal tersebut juga telah ada dalil yang

menerangkannya. Yang tidak diperbolehkan adalah saling menyalahkan atas

pendapat yang lain. Dan yang harus dikedepankan adalah sikap menghargai

terhadap perbedaan pendapat satu dengan yang lain.

Adapun aturan tentang wanita yang sedang mengalami haid membaca Al-

Qur‘an ini, Ali Asshobuni sependapat dengan mayoritas ulama madzhab, bahwa

wanita yang sedang mengalami haid diharamkan membaca Al-Qur‘an.225 Dalil

yang dijadikan dasar atas pelarangan tersebut berdasarkan pada hadis nabi SAW:

223
Ibid.
224
Ibid.
225
Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 239.

122
ِ ِ ‫َّحدثَنا‬
َّ‫َّع ْن‬
َ ،‫اش‬ َ ‫َّحدثَنَا َّإِ ْْسَاعيل َّبْ ُن‬
ٍ ‫َّعي‬ َ :‫ َّقَ َال‬،َ‫َّعَرفَة‬ ْ ‫ ََّو‬،‫َّح ْج ٍر‬
َ ‫اْلَ َس ُن َّبْ ُن‬ ُ ‫َّعلي َّبْ ُن‬
َ َ َ
ِ
َّ‫َّ"َّل‬:
َ ‫ال‬ َ َ‫ِبَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّق‬ ِّ ِ‫َّع ِنَّالن‬،
َ ‫َّع ْنَّابْ ِنَّعُ َمَر‬، َ َ‫وسىَّبْ ِنَّعُ ْقبَة‬
َ ‫َّع ْنَّنَاف ٍع‬، َ ‫ُم‬
ِ َ ‫َّاْلنُب‬
ِ ‫اَّمنَّالْ ُقر‬
َّ 226."َّ‫آن‬ ِ َّْ ْ‫تَ ْقرأ‬
ْ َ ً‫َّشْيئ‬ ُ ُْ ‫ض ََّوَل‬ ُ ‫َّاْلَائ‬ َ
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr dan Al Hasan bin
Arafah keduanya berkata; telah bercerita kepada kami bahwa Isma'il
bin Ayyasy dari Musa bin Uqbah dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Wanita haid dan orang
yang junub tidak boleh membaca sesuatu pun dari Al Qur'an."

Setelah mentakhrij hadis di atas, maka hadis tersebut di riwayatkan oleh al-

Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dengan sanad lemah dari

Ibnu ‗Umar. Seluruh sanadnya bersumber dari jalur Ibnu Umar – Nafi‘ – Musa

bin Uqbah – Isma‘il bin ‗Ayyas. Sehingga hadis ini gharib.227

Ibnu Hajar al-‗Asqalani memberikan catatan terhadap Isma‘il bin ‗Ayyas,

yang notabene adalah titik kunci penyebaran hadis ini, bahwa ia dapat

didudukkan dalam derajat saduq jika meriwayatkan hadis dari rekan senegaranya.

Jika meriwayatkan hadis hadi luar, maka ia sering melakukan kesalahan.

Sedangkan dalam hadis ini yang ia riwayatkan adalah hadis dari Musa yang

berdomisili di Madinah. Ia sendiri berdomisili di Syam. Maka sanad hadis ini

sangat lemah.228

Dapat disimpulkan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah pengharaman

membaca Al-Qur‘an bagi orang yang sedang junub, maupun haid dan nifas,

226
Al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, 56, nomor hadis: 131.
227
Gawami al-Kalim.
228
Ibid.

123
karena hadis ini sangat lemah. Maka wanita yang sedang mengalami haid boleh

membaca Al-Qur‘an.

124
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Uraian dari pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya

dapat penulis simpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Haid adalah suatu proses biologis yang terkait dengan pelepasan lapisan

dalam dinding rahim akibat pengaruh hormon yang terjadi secara berkala pada

wanita yang sudah mencapai usia subur. Dan keluarnya darah haid ini pada

saat kondisi wanita dalam keadaan sehat, bukan karena faktor melahirkan,

sakit ataupun pecahnya selaput keperawanan. Semua ulama madzhab

bersepakat bahwa usia terendah bagi seorang wanita untuk menjalani masa

haid adalah sembilan tahun. Oleh karena itu, apabila ada seorang wanita yang

mengeluarkan darah melalui kemaluannya sebelum usia tersebut, maka itu

bukanlah darah haid. Dan adanya haid sebagai indikasi bahwa ia telah

mencapai usia baligh serta sebagai tanda ia telah dibebani dengan beban taklif.

2. Ali Asshobuni mengartikan lafald mahid sebagai hakikatnya haid itu sendiri,

karena terkadang mahid juga diartikan sebagai tempatnya haid. Hal ini

sebagai jawaban dari Allah untuk menunjukkan bahwa yang kotor itu adalah

sifatnya haid, bukan tempatnya haid. Wanita yang masih haid, jika ditalak

suaminya harus menjalani iddah selama tiga kali quru. Ali Asshobuni

mengartikan quru sebagai haid. Karena menurutnya, tujuan diadakannya

iddah adalah untuk mengetahui kebersihan rahim. Sedangkan kebersihan

125
rahim biasanya ditandai dengan adanya haid. Dan Ali Asshobuni

mengqiyaskan wanita yang sedang haid dan nifas itu hukumnya sama seperti

orang yang sedang berhadas besar. Sehingga beberapa ketentuan hukum orang

yang junub itu berlaku juga untuk wanita yang sedang mengalami haid dan

nifas. Seperti misalnya permpuan yang sedang mengalami haid tidak

diperbolehkan memasuki masjid.

3. Adapun dampak hukum yang dihasilkan dari wanita yang sedang mengalami

haid adalah para suami boleh mendekati istrinya meskipun dalam keadaan

haid, kecuali yang ada di antara pusar dan lutut, selain itu suami bebas

melakukan apa saja. Adapun iddah yang harus dijalani wanita yang telah

ditalak suaminya adalah selama tiga kali haid. Maka selama masa iddah

berlangsung, wanita tersebut tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki

lain. Dan wanita yang sedang mengalami haid tidak diperbolehkan masuk ke

dalam masjid dan tidak diperbolehkan juga menyentuh atau memegang

mushaf Al-Qur‘an.

B. SARAN

Pengetahuan tentang haid dan permasalahan-permasalahannya sangat menarik

untuk dikaji, karena haid merupakan sisi yang akan terus dialami oleh

wanita.Tentu saja kajian mengenai haid tidak hanya mencangkup pada persoalan

yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, karena dalam penelitian

skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada penafsiyan ayat-ayat haid dan

126
implikasinya terhadap hukum dengan menggunakan kitab tafsir Rawai‘ Bayan

karangan Ali Asshobuni.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari harapan untuk

bisa memberikan kontribusi secara maksimal, maka penulis berharap dikemudian

hari ada peneliti-peneliti yang bisa menambah kekurangan pada penelitian ini.

Oleh karena itu penulis merekomendasikan kepada peneliti berikutnya untuk

mengkaji lebih dalam, karena masih ada banyak aspek lain yang belum diuraikan.

Ketika penulis mulai mencurahkan segenap konsentrasi untuk menyelesaikan

skripsi ini, penulis menyadari akan kedangkalan ilmu yang penulis miliki. Dengan

jujur, penulis mengatakan bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

kesempurnaan skripsi ini.

127
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. ―Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender‖ 14,
no. Humaniora (1 Februari 2002).

Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dar Ihya al-Turots al-
‘Arobiy, t.t.

Andarto, Obi. Penyakit Menular di Sekitar Anda (Begitu Mudah Menular dan
Berbahaya, Kenali, Hindari, dan Jauhi Jangan Sampai Tertular Obi Andarto
Jakarta Penyakit Menular di Sekitar Anda (Begitu Mudah Menular dan
Berbahaya, Kenali, Hindari, dan Jauhi Jangan Sampai Tertular. Jakarta:
Pustaka Ilmu Semesta, 2015.

Ansory, Isnan. Mengenal Tafsir Ayat Ahkam. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018.

Al-Baihaqi. Al-Sunan al-Kubro li al-Baihaqi. Makkah: Maktabah Dar al-Bazz, 1994.

Bohme, Caroline J., Jannette C. Gosch-Weisbrodt, dan Rona B. Warton. Yang Perlu
Anda Ketahui Kesehatan Wanita di Atas Usia 40 Tahun. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo, t.t.

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il. Al-Jami’ Al-Sahih. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.

Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metologis ke Arah


Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Al-Daruquthni. Sunan al-Daruquthni. Beirut: Dar al-Fikr, 1998.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI,
2009.

128
Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi
Arabia. al-Qur’an dan Terjemahannya. Medinah Munawwarah: Mujamma‘
al-Malik Fahd Ii Thiba‘at al-Mush-haf, 1415.

DTM, Faisal Yatim. Haid Tidak Wajar Dan Menopause. Jakarta: Pustaka Populer
Obor, 2001.

Erlianisyah Putri, Rena. Biologicaliosopy. Asrifa, 2014.

Faris, Ahmad. Mu’jam Maqoyisul Lughoh Jilid 2. Beirut: Darul Fik, 1979.

Fitra Lestari, Nada. ―Hukum Mencampuri Istri yang Sedang Haid Menurut Islam dan
Kesehatan.‖ Skripsi, Universitas Islam Negri Alauddin Makasar, 2015.

Gawami al-Kalim (versi 4.5). Windows. ISlam Web, al-Idaroh al-‘Ammah li al-
Auqaf, t.t.

Hamidy, Mu‘amal, dan Imron A. Manan. Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni.
Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.

Haryono, Andy. ―Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabuni dalam Kitab


Rawaiu‘ al-Bayan Wardah Vol. 18 No.1 2017‖ 18 No.1, no. Wardah (2017).

Hendrik, H. Problema Haid Tinjauan Syariat dan Medis. Solo: Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2006.

Ibnu Majah. Sunan Ibni Majah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Jad, Khalid. Hanya Untuk Perempuan. Solo: Era Intermedia, 2006.

Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera, 2007.

Khairudin, Fiddian, dan Syafril. ―Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi Kitab
Rawai‘u al Bayan Karya Ali al-Shabuni Syafril, Jurnal Syahadah, Vol V, No

129
1, April 2017 Universitas Islam Tembilahan‖ V no 1, no. Syahadah (April
2017).

Khoir, M. Masykur. Haidl & Thoharoh. Kediri, 2002.

Kurniawan, Syamsul. ―Masjid dalam Lintasan Sejarah Umat Islam,‖ Jurnal


Katulistiwa, vol 4 Nomor 2 (September 2014).

Madjid, Nurcholish. Konsep Asbabun Nuzul: Relevansi bagi Pandangan Sejarah.


Jakarta: Paramadina, 1995.

Malik bin Anas. Al-Muwatta. Mesir: Dar al-Syu‘bi, t.t.

Malik Kamal, Abu. fiqih sunnah lin nisaa’ ENSIKLOPEDI FIQIH WANITA. Depok:
Pustaka Khazanah Fawa‘id, 2016.

Mardalis. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: PT Bumi Aksara,


2006.

Mardani. Tafsir Ahkam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Muhammad Uwaidah, Kamil. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

Munawir, Ahmad Warson. Kamus AL-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap. Jakarta:


Pustaka Progressif, 1984.

Muslim bin Hajjaj. Sahih Muslim. Beirut: Dar Ihya al-Turots al-‘Arobiy, t.t.

Al-Nasa‘i, Abu Abdi al-Rahman Ahmad. Sunan al-Nasa’i. Halb: Maktab al-
Mathbu‘at al-Islamiyah, 1986.

Nasib Ar-Rifa‘i, Muhammad. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir.
Riyadh: Maktabah Ma‘arif, 1410.

130
Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan
Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014.

Ratna Sulistina, Dewi. ―Hubungan Pengetahuan Menstruasi dengan Prilaku


Kesehatan Remaja Putri Tentang Menstruasi Di SMPN 1 Trenggalek.‖
Skripsi, Universitas Sebelas Maret, 2009.

Roes, Ahmat. ―Kajian Terhadap Kitab-Kitab Tafsir.‖ Universitas Islam Negri


Walisongo, 2014.

Al-Shan‘ani, Abu Bakar Abd al-Razzaq. Mushannaf Abd al-Razzaq. Beirut: Al-
Maktab al-Islami, 1403H.

Shihab, Quraish. Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012.

———. M Quraish Shihab menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda
Ketahui. Tangerang: Lentera Hati, 2010.

———. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Tangerang:


Lentera Hati, 2012.

Al-Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Siria: Dar al-Fikr, t.t.

Sinaga, Erna, Nonon Saribanon, dan Nailus Sa‘adah. Manajemen Kesehatan


Menstruasi. Universitas Nasional: IWWASH Hlobal One, 2017.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsmani. Darah Kebiasaan Wanita, t.t.

Syamhartis. ―Larangan Bagi Perempuan Haid Menurut Ibn Hazm Dalam Tinjauan
Maqasidh Al-Syari‘ah dan Relevansinya dengan Kemajuan Ilmu
Pengetahuan.‖ Universitas Islam Sultan Syarif Kasim, 2011.

131
Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa. Jami’ al-Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya al-Turots al-
‘Arobiy, t.t.

Trisyani, Mira. ―Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Keluhan Tentang Menstruasi Di


Antara Remaja Putri,‖ Jurnal Keperawatan Komprehensif, Vol. 4 No. 2 (Juli
2018).

Ummi Kaltsum, Lilik, dan Abd Moqsith. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Ciputat: UIN
Press, 2015. Ciputat: UIN Press, 2015.

Utsman Al-Khasyt, Muhammad. Fikih Wanita Empat Madzhab. Bandung: Ahsan


Publishing, 2010.

Wahhab Khallaf, Abdul. Fikih Empat Mazhab Praktis. Jakarta: Umul Qura‘, 2018.

Yusuf, Kadar M. Tafsir ayat ahkam. Jakarta: Amzah, 2013.

Yusuf, Muhammad. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras, 2006.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. 1 vol. Damaskus: Darul Fikr, 2007.

132
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rizqi Fi‘ismatillah

Tanggal Lahir : 08 November 1996

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

Alamat : Jl. Ki Suropati No 11 Rt 01 Rw 05 Tingkir Lor, Tingkir,

Salatiga

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tamatan:

 Taman kanak-kanak (TK) Tarbiyatul Banin 22 Salatiga Tahun 2003

 Sekolah Dasar Negri (SDB) Tibgkir Lor 02 Salatiga Tahun 2009

 Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah 2015

PENGALAMAN ORGANISASI

 Anggota LSD SPPQT (Lembaga Pemuda Serikat Tani) periode 2015-

Sekarang

 Anggota Dewan Perwakilan LSD SPPQT 2016-Sekarang

 Anggota Dewan Perwakilan Serikat Tani 2016-Sekarang

133

Anda mungkin juga menyukai