Metode tafsir tahlili mulai dikenal setelah digunakan oleh Imam Abu Zakariya bin
Ziyada l-Farra dalam kitabnya “Tafsir Ma’anil Qur’an” yang wafat pada 206 H/821 M.
Selain itu metode tafsir tahlili juga digunakan oleh Ibnu Majjah (W. 237 H/851 M), atau
paling lambat Al-Thabari (W. 310 H/933 M).3 Hampir semua kitab-kitab tafsir pada masa
awal menggunakan metode tahlili.
Metode tafsir tahlili cara pendekatan dan tafsirnya mengandalkan penalaran, sehingga
akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusuri satu demi satu dari
segala segi. Hal yang dianggap perlu oleh seorang mufasir dalam menguraikan ayat
bermula dari kosa kata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkenaan dengan
teks atau kandungan ayat.4
Dari berbagai penjelasan di atas, metode tafsir tahlili ialah metode mengkaji al-
Qur’an dari segala segi mulai dari kosa-kata, munasabah, asbab al-nuzul, dan lain-lain
dengan tertib dari ayat ke ayat, surat ke surat sesuai urutan al-Qur’an itu sendiri. Untuk
mendapati isi kandungan ayatnya, apa yag dapat diistinbath dari ayat tersebut, apa
hubungan ayat tersebut dengan ayat sebelum dan sesudahnya, juga surah dengan surah
sebelum dan sesudahnya.
1
Ali Al-Shabuny, Al-Tibyan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an, Daar Al-Qalam, Beirut 1970, hlm. 10.
2
Muhammad`Baqir Al-Shadr, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Maudhu’I, wa Tafsir Al-Tajzi’iy Fi Al-Qur’an Al-karim,
Dr Al-Ta’ruflil Mathbu’at, 1980. H. 10
3
Muhammad Qurish Shihab, membumikan Al-Qur’an, Mizan, Jakarta, Cet,XV,1997. hlm. 73.
4
Ibid, hlm. 85
2) Seseorang dapat memahami ayat dan surat dalam al-Qur’an secara utuh.
3) Metode tafsir tahlili membahas Al-Qur’an dengan ruang lingkup yang luas,
dari aspek Bahasa (kosa kata dan munasabah), Sejarah (asbab an-nuzul),
Hukum (kaidah tafsir, kaidah ushul fiqh, dan istinbath) dan lain-lain.
4) Memiliki bentuk lain
Metode ini dapat digunakan oleh musafir dalam dua bentuk yaitu,: Tafsir bi
al-matsur dan tafsir bi al-ra’yu. Bentuk al-ra’yu dapat lagi dikembangkan
dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing
mufasir.
5) Memuat berbagai ide
Metode tafsir tahlili dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam
benak mufasir. Pada metode ini mufasir relatif mempunyai kebebasan dalam
memajukan ide-ide dan gagasan baru dalam menafsirkan Al-Qur’an.
1) Kajiannya mendalam, tidak detail, tidak fokus, sehingga sulit tuntas dalam
membicarakan topik-topik yang dibicarakan.
2) Memerlukan waktu yang cukup panjang dan menuntut ketekunan.
3) Metode tafsir tahlili cakupannya sangat luas, sehingga seseorang mufasir belum tentu
menguasai aspek luas tersebut.
4) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial seperti halnya metode ijmali, metode tahlili
juga dapat membuat petunjuk dalam Al-Qur’an terlihat parsial atau terpecah-pecah,
sehingga terasa seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh dan
tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat yang lain sama
dengannya. Perbedaan ini biasanya terjadi karena kurangnya diperhatikan antara ayat-
ayat terkait yang membahas hal sama, bukan karena memang ayat-ayat Al-Qur’an itu
saling bertentangan.
5) Melahirkan penafsiran subjektif. Metode tafsir tahlili memberikan peluang seluas-
luasnya kepada para mufasir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya.
Sehingga kadang-kadang mufasir tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan Al-Qur’an
secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan Al-
Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
atau norma-norma yang berlaku.
6) Sulit dipahami orang awam.
Daftar Pustaka
6
Wahbah, 2013, pp. 30–43
Baqir, Muhammad Al-Shadr. Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Maudhu’I, wa Tafsir Al-Tajzi’iy
Fi Al-Qur’an Al-karim, Dr Al-Ta’ruflil Mathbu’at, 1980.
Quraish, Muhammad Shihab. membumikan Al-Qur’an, Mizan, Jakarta, Cet,XV,1997.
Wahbah, A.-Z. (2013). Tafsir Al-Munir Aqidah, Syariah, Manhaj. Gema Insani.
Yahya, A., & Yusuf, K. M. (2022). Metode Tafsir (Al-Tafsir Al-Tahlili, Al-Ijmali, Al-
Muqaran dan Al-Mawdu’i). PALAPA, 10, 1–13.