Anda di halaman 1dari 19

PROBELMATIKA TAFSIR BIR-RA’YI DALAM PERSPEKTIF ULAMA

TAFSIR

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Qur’an dan Hadits

Dosen Pengampu : Dr. H. Mohamad Imroni, M.Ag. dan Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag.

Disusun oleh :

Ariba Khairunisa 2202048026

PROGRAM MAGISTER ILMU FALAK

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi umat Islam, Alquran merupakan kitab suci yang selalu relevan dengan kehidupan
mereka sepanjang zaman. Relevansi kitab suci ini terlihat pada petunjuk-petunjuk yang
diberikannya kepada mereka dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah sebabnya, usaha-usaha
untuk memahami Alquran di kalangan umat Islam selalu muncul kepermukaan selaras dengan
kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi. Untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh
Allah dari firman-firman-Nya yang telah dibukukan, maka para ulama berusaha
memahaminya lewat berbagai bentuk penafsiran, metode penafsiran dan corak penafsiran
yang disesuaikan dengan kecendrungan para masing-masing mufassir. Salah satu bagian
bentuk tafsir tersebut ialah bentuk tafsir bi al-ra’yi. Dalam konteks inilah, penulis akan
memfokuskan pembahasannya pada kajian tentang tafsir bi al-ra’yi.

B. Rumusan Masalah

1. Pengetian tafsir bi ar-ra’yi/bi al-dirayah.


2. Pembagian tafsir bi ar-ra’yi
3. Syarat pokok mufssir dengan metode ra’yu
4. Kedudukan, kelebihan dan kelemahan tafsir bi al-ra’yi
5. Pandangan ulama tentang tafsir bi al-ra’yi
6. Problematika tafsir bi al-ra’yi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengetian Tafsir bi Ar-Ra’yi/bi Al-Dirayah.


Kata dirayah ) ‫ ( دراية‬berasal dari kata dara-yadri-daryan-wadirayatan ‫( درى – يدري‬
) ‫ – دريا – ودراية‬yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami. Kata dirayah
merupakan sinonim dengan kata ra’yun )‫ (رأي‬yang berasal dari kata ra’a-yar’i-ra’yan-wa
ru’yatan )‫ورؤية‬-‫رؤيا‬-‫يرئ‬-‫ ( رأى‬yang berarti melihat (bashara), mengerti (adrakah),
menyangka, mengira atau menduga (hasibah). Kata al-ra’yu juga bisa diartikan dengan
I’tikad, akal pikiran, ijtihad dan bahkan qiyas (analogi). Itulah sebabnya mengapa tafsir
dirayah dinamakan pula dengan tafsir bi al-dirayah / bi al-ma’qul / bi al-ra’yi / bi al-
ijtihad.1 Bahkan menurut Syekh Muhammad Ali As-Shobuni didalam kitab karangannya
yang dimaksud atau yang diharapkan dengan al-ra’yi adalah al-ijtihad.2
Adapun yang dimaksud dengan bi al-ra’yi adalah penafsiran al-quran yang
dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa arab dari
berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa arab dan segi-segi argumentasinya
yang dibantu dengan menggunakan syair-syair serta mempertimbangkan sebab nuzul, dan
lain-lain sarana yang dibutuhkan oleh mufassir.3 Intinya, yang dimaksud dengan tafsir bi
al-ra’yi adalah menafsirkan al-quran dengan lebih mengutamakan pendekatan kebehasaan
dari berbagai seginya yang sangat luas.
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad
atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi
kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang
menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulama berbeda-beda pendapat
dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan hasilnya benar
atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi jugak demikian adanya. Ada yang dianggap benar/tepat
yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang dianggap salah atau
menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.
Mufassir yang menggunakan tafsir bi al-ra’yi ini harus berupaya agar pendapatnya
sesuai dengan al-quran. Dengan demikian, hasil penafsirannya lebih dapat

1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014), 350.
2
Moh. Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, ( Jakarta : Darul Kitab Al-Islamiyah 1999 ), 155.
3
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 351.

3
dipertanggungjawabkan. Ulama salaf sangat berhati-hati dalam menafsirkan sesuatu,
mereka khawatir akan terjerumus ke dalam ijtihad yang mazmum (tercela).4 Oleh sebab
itu, banyak ulama salaf yang menulis kitab tafsir dari para pendahulu dengan cara
mengutip tanpa disertai penjelasan tambahan.

B. Pembagian Tafsir bi Ar-Ra’yi


Tafsir bi al-ra’yi merupakan hasil ijtihad mufassir. Apabila ijtihad yang dilakukan
didukung dengan syarat-syarat yang dibutuhkan, ijtihad tersebut adalah ijtihad yang baik.
Sebaliknya, apabila ijtihad dilakukan tanpa didukung syarat-syarat yang dibutuhkan,
ijtihad tersebut adalah ijtihad yang tidak baik.
Menafsirkan al-quran merupakan ikhtiar untuk menemukan petunjuk al-quran.
Dalam berikhtiar, ada dua ulama yang menggunakan seperangkat ilmu meng-istinbath-
kan petunjuk-Nya. Disisi lain, ada pula yang mengandalkan pendapatnya tanpa didukung
ilmu. Maskipun demikian, tujuannya sama yaitu menemukan pesan-pesan yang
dikomunikasikan Allah SWT. Dengan kata lain, upaya mufassir yang tidak berdasarkan
al-quran, hadist dan ijmak tergolong tafsir bi al-ra’yi.5
Tafsir bi al-ra’yi dibedakan menjadi dua, yaitu tafsir bi al-ra’yi al-mahmud dan tafsir
bi al-ra’yi al-madzmum.
1. Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud
a. Pengertian Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud
Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud adalah ikhtiar untuk menemukan pemahaman
al-quran dengan menggunakan berbagai pengatahuan, seperti ilmu bahasa arab
atau ilmu-ilmu yang lain.6
Contoh tafsir bi al-ra’yi al-mahmud adalah istibath dan ijtihad yang
dihasilkan oleh sahabat dan tabi’in. Sehubungan dengan itu, Abu Bakar Ash-
Shiddiq ditanya tentang al-kalalah (orang meninggal yang tidak mempunyai anak
dan orang tua). Ia menjawab “aku berpendapat dengan ijtihad. Apabila itu benar,
semata-mata dari Allah. Akan tetapi, apabila itu salah, itu murni dariku dan dari
syetan.

4
Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar, Fushul fi Ushul At-Tasfir, ( Riyadh : Dar An-Nasyr Ad-Dauli 1993 ), 47.
5
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Jakarta : Amzah 2014 ), 163.
6
Al-Qurtubi, Jami’ li Ahkam Al-quran, (Tafsir Al-Qurtubi), juz I, (Kairo : Dar Al-Kutub Al-Mishiriyah 1994),
34.

4
Ijtihad yang dilakukan oleh sahabat seperti Abu Bakar merupakan tafsir bi
al-ra’yi al-mahmud karena berdasarkan pengatahuan yang memadai.
b. Hukum Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud
Menurut ulama, boleh menafsirkan ayat-ayat al-quran berdasarkan bahasa
dan nilai-nilai syariat. Hal itu dilandasi olet ayat berikut.
‫ولقد يسرنا القر أن للذكر فهل من مدكر‬
Artinya : dan sungguh, telah kami mudahkan al-quran untuk peringatan, maka
adakah orang yang mau mengambil pelajaran? ( QS. Al-Qamar (54) : 17 )
Di samping itu, ada ayat lain yang menganjurkan kita ber-istinbath untuk
menemukan solusi.
‫ولوردوه إلى الرسول وإلى أولى األمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم‬
Artinya : (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri
diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengatahui kebenarannya (akan
dapat) mengatahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (QS. An-
Nisa’ (4) : 83)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa mufassir dapat berijtihad mengenai
sebagian ayat al-quran dengan pengatahuan yang dimilikinya.
Sementara itu banyak sahabat yang menafsirkan ayat al-quran dengan
menggunakan kemampuan mereka. Hal itu menunjukkan bahwa tafsir bi ar-ra’yi
hukumnya boleh. Sementara itu, Abdullah bin Abbas banyak menafsirkan ayat al-
quran dengan alat bantu berupa syair-syair arab.
Dengan demikian, Ibnu Taimiyah menyatakan, “orang yang membicarakan
tafsir dengan didasari pengatahuan tentang bahasa arab dan syariat, tidak ada dosa
baginya”.7
c. Syarat Diterimanya Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud
Untuk menafsirkan al-quran dengan menggunakan ijtihad, seorang mufassir
harus memenuhi beberapa syarat agar hasil tafsirnya dapat diterima. Berikut ini
syarat-syarat diterimanya Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud :
1). Memiliki kutipan dari Rasululloah SAW. yang terjaga dari riwayat dha’if
dan mawdhu’.
2). Berpegang pada pendapat sahabat. Pendapat tersebut berkedudukan hokum
marfu’, terlebih lagi yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat.

7
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir, (Bairut : Dar Ibnu Hazm, 1994), 107.

5
3). Berpengang pada kemutlakan bahasa.
4). Berpegang pada petunjuk yang diisyaratkan oleh strukutur kalam dan
berpegang pada hal-hal yang ditunjukkan oleh syariat.
2. Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum
a. Pengertian Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum
Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum adalah tafsir yang menggunakan pendapat
semata, mengikuti hawa nafsu, tidak menggunakan ilmu, dan tidak melihat
pendapat ulama lain atau pendapat yang sesuai dengan ketentuan.
Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum dilarang oleh ulama salaf. Pelakunya
dikecam karena tafsir itu dilakukan atas dasar kefanatikan terhadap suatu
mazdhab dan mengurbankan agama.8 Dengan kata lain, jika menafsirkan al-quran
hanya berdasarkan hawa nafsu atau kepentingan individu dan sebuah pihak,
ikhtiar tersebut termasuk Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum yang harus ditolak.
b. Kemunculan Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum
Tafsir ini pada mulanya digunakan ulama untuk membela mazhab yang
diikuti. Selanjutnya mereka, mencari-cari sejumlah ayat Al-quran dapat
menguatkan pendapat mereka. Tidak hanya itu, meraka bahkan memaksakan
ayat-ayat al-quran sesuai dengan mazhab yang diikuti.
Tafsir bi al-ra’yi sebenarnya telah muncul sejak masa sahabat. Ketika itu
belum muncul bermacam-macam mazhab serta wilayah kekuasaan Islam belum
begitu luas sehingga tafsir tafsir belum diwarnai dengan beragam kepentingan.
Namun, waktu terus berjalan dan mazhab yang dianggap menyimpangpun
muncul. Hal itu mengakibatkan al-quran ditafsirkan dengan ijtihad yang
menyimpang serta tidak menggunakan tinjauan kebahasaan yang benar. Oleh
sebab itu, muncullah istilah Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum.
c. Hukum Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum
Hukum Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum itu haram dan hasilnya tidak boleh
di praktekkan karena banyak memberikan mudarat dan bahkan menyesatkan
manusia.
Ibnu Taimiyah menyatakan, “menafsirkan al-quran hanya berdasarkan
ijtihad hukumnya haram, ia juga berpendapat, diriwayatkan dari ulama bahwa

8
Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar, Fushul fi Ushul At-Tasfir, 47.

6
sahabat sangat hati-hati dalam menafsirkan al-quran”.9 Lebih lanjut ia
menyatakan, barang siapa yang menafsirkan al-quran dengan pendapatnya
sendiri, ia telah memaksakan sesuatu yang tidak dia ketahui dan melakukan
perbuatan yang tidak diperintahkan. Apabila ia memperoleh makna yang tepat, ia
tetap melakukan kesalahan. Ia bagaikan seorang hakim yang memberikan
keputusan pada seseorang, sementaraia sendiri tidak mengerti isi keputusan
tersebut. Dengan demikian nerakalah yang lebih pantas baginya, maskipun
pendapatnya sesuai dengan syariat, hanya saja dosanya lebih ringan daripada
mereka yang salah.10
Oleh sebab itu, ulama salaf merasa bersalah apabila menafsirkan al-quran
tanpa ilmu. Hal ini sebagaimana ungkapan Abu Bakar, Bumi manakah yang akan
menjadi tempat tinggalku dan langit manakah yang akan menaungiku apabila aku
menjelaskan tentang kitab Allah dengan hal-hal yang tidak aku ketahui.
Berikut ini adalah alasan-alasan yang menunjukkan haramnya tafsir bi al-
ra’yi al-madzmum.
1. Dalil dari Al-Quran
ٰۤ
َ َ‫ص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل اُولىِٕكَ َكان‬
‫ع ْنهُ َمسْـُٔ ْو ًَل‬ َ َ‫س ْم َع َو ْالب‬
َّ ‫ْس لَكَ ِب ٖه ع ِْل ٌم ۗا َِّن ال‬ ُ ‫َو ََل ت َ ْق‬
َ ‫ف َما لَي‬
Artinya : dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.
Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggung jawabannya. (QS. Al-Isra’ (17) : 36)

َ‫ّٰللا َما ََل تَ ْعلَ ُم ْون‬ َ ‫اِنَّ َما يَأ ْ ُم ُر ُك ْم بِالس ٰۤ ُّْوءِ َو ْالفَ ْحش َٰۤاءِ َوا َ ْن تَقُ ْولُ ْوا‬
ِ ‫علَى ه‬
Artinya : sesungguhnya (syetan) itu hanyalah menyuruh kamu agar berbuat
jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah.
(QS. Al-Baqarah (2) : 169)

َ‫اس َما نُ ِز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَعَلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُرون‬ ِ َ‫ٱلزب ُِر ۗ َوأَنزَ ْلنَا ٓ إِلَيْك‬
ِ َّ‫ٱلذ ْك َر ِلتُبَيِنَ لِلن‬ ِ ‫بِ ْٱلبَيِ َن‬
ُّ ‫ت َو‬
Artinya : (mereka kami utus) dengen membawa keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan Al-Dzikr (al-quran)
kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah

9
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir, 96.
10
Ibid.

7
diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (QS. An-Nahl (16)
: 44 )

2. Dalil dari Hadist


‫من قال في القرأن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار‬
Artinya : barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-quran tanpa
didasari pengatahuan, hendaknya ia memepati tempatnya di neraka. (HR. At-
Tirmidzi)

‫ فقد أخطاء‬،‫ فى كتاب هللا عز وجل برأيه فأصاب‬: ‫من قال‬


Artinya : Barang siapa yang berkata sesuatu mengenai kitab Allah Azza
Wajalla dengan pendapatnya sendiri dan sesuai dengan yang benar, sungguh
ia telah melakukan kesalahn. (HR. Abu Dawud)

C. Syarat Pokok Mufssir Dengan Metode Ra’yu

Para ulama memberlakukan syarat-syarat yang begitu ketat bagi seseorang untuk
dapat disebut mufassir. Hal ini tentu saja beralasan terutama bila kita mengamati sumber-
sumber ajaran Islam yang begitu ketat memberikan rambu-rambu bagi siapa saja yang
ingin memberikan pemahaman terhadap suatu ayat di dalam Alquran.

As-suyuthi mengutip pendapat zarkasyi dalam al-burhan mengenai syarat-syarat


pokok yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia boleh menafsirkan Al-qur’an
berdasarkan ra’yu (pendapat atau akal). Syarat-syarat pokok itu berkisar di sekitar empat
soal:

1. Berpegang pada hadits-hadits berasal dari Rasulullah Saw dengan ketentuan ia harus
waspada terhadap riwayat yang dha’if (lemah) dan maudlu’ (palsu).
2. Berpegang pada ucapan sahabat Nabi, karena apa yang mereka katakan, menurut
peristilahan hadis hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang
berkaitan dengan asbabun-nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat
(ra’yu).
3. Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa Arab, dan harus tetap berhati-hati jangan
sampai menafsirkan ayat-ayat, menyimpang dari makna lafadz yang semestinya,
sebagaimana banyak terdapat didalam pembicaraan orang-orang Arab.

8
4. Berpegang teguh pada maksud ayat, dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan
dan hukum syara’.11

Sedangkan untuk syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum menafsirkan Alquran
sebagai berikut :

1. Pengetahuan bahasa Arab dan kaedah-kaedah bahasa (ilmu tatabahasa, sintaksis,


etimologi dan morfologi)
2. Ilmu retorika (ilmu ma’ani, ilmu al-bayan dan al-badi’u)
3. Ilmu ushul al-fiqh (khasam, mujmal dan mufashshal)
4. Ilmu asbab al-nuzul (latar belakang dan hal-hal yang berkenaan dengan turunnya
wahyu)
5. Ilmu nasikh wa al-mansukh.
6. Ilmu qira’ah Alquran.

Namun demikian, sebagian ulama memandang bahwa Alquran adalah sebuah teks
yang senantiasa harus dapat diajak berdialog, kapan dan di mana pun. Akibatnya,
walaupun umat Islam menyepakati bahwa Alquran tidak mungkin mengalami
pengurangan dan penambahan, tidak berarti bahwa penafsiran terhadap Alquran tidak
boleh mengalami perubahan atau penyesuaian. Dengan demikian, tidaklah berlebihan
bahwa kemunculan berbagai metode penafsiran dapat dijadikan alasan bahwa penafsiran
adalah sesuatu yang dinamis.

D. Kedudukan, Kelebihan dan Kelemahan Tafsir bi Al-Ra’yi


Tafsir bi Al-Ra’yi memiliki peran penting dalam mengembangkan khazanah
intlektual Islam. Berikut ini penjelasannya :
1. Kedudukan Tafsir bi Al-Ra’yi
Tujuan tafsir adalah memenuhi kebutuhan ummat terhadap pemahaman kitab
Allah dan menjelaskan hal-hal yang belum dapat dipahami. Apabila tidak ditemukan
riwayat, mufassir dituntut untuk berijtihad. Sehubungan dengan itu, yang mula-mula
menafsirkan al-quran dengan ijtihad adalah madrasah kufah yang dipelopori oleh
Abdullah bin Mas’ud.

11
Dr. Subhi As-Shalih, Mabahis Fi Ulumil-Qur’an, (Lebanon: Darul- Ilm Lil-Malayin 1985) cet. 16, 386-387.

9
Tidak seluruh ayat al-quran ditafsirkan oleh generasi awal. Oleh sebab itu,
Tafsir bi Al-Ra’yi memiliki peran yang sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat
yang belum ditafsirkan. Tidak hanya itu, Tafsir bi Al-Ra’yi mampu menyuguhkan
pemahaman baru sehingga al-quran dapat tetap berlaku sepanjang masa.
2. Kelebihan Tafsir bi Al-Ra’yi
Madrasah kufah jauh dari pusat Islam. Oleh sebab itu, madrasah tersebut fokus
pada tafsir bi Al-Ra’yi. Selanjutnya, Tafsir bi Al-Ra’yi memiliki beberapa kelebihan,
sebagai berikut :
a. Melakukan Tafsir bi Al-Ra’yi sama saja melakukan perintah Allah SWT., yaitu
bertijhad.
b. Tafsir bi Al-Ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna kitab Allah
SWT.
c. Tafsir bi Al-Ra’yi menjadikan disiplin ilmu al-quran terus berkembang.
d. Tafsir bi Al-Ra’yi dapat mengadaptasikan al-quran sesuai dengan kehidupan masa
kini.
e. Para mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat-ayat al-quran secara
dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi.
Dengan kata lain, mufassir boleh berijtihad untuk memproleh pemahaman baru
serta meng-istinbath-kan makna dan hikmah al-quran. Sehubungan dengan itu,
Abdullah Syahatah menyatakan bahwa terpengaruhnya tafsir dengan disiplin ilmu
yang digeluti mufassir bukanlah sesuatu yang negatif selama tidak menjadikan al-
quran hanya sebagai kitab pengatahuan.12 Dengan demikian, segala bentuk ijtihad
yang tidak membuat manusia berpaling dari al-quran tidaklah dilarang.
3. Kelemahan Tafsir bi Al-Ra’yi

Kelemahan tafsir ini terutama terdapat pada kemungkinan penafsiran Al-quran


yang dipaksakan, subjektif dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara
pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecendrungan subjektivitas
mufassirnya. Terus diantara mufassir kadang ada yang menulis tafsirnya dengan
ungkapan yang indah dan menyusupkan mazhabnya kedalam untaian kalimat yang
dapat memperdaya banyak orang sebagaimana yang dilakukan penulis tafsir Al-
Kasysyaf dalam menyisipkan faham ke-mu’tazilah-annya.13 Sekalipun diantara

12
Abdullah Syahatah, Ulum At-Tafsir, ( Tt: Dar Asy-Syuruq, 2001), 27.
13
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Al-Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), 488.

10
mereka terdapat juga ahli kalam yang men-ta’wilkan ayat-ayat sifat dengan selera
mazhabnya. Golongan ini lebih dekat ke mazhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dari pada
ke Mu’tazilah. Akan tetapi jika mereka membawakan penafsiran yang bertentangan
dengan mazhab sahabat dan tabi’in, maka sebenarnya mereka tidak ada bedanya
dengan mu’tazilah dan ahli bid’ah lainnya.

E. Pandangan Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra’yi


1. Pendapat Sahabat
Dari Anas dia berkata bahwa Umar bin Al-Khathtab berada diatas mimbar
membaca ayat “wa fakihatan wa abban (QS. Abasa (80) : 31).” Ia mengungkapkan, kita
telah mengatahui arti al-fakihah. Akan tetapi, apa arti dari al-abba? Ia kemudian
mengembalikan kepada dirinya dan berujar, sesungguhnya ini merupakan pemaksaan
wahai Umar. Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ibnu Abbas ditanya btentang suatu ayat,
seandainya sebagian diantara kalian yang ditanya, niscaya bergegas untuk berpendapat
tentang ayat tersebut. Akan tetapi (Ibnu Abbas) tidak mau berpendapat tentang ayat
tersebut.14 Dikalangan para sahabat sering terjadi perbedaan penafsiran, maskipun al-
quran yang mereka baca itu sama. Sehubungan dengan itu, perlu diketahui bahwa tidak
seluruh tafsir Nabi Muhammad SAW. Mengenai al-quran sampai ke semua sahabat.
Oleh karena itu, selebihnya mereka berijtihad.15 Dengan banyaknya perbedaan diantara
sahabat, menunjukkan diperkenankannya menafsirkan al-quran dengan ijtihad.
2. Pendapat Tabi’in
Masruq berkata takutlah kamu tentang tafsir. Sesungguhnya tafsir itu
menyampaikan riwayat tentang Allah. Selain itu Asy-Sya’bi berujar, Demi Allah,
semua ayat telah aku tanyakan. Akan tetapi, menjelaskan tentang pemahaman ayat
sama artinya dengan menyampaikan riwayat (penjelasan dari) Tuhan.16
Pernyataan Masruq dan Asy-Sya’bi menunjukkan bahwa menafsirkan al-quran
sama artinya dengan menjadi juru bicara Allah SWT. Akan tetapi, tafsir yang
disampaikan belum tentu sesuai dengan keinginan Allah sehingga hal itu menunjukkan
bahwa tidak sepantasnya manusia memberikan penjelasan tentang maksud-Nya yang ia
sendiri belum pernah mendengar penjelasan langsung dari-Nya.

14
Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, juz 1, (Bairut : Mu’assaah Al-Risalah, 2000), 63.
15
Ibid., 170.
16
Ibid., 87.

11
Disamping itu Yazid bin Abi Yazid berkata, kami selalu menanyakan tentang
halal dan haram kepada Sa’id bin Al-Musayyab karena ia orang yang paling alim pada
masanya. Akan tetapi, apabila kami menanyakan tentang tafsir al-quran kepadanya, ia
terdiam seolah-olah tidak mendengar pertanyaan kami.17
3. Pendapat Ulama
Ulama berbeda pendapat mengenai tafsir bi Al-Ra’yi. Ada yang menerima dan
ada pula yang menolak.
Ulama yang menerima tafsir bi Al-Ra’yi memiliki sejumlah alasan, berikut ini
alasan-alasan tersebut :
a. Banyak ayat al-quran yang mendorong manusia agar mau mempelajari al-quran
kemudian meng-istinbath-kan makna-maknanya, diantaranya ayat berikut :
‫اخت ََِلفًا َكثِي ًْرا‬
ْ ‫ّٰللا لَ َو َجد ُْوا فِ ْي ِه‬ َ ‫اَفَ ََل يَتَدَب َُّر ْونَ ْالقُ ْرانَ ۗ َولَ ْو َكانَ مِ ْن ِع ْن ِد‬
ِ ‫غي ِْر ه‬
Artinya : maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya
Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak didalamnya. ( QS. An-Nisa’ (4) : 82 )

ِ ‫اركٌ ِل َي َّدب َُّروا آ َيا ِت ِه َو ِل َيتَذَ َّك َر أُولُو ْاْل َ ْل َبا‬


‫ب‬ َ ‫ِكتَابٌ أ َ ْنزَ ْلنَاهُ إِلَيْكَ ُم َب‬
Artinya : ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. ( QS. Shad (38) : 29 )
b. Apabila tafsir bi Al-Ra’yi terlarang, berarti ijtihad dalam hal apapun juga
terlarang. Jika demikian, hukum mengalami kejumudan.18 Akan tetapi,
kenyataannya ijtihad itu diperintahkan, termasuk ijtihad tentang makna-makna al-
quran.
c. Doa Nabi Muhammad SAW. Kepada Ibnu Abbas.
Rasulullah pernah berdoa agar Ibn Abbas diberikan pemahaman dalam agama
dan diberi pengetahuan tentang takwil. Jika takwil dibatasi pada al-sama
(periwayatan), dan al-naql (penyampaian) seperti al-tanzil (pewahyuan), maka
tidak ada alas an sedikit pun memohon doa khusus untuk Ibn Abbas. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa al-tawil mengacu kepada tafsir bi al-ra’yi.

17
Ibid., 86.
18
Khalid Abdurrahman, Ushul At-Tafsir wa Al-Qawa’idih, (Damaskus: Dar An-Nafa’is, 1986), 169.

12
Sementara itu, ulama yang menolak tafsir bi Al-Ra’yi memiliki sejumlah
alasan tersendiri. Berikut ini alasan-alasan tersebut :
a. Tafsir bi Al-Ra’yi merupakan interpretasi kalam Allah tanpa dilandasi
pengatahuan. Hal itu dilarang karena mufassir memberikan penjelasan tanpa
adanya keyakinan.19 Dengan kata lain, mufassir memberikan penjelasan dengan
keraguan, padahal keraguan tidak dapat dijadikan argument.
b. Berpendapat harus dilandasi pengatahuan. Hal ini disebutkan dalam dua ayat
berikut.
‫وَل تقف ماليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤَل‬

Artinya : dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung
jawabannya. ( QS. Al-Isra’ (17) : 36 )

‫قل إنما حرم ربي الفواحش ما ظهر منها وما بطن واإلثم والبغي بغير الحق وأن تشركوا باهلل مالم ينزل به‬
‫سلطانا وأن تقولوا على هللا ماَل تعلمون‬

Artinya : Katakanlah Muhammad, Tuhanku hanya mengharamkan segala


perbuatan keji yang terlihat dan yang tersmbunyi, perbuatan dosa, perbuatan
zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukn
Allah dengan sesuatu, sedangkan dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan
(mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu
ketahui. (QS. Al-A’raf (7) : 33)

c. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW. Tidak boleh menafsirkan al-quran


tanpa pengatahuan.
‫ومن قال فى القرأن برأيه فليتبوأ مقعده من النار‬
Artinya : Barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-quran tanpa didasari
pengatahuan, hendaknya ia menempati tempatnya di neraka. (HR. At-Tirmidzi)
‫ومن قال فى القرأن برأيه فأصاب فقد أخطاء‬
Artinya : Barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-quran berdasarkan
pendapatnya sendiri dan sesuai dengan yang benar, sungguh ia telah melakukan
kesalahan. (HR. Abu Dawud)

19
Ibid., 168.

13
Berdasarkan penjabaran mengenai ulama yang menerima atau menolak
tafsir bi al-ra’yi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan mereka hanya bersifat
lafzhi-redaksional, bukan bersifat haqiqi, tafsir bi al-ra’yi diperbolehkan apabila
sesuai dengan kaidah. Sebaliknya tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan apabila
tidak sesuai dengan kaidah.20

F. Problematika Tafsir bi al-Ra’yi


1. Problem Subjektivitas dalam Penafsiran
Subjektivitas adalah salah satu faktor penyebab terjadinya kesalahan dalam
penafsiran. Artinya, untuk menghasilkan penafsiran yang benar, sang penafsir harus
membuang jauh-jauh unsur subjektif dirinya. Pertanyaannya kemudian, mungkinkah
dalam proses penafsiran sang penafsir dapat membuang unsur subjektif dirinya?
Bukankah dalam proses penafsiran, unsur subjektif sang penafsir tidak bisa dilepaskan
dari diri sang penafsir itu sendiri mengingat sang penafsir adalah makhluk subjektif,
yakni subjek yang melakukan penafsiran? Bahkan dalam filsafat ilmu (baca:
epistemologi), subjektivitas manusia telah menjadi aliran pemikiran tersendiri, yakni
subjektivisme. Aliran ini menyatakan bahwa obyek dan kualitas yang kita ketahui
dengan perantaraan indera kita tidak berdiri sendiri, lepas dari kesadaran kita
terhadapnya. Artinya, tidak ada realitas yang berdiri sendiri terlepas dari persepsi kita
terhadapnya. Semua realitas adalah hasil bentukan persepsi manusia.21 Jika demikian
halnya, bagaimana mengatasi dilema subjektivitas (yang menjadi penyebab kesalahan,
di satu sisi, dan menjadi unsur tak terpisahkan, di sisi lain) ini dalam penafsiran?
Untuk menjawab dilema ini, satu hal perlu ditegaskan, subjektivitas penafsir
pasti ada dalam proses penafsiran, namun tidak semua subjektivitas itu menjadi
penyebab kesalahan. Subjektivitas yang menjadi penyebab kesalahan adalah
subjektivitas yang tidak lagi menghiraukan rambu-rambu penafsiran yang sudah
digariskan para ahli tafsir, subjektivitas yang berusaha menaklukkan nash di bawah
kepentingan pribadi atau mazhabnya. Subjektivitas macam ini adalah subjektivitas
negatif yang tercela yang, menurut sebagian riwayat, diancam masuk neraka. Namun,
jika subjektivitasnya masih mengikuti kaidah-kaidah penafsiran yang disepakati para

20
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, 160-161.
21
Harold H. Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H. M. Rajidi, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
218-227.

14
ulama tafsir disertai niat ijtihad mencari kebenaran, maka subjektivitas macam ini
adalah subjektivitas yang dibenarkan. Subjektivitas macam inilah yang dikehendaki
agar sang penafsir juga bertindak objektif. Semakin sang penafsir mengikuti rambu-
rambu penafsiran dan diikuti sikap penuh kejujuran, semakin ia bertindak objektif,
walaupun untuk bisa sampai pada tingkat objektif seratus persen adalah juga mustahil.
Maka yang mungkin dilakukan adalah meminimalkan subjektivitas untuk dapat masuk
ke ruang-ruang objektivitas atau mengintegrasikan subjektivitas dan objektivitas.22
Dalam contoh ini, tentu kita tidak bisa serta merta menilai bahwa subjektivitas
sang penafsir adalah subjektivitas negatif yang tercela sebelum kita betul-betul
menilainya secara ilmiah karena bisa jadi sang penafsir mendasarkan pendapatnya pada
kaidah tafsir juga. Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah kejujuran dan sikap objektif
kita sebagai penilai. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui
keobjektifan penafsir. Pertama, prosedur penafsiran terbuka untuk umum dan dapat
diperiksa oleh peneliti/penafsir lain. Kedua, definisi-definisi yang dibuat dan digunakan
tepat dan berdasarkan konsep- konsep dan teori-teori penafsiran yang ada. Ketiga, data-
data penafsiran dikumpulkan, dianalisis dan ditafsirkan secara objektif berdasarkan
metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Keempat, secara konsisten
menggunakan metode, pendekatan dan prosedur penafsiran yang disepakati para ahli
tafsir dan ulumul Qur’an.23
2. Anomali Tafsir bi al-Ra’yi
Anomali diukur dengan standar tidak terpenuhinya persyaratan seorang mufasir
dalam ittijâh dan manhaj dari segi kualitas maupun etika. Sedangkan pada penafsiran
mempertimbangkan tidak ada pertentangan penafsirannya dengan ayat al-Quran, hadis
dan akal sehat. Jika standar ini tidak terpenuhi, maka akan menyebabkan kualitas
penafsiran masuk dalam katagori anomali. Dalam khazanah tafsir, upaya menggali dan
menjelaskan makna alQuran dengan bentuk tafsir bi al-ra’yi telah banyak dilakukan
para mufasir, di antaranya adalah al-Zamakhshari, Abduh, al-Tabâtabâ’î, dan Shahrûr.
Sekalipun al-Zamakhsharî memandang al-quransebagai kitab suci sumber pedoman
umat Islam yang absolut kebenarannya, tetapi ia memandang akal sebagai perangkat
tertinggi untuk melakukan penilaian dan dapat menjadi hakim dalam menetapkan
sesuatu. Statemen ini mempunyai relevansi dengan paham Mutazilah yang memahami

22
Muhammad Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir, cet. 1 (Jakarta: Azzamedia, 2015), 208-209.
23
Muhammad Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir..., 205-206.

15
bahwa kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal meskipun tanpa
ditunjukkan dan dituntun oleh wahyu. Artinya, kerangka kebaikan atau keburukan yang
dipandang akal akan sesuai dengan wahyu. Atas keselarasan itu, golongan Mutazilah
atau al-Zamakhsharî memandang bahwa akal tidak akan mungkin bertentangan dengan
wahyu.
Pandangan ini sejalan dengan mayoritas mufasir, dengan alasan bahwa akal dan
wahyu yang sama-sama ciptaan Allah saling mendukung satu sama lainnya. Jika terjadi
pertentangan antara keduanya, perlu perenungan dalam melihat keduanya.
Pertimbangan ini diperlukan, dengan tidak lantas menjustifikasi kemenangan wahyu
atas akal, karena al-Zamakhsharî bukan orang yang beraliran rasionalis-materialis, akan
tetapi seorang Muslim militan yang berpegang teguh kepada al-quran dan mempunyai
banyak pengetahuan tentang ajaran Islam. Tentunya pilihan al-Zamakhsharî
mengutamakan akal daripada wahyu, bukan tanpa alasan dan tanpa dasar-dasar yang
kuat. Jika direnungkan, secara fitrah akal mempunyai kekuatan dan mampu menelaah
berbagai hal yang terkadang tidak mungkin, sekalipun terhadap sesuatu yang bersifat
metafisik. Banyak hal yang telah ditemukan dan dipetakan akal, padahal sebelumnya
dipandang mustahil. Dalam hal ini, jika akal mengkaji ayat-ayat al-quran yang tidak
dicegah Allah untuk memikirkannya (ijtihâd), hasil yang diperolehnya akan
mendapatkan nilai kebenaran (pahala) sekalipun ada kemungkinan tidak sesuai dengan
yang dikehendaki-Nya. Namun, bila akal tetap berusaha menjelaskan suatu ayat
sementara Allah sendiri mencegah manusia untuk memikirkannya, maka akal secara
pasti tidak akan mampu mencapai pada substansinya. Secara riil, sampai saat ini dan
seterusnya substansi ruh dan datangnya hari kiamat tidak akan mampu ditetapkan akal,
karena itu urusan Allah dan hanya Dia yang mengetahuinya. Jika kekuatan akal tetap
dipaksakan untuk hal seperti ini, maka penafsiran yang dilakukan akan rentan
mengalami kekeliruan. Ulama yang mengedepankan akal daripada nash patut dicurigai
mengalami hal ini. Apalagi dasar penafsiran itu dilatarbelakangi kepentingan aliran
yang mereka dukung, sehingga kemungkinan besar akan menjerumuskan ke dalam
dugaan yang keliru yang tidak dapat dibenarkan. Jika demikian yang terjadi, penafsiran
yang muncul lebih kepada penarikan secara paksa terhadap ayat-ayat al-quran untuk
melegitimasi kepentingan masingmasing mufasir. Ini dapat dilihat pada al-Zamakhsharî
yang mencoba merasionalisasikan ayat al-quranagar sesuai dengan prinsip aliran
Mutazilah. Demikian pula al-Tabâtabâ’î yang melakukan pembelaan terhadap paham

16
Syiah, terutama dalam masalah kepemimpinan umat Islam (imâmah).24 Termasuk al-
Tabarî yang membela paham Sunnî, meskipun ia sendiri mencela fanatisme mazhab
dan menyandarkan akalnya pada nash. Hal itu pun menjangkiti Abduh yang rasional,
sekalipun ia mencela fanatisme mazhab dan Shahrûr yang memaksa al-Quran dan
penafsirannya agar mengikuti ilmu pengetahuan.
Jadi pengultusan akal ataupun ide sebagai penguasa dalam menafsirkan al-
Quran, akan menjadikan produk tafsir mengalami manipulasi dan monopoli
kepentingan. Begitu pula, bila dipengaruhi oleh kepentingan melegitimasi ilmu
pengetahuan atau fanatisme mazhab. Maka mufasir haruslah orang menggunakan akal
dengan sekuat tenaga dalam penafsiran tanpa mengabaikan al-quranatau hadis dengan
penuh kesadaran dan mendasarkan akal tanpa melampaui nash, sehingga ia tidak
terlempar jauh dari pengetahuan Nabi sebagai Rasulullah yang lebih tahu kandungan
al-quransetelah Allah, dalam mengungkap makna Firman-Nya.

24
Rosihan Anwar, Samudera al-Quran, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), 249.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran al-quran yang dilakukan berdasarkan ijtihad
mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa arab dari berbagai aspeknya serta
mengenali lafal-lafal bahasa arab dan segi-segi argumentasinya yang dibantu dengan
menggunakan syair-syair serta mempertimbangkan sebab nuzul, dan lain-lain sarana yang
dibutuhkan oleh mufassir. Intinya, yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi adalah
menafsirkan al-quran dengan lebih mengutamakn pendekatan kebehasaan dari berbagai
seginya yang sangat luas (ijtihad).
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad
atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi
kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang
menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulamak berbeda-beda
pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan
hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi jugak demikian adanya. Ada yang
dianggap benar/tepat yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang
dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Khalid. Ushul At-Tafsir wa Al-Qawa’idih. Damaskus: Dar An-Nafa’is. 1986.


Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu Al-Quran. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. 2013.
Al-Qurtubi, Jami’ li Ahkam Al-quran. (Tafsir Al-Qurtubi). juz I. Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishiriyah 1994.
Anwar, Rosihan. Samudera al-Quran. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2001.
As-Shalih, Dr. Subhi. Mabahis Fi Ulumil-Qur’an. Lebanon: Darul- Ilm Lil-Malayin 1985.
As-Shobuni, Ali. At-Tibyan fi Ulumil Qur’an. Jakarta: Darul Kitab Al-Islamiyah 1999.
Ath-Thabari, Ibnu Jarir. Tafsir Ath-Thabari. juz 1. Bairut : Mu’assaah Al-Risalah. 2000.
Ath-Thayya,. Musa’id Sulaiman. Fushul fi Ushul At-Tasfir. Riyadh : Dar An-Nasyr Ad-Dauli 1993.
Samsurrohman. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta : Amzah 2014.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2014.
Syahatah, Abdullah. Ulum At-Tafsir. Tt: Dar Asy-Syuruq. 2001.
Taimiyah, Ibnu. Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir. Beirut: Dar Ibnu Hazm. 1994.
Titus, Harold. H. dkk.. Persoalan-persoalan Filsafat. terj. H. M. Rajidi. cet. 1. Jakarta: Bulan Bintang. 1984.
Ulinnuha, Muhammad. Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir. cet. 1. Jakarta: Azzamedia. 2015.

19

Anda mungkin juga menyukai