Anda di halaman 1dari 17

TAFSIR BIL MASTUR DAN TAFSIR BIL RAYI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Quran

Dosen Pengampu: Dr. M. Saad Ibrahim, M.A.

M. ABDUL HAKIM

NIM: 15781026

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak dahulu kajian tafsir cukup mendapat perhatian dan berkembang cukup
pesat dalam tradisi keilmuan Islam. Kajian itu terkemas dan tersusun rapi dalam
semua data-data ilmu tafsir dengan aneka corak penulisan. Para ulama telah
mencoba mengklasifikasikan corak penafsiran al-quran dari berbagai sudut
pandang dan dengan tingkat keterkaitan yang berbeda. Ada yang menukik kepada
pokok persoalan yang diangkat al-quran dan ada yang hanya menyentuh kulitnya
saja.
Dalam pembahasan dikotomi penafsiran, tafsir dapat dibagi menjadi dua,
pertama tafsir dengan penukilan atau riwayah (tafsir bil mastur) dan yang kedua,
penafsiran dengan pendapat atau rasio (tafsir bir rayi). Penafsiran secara rasional
seakan diposisikan dalam kedudukan yang kedua setelah tafsir bil mastur.
Kelahiran tafsir bir rayi selain karena kebutuhan mendesak pada zamannya,
juga sebagai kritik membangun terhadap aliran tafsir bil riwayah atau bil mastur,
yang dianggap terlalu sedikit dan rigid. Dan kedua hal ini lah yang akan dibahas
lebih lanjut oleh penulis dalam makalah ini, yakni tafsir bil mastur dan tafsir bir
rayi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir bil mastur dan tafsir bil rayi?
2. Apa kelebihan dan kelemahan tafsir bil mastur dan tafsir bir rayi?

1
BAB II
DESKRIPSI

A. Pengertian Tafsir Bil Mastur

Kata al mastur adalah isim maful dari kata ) - ( yang


secara etimologis berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan
atau menghormati (akrama). al-atsar juga berarti sunah, hadis, jejak, pengaruh dan
kesan. Jadi kata al mastur, al naql atau al manqul dan ar riwayah pada hakikatnya
mengacu pada makana yang sama yaitu mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang
sudah ada dari orang lain atau masa lalu.1
Sejalan dengan pengertian harfiah diatas Muhamad bin Ali As-Shabuni,
memformulasikan tafsir bi riwayah sebagai berikut; Tafsir bi mastur/riwayah
ialah tafsir yang terdapat dalam al-Quran atau al-Sunah atau pendapat sahabat,
dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt tentang penafsiran
al-Quran berdasar al-Sunah Nabawiyah. Dengan demikian maka tafsir bi mastur
adakalanya menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan al-Sunnah
atau menafsirkan al-Quran dengan pendapat sahabat.2
Dari definisi diatas bisa dikemukakan bahwa tafsir bil riwayah/mastur
dapat dibdakan dalam tiga bentuk:
1. Tafsir al-Quran Dengan al-Quran
Allah berfirman:

Artinya: Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, kecuali yang
diterangkan kepadamu.3

Kata: ( ) ditasirkan dengan ayat lain:

1
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 47-48.
2
Muhammad Ali Sabuni dalam Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran 2 (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 48.
3
QS. Al-Hajj (22): 30.

2



Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.4

2. Penafsiran Al-Quran Dengan Hadis


Allah berfirman:



Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi.5

Nabi menafsirkan kata ( )dengan ( )yang artinya panah. Sabda


Nabi ingat sesungguhnya kekuatan adalah anak panah.

3. Penafsiran Al-Quran Dengan Pendapat Sahabat


Tafsir sahabat ini juga termasuk tafsir yang bisa diterima sebagai
pegangan. Karena para sahabat telah berkumpul dengan Rasulullah Saw. Dan
mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tau asbabun nuzul,
mereka mempunyai kesucian jiwa, dan keunggulan dalam memahami secara
benar dan selamat terhadap kalam Allah Swt.6
Adapun tafsir para tabiin ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Sebagian ulama berpndapat, tafsir itu termasuk mastur, karena para tabiin
itu bertemu sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir mereka sama dengan
tafsir bir rayi. Artinya, para tabiin itu mempunyai kedudukan yang sama
dengan mufasir yang hanya menasirkan berdasarkan kaidah bahasa Arab.7

B. Pengertian Tafsir Bir Rayi

4
QS. Al-Maidah (5): 3.
5
QS. Al-Anfal (8): 60.
6
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ath Thibyan Fi Ulumi Al-Quran. Terj: Muhammad Qodirun Nur
(Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hlm.105.
7
Ibid., hlm.106.

3
kata ( )berakar dari kata ( - ) yang artinya
mengerti, mengetahui dan memahami. Kata dirayah merupakan sinonim dengan
kata rayun ( )yang berasal dari kata ( - ) yang berarti melihat
(bashara), mengerti (adraka), menyangka atau mengira atau mnduga (basiba).
Kata ar rayu juga bisa diartikan dengan Itiqad, akal pikiran, ijtihad dan bahkan
qiyas (analogi).8
Adapun yang dimaksug tafsir bi al-rayi adalah: penafsiran al-Quran yang
dilakukan berdasarkan ijtihad mufasir setelah menggali lebih dahulu bahasa arab
dari berbagai aspeknya serta mengenali lafad-lafad bahasa Arab dan segi
argumentasinya serta mempertimbangkan asbabun nuzul dan sarana lain yang
dibutuhkan oleh mufasir.9
Yang intinya ialah menafsirkan al-Quran dengan lebih mengutamakan
pendekatan kebahasaan dari berbagai seginya yang luas dengan dasar dan kaidah
yang benar. Jadi jelas bahwa tafsir bir rayi bukanlah sekedar berdasarkan
pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar gagasan yang terlintas dalam fikiran
seseorang, apalagi hanya semaunya saja.
Menurut al-Qurtubi r.a: barangsiapa berkata tentang al-Quran
(menafsirkan) dengan sesuatu dugaan atau gagasan yang terlintas dalam fikirannya
tanpa ada dasarnya, maka dia telah salah dan tercela.10 Seperti halnya sabda Nabi
Saw.

) ( .
Artinya: Barang siapa berkata tentang al-Quran dengan pendapatnya, maka
ambillah tempat duduknya di neraka.11
Menurut al Qurtubi, hadis diatas mempunyai dua penafsiran: pertama,
yaitu barang siapa berkata tentang al-Quran dengan sesuatu yang sama sekali

8
Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran. hlm.70-71.
9
Ibid.
10
Ali Ash-Shabuni, Ath Thibyan. hlm. 249.
11
Ibid.

4
tidak dia ketahui dari mashab sahabat atau tabiin, berarti dia telah menghadapi
kemarahan Allah Swt. Kedua, barangsiapa berkata sesuatu tentang al-Quran
padahal dia tahu bahwa yang benar bukanlah itu, maka ambillah tempat duduknya
di neraka.12
Lantas al-Qurtubi memilih yang kedua. Dan itulah yang lebih tepat di
antara dua penafsiran tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa mana ar rayu
dalam hadis di atas adalah al hawa yang berarti kehendak. Jadi barang siapa
berkata sesuatu tentang al-Quran menurut kehendak sendiri, meskipun dia benar
tetap dianggap salah. Karena dia telah menetapkan suatu hukum pada al-Quran
dengan tidak mengetahui dasarnya serta tidak berpegang pada mazhab ahli astar
dan menuqilnya.13

Pembagian Tafsir bir Rayi:


1. Tafsir Mahmud
Adalah penafsiran yang sesuai dengan tujuan syari, yang jauh dari
kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah bahasa Arab serta
berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash al-Quran al-
karim.14 Jadi barangsiapa menafsirkan al-Quran dengan pendapatnya,
yakni dengan ijtihadnya dan dengan memenui syarat-syarat tersebut,
dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat al-Quran, maka
penafsiran itu telah patut disebut tafsir mahnud.
Contoh dalam menafsirkan kata dzarrah (
) dalam surah al-
Zalzalah ayat 7 dan 8, dengan benda- benda terkecil misalnya, atom,
newton dan energi yang oleh ulama-ulama klasik ditafsirkan sebagai biji
sawi, biji gandum, dan lain-lain. Demikian pula kata al-qalam ( )dalam
surah al-Alaq dan surah al-Qalam. Kata al-qalam oleh mfasir klasik (salaf)

12
Ali Ash-Shabuni, Ath Thibyan. hlm. 250-251.
13
Ibid.
14
Ibid,. hlm. 252.

5
bahkan mufasirin kontemporer (khalaf) sekalipun umum diartikan dengan
pena. Penafsiran yang demikian tentu tidak salah, mengingat alat tulis yang
paling tua yang dikenal manusia adalah pena. Tapi kata qalamun ketika
diartikan yang lain, misalkan pensil, pulpen spidol, mesin tik, dan
komputer pada zaman sekarang juga dapat di benarkan mengingat arti asal
qalamun seperti dalam kamus adalah alat yang digunakan untuk menulis.15
2. Tasir Madzmum
Tafsir al madzmum adalah penfsiran al-Quran tanpa dasar ilmu.
Atau dengan kehendaknya sendiri tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa
atau syariah, atau menafsirkan ayat Allah berdasarkan mazhabnya yang
rusak maupun bidahnya yang yang tersesat, atau dengan sengaja dia
menyimpangkan apa yang ditekankan Alah Swt. padahal dia tau bahwa
kehendak Allah itu demikian dan demikian. Tafsir semacam ini yang
disebut tafsir al madzmum atau tafsir al batil.16
Contoh: firman Allah Swt.



Artinya: (Ingatlah) suatu hari (kiamat) Kami panggil tiap-tiap manusia
dengan imamnya.17
Orang bodoh yang mengaku alim menafsiri ayat tersebut bahwa:
Allah memanggil manusia pada hari kiamat dengan nama ibunya karena
hendak menutupi mereka.

Mereka menafsirkan kalimat al-Imam dengan kalimat al-


Ummahat. Dia mengira bahwa kata al-Imam bentuk jamak dari kata
al-Ummahat seperti terdapat dalam firman Allah Swt.

15
Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran. hlm.73.
16
Ali Ash-Shabuni, Ath Thibyan. hlm. 252.
17
QS. Al-Isra (17): 71.

6



Artinya: Dan ibu-ibu yang menyusukanmu.18
Jadi jelas bahwa yang dimaksud kata imam bukanlah bentuk
jamak dari kata ummun. Karena akan menyalai tata bahasa dan syara.

C. Sumer-sumber penafsiran
Sumber-sumber yang harus diambil sebagai dasar penafsiran itu ada
empat seperti yang diterangkan oleh imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-
Itqan:19
1. Menukil dari Rasulullah Saw. Dengan teliti dan meninggalkan yang
dhaif dan maudu.
2. Mengambil dari ucapan sahabat dalam menafsirkan. Karena ucapan para
sahabat memiliki kedudukan hukum marfu.
3. Mengambil bahasa Arab secara mutlak. Sesungguhnya al-Quran itu
diturunkan dengan bahasa Arab yang terang. Serta meninggalkan apa
yang tidak tepat yang terkandung dalam bahasa Arab.
4. Mengambil sesuatu yang sesuai dengan kalam dan berdasarkan aturan
syara. Seperti doa Nabi Saw. Untuk Ibnu Abbas r.a:


Artinya: Ya Allah, pahamkan dia pada agama serta ajarkan kepadanya
takwil.
BAB III
ANALISIS

A. Kelebihan Dan kelemahan Tafsir Bil Mastur

18
(QS. An-Nisa: 23)
19
Jalaludin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiy, 2012), hlm. 576-
577.

7
tafsir bi mastur, memiliki kedudukam yang sangat tinggi dan diunggulkan
posisinya, tapi tidak berarti kitab-kitab tafsir bil mastur/riwayah terlepas dari
berbagai kelemahan. Terutama ketika dihubungkan dengan tafsir al-Quran yang
diwarisi dari sahabat dan tabiin. ada beberapa kelemahan didalamnya,
diantaranya:20
1. Mencampuradukkan antara yang sahih dengan yang tidak sahih, seperti
dapat dikenali dari berbagai informasi yang dinisbatkan kepada sahabat dan
tabiin tanpa memiliki rangkaian sanad yang valid, sehingga membuka
peluang antara yang hak dan yang batil.
2. Dalam kitab tafsir bir riwayah sering dijumpai kisah-kisah Israiliyyat, yang
penuh dengan kufarat, tahayul, dan bidah yang sering kali meodai akidah
Islam.
3. Sebagian pengikut mazhab-mazhab tertentus seringkali mengklaim pendapat
mufasir-mufasir tertentu misalnya tafsir Ibnu Abbas tanpa membuktikan
kebenaran yang sesungguhnya.
4. Sebagian orang kafir zindiq yang memusui orang Islam serigkali
menyisipkan (kepercayaannya) melalui sahabat dan tabiin sebagaimana
mereka juga berusaha menyisipkannya melalui Rasulullah Saw. Di dalam
hadis-hadis nabawiyah. Guna menghancurkan Islam dari dalam.

Setelah kita cermati beberapa kelebihan tafsir bi mastur/bir riwayah, dan


sekaligus kelemahan-kelemahannya, maka kita dapat mengerti jika tafsir bi
mastur/bir riwayah, dapat kita kelompokkan menjadi dua, yakni tafsir bi riwayah
yang sahih dan tidak sahih. Tafsir riwayah yang sahih yakni tafsir yang didasarkan
kepada periwayatan yang sanad maupun matannya dapat dipertanggung jawabkan
ilmu hadis. Sedangkan tafsir bir riwayah yang tidak sahih adalah tafsir yang
didasarkan kepada riwayat-riwayat yang tidak dapat dibenarkan.

20
Ali Ash-Shabuni, Ath Thibyan. hlm. 106-107.

8
B. Pendapat Ulama Terhadap Tafsir Bir Rayi
Mengenai boleh dan tidaknya tafsir bir rayi, para ulama berbeda pendapat
yang terbagi menjadi dua mazhab:
1. Mazhab pertama, berpendapat bahwa tafsir bir rayi tidak diperbolehkan
mereka mengetengahkan argumentasi sebagai berikut:21
a. Sesungguhnya tafsir bir rayi adalah mengatakan sesuatu tentang
kalamullah tanpa berdasarkan suatu ilmu, ini jelas dilarang. Sebagaimana
firman Allah Swt:



Artinya: dan (supaya kamu) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak
kamu ketahui.22
b. Adanya ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi yang
menafsirkan Al-Quran dengan pendapatnya:

) ( .
Artinya: Barang siapa berkata tentang al-Quran dengan pendapatnya,
maka ambillah tempat duduknya di neraka.

c. Firman Allah Swt.



Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan.23
Pada ayat ini Allah menyandarkan keterangan kepada
Rasulullah Saw. Karena itu dapatlah diketahui bahwa tidak ada bagi

21
Ibid., 268.
22
QS. Al-Baqarah (2): 169.
23
QS. An-Nahl (16): 444.

9
selain beliau yang mampu memberikan keterangan terhadap makna-
makna al-Quran.

d. Para sahabat dan tabiin tidak mau berkata sesuatu tentang al-Quran
debgan pendapat mereka. Seperti yang diriwayatkan Abu Ubaid bin
Salam, bahwa Abu Bakar Ash Siddiq pernah ditanya tentang maksud
kata abba dalam firman Allah Swt. ,

24
beliau menjawab:
langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan
menyanggahku untuk berpijak, jika aku mengatakan tentang kalamullah
yang saya tidak tau apa maksudnya.25

Menurut Ath-thabari, semua riwayat di atas menjadi hujah bagi


kebenaran pendapat bahwa menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang tidak
diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan dari Rasulullah secara jelas
dan tegas, tidak seorangpun diizinkan menafsirkan menurut pendapatnya
sendiri. Bahkan apabila melakukannya sekalipun, kemudian tepat dab benar
misalnya, ia tetap dipandang telah melakukan kesalahan, sebab ia menafsirkan
al-Quran dengan dengan pendapatnya sendiri. Yang demikian, karena
keakuratan pendapatnya hanya bersifat dugaan dan kira-kira semata, yang
berarti ia mengatakan sesuatu yang hakikatnya tidak tau.26

2. Mazhab kedua berpendapat bahwa mereka (jumhur ulama) yang


memperbolehkan tafsir bir rayi dengan alasan sebagai berikut:27
a. Sesusungguhnya Allah Swt. Telah memerintahkan kepada kita agar
merenungkan al-Quran sebagaimana firman Allah Swt:

24
QS. Abasa (80) : 31.
25
Mana Khalil Al-Qathan, Mabahis Fi Ulumi Al- Quran. Terj. Aunur Rafiq el-Mazni (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), 442.
26
Ibid.
27
Ibid., 271-272.

10
Artinya: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.28
b. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali
hukum agar kembali kepada ulama, sebagaimana firman Allah Swt:




Artinya: kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang
yang mempunyai urusan di antara mereka, niscaya orang-orang meneliti
di antara mereka mengetahui akan hal ini.29
c. Mereka berkata: kalau saja tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan,
tentunya ijtihadpun tidak diperbolehkan, dan tentu saja banyak hukum
yang tidak tergali, ini tidak benar. Karena seorang mujtahid dalam
hukum syarak akan diberikan pahala baik dia benar maupun salah,
sepanjang ia telah menguras kemampuannya dan mengerahkan
usahanya untuk mencapai kebenaran.
d. Para sahabat dalam hal bacaan al-Quran berbeda-beda dalam
menafsirkannya. Juga telah maklum apa yang mereka katakan tentang
al-Quran itu mereka dengar dari Nabi Saw. Nabi hanya menerangkan
yang bersifat pokok (dharuri). Beliau meninggalkan yang sebagian
kiranya dapat dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad mereka. Kalau
Nabi menerangkan semua makna al-Quran, tentunya tidak terjadi
perbedaan di antara mereka dalam menafsirkannya.
e. Abu Bakar r.a pernah berkata, aku mengemukakan pendapat ini
berlandaskan pikiranku. Jika benar, maka itu dari Allah Swt. Dan jika
salah maka itu dariku dan dari setan.30

28
QS. Shad (38): 29.
29
QS. An-Nisa (4): 83.
30
Nur Faizin, 10 Tema Kontrofersial Ulumul Quran (Kediri: Azhar Risalah, 2011), hlm. 81.

11
f. Sesungguhnya Nabi Saw. Telah mendoakan kepada Ibnu Abbas dengan
sabdanya:


Artinya: Ya Allah, pahamkan dia pada agama serta ajarkan
kepadanya takwil.

Kalu saja takwil itu hanya terbatas pada pendengaran dan


naqal, maka tidak ada gunanya mengkhususkan Ibnu Abbas dengan
doa tersebut. Oleh karenaya, hal itu menunjukkan bahwa takwil
adalah tafsir bir rayi (dengan akal) dan ijtihad.

BAB IV
KAJIAN KRITIS

Tafsir bil mastur oleh ulama mutaakhirin dimaknai dengan penafsiran al-
Quran dengan al-Quran, as-Sunah, perkataan sahabat/tabiin. terminologi tafsir bil
mastur dengan makna dan pemahaman seperti itu pertama kali disampaikan oleh

12
Az Zarqoni dalam At Tafsir Wa Al Mufasirun.31 kemudian makna terminologi ini
pun belakangan seakan menjadi sebuah kesepakatan bersama dikalangan ulama
tafsir. Bahkan menjadi rujukan dan data yang disepakati ulama disiplin ilmu
keislaman yang lain.
Terminologi tafsir bil mastur dengan apa yang dikemukakan Az-Zarqoni
perlu di dikritisi kembali. Apakah terminologi itu dipakai ulama masa dahulu
dengan makana dan maksud yang sama atau tidak. sedangkan Az-Zarkasyi dalam
Al-Burhan fi Ulum Al-Quran tidak mengistilahkan penafsiran al-Quran dengan
al-Quran, dengan riwayah Rasulullah, dengan sahabat atau tabiin dengan istilah
Maakhidz At-Tafsir (sumber-sumber penafsiran).32 Dari sini, cukup jelas kalau
terminologi tafsir bil mastur dengan pengertian atau pemahaman seperti yang
dikemukakan Az Zarqoni adalah terminologi yang baru dan belum dipakai ulama-
ulama dahulu.
Di samping itu pemaknaan yang di paparkan oleh Az Zarqoni menurut
hemat penulis akan memposisikan tafsir bir rayi berlawanan dengan bil mastur.
Padahal penggunaan rayu itu sudah berlangsung sejak lama, seperti contoh ketika
Abu Bakar menafsiri maksut kalimat al kalalah pada surat An-Nisa, beliau
berkata: aku mengemukakan pendapat ini berlandaskan pikiranku saja, jika benar
itu datangnya dari Allah Swt, jika salah itu dariku dan dari setan.
Dari sini tradisi berijtihad (memakai rayu) sudah berlangsung semenjak
pasca wafatnya Rasulullah, dan tidak ada yang menyangkal corak pemahaman
seperti ini. Dan ini bukti penafsiran bir rayi diperbolehkan. Bahkan Ibnu Abbas
membagi tafsir menjadi empat:33pertama, tafsir yang telah diketahui oleh dialek
bangsa Arab. Kedua, tafsir yang sudah selayaknya diketahui oleh siapapun. Ketiga,
tafsir yang diketahui oleh para ulama. Keempat, tafsir yang tidak diketahui kecuali

31
Az-Zarqoni, dalam Nur Faizin, 10 Tema Kontrofersial Ulumul Quran (Kediri: Azhar Risalah, 2011),
hlm. 73.
32
Ibid.
33
Ali Ash-Shabuni, Ath Thibyan. Hlm. 267.

13
oleh Allah Swt. Klasifikasi Ibnu Abbas ini menunjukakan bahwa penafsiran Al-
Quran belum final.
Kemudian mengenai perdebatan larangan tafsir bir rayi. Ulama berbeda
pendapat mengenai hukumnya menafsirkan dengan rayu (nalar) ke dalam dua
kelompok besar. Pertama kelompok yang melarang (al-maniun). Kedua, kelompok
yang memperbolehkan (al-mujizun). Hal ini didasarkan pada beberapa teks-teks
yang melarang penafsiran al-Quran dengan menggunakan akal rasio. Sementara di
sisi lain terdapat teks-teks yang memperbolehkannya. Yang mana antara teks yang
satu dengan yang lain terjadi pertentangan (taarud) maka hemat penulis solusi
terbaik adalah memadukan kedua corak tersebut, kedalam kaidah ushul fiqh, yakni
memadukan (jamu) lebih didahulukan dari pada tarjih (memilih salah satu yang
kuat).
Penulis cenderung mengkompromikan antara tafsir bil mastur dan tafsir bir
rayi. Artinya mastur tidak menafikan rayi ataupun sebaliknya. Atau bisa juga
sintesa yakni pengunaan tafsir dengan rayu tetap menggunakan rayu sebagai
komponen utama tapi tidak menutup kemungkinan penggunaan perangkat lain
seperti riwayah sebagai komponennya. Begitu pula tafsir bil mastur menggunakan
riwayah sebagai komponen utama namun tidak menutup kemungkinan penggunaan
rayu didalamnya.

BAB V
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Tafsir bi mastur/riwayah ialah tafsir yang terdapat dalam al-Quran atau al-
Sunah atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki
Allah Swt tentang penafsiran al-Quran berdasar al-Sunah Nabawiyah. Dengan

14
demikian maka tafsir bil mastur adakalanya menafsirkan al-Quran dengan al-
Quran, al-Quran dengan al-Sunnah atau menafsirkan al-Quran dengan pendapat
sahabat.
Adapun yang dimaksug tafsir bi al-rayi adalah: penafsiran al-Quran yang
dilakukan berdasarkan ijtihad mufasir setelah menggali lebih dahulu bahasa arab
dari berbagai aspeknya serta mengenali lafad-lafad bahasa Arab dan segi
argumentasinya serta mempertimbangkan asbabun nuzul dan sarana lain yang
dibutuhkan oleh mufasir.

Kelebihan tafsir bil mastur/riwayah adalah dianggap paling berkualitas dan


baik terutama yang dalam bentuk tafsir al-Quran dengan al-Quran, tafsir al-Quran
dengan al-Sunnah Nabawiyah, kemudian paling mendekati kebenaran, dan lazim
diposisikan sebagai penafsiran yang paling utama. Adapun kelemahan tafsir bil
mastur/riwayah adalah bercampur dengan riwayat yang tidak sahih bahkan
israiliyah, sering tercatat nama-nama mufasir terkemuka tanpa ada bukti yang
benar, kemudian mudah disusupi orang-orang kafir zindiq yang memusuhi al-
Quran.

Kelebihan tafsir bir rayi adalah lebih rasional, relatif dinamis dan mudah
menyesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Adapun kelemahan tafsir
bir rayi adalah sulit menghindarkan diri dari subyektivitas mufasirnya dan dalam
hal-hal tertentu cenderung dipaksakan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qathan, Mana Khalil. Mabahis Fi Ulumi Al- Quran. Terj. Aunur Rafiq el-Mazni.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.
As-Suyuthi, Jalaludin. Al-Itqan fi Ulumil Quran. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiy,
2012.

15
As-Shabuni, Muhammad Ali, Ath Thibyan Fi Ulum Al-Quran. Terj: Muhammad
Qodirun Nur. Jakarta: Pustaka Amani, 2001.

Faizin, Nur. 10 Tema Kontrofersial Ulumul Quran. Kediri: Azhar Risalah, 2011.

Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran 2. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

16

Anda mungkin juga menyukai