Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang dijadikan pedoman dalam setiap aspek
kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman al-
Qur’an dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercakup
dalam ulum al-Qur’an. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulum al-
Qur’an adalah ilmu yang memnahas tentang Muhkam dan Mutasyabih ayat.

Muhkam Mutasyabih ayat hendaknya dapt dipahami secara mendalam. Hal ini
dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian atau
pemahaman al-Qur’an. Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalm memahami ayat-
ayat al-Qur’an khususnya dalam ranah Muhkam dan Mutasyabih, maka kelompok kami
menyusun makalah yang membahas tentang kedua hal tersebut. Untuk keterangan lebih
lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang berhubungan
dengan Muhkam dan Mutasyabih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya yaitu bab
pembahasan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?
2. Bagaimana Pandangan Para Ulama’ Mengenai Muhkam dan Mutasyabih ?
3. Bagaimana Fawatih as-Suwar itu ?
4. Bagaimana Hikmah dari Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Muhkam dan Mutasyabih.
2. Untuk mengetahui Pandangan Para Ulama Mengenai Muhkam dan Mutasyabih.
3. Untuk mengetahui makna Fawatih as-Suwar.
4. Untuk mengetahui Hikmah dari Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam Dan Mutasyabih


Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang
mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.
Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih, dan membedakan
antara yang hak dan yang bathil.1

Sedang dalam kitab Mabahits fii Ulum al-Qur’an dijelaskan:

‫ ما استأثر هللا بعلمه‬:‫ ما عرف المراد منه – والمتشابه‬:‫المحكم‬


Artinya:

“Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih


hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.”2

Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata tasyabuh yang berarti keserupaan
dan kesamaan yang biasanya membawa kesamaran antara dua hal.3

Adapun secara istilah, mutasyabih adalah lafadz yang maksud dan maknanya
hanya diketahui oleh Allah S.W.T., dan tidak dapat diketahui oleh manusia.4

Mayoritas ulama ahl al-Fiqh mengemukakan, muhkam ialah lafadz yang tidak
dapat ditakwilkan kecuali hanya satu segi makna saja. Mutasyabih ialah lafadz yang
artinya dapat ditakwilkan ke dalam beberapa segi karena masih terdapat kesamaran,
seperti masalah surga, neraka, dan lain sebagainya.

B. Sikap Para Ulama’ terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih


1
Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 2000), 70.
2
Manna’ al-Qathan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an (Mesir: Maktabah Wahbah, 1973), 216.
3
Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 199.
4
Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2000), 221.

3
Sumber perbedaan pendapat berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat :

... }٧ : ‫ {العمران‬....‫َو َم ا َيْع َم ُل َتْأِو ْيَلُۤه ِاَّلا ُهللا َو الَّراِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلمِ َيُقْو ُلْو َن آَم َّناِبه‬

Pertama : Apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya


adalah ‫َيُقْو ُل ْو َن‬, dengan “wawu”
diperlakukan sebagai huruf isti’nâf (permulaan)
dan waqaf dilakukan pada lafaz ‫َو َم ا َيْع َم ُل َتْأِو ْيَلُۤه ِاَّلا ُهللا‬.

Kedua : Ataukah ia ma’tȗf, sedang lafaz ‫ َيُقْو ُل ْو َن‬menjadi hâl dan waqafnya pada
lafaz ‫َو الَّراِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلم‬. 5

Ulama yang berpendapat mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih terbagi


menjadi dua: Madzhab Ulama Salaf dan Madzhab Ulama Khalaf.

1. Madzhab Ulama Salaf

Orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-


sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka
mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir bagi Allah dan
mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan
urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Ketika Imam Malik ditanya
tentang makna istiwa’, dia berkata:

‫َاِاْل ْس ِتَو اُء َم ْع ُلْو ٌم َو اْلَكْيُف َم ْج ُهْو ٌل َو الَّسَؤ اُل َع ْنُه ِبْد َع ٌة َو َاُظُّنَك َر ُج َل الُّسْو ِء َاْخ ِر ُجْو ُه َع ِّنْي‬.

Artinya: Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui,


mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat.
Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.

Maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai


bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan
menanyakan adalah bid’ah. “Rabi’ah bin Abdur-rahman, guru Malik, jauh
sebelumnya pernah berkata: “Arti istiwa’ sudah kita ketahui, tetapi bagaimana

5
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 122.

4
caranya tidak diketahui. Hanya Allahlah yang mengetahui apa sebenarnya. Rasul
pun hanya menyampaikan, sedang kita wajib mengimaninya.” Jadi, jelaslah
bahwa arti istiwa’ itu sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah yang tidak
diketahui.6

Dalam menerapkan sistem ini, madzhab salaf mempunyai dua argumen,


yaitu argumen aqli dan argumen naqli. Argumen aqli adalah bahwa menentukan
maksud dari ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah
kebebasan dan pengunaannya di kalangan bahasa Arab. Penentuan seperti ini
hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti). Lantaran
dasar yang memutuskan dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah
Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.7

Adapun dalam argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits


dan atsar. Diantaranya :

)‫ ُـوُلوا اْلَباِب‬... ‫اَلى َقْو ِلِه‬... ‫ (ُهَو اَّلِذ ى َأْنَز َل َع َلْيَك اْلِكَتاب‬: ‫ ٰه َذ ا اٰاْل َيَة‬.‫ع‬.‫ َتاَل َو ُسْو ُل ِهللا ص‬: ‫َع ْن َعاِئَشَة َقاَلْت‬
– . ‫ َفِاَذ ا َر َأْيَت اَّلِذ ىَن َيَّتِبُعْو َن َم ا َتَش اَبَه ِم ْنُه َفُأوٰل ِئَك اَّلِذ ْيَن َسَّم ى ُهللا َفاْح َذ ْر ُهْم‬: .‫ع‬.‫ َقاَل َر ُسوُل ِهللا ص‬: ‫َقاَلْت‬
‫رواه البجارى و مسلم‬-

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasul SAW. membaca ayat: “inilah yang


menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu”, sampai kepada “orang-orang yang
berakal”, berkata ia : Rasul SAW. berkata: “jika engkau melihat orang-orang
yang mengikuti ayat-ayat yang musytabihat daripadanya maka mereka itulah
orang-orang yang disebut Allah, maka hati-hatilah terhadap mereka”.
(dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).8

Ini menunjukkan bahwa wawu untuk isti’naf(permulaan). Di samping


itu, ayat tersebut juga mencela orang-orang yang mengikuti ayat-
ayat mutsyabihat dan memberikan mereka itu sebagai yang mempunyai
6
Ibid., 310.
7
Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), 212.
8
Ibid., 213.

5
kecenderungan kepada kesesatan dan mencari fitnah. Sebaliknya, ayat yang
sama memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tentang itu kepada
Allah.

2. Madzhab Ulama Khalaf

Madzhab ini berpendapat, bahwa waqaf(memberhentikan bacaan) dalam


ayat (surat Ali-Imran: 7) di atas adalah lafal : ‫َو الَّراِس ُخ وَن ِفى اْلِع ْلِم‬. dengan demikian,
selain Allah, orang-orang yang mendala ilmunya juga dapat mengetahui takwil
dari ayat-ayat mutâsyabihât itu. Adapun wawu ( ‫ )َو‬pada lafal ayat tersebut adalah
berkududukan sebagai hurf ‘athf. Oleh karena itu, kata ‫ الَّراِس ُخ وَن‬di-‘athaf-kan
kepada lafal ‫ ُهللا‬pada kalimat sebelumnya. Diantara ulama yang berpendapat
demikian –menurut Shubhi al-Shalih- adalah Abu Hasan al-‘Asy’ariy. Pendapat
ini diperjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang sekaligus mendukung dengan
mengatakan, “bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-
ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan kepada para ulama yang mendalam
ilmunya. Sebab firman yang diturunkan itu merupakan pujian bagi mereka yang
luas dan mendalam ilmunya. Bila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya
berarti tidak ada bedanya dengan orang awam.”9

Mujtahid dan sahabat-sahabatnya, demikian juga al-Nawawi cenderung


kepada pendapat kedua ini. Menurut al-Nawawi, pendapat ini lebih banyak
diterima sebab tidak mungkin Allah akan mengkhithabkan hamba-Nya dengan
sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Selanjutnya madzhab
khalaf mengatakan, bahwa suatu hal yang seyogyanya dilakukan dalam hal
memahami ayat-ayat mutasyabihat itu adalah memalingkan lafal dari kradaan
kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia, sehingga membiarkan
makna itu “terlantar” tidak bermakna. Selama ayat tersebut memungkinkan
untuk dilakukan penakwilan terhadapnya dengan makna yang benar dan
rasional, maka tidak ada halangan bagi nalar manusia -dalam hal ini bagi mereka

9
Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras), 244-245.

6
yang sudah memiliki ilmu yang mendalam dan kemampan tinggi- untuk
melakukannya.”10

Secara naqli, mereka mengemukakan atsar sahabat :

‫ َلْو َلْم َيْع َلُم ْو ا َتْأِو ْيَلُه َلْم َيْع َلُم ْو ا َناِس َخُه ِم ْن َم ْنُسْو ِخِه َو اَل َح اَل ُلُه ِم ْن َحَر اِمِه َو اَل ُم ْح َك َم ُه ِم ْن‬: ‫َع ْن الَّضَّحاِك َقاَل‬
‫ –اخرجه ابن ابى حاتم‬. ‫ُم َتَش اِبِه‬-

Dari al-Dahhak, berkata ia: “orang-orang yang mendalam ilmunya


mengetahui takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya tidak
mengetahui nasikh dan mansukhnya, halal dan haramnya, dan muhkam ari
mutasyabihnya”. (H.R. Ibn Abi Hatim).11

C. Fawatih As-Suwar
Istilah fawatih as-suwar terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan as-suwar.
Fawatih nerupakan jamak taksir dari fatihah yang berarti pembuka. Sedangkan as-
suwar adalah jamak taksir dari kata surah, yang berarti surah. Dengan demikian,
istilah fawatih as-suwar secara harfiah berarti “pembuka surah-surah”. Tokoh yang
banyak mengkaji mengenai fawatih as-suwar adalah Ibnu Abi Al-Ishba’ dengan
karyanya Al-Khawathir As-Sawanih fi Asrar Al-Fawatih. Para mufassir setelahnya,
ketika membahas ilmu fawatih as-suwar, banyak merujuk kepada buku tersebut.12

Bentuk Ungkapan Permulaan Surah

Surah-surah al-Qur’an dimulai dengan berbagai bentuk dan bervariasi. As-


Suyuti merujuk kepada Ibnu Abi Al-Ishba’ membagi bentuk-bentuk huruf, kata, atau
10
Ibid., 245.
11
Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya), 219.
12
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran (Jakarta: Amzah, 2012), 53-54.

7
kalimat pembuka surah-surah al-Qur’an itu sebanyak sepuluh macam, yaitu sebagai
berikut:

a. Surah-surah yang dimulai dengan pujian, yaitu tahmid, tabaraka, dan tasbih.
Seperti lafadz ‫ الحمد هلل‬dan ‫تبارك‬
Contoh:

)١ :‫َاْلَحْم ُد ِهّلِل َر ِّب اْلَع اَلِم ْيَن (الفاتحة‬

)١:‫َتَباَر َك اَّلِذ ْي ِبَيِدِه اْلُم ْلُك َو ُهَو َعلى ُك ِّل َش ْي ٍء َقِد ْيٌر (الملك‬

b. Surah-surah yang dimulai dimulai dengan huruf –huruf hijaiyah atau


huruf muqaththa’ah (huruf potong). Terdapat 29 surah yang dimulai dengan
huruf potong tersebut. Adapun 29 surah itu terdiri dari lima bentuk, yaitu
sebagai berikut:
1) Surah yang dimulai dengan satu huruf, seperti: ‫ ص‬,‫ ن‬,‫ق‬
2) Surah yang dimulai dengan dua huruf, seperti: ‫ طس‬,‫ يس‬,‫ طه‬,‫حم‬
3) Surah yang dimulai dengan tiga huruf, seperti: ‫ طسم‬,‫ الر‬,‫الم‬
4) Surah yang dimulai dengan empat huruf, seperti: ‫ المر‬,‫المص‬
5) Surah yang dimulai dengan lima huruf, seperti: ‫كهيعص‬
c. Surah yang dimulai dengan panggilan (an-nida’), yaitu panggilan kepada Nabi
Muhammad saw., seperti: ‫ ٰۤي َأُّيَها اْلُم َّد ِثُر‬,‫ ٰۤي ّأُّيَها اْلُم َّز ِّم ُل‬, ‫ ٰۤي َأُّيَها الَّنِبُّي‬dan panggilan kepada
umat, seperti: ‫ ٰۤي َأُّيَها الَّناُس‬,‫ٰۤي َأُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا‬
d. Surah yang dimulai dengan kalimat khabariyah (kalimat berita), seperti: ‫َقْد َأْفَلَح‬
‫ اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن‬dan . ‫َيْسَئُلْو َنَك َع ِن اَأْلْنَفاِل‬
e. Surah yang dimulai dengan qasam (sumpah), seperti: ‫َو اْلَع ْص ِر‬, dan ‫َو الَّلْيِل‬
f. Surah yang dimulai dengan jumlah syarthiyah.
Allah swt. menyebutkan kejadian-kejadian tertentu dengan
mengaitkannya dengan syarat. Penyebutan syarat tersebut dibagian pertama
surat-surat tertentu untuk menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan hal
yang pasti akan terjadi, bukan hal yang mungkin terjadi atau mustahil
terjadi. semuanya itu pasti akan terjadi di dalam kenyataan yang tidak dapat

8
dihindari, karena syarat idza digunakan untuk hal-hal yang pasti terjadi.
Seperti: ‫ ِإَذ ا َو َقَعِة اْلَو اِقَع ُة‬, ‫ِإَذ ا الَّش ْم ُس ُك ِّو َر ْت‬
g. Surah yang dimulai dengan kalimat perintah.
Allah membuka surat-surat tertentu dengan menekankan al-
amr (perintah)-Nya yang diarahkan kepada Rasulullah, yang juga kepada
umatnya. Hal ini seperti terlihat dalam surah Al-‘Alaq:

)١ :‫ِإْقَر ْأ ِباْس ِم َر ِّبَك اَّلِذ ْي َخ َلَق (العلق‬

h. Surah yang dimulai dengan istifham (pertanyaan).


Allah itu bukanlah berarti tidak mengetahui masalah-masalah di balik
pertanyaan, tetapi sebagai metode atau jembatan dalam rangka menjelaskan
lebih jauh apa-apa yang hendak dipaparkan-Nya, sehingga siapa pun yang
menjadi mitra bicara Allah menjadi tahu dengan jelas dan mengerti. Seperti: ‫َأَلْم‬
)١ :‫تَر َكْيَف َفَعَل َر ُّبَك ِبَأْص ٰح ِب اْلِفْيِل (الفيل‬
i. Surah yang dimulai dengan doa atau vonis.
Allah swt memvonis celaka kepada pihak-pihak yang mestinya celaka di
permulaan beberapa surah, yakni surah Al-Muthaffifin/83 dengan vonis ‫َو ْي ٌل‬
‫( ِّلْلُم َطِّفِفْيَن‬celakalah bagi orang-orang yang curang); dalam surah Al-Humazah/104
dengan vonis ‫( َو ْيٌل ِّلُك ِّل ُهَم َز ٍة ُّلَم َز ٍة‬celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela),
dan dalam surah Al-Lahab/111 dengan vonis ‫( َتَّبْت َي َۤد ا َأِبْي َلَهٍب َّو َتَّب‬binasalah diri
Abu Lahab, dan benar-benar binasa dia).Vonis-vonis Allah tersebut
disampaikan-Nya setimpal dengan keburukan dan kejahatan masing-masing
yang disebut dalam surah-surah terkait.

j. Surah yang dimulai dengan ta’lil (ilat).


Allah dalam satu-satunya surah, yaitu surah Al-Quraisy mengedepankan
penjelasan alasan. Alasan dalam surah itu ditempatkan lebih dahulu dari sesuatu
yang diperintahkan-Nya seperti yang diletakkan pada ayat 3. Dalam kata lain,
dalam surah ini Allah lebih mendahulukan keterangan alasan daripada

9
penyebutan sesuatu yang seharusnya dilakukan. (‫ )تقديم التعليل عن األمر‬Jadi, Allah
memerintahkan sesuatu dengan terlebih dahulu disampaikan alasannya, agar
perintah yang disampaikan itu benar-benar diperhatikan atau dijalankan.

D. Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an


Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an adalah
sebagai berikut:

1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia

Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-


ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk
beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu
tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan
menyombongkan keilmuannyasehingga enggan tunduk kepada naluri
kehambaannya.

Ayat-ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi penundukan akal


terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk
mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.

2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih

Pada penghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah menyebutkan ‫َو َم ا َيَّذ َّك ُر‬
‫ ِإَۤاّل ُأوُل وا اَألْلَب اِب‬sebagai cercaan bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat-
ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang
mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya
untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata ‫َر َّبَن ا َال ُت ِزْغ‬
‫ُقُلْو َبَنا‬. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.

3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui


pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya.

10
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia
diberi gambaran indrawi terlebih dahulu.13

Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik


agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, Allah
menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal
pemilikan anggota badan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
13
Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 134-135.

11
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak
menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas.

Ulama’ berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu


antara bisa tidaknya manusia memahami atau memaknai ayat-ayat mutasyabihat.
Terdapat hikmah adanya ayat ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar
masuk pada tataran pemahaman dan penggunaan logika akal.

B. Saran

Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan


menemui perbedaan antara ulama’ satu dengan yang lainnya. Maka dari itu kita sebagai
mahasiswa tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang
lainnya. Karena asetiap pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama’ tentunya semuanya
memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’. Mmabahits fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Maktabah Wahdah, 1973.

Anwar, Rosihon. Ulum al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

12
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 2000.

Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011.

Syadali, Ahmad dan Ahmad Rifa’i. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Usman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras, 2000.

Yusuf, Kadar M. Studi Al-qur’an. Jakarta: Amzah, 2012.

13

Anda mungkin juga menyukai