Anda di halaman 1dari 7

MUHKAM DAN MUTASYABIH

A. Pengertian
Kata muhkam berasal dari kata ihkam: berarti kekukuhan, kesempurnaan,
keseksamaan dan pencegahan. Sedangkan kata mutasyabih dari kata tasyabah, berarti
keserupaan, kesamaan yang dapat membawa pada kesamaran antara dua hal. Menurut istilah
ada beberapa definisi al:
1. Muhkam: ayat yang jelas maksudnya.
Mutasyabih: ayat yang maknanya tersembunyi, hanya Allah yang mengetahui
maknanya seperti huruf-huruf tahajji, datangnya hari kiamat dan lain-lain. Pendapat
ini dibangsakan al-Alusi kepada pemimpin mazhab Hanafi.
2. Muhkam: ayat-ayat yang diketahui maksudnya baik secara nyata maupun ta’wil.
Mutasyabih: ayat-ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya (ahlu sunnah)
3. Muhkam: ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu makna.
Mutasyabih: ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil (ahli
usul fikhi).
4. Muhkam: ayat-ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan.
Mutasyabih: ayat yang tidak berdiri sendiri tapi memerlukan keterangan tertentu.

Dari definisi tersebut tidak ada pertentangan, bahkan di antaranya terdapat


persamaan dan kedekatan makna. Namun menurut al-Zarqany, pendapat al-Razi yang lebih
jelas karena masalah muhkam/mutasyabih kembali pada persoalan jelas atau tidaknya
makna yang dimaksud Allah dari ayat yang diturunkan.
Para ulama berbeda pendapat tentang kemuhkaman dan kemutasyabihan alqur’an:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa semua alquran muhkam. Hal ini berdasarkan QS
Hud:1

           

1
Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci[707], yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha
Bijaksana lagi Maha tahu,

[707] Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan,
hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.

2. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa alquran itu seluruhnya mutasyabih,
berdasarkan QS al-Zumar:23.

      

Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa
(mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang.

3. Yang lainnya lagi mengatakan bahwa alquran itu terdiri atas dua bagian, yakni
muhkam dan mutasyabih, berdasarkan QS Ali Imran: 7.

                

                

                

Terjemahnya:
Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya

2
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-
orang yang berakal.

Dari ketiga pendapat tersebut, yang paling shahih adalah pendapat yang ketiga. Ayat
yang pertama, yang dimaksud dengan muhkamnya alquran adalah kesempurnaan, kebaikan,
kerapian susunan tertib ayat-ayat dan surat-suratnya absolut kebenarannya, terjaga dari
kerusakan atau kejanggalan lafaz dan maknanya. Alquran bagai bangunan yang kokoh dan
tak tergoyahkan.
Pendapat kedua, yang dimaksud dengan mutasyabih pada ayat kedua adalah dari segi
kesamaan ayat-ayatnya, dalam kebenaran, kebaikan dan kemu’jizatannya.

Dalam membicarakan masalah muhkam, tidak ada masalah karena sudah jelas/rajih
maknanya. Sedang masalah mutasyabih yang menimbulkan persoalan yang perlu dibahas
lebih lanjut. Sebab terjadinya tasyabuh karena adanya ketersembunyian makna.

Menurut al-Zarqani, ayat mutasyabih ada 3 macam yaitu:


a. Ayat yang seluruh manusia tidak sampai pada maksudnya, seperti pengetahuan tentang
hal-hal yang bersifat gaib, Zat Tuhan, sifat-sifat-Nya dan lain-lain. Firman Allah dalam
QS. al-An’am (6 ):59

…        

Terjemahnya:
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri….”

b. Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan
pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Misalnya dengan cara merinci ayat yang
mujmal.

3
c. Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya diketahui oleh ulama, para pakar ilmu dan sains. Hal
ini berdasarkan firman Allah dalam QS Ali Imran (3):7

                    

 

B. Sikap Para Ulama teradap Ayat Mutasyabih


1.Ulama (mazhab shalaf/mazhab muwaffidah/tafwid: Mereka mempercayai ayat-ayat
mutasyabih dan mengimaninya, dan mengenai makna hakekat, mereka serahkan
sepenuhnya kepada Allah.
2.Ulama Khalaf: Mereka berpendapat perlunya menafsirkan/menakwilkan ayat-ayat
mutasyabih tentang sifat-sifat Allah, sehingga melahirkan makna yang sesuai dengan
keluhuran Allah swt.

Perbedaan pendapat di kalangan para ulama ini pada intinya berawal dari
pemahaman mereka terhadap ayat 7 surah Ali Imran:

                 

                  

             

Terjemahnya:
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat[184]. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi

4
Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-
orang yang berakal.

Dari ayat tersebut para ulama berbeda pendapat yang berawal dari lafaz ‫والرسحون فى‬
‫ العلم‬. Permasalahannya ada pada apakah lafaz itu di-athof-kan kepada lafaz ‫هللا‬ atau
sebagai ‫ مبتدا‬.
Berangkat dari sinilah muncul perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Menurut
Ibnu Abbas dan Mujahid (dari kalangan sahabat) bahwa manusia dapat mengetahu arti dan
ta’wil ayat-ayat mutasyabihat.
Mereka ini beralasan bahwa ‫ والرسحون فى العلم‬di-athof-kan kepada lafaz ‫ هللا‬. Menurut
mereka jika hanya Allah yang mengetahui dan melimpahkan kepada manusia (ulama) yang
mendalam ilmunya tentang ayat-ayat mutasyabih baik tentang pengertian maupun ta’wil,
berarti mereka sama saja dengan orang awam. (Shubhi Shalih: 373). Pendapat ini didukung
pula oleh Hasan al-Asy’ari.
Abu Anwar berpendapat bahwa alasan meraka sangat logis, sebab jika hanya Allah
yang mengetahui ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an, maka al-Qur’an akan kering
maknanya serta tidak menjadi rahmatan lil’alamin. Hal ini disebakan karena banyaknya ayat
mutasyabih dalam al-Qur’an.
Walaupun ada ulama yang mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih itu dapat
dita’wilkan, namun sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih itu
tidak dapat diketahui oleh seorangpun kecuali Allah. Menurut ulama ini, kita sebagai
makhluk Allah tidak perlu mencari-cari ta’wil ayat-ayat mutasyabih, teyapi kita harus
menyerahkan persoalannya kepada Allah semata.

Contoh ayat mutasyabih

Misalnya kata “ja’a Rabbuka”(kedatangan Allah = kedatangan perintah).”wajhu


Rabbika”(wajah Allah = pengawasan Allah)”yadun Allah” (tangan Allah = kekuasaan
Allah). Seperti dalam QS al-Fajr/89:22

     

5
Terjemahnya:
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. (QS al-Fajr: (89): 22)

(QSal-Fath/48:10).

    

Terjemahnya: Tangan Allah atas tangan mereka

(QSal-Rahman/55:27)

      

27. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

QS Thaha/20:5

    

(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.

QS al-Qashash/28:88

     

Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.

QS al-An’am/8:61

    

Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya,


Hikmah Adanya Ayat Mutasyabihat

6
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Akal dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah
memberikan cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal tidak diuji
tentunya orang yang berpengetahuan akan menyombongkan diri, sehingga enggan
tunduk kepada naluri kehambaannya..
2. Memberikan pemahaman abstark Ilahiyah kepada manusia melalui pengalaman
inderawi yang bisa disaksikannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi
gambaran inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah sengaja Allah
memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya, dan
bersamaan dengan itu Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-
Nya.
3. Mengembangkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an.
4. Sebagai teguran bagi mereka yang mengutak atik ayat mutasyabih

Anda mungkin juga menyukai