Anda di halaman 1dari 45

http://mujalulik.blogspot.com/2013/04/ushul-fiqh-tentang-kehujahan-al-quran.html?

m=1

http://rubenks88.blogspot.com/2013/04/makalah-ushul-fiqih-kehujjahan-quran.html?m=1

https://iimazizah.wordpress.com/2011/04/05/sumber-hukum-islam/

ushul fiqh tentang kehujahan Al Quran menurut pandangan imam mazhab

PENDAHULUAN

A Latar Belakang

Kehujahan Al Quran ini menjelaskan Al Quran itu kebenaran yang nyata, sebab Al Quran
adalah landasan umat islam. Hukum di dalam agama islam itu sendiri sumber utama yaitu Al Quran
dan hukum sumber ke dua yaitu hadis. Untuk mengetahui lebih jelasnya dalam makalah ini ada
beberapa pendapat imam mazbab.

B Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kehujahan Al Quran ?

2. Siapa saja imam mazhab itu ?

3. Bagaimana identifikasi tentang mazhab ?

C Tujuan

1. Menjelaskan kehujahan Al Quran ?

2. Menjelaskan pendapat mazhab ?

3. Menjelaskan ayat ayat yang terkandung di dalamnya ?

1.1 Kehujjahan Al-Qur'an.

Abdul Wahab Khallaf (Mardias Gufron, 2009) mengatakan bahwa “kehujjahan Al-Qur’an itu terletak
pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”[1]. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi :

Surat al Baqarah ayat 2;

2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, Tuhan
menamakan Al Quran dengan Al kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al
Quran diperintahkan untuk ditulis.

Takwa Yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan
menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan
padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-
aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.

M. Quraish Shihab (Mardias Gufron, 2009) menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai
wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah
sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia”.

Para ulama dan ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan
sumber utama hukum islam yang diturunkan Allah SWT dan wajib diamalkan. Apabila hukum
permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam Al-Qur’an maka barulah mujtahid
mempergunakan dalil lain. Beberapa alas an yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang kewajiban
berhujjah dengan Al-Qur’an antara lain sebagai berikut :

1. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah secara mutawatir, dan ini memberi keyakinan bahwa
Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW.

2. Banyak ayat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu datangnya dari Allah, diantaranya :

a. Ali imran ayat 3 :

Dia menurunkan al-Qur’an kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.

b. Surat An Nisa’ : 105

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.

3. Mu’jizat Al-Quran merupakan dalil yang pasti akan kebenaran Al-Quran itu datangnya dari Allah
SWT. Mu’jizat Al-Quran bertujuan menjelaskan kebenaran Nabi Muhammad SAW, yang membawa
risalah Illahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasaan umat manusia[2]. Menurut para ahli
ushul fiqh dan tafsir terlihat ketika ada tantangan dari berbagai pihak untuk menandingi Al-Quran itu
sendiri. Kemu’jizatan Al-Quran, menurut para ahli ushul fiqh akan terlihat dengan jelas jika :
a) Adanya tantangan dari pihak mana pun.

b) Ada unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan tersebut, seperti tantangan orang
kafir yang tidak percaya akan kebenaran Al-Quran dan kerasulan nabi Muhammad SAW, dan

c) Tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan tersebut.

Unsur-unsur yang membuat Al-Quran menjadi mu’jizat yang tidak pernah tertandingi oleh akal
manusia, diantaranya adalah :

1) Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya,

2) Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Quran,

3) Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung dalam Al-Quran[3],

1.2 Kehujjahan Al-quran Menurut Pandangan Ulama Mazhab.

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber utama hukum Islamdan wajib
diamalkan. Para mujtahid tidak dibenarkan menjadikandalil lain sebagai hujjahsebelum membahas
dan meneliti ayat-ayat Al-Quran. Jika tidak ditemukan dalam Al-Quranbarulah dibenarkan mencari
dalil yang lain.

A. Pandangan Imam Abu Hanifah.

Abu Hanifah sependapat dengan jumhur bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum pertama
hukum Islam. Namun ia berbeda mengenai Al-Quran itu, apakah mencakup makna dan lafazh atau
maknanya saja.

Di antara dalil yag menunjukan pendapat menurut Abu Hanifah bahwa Al-Quran hanya maknanya
saja, Misalnya ia mengatakan boleh shalat dalam bahasa parsi walaupun tidak dalam keadaan
madarat, tapi ini bagi orang pemula dan, tidak untuk seterusnya. Padahal menurut Imam Syafi’i
sekalipun orang itu bodoh tidak dibolehkan membaca Al-Quran dangan mengunakan bahasa selain
Arab.

B. Pandangan Imam Malik.

Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lafazh dan maknanya dari Allah
SWT. Ia bukanmakhluk, karena kalam adalah termasuk sifat Allah. Suatu yang termasuk sifat Allah,
tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang
yangmenyatakan Al-Quran makhluk.

Imam Malik juga sangat keberatan untuk menfsirkan Al-Quran seecara murni tanpa memakai atsar,
sehingga beliau berkata,”seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang
menafsirkan Al-Quran (dengan daya nalar murni), maka akan kupenggal leher orang itu.

Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi,in) yang
membatasi pembahasan Al-Quran sesempit mungkin, agar tidak terjadi kebohongan atau tafsir
serampangan terhadap Al-Quran, maka tidak herankalau kitab nya Al-Muwaththa dan Al-
Mudawwanah, sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. Dan Malik pun mengikuti jejak mereka
dalam cara mengunakan ra’yu.

Bedasarkan ayat 7 surat Ali-Imran, petunjuk lafazh yang terdapat dalam Al-Quran ada dua macam,
yaitu muhkamat dan mutasyabihat (sesuai surah Ali Imran ayat 7).

1. Ayat-ayat Muhkamat.

Ayat muhkamat adalah ayat yang tegas dan terang maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah.

2. Ayat-ayat mutasyabihat.

Ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat
ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.

Pembagian Muhkamat Menurut Imam Malik.

Muhkamat terbagi kepada dua, yaitu lafazh dan nash. Imam Malik menyepakati pendapat ulama-
ulama lain bahwa lafazh nash itu adalah lafazh yang menunjukan makna jelas dan tegas (qath’i) yang
secara pasti maknanya lain, secara pasti dan jelas.lapaz Zhahir adalah lafazh yang menunjukkan
makna yang jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna yang lain. Hanya saja lafazh nash
didahulukan daripada lafazh zahahri Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk qath’i, sedangkan
dilalah zhahri termasuk zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang
didahulukan dilalah nash. Yang perlu di ingat adalah makna zhahir dasini adalah makna zhahir
menurut pengertian Imam Malik.

C. Pandangan Imam Syafi’i.


Menurut Imam Syafi,i, sebagaimana pendapat ulama yang lain, Imam Syafi’i menetapkan bahwa
sumber hukum islam yang paling pokok adalah Al-Quran. Bahkan beliau berpendapat,”Tidak ada
yang diturunkankepada penganut agama manapun,kecuali petunjuk terdapat didalam Al-
Quran.”(asy-syafi,i, 1309:20) oleh karena itu Imam syafi’i senantiasa mencantumkan nash-nash Al-
Quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya. Sesuai metode yang digunakanya, yakni deduktif.

Namun, asy-syafi,i menggangap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Sunnah. Karena kaitan
antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum islam
pertama Al-Quran dan kedua As-Sunnah, maka Imam Syafi’i berpandangan bahwa Al-Quran dan
Sunnah itu berada pada satu martabat.(Keduanya wahyu Ilahi yang berasal dari Allah Firman Allah :
(surat An-najm : 4 )

4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Sebenarnya, Imam asy-Syafi’i pada beberapa tulisanya yang lain tidak menggangap bahwa Al-Quran
dan sunah berada dalam satu martabat (karena dianggap sama-sama wahyu, yang berasal dari
Allah), namun kedudukan sunnah tetap setelah Al-Quran.Al-Quran seluruhnya berbahasa Arab. Tapi
Asy Syafi,i menggangap bahwa keduannya berasal dari Allah SWT. Meskipun mengakui bahwa
diantara keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurut sunnah merupakan
penjelas bagi keterangan yang bersifat umum yang berada di dalam Al-Quran.

Kemudain Asy Syafi’i menggangap Al-Quran itu seluruhnya itu berbahasa Arab, dan ia menentang
mereka yang beranggapan bahwa di dalam Al-Quran terdapat bahasa ‘Ajam’ (luar Arab).

Dengan demikian, tak heran bila imam Syafi’i dalam berbagai pendapat sangat penting mengunakan
bahasa Arab misalkan dalam shalat, nikah dan ibadah ibadah lainya. Dan beliau pun mengharuskan
penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang ingin memahami dan meng-istimbath hukum dari Al-
Quran[4].

D. Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal.

Pandangan Imam Ahmad, sama dengan Imam Syafi’i dalam memposisikan Al-quran sebagai
sumber utama hukum Islam dan selanjutnya diikuti oleh Sunnah. Al-Quran merupakan sumber dan
tiangnya agama islam, yang di dalmnya terdapat berbagai kaidahyang tidak akan berubah dengan
perubahan jaman dan tempat[5]. Al-Quran juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan
mengenai akidah yang benar, di samping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama islam.

Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana para ulama lainnya berpendapat keduanya juga di anggap
berada pada satu martabat, sehingga beliau sering menyebut keduanya dengan istilah nash (yang
terkandung di dalamnya Al-Quran dan Sunnah). Dalam penafsiran Al-Quran ia betul-betul
mementingkan Sunnah.

Misalnya anak laki-laki haram berkhalawat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihat
auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut jumhur, melihat aurat
dan berkhalawat dengan wanitayang bukan muhrimnya itu disebut pendahuluan yag haram
(muqaddimah al-hurmah).

Para ulama sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat
adanya penerimaan sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fath
adz-dzari’ah sedangkan ulama Safi’iyah, Hanafiyah, dan sebagian Malikiyah menyebutnya sebagai
muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun mereka sepakat bahwa halitu bisa
dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.

Sikap Ahmad bin Hanbal dalam konteks ini ada tiga poin :

a. Sesungguhnya zahir Al-Quran tidak mendahulukan As-Sunnah.

b. Hanya Rasulullah saja yang berhak menafsirkan atau mentakwilkan Al-Quran.

c. Jika tidak ditemukan tafsir dari Nabi, penafsiran sahabatlah yang digunakan, karena merekalah
yang menyaksikan turunnya Al-Quran dan mendengarkan takwil dari Nabi.

Menurut Ibnu Taymiyah, Al-Quran hanya boleh ditafsirkan oleh atsar. Namun dalam beberapa
pendapatnya ia menjelaskan kembali,jika tidak ditemukan dalam sunnah dan atsar sahabat, maka
diambil penafsiran tabii’in.

Alasan berhujjah (beragumentasi) dengan Al-Quran:

· Alquran itu diturunkan kepada Rasulullah diketahui secara mutawatir dan ini memberikan
keyakinan bahwa Al-Quran itu benar-benar datang dari Allah melalui Jibril.

KESIMPULAN

Al Qur’an merupakan sumber utama hukum islam yang diturunkan Allah SWT dan wajib
diamalkan. Apabila hukum permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam Al-Qur’an maka
barulah mujtahid mempergunakan dalil lain.
Abu Hanifah sependapat dengan jumhur bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum pertama
hukum Islam. Namun ia berbeda mengenai Al-Quran itu, apakah mencakup makna dan lafazh atau
maknanya saja.

Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lafazh dan maknanya dari
Allah SWT. Ia bukanmakhluk, karena kalam adalah termasuk sifat Allah. Suatu yang termasuk sifat
Allah, tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang
yangmenyatakan Al-Quran makhluk

Menurut Imam Syafi,i, sebagaimana pendapat ulama yang lain, Imam Syafi’i menetapkan bahwa
sumber hukum islam yang paling pokok adalah Al-Quran. Bahkan beliau berpendapat,”Tidak ada
yang diturunkankepada penganut agama manapun,kecuali petunjuk terdapat didalam Al-
Quran.”(asy-syafi,i, 1309:20) oleh karena itu Imam syafi’i senantiasa mencantumkan nash-nash Al-
Quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya. Sesuai metode yang digunakanya, yakni deduktif.

Pandangan Imam Ahmad, sama dengan Imam Syafi’i dalam memposisikan Al-quran sebagai
sumber utama hukum Islam dan selanjutnya diikuti oleh Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar Al-Qalam. 1983

Nasrun, Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos wacana ilmu, 2001

M. Quraish Shihab, membumikan Al-quran: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan
masyarakat, bandung: Mizan, 1992

Syafi’i, Rahmat. Ilmu ushul Fiqh, Bandung: pustaka setia. 2010

Abu zahrah, Imam, Ushul Fiqh, Darul Fikri Al-Araby, 1958

[1] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar Al-Qalam.

[2] Nasrun, Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos wacana ilmu, hal 28

[3] M. Quraish Shihab, membumikan Al-quran: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan
masyarakat, bandung: Mizan, 1992, hal

[4] Abu Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar Al-Qalam.

[5] Syafi’i, Rahmat. Ilmu ushul Fiqh, Bandung: pustaka setia

..........................................
HASAN RUBANGI

PENGINGAT

Donderdag 11 April 2013

MAKALAH USHUL FIQIH KEHUJJAHAN QURAN DAN SUNAH

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat
digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang
dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena
memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga
termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau
memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah
Allah.

Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam Al-
Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:

1. Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya
oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin
Aqoid).

2. Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh
setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin
Akhlak).

3. Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputi
masalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah,
muamalah dan lain-lain.

Mukjizat yang datang dari alloh swt ini masih banyak sekali didalamnya terdapat perbedaan
pendapat tentang penafsiran ayatnya kerena memang ayat yang ada didalamnya belum semua jelas
maksud dan tujuanya. Untuk itu kami mencoba mengungkap sedikit tentang kejelasan ayat yang ada
dalam al-qur’an, semoga coretan kami ini bermanfaat bagi kami dan pembaca.
B. RUMUSAN MASALAH

Adapun permasalahan yang kami uraikan dalam makalah ini adaah sebagai berikt :

1. Apa yang di maksud Al-Qur’an dan as-sunnah?

2. Apakah bukti kehujjahan al-qur’a, dan as-sunnah sebagai sumber hukum ?

3. Bagaimanabentuk kejelasan lafadz dari a-qur’an dan as-sunnah?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan kmi dalam penulisan makalah ini aadalah sebagai berikut :

a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan al-qur’an dan as-sunnah

b. Mengetahui kehujjhan al-qur’an dan as-sunnah sebagi sumber hukum islam

c. Mengetahui bentuk kejelasan suatu lafadz

BAB II

PEMBAHASAN

A. AL-QUR’AN

1. Pengertian Al-Qur’an

v Secara Bahasa (Etimologi)


Merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (‫ )قرأ‬yang bermakna membaca atau
baca’an, seperti terdapat dalam surat Al-Qiamah (75) : 17-18 :

) 18-17 : ‫ان عليناجمعه وقرانه فاداقراناه فتبع قراناه ( القيمة‬

Artinya:

“sesungguhnya tangguangan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai )


membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (Al-Qiamah
: 17-18).

v Secara Istilah (Terminologi)

Adapun difinisi alqur’an secara istilah menurut sebagian ulamak ushul fiqih adalah:

‫كالم هللا تعالى المنزل على محمد صلى هللا عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب بالمصاحف المتعبدبتالوته المبدوء‬
‫بالفاتحة والمختوم بسورة الناس‬

Artinya:

“Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.

Dari devinisi tersebut, para ulama menafsirkan Al Qur’an dengan beberapa variasi pendapat yang
dapat kami simpulkan menurut beberapa ulama Ushul Fiqh :[1][1]

1. Al-Qur’an merupakan kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. dengan
demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-
Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang allah turunkan kepada Nabi Ibrahim (zabur) Ismail (taurat)
Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang kalamullah, tetapi dikarebakan diturunkan bukan
kepada nabi Muhammad saw, maka tidak dapat disebut alqur’an.

2. Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an,
antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan ibrahim : 4 maka para
ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an tidak dinamakan Alquran serta tidak
bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan
alquran, sekalipun ulma’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi
kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).

3. Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa perubahan
dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)

4. Membaca setiap kata dalam alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan
sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.

5. Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan surat yag
terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW. tidak boleh diubah dan digamti letaknya. Dengan demikian doa doa, yang
biasanya ditambahkan di akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.

Ø Dari difinisi di atas ada beberapa hal yang dapat di pahami di antaranya:

1. Lafal dan maknanya langsung berasal dari allah sehingga segala sesuatu yang di ilhamkan allah
kepada nabi bukan di sebut al-qur’an, melainkan di namakan hadits.
2. Tafsiran surat atau ayat Al-Qur’an yang ber bahasa Arab, meskipun mirip dengan Al-Qur’an itu,
tidak dinamakan Al-Qur’an. Dan juga terjemahan surat dan ayat al-qur’an dengan bahasa lain
(bahasa selain arab), tidak di pandang sebagai bagian dari Al-Qur’an, meskipun terjemahan itu
menggunakan bahasa yang baik dan mengandung makna yang dalam.

B. Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Utama.

Para Ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi Syari’at Islam,
termasuk hukum islam. dan menganggapnya al-qur’an sebagai hukum islam karena di latar belakangi
sejumlah alasan, dintaranya :

1. Kebenaran Al-Qur’an

Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa “ kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan
kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT
yang Artinya:

“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-
Baqarah, 2 :2).

Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan
padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan Aturan-
Aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti
kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi
seluruh ummat manusia.[2][2]

2. Kemukjizatan Al-Qur’an

Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu
adalah di luar kesanggupannya. Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT berikan kepada
para Nabi dan Rasul untuk menguatkan kenabian dan kerasulan mereka, dan untuk menunjukan
bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-benar datang
dari Allah SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara mereka adalah
Rasulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.

Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena Al-
Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa,
karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan dan dimana pun
mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa, hal tersebut sesuai
dengan firman-Nya yangArtinya:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya”
(Q. S. Al-Hijr, 15:9).

Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:


1. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi
di masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar
adanya.

2. Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.[3]

3. Bentuk ayatnya merupakan lantunan syair yang tidak akan pernah bisa terkalahkan oleh para
penyair karena memang dating dari alloh yang mah segalanya.

2. AS-SUNNAH

A. Pengertian Sunnah

Suunnah (‫ )سنه‬secara etimologi berarti jalan yang bisa dilalui, atau cara yang senantiasa dilakukan
apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk. Pengertian sunnah secara etimologi ditemukan dalam
hadis rasulullah SAW:

* ‫من سن في االسالم سنة حسنة فله اجرها واجرمن عمل بها من بعده‬

* “ barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam islam maka menerima pahalanya
dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya...(HR. Muslim)

Secara terminologi, sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu yaitu dari ilmu hadis,ilmu fiqih dan ushul
fiqih. Sunnah menurut para ahli hadis identik dengan hadis yaitu seluruh yang disandarkan kepada
nabi muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau sifat nya sebagai manusia
biasa, ahlaknya apakah itu sebelum atau sesudah beliau diangkat menjadi rasul

Sunnah menurut ahli ushul fiqih adalah segala yang diriwayatkan berupa perbuatan, perkataan, dan
ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqih, sebagai salah
satu hukum taklifiyang mengandung pengertian perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala
dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.

Terjadinya perbedaan pengertian sunnah dikalangan ahli ushul fiqih dengan ahli fiqih, menyebabkan
perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap sunnah. Ulama ushul fiqih memandang bahwa
sunnah tersebut merupakan salah satu sumber dalil hukum. Sedangkan ulama fiqih menempatkan
sunnah sebagai salah satu hukum taklifi.

B. Kedudukan atau Kehujjahan Sunnah Sebagai Sumber Hukum

Para ulama sepakat mengatakan bahwa sunnah rasulullah SAW dalam tiga bentuk diatas (fi’liyyah,
qauliyyah dan takririyyah), merupakan sumber asli dari hukum-hukum syara dan menempati posisi
kedua setelah alquran.

Ada bebrapa alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqih untuk mendukung pernyataan diatas,
diantaranya adalah firman allah:

1. Qs.ali imran: 3:31

@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# ö Ïÿøótƒur ö/ä3s9
ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÊÈ

31. Katakanlah: "Jika kamu (benarbenar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Surat al-ahzab: 33:21

‰s)©9 tb%x. öNä3s9 ’Îû ÉAqß™u‘ «!$# îouqó™é& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ö tƒ ©!$#
tPöqu‹ø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ

21. Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

3. Qs. Annisa: 4:59

* $pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§ 9$# ’Í<'ré&ur


͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šã sù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§ 9$#ur bÎ)
÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur Ì ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎ö yz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ

59. Hai orangorang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

4. Rasulullah sendiri mengatakan,

* ‫أالاٍني اوتيت القران ومثله معه‬

Sesungguhnya pada saya telah diturunkan alquran dan yang semisalnya (HR. Bukhari dan muslim)

3. KEJELASAN LAFADZ

Lafadz-lafadz yang ada dalam al-quran dan hadist dalam ilmu ushul fikih dilihat dari kejelasan
maknanya terbagi menjadi dua :

A. AYAT AMUHKAM (jelas)

Lafaz yang muhkam ialah:

‫ْث اَل َي ْق َب ُل اإْل ِ ْب َطا َل َو ال َّت ْب ِد ْي َل َو ال َّتأْ ِو ْي َل‬


ُ ‫س صِ يْغَ ِت ِه َعلَى َمعْ َناهُ ْال َوضْ عِىِّ َداَل لَ ًة َواضِ َح ًة ِب َحي‬
ِ ‫َمادَ َّل ِب َن ْف‬
“Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan
pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan
pembatalan, penggantian maupun ta’wil.

Muhkam juga dapat berarti lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup
kemungkinan untuk di-ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula
kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkannya
tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku
padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, kewajiban beriman kepada
rasul dan kitab-kitab-Nya, dan pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang
tua, dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada pengertiannya
secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil padanya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-nasakh
pada masa Rasulullah.

Berikut ini adalah contoh dari lafaz muhkam, yaitu:

a. Sabda Nabi Muhammad:

ٍ ‫اَ ْل ِج َها ُد َج‬


‫اض إِلَى َي ْو ِم ْالقِيَّا َم ِة‬

Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.[24]

Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan
dari segi waktu.[25]

b. QS. An-Nur (24) ayat 4:

Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy‰»pky #Y‰t/r&

Jangan kamu terima dari mereka kesaksian selama-lamnya.

Kata #Y‰t/r& (selama-lamanya) dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak diterima
kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.

Yang dimaksudkan dengan muhkam (jelas) di sini ialah ketepatan dan kualitas tinggi pada lafaz-lafaz
dan arti-artinya. Al-Quran menggunakan bahasa dan sastra yang sangat fasih. Kesemua berita-
beritanya benar dan bermanfaat. Al-Quran tidak mengandungi penipuan, percanggahan maupun
kata-kata kosong yang tidak berguna. Kesemua hukum-hukumnya adil, tidak zalim, tidak
bercanggahan dan bukannya hukum yang tidak relevan.

B. AYAT MUTASYABIHAT (saling menyerupai).

Mutasyâbbih ialah lafal yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri,
sehingga tidak ada di luar lafal yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan
juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.[49]

Di antara lafaz mutasyâbbih adalah huruf-huruf hija’iyah yang terpotong-potong pada permulaan
sebagian surat-surat Al-Qur’an, seperti: ‫ الم‬,‫ ص‬,‫ ق‬,‫ حم‬. Dan ayat-ayat yang menurut zhâhir-nya
menunjukkan secara samar adanya penyerupaan al-Khâlik kepada makhluk-Nya, seperti dalam hal
Allah mempunyai mata, tangan, dan muka Contohnya:

a. QS. Hud (11) ayat 37:

ÆìoYô¹$#ur y7ù=àÿø9$# $uZÏ^ã‹ôãr'Î/

Dan buatlah bahtera itu dengan mata-mata Kami.

b. QS. Al-Fath (48) ayat 10:

߉tƒ «!$# s-öqsù öNÍk‰É‰÷ƒr&

Tangan Allah di atas tangan mereka.

c. QS. Ar-Rahman (55) ayat 27:


4’s+ö7tƒur çmô_ur y7În/u‘ rèŒ È@»n=pgø:$# ÏQ#t ø.M}$#ur ÇËÐÈ

Dan tetap kekal muka Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Menurut ulama salaf, adanya kesamaran pada huruf-huruf hija’iyah dan ayat-ayat tersebut
dikarenakan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Lagi pula Allah dan Rasul-Nya tidak
menjelaskan arti dan maksud yang dikehendaki. Dengan demikian menurut mereka hanya Allahlah
Yang Maha Mengetahui dan Maha Mendengar lagi pula Maha Suci dari segala sesuatu yang
menyerupai makhluk-Nya.[51]

Sedangkan menurut ulama khalaf, bahwa ayat-ayat yang menurut arti zhâhir-nya mustahil seperti
Allah mempunyai tangan, mata, dan muka, itu semua harus di-ta’wil-kan dan dipalingkan dari arti
zhâhir-nya kepada arti yang sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab sekalipun dengan
jalan majaz.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat
digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan sumber
penetapan hukum syara’, penetapa keduanya pun menjadi hujjah dan sumber hukum sudah
dijelaskan dalam alqur’an maupun hadits, kejelasan lafadz yang ada pada al-quran maupun hadist
masih belum bisa ditelan secara mentah mentah karena ayatnya masih ada yang membutuhkan
penjelasan, secara global lafadz terbagi menjadi dua, yaitu ayat muhkam dan mutasyabihat, yaitu
ayat sudah jelas tanpa membutuhkan penjelasan dan lafadz yang masih membutuhkan penjelasan
untuk memahami isi kandungan lafadz tersebut.

B. SARAN DAN PESAN

Bentuk karya tulis yang sangat sederhana ini kami sadari masih sangat banyak kekurangan,
baik dari segi penulisan maupun isi yang kami sajikan, oleh sebab itu kami sangat membutuhkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk menghasilkan karya lebih baik dan berkualitas.
Walaupu berawal dari karya yang jauh dari kesempurnaan kami sangat berharap semoga karya ini
bisa bermanfaat bagi kami pribadi maupun pembaca yang budiman.

DAFTAR PUSTAKA

o Prof. Dr. rachmat syafe’I M.A Ilmu ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS pustaka setia Bandung
2007

o Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2005.
o Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009.

Uman, Khairul dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.

o http://rahasiasuksesirfanansori.wordpress.com/2011/10/31/al-quran-sebagai-sumber-hukum-
islam-pertama/

* Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Menurut Imam Madzhab.[4][4] Diantaraya :

* 1. Pandangan Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum
islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan
shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak
dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di
bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.

2. Pandangan Imam Malik

Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari
Allah SWT . Sebagai sumber hukum islam, dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk,
Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang
menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “ seandainya aku
mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya
nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu,”.

Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang
membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan
kebohongan terhadap Allah SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan
ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali Imran, petunjuk Lafazh yang terdapat dalam Al-qur’an terbagi dalam
dua macam yaitu:

· Ayat Muhkamat

Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat di pahami dengan mudah. Dan
ayat Muhkamat disini terbagi dalam dua bagian yaitu; Lafazh dan Nash.

Imam malik menyepakati pendapat ulamak-ulamak lain bahwa lafad nash itu (qoth’i) artinya adalah
lafazh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qoth’i) yang secara pasti tidak memiliki makna
lain, Sedangkan Lafadz Dhohir ( Zhanni ) adalah lafazh yang menunjukkan makna jelas, namun masih
mempunyai kemungkinan makna lain.

Menurut imam malik keduanya, dapat dijadikan hujjah , hanya saja Lafazh Nash di dahulukan dari
pada Lafazh Dhohir . Dan juga menurut imam malik bahwa dilalah nash termsuk qath’i, sedangkan
dilalah zhahir termasuk Zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang di
dahulukan adalah dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah makna zhahir di sini adalah makna zhahir
menurut pengertian Imam Malik

· Ayat-ayat Mutasyabbihat

Ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat di tentukan artinya, kecuali
setelah diselidiki secara mendalam.

3. Pendapat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan
beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara
keduanya sangat erat sekali, Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau
menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan
derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber
hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT.

Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan
penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau
mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum
dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu
Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab.
Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.

4. Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal

Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang
tidakakanberubah sepanjang masa. Alqur’an juga mengandung hukum-hukum yang bersifat GLOBAL
(luas atau umum). Sehingga al-qur’an tidak bisa di pisahkan dengan sunnah atau hadits, karna
Sunnah ini merupakan penjelas dari alqur’an, seperti halnya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad yang
memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga tidak
jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah Nash tanpa menyebutkan Al-Qur’an
dahulu atau As-Sunnah dahulu tapi yang dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran yang
datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga :

1. Sesungguhnya zhahir al-qur’an tidak mendahului as-sunnah.


2. Rosulullah saw. Yang berhak menafsirkan al-qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak
menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan dan
menjelaskannya.

3. Jika tidak di temuan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para
sahabatlah yang di pakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya al-qur’an .dan mereka pula
yang lebih mengetahui as-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran al-qur’an.

Menurut Ibnu Taimiah, Al-Qur’an itu tidak di tafsirkan, kecuali dengan Atsar, namun dalam beberapa
pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan Qoul
Sahabat, di ambial dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247)

C. Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an

Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Syara’. Merekapun spakat bahwa
semua ayat al-Qur’an dari segi wurut (kedatangan) dan Tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini
karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat
yang mencantumkan beberapa kata pada mushiaf-nya, yang tidak ada pada qiro’ah mutawatir, hal
itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran pada Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. Atau
hasil ijtihad mereka dengn jalan membawa nas mutlak pada muqayyad dan hanya untuk dirinya
sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qiroat Khairu
Mutawatir yang periwayatannya tersendiri. Diantara para Sahabat yang mencantumkan beberapa
kata pada mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di mencantumkan kata Mutata Biatin pada
ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-nya tertulis :

‫فمن لم يجد فصيا م ثال ثة ا يا م متتا بعا ت‬

Dan menambah kata dzi ar-rohmi al—muharrami pada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat
tertulis:

‫وعلى الوارث دى الرحيم المحرم‬

Ubai Ibnu Ka’ab mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga ayat
tersebut tertulis pada mushaf-nya:

‫وان كان رجل يورث كاللة اوامراة وله اخ اواخت من االم‬

Namun, perlu di tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati dalam Mushaf Utsmani yang kita pakai
sekarang ini.

* Adapun di tinjau dari segi Dilalah-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat di bagi dalam dua bagian;

a. Nash yang Qath’i dilalah-nya

Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tdk bisa di takwil, tdk mempunyai makna yg lain, dan tdk
tergantung pd hal-hal lain di luar nash itu sendiri.Contoh yg dapat dikemukakan di sini, adalah ayat
yg menetapkankadar pembagian waris, pengharaman riba , pengharaman daging babi,hukuman had
zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayatyg menyangkut hal hal tersebut,
maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak
memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)

b. Nashyang Zhanni dilalah-nya


Yaitu nash yg menunjukkan suatu makna yg dpt di-takwil ayau nash yg mempunyai makna lebih dari
satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) atapun karena susunan kata-katanya dapat
dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya.

Para ulama, slain berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yg qath’i
dan zhanni dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk qath’i atau zhanni
dilalah.

Imam Asy-syatibi menegaskan behwa wujud dalil syara’ yg dengan sendirinya dapat
menunjukkan dilalah yg qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yg qath’i tubut pun untnk
menghasilkan dilalah yg qath’i masih bergantung pd premis-premis yg seluruh atau sebagiannya
zhanni . Dalil-dalil syara’ yg bergantung pd dalil yg zhanni menjadi zhnni pula.(Asy-Syatibi,1975,1;35).

D. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum.

1. Ayat-ayat yang menjelaskan Hukum diantaranya:

Uraian al-Qur’an tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan
187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah, karena
ulama Al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan
bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 Sya’ban tahun
kedua Hijriyah.

Allah swt berfirman:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).

Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.

2. Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan Shalat:

a. firman Allah SWT

Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman. (QS. An Nisa’:103).

Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).

Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan
Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45).[5][5]

E. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an

Alqur’an Sebagai sumber hukum yang utama, maka Al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang
mencakup berbagai bidang. Secara garis besar Al-Qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:

* Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban


orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari
Qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
* Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan prilaku
orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan
menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.

* Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala
perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut
dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.

Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an, garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:

1. Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan


kepercayaan

2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi
pekerti.

3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-


perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat , mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy
syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.

Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang pertama,
amaliyah yang kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang
diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.[6][6]

DAFTAR PUSTAKA

SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM

SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM

Disusun Oleh: Zainal Masri


Mahasiswa STAIN Batusangkar

B. Macam-macam Sunnah

Berdasarkan defenisi sunnah yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih diatas, sunnah menjadi
sumber hukum islam itu ada 3 macam

1. Sunnah fi’liyah yaitu perbuatan yang dilakukan nabi SAW, yang dilihat atau diketahui dan
disampaikan para sahabat kepada orang lain. Minsalnya: tata cara yang ditunjukan rasulullah SAW,
kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahui kepada orang lain.

2. Sunnah qauliah yaitu ucapan nabi SAW, yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau
beberapa sahabat kepada orang lain. Misalnya: sabda rasulullah SAW yang berbunyi:

‫الصالة لمن لم يقر ْا بفا تحة الكتب‬

Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat alfatihah (HR. Albukhari dan muslim)

3. Sunnah takririyah yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau
pengetahuan nabi SAW tetapi nabi hanya diam dan tidak mencegahnya.sikap diam dan tidak
mencegahnya nabi SAW, ini menunjukan persetujuan nabi SAW. Minsalnya kasus ‘amr ibn al-‘ash
yang berada dalam keadaan junub (wajib mandi), pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak
sanggup mandi khawatir akan sakit. ‘amr ibn al-‘ash ketika itu hanya bertayamum. Lalu hal ini
disampaikan orang kepada rasulullah SAW. Rasulullah kemudian bertanya kepada ‘amr ibn al-‘ash
engkau melaksanakan sholat bersama-sama dengan teman-teman engkau,sedang engkau dalam
keadaan junub? ‘amr ibn al-‘ash menjawab saya ingat firman allah SWT yang mengatakan , jangan
kamu membunuh diri kamu sesungguhnya allah itu maha pengasih lagi maha penyayang lalu saya
bertayamum dan langsung sholat. Mendengar jawaban ‘amr ibn al-‘ash ini rasulullah SAW tertawa
dan tidak berkomentar apapun (HR. Ahmad ibn hanbal dan al-baihaki). Tidak berkomentarnya
rasulullah SAW dipandang sebagai pengakuan bolehnya bertayamum bagi orang yang junub dalam
keadaan hari yang sangat dingin sekalipun air untuk mandi ada.

Dalam pembagian sunnah menjadi sunnah Fi’liyyah, sunnah Qauliyah, dan sunnah Takririyah para
ulama ushul fiqih membahas secara khusus kedudukan sunnah fi’liyah. Persoalan yang dikemukakan
para ahli ushul fiqih adalah apakah seluruh perbuatan rasulullah wajib diikuti umatnya. Dalam hal ini
para ahli ushul fiqih membagi sunnah fi’liyah kepada:

a. Perbuatan yang muncul dari rasulullah sebagai manusia biasa seperti makan, minum, duduk dan
pakaiannya.perbuatan yang seperti ini yang wajib diikuti oleh umatnya karena perbuatan seperti itu
muncul dsri rasulullah sebagai manusia biasa dengan tabi’atnya. Termasuk dalam hal ini adalah
perbuatan yang ditunjukan rasulullah sebagai akibat dari keahlian dan pengalaman hidupnya dalam
pandangan duniawi, seperti dalam masalah perdagangan, pertanian, peperangan atau masalah
pengobatan.

b. Perbuatan yang dilakukan rasulullah dan ada alasan menunjukan bahwa perbuatan itu khusus
untuk dirinya seperti shnita sholat tahajud yang dilakukan setiap malam, mengawini wanita lebih
dari empat orang sekaligus, dan tidak menerima sedekah dari orang lain. Perbuatan seperti ini hanya
khusus untuk dirinya dan tidak wajib diikuti umatnya.

c. Perbuatan yang berkaitan dengan hukumdan ada alasannya maka hukumnya berkisar antara
wajib, sunat, haram, makruf dan boleh. Perbuatan seperti ini menjadi syariat bagi umat islam

D. Fungsi Sunnah Terhadap Alquran


Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan) atau tabyin (menjelaskan ayat-ayat
hukum dalam al-quran)

Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah ilahi berfungsi untuk menjelaskan kepada umat islam
ajaran-ajaran yang diturunkan allah melalui alquran, hal ini sesuai dengan firman allah dalam surat
annahal :16:44

ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/–“9$#ur 3 !$uZø9t“Rr&ur y7ø‹s9Î) t ò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB


tAÌh“çR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ

44. Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar
kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya
mereka memikirkan,

[829] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al
Quran.

Penjelasan rasulullah terhadap alquran ada beberapa bentuk yaitu:

1. Merinci hukum global yang ada dalam alquran, seperti kewajiban sholat yang ada dalam alquran
yang sifatnya global, karena tidak merinci berapa kali, berapa rakaat, dan bagaimana tatacaranya,
dalam hal ini rasulullah bertugas menjelaskannya, sebagaimana sabda beliau:

‫صلواكمارايتمو ني اصلي‬

Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya melakukan sholat (HR. Al-bukhari dan muslim)

2. Menjelaskan maksud hukum mutlak, yang ada dalam al-quran seperti perintah allah untuk
memotong tangan orang yang melakukan tindak pidana pencurian. Perintah allah ini tidak
menjelaskan ukuran yang dipotong dan nisab harta yang dicuri yang dikenakan hukuman potong
tangan. Tugas rasulullah adalah menjelaskan yang mutlak tersebut, yaitu bahwa tangan yang
dipotong itu sampai pergelangan tangan dan nisab barang yang dicuri itu adalah seperempat dinar
(HR. Al-bukhari dan muslim)

3. Mengkhususkan hukum-hukum yang bersifat umum dalam al-quran seperti tentang pembagian
harta warisan dalam surat annisa: 11

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& (

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu

Kalimat anak-anakmu dalam ayat-ayat ini masih bersifat umum yaitu seluruh naka.. akan tetapi
apabila anak itu sengaja membunuh ayahnya agar cepat mendapatkan warisan, apakah dapat bagian
juga? Dalam kaitan ini rasulullah menjelaskan bahwa” pembunuh tidak mendapat bagian
warisan”(HR. Muslim)
[1][1] Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA. Hal: 50

[2][2] Dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang

[3][3] dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang

[4][4] Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA.Hal: 51

[5][5] Dikutip dari “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009

[6][6] Dikutip dari, “ilmu ushul fiqh”. Prof.Dr.Abdul Wahhab Khalaf

HASAN RUBANGI
PENGINGAT
Donderdag 11 April 2013

MAKALAH USHUL FIQIH KEHUJJAHAN QURAN


DAN SUNAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat
digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang
dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena
memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga
termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau
memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah
Allah.

Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam
Al-Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:

1.      Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya
oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin
Aqoid).

2.      Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh
setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin
Akhlak).

3.      Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputi
masalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah,
muamalah dan lain-lain.

Mukjizat yang datang dari alloh swt ini masih banyak sekali didalamnya terdapat perbedaan
pendapat tentang penafsiran ayatnya kerena memang ayat yang ada didalamnya belum semua jelas
maksud dan tujuanya. Untuk itu kami mencoba mengungkap sedikit tentang kejelasan ayat yang ada
dalam al-qur’an, semoga coretan kami ini bermanfaat bagi kami dan pembaca.

B.     RUMUSAN MASALAH
            Adapun permasalahan yang kami uraikan dalam makalah ini adaah sebagai
berikt :

1.      Apa yang di maksud Al-Qur’an dan as-sunnah?

2.      Apakah bukti kehujjahan al-qur’a, dan as-sunnah sebagai sumber hukum ?

3.     Bagaimanabentuk kejelasan lafadz dari a-qur’an dan as-sunnah?

C.    TUJUAN PENULISAN

            Adapun tujuan kmi dalam penulisan makalah ini aadalah sebagai berikut :

a.       Mengetahui apa yang dimaksud dengan al-qur’an dan as-sunnah

b.      Mengetahui kehujjhan al-qur’an dan as-sunnah sebagi sumber hukum islam


c.       Mengetahui bentuk kejelasan suatu lafadz

BAB II
PEMBAHASAN

A. AL-QUR’AN   
1. Pengertian Al-Qur’an                           

v  Secara Bahasa (Etimologi)

Merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (‫ )ق رأ‬yang bermakna
membaca atau baca’an, seperti terdapat dalam surat Al-Qiamah (75) : 17-18 :

) 18-17 : ‫القيمة‬ ( ‫ان عليناجمعه وقرانه فاداقراناه فتبع قراناه‬

Artinya:

“sesungguhnya tangguangan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu


pandai ) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”
(Al-Qiamah : 17-18).

v  Secara Istilah (Terminologi)


Adapun  difinisi alqur’an secara istilah menurut sebagian ulamak ushul fiqih adalah:

‫كالم هللا تعالى المنزل على محمد صلى هللا عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب بالمص احف المتعبدبتالوت ه المب دوء‬
‫بالفاتحة والمختوم بسورة الناس‬

Artinya:

 “Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.

 Dari devinisi tersebut, para ulama menafsirkan Al Qur’an dengan beberapa variasi pendapat
yang dapat kami simpulkan menurut beberapa ulama Ushul Fiqh :[1][1]

1. Al-Qur’an merupakan kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. dengan demikian,
apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-Qur’an. Seperti
diantaranya wahyu yang allah turunkan kepada Nabi Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil).
Memang hal tersebut diatas memang kalamullah, tetapi dikarebakan diturunkan bukan kepada nabi
Muhammad saw, maka tidak dapat disebut alqur’an.

2.  Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an,
antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan ibrahim : 4 maka para
ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an tidak dinamakan Alquran serta tidak
bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan
alquran, sekalipun ulma’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi
kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).

3.  Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa perubahan dan
penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)

4.    Membaca setiap kata dalam alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan sendiri
(Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.

5.    Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan surat yag
terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW. tidak boleh diubah dan digamti letaknya. Dengan demikian doa doa, yang
biasanya ditambahkan di akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.

Ø  Dari difinisi di atas ada beberapa hal yang dapat di pahami di antaranya:

1.      Lafal dan maknanya langsung berasal dari allah sehingga segala sesuatu yang di ilhamkan allah
kepada nabi bukan di sebut al-qur’an, melainkan di namakan hadits.

2.      Tafsiran surat atau ayat Al-Qur’an yang ber bahasa Arab, meskipun mirip dengan Al-Qur’an itu, tidak
dinamakan Al-Qur’an. Dan juga terjemahan surat dan ayat al-qur’an dengan bahasa lain (bahasa
selain arab), tidak di pandang sebagai bagian dari Al-Qur’an, meskipun terjemahan itu menggunakan
bahasa yang baik dan mengandung makna yang dalam.

B.     Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Utama.

Para Ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi
Syari’at Islam, termasuk hukum islam. dan menganggapnya al-qur’an sebagai hukum islam karena di
latar belakangi sejumlah alasan, dintaranya :

1.      Kebenaran Al-Qur’an

Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa “ kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran
dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”.  Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT yang Artinya:

“Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).

Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada
keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan
Aturan-Aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti
kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi
seluruh ummat manusia.[2][2]

2.      Kemukjizatan Al-Qur’an

Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya
karena hal itu adalah di luar kesanggupannya. Mukjizat merupakan suatu kelebihan yang Allah SWT
berikan kepada para Nabi dan Rasul untuk menguatkan kenabian dan kerasulan mereka, dan untuk
menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainkan benar-
benar datang dari Allah SWT. Seluruh nabi dan rasul memiliki mukjizat, termasuk di antara mereka
adalah Rasulullah Muhammad SAW yang salah satu mukjizatnya adalah Kitab Suci Al-Qur’an.

Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW,
karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusia
sepanjang masa, karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan
dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa, hal
tersebut sesuai dengan firman-Nya yangArtinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap
memeliharanya” (Q. S. Al-Hijr, 15:9).

Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:

1.      Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi di
masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar
adanya.

2.      Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.[3]

3.    Bentuk ayatnya merupakan lantunan syair yang tidak akan pernah bisa terkalahkan oleh para penyair
karena memang dating dari alloh yang mah segalanya.

2. AS-SUNNAH

A.  Pengertian Sunnah

Suunnah (‫نه‬ ‫)س‬ secara etimologi berarti jalan yang bisa dilalui, atau cara yang senantiasa dila
kukan apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk. Pengertian sunnah secara etimologi ditemukan 
dalam hadis rasulullah SAW:

       ‫بعده‬ ‫من‬ ‫بها‬ ‫عمل‬ ‫واجرمن‬ ‫اجرها‬ ‫فله‬ ‫حسنة‬ ‫سنة‬ ‫االسالم‬ ‫في‬ ‫سن‬ ‫من‬
      “  barang  siapa  yang  membiasakan  sesuatu  yang  baik  didalam  islam  maka  menerima  pah

alanya  dan  pahala  orang-orang  sesudahnya  yang  mengamalkannya...(HR.  Muslim)

Secara terminologi, sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu yaitu dari ilmu hadis,ilmu fiqih d
an ushul fiqih. Sunnah menurut para ahli hadis identik dengan hadis yaitu seluruh yang disandarkan 
kepada nabi muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau sifat nya sebagai 
manusia biasa, ahlaknya apakah itu sebelum atau sesudah beliau diangkat menjadi rasul

Sunnah menurut ahli ushul fiqih adalah segala yang diriwayatkan berupa perbuatan, perkataan, 
dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqih, sebagai sal
ah satu hukum taklifiyang mengandung pengertian perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pa
hala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.

Terjadinya perbedaan pengertian sunnah dikalangan ahli ushul fiqih dengan ahli fiqih, menyebab
kan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap sunnah. Ulama ushul fiqih memandang bah
wa sunnah tersebut merupakan salah satu sumber dalil hukum. Sedangkan ulama fiqih menempatka
n sunnah sebagai salah satu hukum taklifi.

B. Kedudukan atau Kehujjahan Sunnah Sebagai Sumber Hukum


Para ulama sepakat mengatakan bahwa sunnah rasulullah SAW dalam tiga bentuk diatas  (fi’l
iyyah, qauliyyah dan takririyyah), merupakan sumber asli dari hukum-hukum syara dan menempati p
osisi kedua setelah alquran.

Ada bebrapa alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqih untuk mendukung pernyataan diat
as, diantaranya adalah firman allah:

1.      Qs.ali imran: 3:31

@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!
$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçR茠3 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÊÈ
31.    Katakanlah:  "Jika  kamu  (benarbenar)  mencintai  Allah,  ikutilah  aku,  niscaya  Allah  mengasi
hi  dan  mengampuni  dosa-dosamu."  Allah  Maha  Pengampun  lagi  Maha  Penyayang.

2. Surat al-ahzab: 33:21

‰s)©9 tb%x. öNä3s9 ’Îû ÉAqß™u‘ «!$# îouqó™é& ×puZ|¡ym `yJÏj9 
tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöqu‹ø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# 
#ZŽÏVx. ÇËÊÈ
21.  Sesungguhnya  Telah  ada  pada  (diri)  Rasulullah  itu  suri  teladan  yang  baik  bagimu  (yaitu) 
bagi  orang  yang  mengharap  (rahmat)  Allah  dan  (kedatangan)  hari  kiamat  dan  dia  banyak  menye
but  Allah.

3. Qs. Annisa: 4:59

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# 
      

(#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷
Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur 
bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ 
׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ 
59.    Hai  orangorang  yang  beriman,  taatilah  Allah  dan  taatilah  Rasul  (nya),  dan  ulil  amri  di  antara 
kamu.  Kemudian  jika  kamu  berlainan  pendapat  tentang  sesuatu,  Maka  kembalikanlah  ia  kepada 
Allah  (Al  Quran)  dan  Rasul  (sunnahnya),  jika  kamu  benar-benar  beriman  kepada  Allah  dan  hari  ke
mudian.  yang  demikian  itu  lebih  utama  (bagimu)  dan  lebih  baik  akibatnya.

4. Rasulullah sendiri mengatakan,

       ‫معه‬ ‫ومثله‬ ‫القران‬ ‫اوتيت‬ ‫أالاٍني‬
Sesungguhnya  pada  saya  telah  diturunkan  alquran  dan  yang  semisalnya  (HR.  Bukhari  dan  mu
slim)
3. KEJELASAN LAFADZ
               Lafadz-lafadz yang ada dalam al-quran dan hadist dalam ilmu ushul fikih dilihat dari
kejelasan maknanya terbagi menjadi dua :

A.  AYAT AMUHKAM (jelas)

Lafaz yang muhkam ialah:

‫ْث اَل يَ ْقبَ ُل اإْل ِ ْبطَا َل َو التَّ ْب ِد ْي َل َو التَّأْ ِو ْي َل‬ ِ ‫ص ْي َغتِ ِه َعلَى َم ْعنَاهُ ْال َوضْ ِع ِّى َداَل لَةً َوا‬
ُ ‫ض َحةً بِ َحي‬ ِ ‫َما َد َّل ِبنَ ْف‬
ِ ‫س‬

“Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan
pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan
pembatalan, penggantian maupun ta’wil.

Muhkam juga dapat berarti lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga
tertutup kemungkinan untuk di-ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula
kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkannya
tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku
padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, kewajiban beriman kepada
rasul dan kitab-kitab-Nya, dan pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang
tua, dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada pengertiannya
secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil padanya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-
nasakh pada masa Rasulullah.

Berikut ini adalah contoh dari lafaz muhkam,  yaitu:

a.        Sabda Nabi Muhammad:

‫اض ِإلَى يَوْ ِم ْالقِيَّا َم ِة‬


ٍ ‫اَ ْل ِجهَا ُد َج‬

Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.[24]

Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya
pembatalan dari segi waktu.[25]

b.      QS. An-Nur (24) ayat 4:


&Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy‰»pky #Y‰t/r

Jangan kamu terima dari mereka kesaksian selama-lamnya.

Kata #Y‰t/r& (selama-lamanya) dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak diterima


kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.

Yang dimaksudkan dengan muhkam (jelas) di sini ialah ketepatan dan kualitas tinggi pada


lafaz-lafaz dan arti-artinya. Al-Quran menggunakan bahasa dan sastra yang sangat fasih. Kesemua
berita-beritanya benar dan bermanfaat. Al-Quran tidak mengandungi penipuan, percanggahan
maupun kata-kata kosong yang tidak berguna. Kesemua hukum-hukumnya adil, tidak zalim, tidak
bercanggahan dan bukannya hukum yang tidak relevan.

B.   AYAT MUTASYABIHAT (saling menyerupai).

Mutasyâbbih ialah lafal yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal
itu sendiri, sehingga tidak ada di luar lafal yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang
artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.[49]

Di antara lafaz mutasyâbbih adalah huruf-huruf hija’iyah yang terpotong-potong pada


permulaan sebagian surat-surat Al-Qur’an, seperti: ‫ الم‬,‫ ص‬,‫ ق‬,‫حم‬ . Dan ayat-ayat yang menurut zhâhir-
nya menunjukkan secara samar adanya penyerupaan al-Khâlik kepada makhluk-Nya, seperti dalam
hal Allah mempunyai mata, tangan, dan muka Contohnya:

a.       QS. Hud (11) ayat 37:

/ÆìoYô¹$#ur y7ù=àÿø9$# $uZÏ^ã‹ôãr'Î

Dan buatlah bahtera itu dengan mata-mata Kami.

b.      QS. Al-Fath (48) ayat 10:

&߉tƒ «!$# s-öqsù öNÍk‰É‰÷ƒr

Tangan Allah di atas tangan mereka.

c.       QS. Ar-Rahman (55) ayat 27:

  s+ö7tƒur çmô_ur y7În/u‘ r茠È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ’4

Dan tetap kekal muka Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Menurut ulama salaf, adanya kesamaran pada huruf-huruf hija’iyah  dan ayat-ayat tersebut
dikarenakan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Lagi pula Allah dan Rasul-Nya tidak
menjelaskan arti dan maksud yang dikehendaki. Dengan demikian menurut mereka hanya Allahlah
Yang Maha Mengetahui dan Maha Mendengar lagi pula Maha Suci dari segala sesuatu yang
menyerupai makhluk-Nya.[51]

Sedangkan menurut ulama khalaf, bahwa ayat-ayat yang menurut arti zhâhir-nya mustahil
seperti Allah mempunyai tangan, mata, dan muka, itu semua harus di-ta’wil-kan dan dipalingkan dari
arti zhâhir-nya kepada arti yang sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab sekalipun
dengan jalan majaz.
BAB III
PENUTUP
                                                                                                                    

A.    KESIMPULAN

Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat
digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan sumber
penetapan hukum syara’, penetapa keduanya pun menjadi hujjah dan sumber hukum sudah
dijelaskan dalam alqur’an maupun hadits, kejelasan lafadz yang  ada pada al-quran maupun hadist
masih belum bisa ditelan secara mentah mentah karena ayatnya masih ada yang membutuhkan
penjelasan, secara global lafadz terbagi menjadi dua, yaitu ayat muhkam dan mutasyabihat, yaitu
ayat sudah jelas tanpa membutuhkan penjelasan dan  lafadz yang masih membutuhkan penjelasan
untuk memahami isi kandungan lafadz tersebut.

B.    SARAN DAN PESAN

            Bentuk karya tulis yang sangat sederhana ini kami sadari masih sangat banyak kekurangan,
baik dari segi penulisan maupun isi yang kami sajikan, oleh sebab itu kami sangat membutuhkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk menghasilkan karya lebih baik dan berkualitas.
Walaupu berawal dari karya yang jauh dari kesempurnaan kami sangat berharap semoga karya ini
bisa bermanfaat bagi kami pribadi maupun pembaca yang budiman.   

DAFTAR PUSTAKA
o   Prof. Dr. rachmat syafe’I M.A Ilmu ushul Fiqh untuk UIN, STAIN dan PTAIS pustaka setia Bandung
2007

o  Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, alih bahasa Halimuddin, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2005.

o  Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2,  Jakarta: Kencana, 2009.

Uman, Khairul dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.

o  http://rahasiasuksesirfanansori.wordpress.com/2011/10/31/al-quran-sebagai-sumber-hukum-
islam-pertama/

       Al-Qur’an sebagai Sumber  Hukum Menurut Imam Madzhab.[4][4] Diantaraya :

      1.      Pandangan Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup
maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia
membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi
walaupun tidak dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu
bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
2.      Pandangan Imam Malik

Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya
berasal dari Allah SWT . Sebagai sumber hukum islam, dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu
bukan makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-
orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “
seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an
( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu,”.

Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in)
yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan
kebohongan terhadap Allah SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalam cara
menggunakan ra’yu.

Berdasarkan ayat 7 surat Ali Imran, petunjuk Lafazh yang terdapat dalam Al-qur’an  terbagi


dalam dua macam yaitu:

·         Ayat Muhkamat

Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat di pahami dengan
mudah. Dan ayat Muhkamat  disini  terbagi dalam dua bagian yaitu; Lafazh dan Nash.

Imam malik menyepakati pendapat ulamak-ulamak lain bahwa lafad nash  itu


(qoth’i)  artinya  adalah lafazh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qoth’i) yang secara
pasti tidak memiliki makna lain, Sedangkan Lafadz Dhohir ( Zhanni  ) adalah lafazh  yang
menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.

Menurut imam malik keduanya, dapat dijadikan hujjah , hanya saja Lafazh Nash di
dahulukan dari pada Lafazh Dhohir . Dan juga menurut imam malik bahwa dilalah nash  termsuk
qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk Zhanni,  sehingga bila terjadi pertentangan antara
keduanya, maka yang di dahulukan adalah dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah makna zhahir di
sini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik

·         Ayat-ayat Mutasyabbihat

Ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat di tentukan artinya,
kecuali setelah diselidiki secara mendalam.

3.      Pendapat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling
pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan
antara keduanya sangat erat sekali, Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan
beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i
menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu
adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah
SWT.

Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat
mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya.
Beliau mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat
hukum dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan
pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa
selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.

4.      Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal

Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam,
yang tidakakanberubah sepanjang masa. Alqur’an juga mengandung hukum-hukum yang bersifat
GLOBAL (luas atau umum). Sehingga al-qur’an tidak bisa di pisahkan dengan sunnah atau hadits,
karna Sunnah ini merupakan penjelas dari alqur’an, seperti halnya Imam As-Syafi’I, Imam Ahmad
yang memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an sehingga
tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah Nash tanpa menyebutkan Al-
Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu tapi yang dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran
yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi
tiga :

1.      Sesungguhnya zhahir al-qur’an tidak mendahului as-sunnah.

2.      Rosulullah saw. Yang berhak menafsirkan al-qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak
menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan dan
menjelaskannya.

3.      Jika tidak di temuan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para sahabatlah
yang di pakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya al-qur’an .dan mereka pula yang lebih
mengetahui  as-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran al-qur’an.

Menurut Ibnu Taimiah, Al-Qur’an itu tidak di tafsirkan, kecuali dengan Atsar,  namun dalam
beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan
Qoul Sahabat, di ambial dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247)

C.    Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an

Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Syara’. Merekapun spakat
bahwa semua ayat al-Qur’an dari segi wurut (kedatangan) dan Tsubut (penetapannya) adalah qath’i.
Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian
sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushiaf-nya, yang tidak ada pada
qiro’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran pada Al-Qur’an yang
didengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengn jalan membawa nas mutlak
pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga
bahwa hal tersebut termasuk qiroat Khairu Mutawatir yang periwayatannya tersendiri. Diantara
para Sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud
di mencantumkan kata Mutata Biatin  pada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut
pada mushaf-nya tertulis :

‫متتا بعا ت‬ ‫فمن لم يجد فصيا م ثال ثة ا يا م‬

Dan menambah kata dzi ar-rohmi al—muharrami  pada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat
tertulis:

‫المحرم‬ ‫دى الرحيم‬ ‫وعلى الوارث‬

Ubai Ibnu Ka’ab mencantumkan kata Min Al-Ummi  pada ayat 12 surat An-Nisa,  sehingga ayat
tersebut tertulis pada mushaf-nya:

‫من االم‬ ‫وان كان رجل يورث كاللة اوامراة وله اخ اواخت‬

Namun, perlu di tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati dalam Mushaf Utsmani yang
kita pakai sekarang ini.

      Adapun di tinjau dari segi Dilalah-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat di bagi dalam dua bagian;

a.      Nash yang Qath’i dilalah-nya

 Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tdk bisa di takwil, tdk mempunyai makna yg lain,
dan tdk tergantung pd hal-hal lain di luar nash itu sendiri.Contoh yg dapat dikemukakan di sini,
adalah ayat yg menetapkankadar pembagian waris, pengharaman riba , pengharaman daging
babi,hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayatyg menyangkut hal hal
tersebut, maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu,  dan dalam
memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)

b.      Nashyang Zhanni dilalah-nya

 Yaitu nash yg menunjukkan suatu makna yg dpt di-takwil ayau nash yg mempunyai makna
lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) atapun karena susunan kata-katanya
dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya.

             Para ulama, slain berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yg qath’i
dan zhanni dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk qath’i atau zhanni
dilalah.
             Imam Asy-syatibi menegaskan behwa wujud dalil syara’ yg dengan sendirinya dapat
menunjukkan dilalah yg qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yg qath’i tubut pun untnk
menghasilkan dilalah yg qath’i masih bergantung pd premis-premis yg seluruh atau sebagiannya
zhanni . Dalil-dalil syara’ yg bergantung pd dalil yg zhanni menjadi zhnni pula.(Asy-Syatibi,1975,1;35).

D.    Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum.

1.      Ayat-ayat yang menjelaskan  Hukum diantaranya:

Uraian al-Qur’an tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184,
185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah,
karena ulama Al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan
menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10
Sya’ban tahun kedua Hijriyah.

Allah swt berfirman:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).

Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.

2.      Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan Shalat:

a.       firman Allah SWT

Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman. (QS. An Nisa’:103).

Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).

Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.
dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45).[5][5]

E.     Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an

Alqur’an Sebagai sumber hukum yang utama,  maka Al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang
mencakup berbagai bidang. Secara garis besar Al-Qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:

      Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang
mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat
dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
      Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan prilaku orang
mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan diri
dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.

      Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala
perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut
dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.

Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an,  garis besarnya terbagi kepada tiga bagian,
yakni:

1.      Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan

2.      Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.

3.      Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan


para mukalaf, baik mengenai ibadat , mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah,
jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.

Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian
yang  pertama, amaliyah yang  kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum
yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.[6][6]

DAFTAR PUSTAKA
SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM

SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
Disusun Oleh: Zainal Masri
Mahasiswa STAIN Batusangkar

B. Macam-macam Sunnah

Berdasarkan defenisi sunnah yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih diatas, sunnah menjadi sumb
er hukum islam itu ada 3 macam

1. Sunnah fi’liyah yaitu perbuatan yang dilakukan nabi SAW, yang dilihat atau diketahui dan disampaikan 
para sahabat kepada orang lain. Minsalnya: tata cara yang ditunjukan rasulullah SAW, kemudian disa
mpaikan sahabat yang melihat atau mengetahui kepada orang lain.

2. Sunnah qauliah yaitu ucapan nabi SAW, yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa s
ahabat kepada orang lain. Misalnya: sabda rasulullah SAW yang berbunyi:

‫الكتب‬ ‫تحة‬ ‫بفا‬ ‫ ْا‬ ‫يقر‬ ‫لم‬ ‫لمن‬ ‫الصالة‬
Tidak  sah  sholat  seseorang  yang  tidak  membaca  surat  alfatihah  (HR.  Albukhari  dan  muslim)

3. Sunnah takririyah yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau pengetahuan 
nabi SAW tetapi nabi hanya diam dan tidak mencegahnya.sikap diam dan tidak mencegahnya nabi S
AW, ini menunjukan persetujuan nabi SAW. Minsalnya kasus ‘amr ibn al-‘ash yang berada dalam kea
daan junub (wajib mandi), pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak sanggup mandi khawatir ak
an sakit. ‘amr ibn al-‘ash ketika itu hanya bertayamum. Lalu hal ini disampaikan orang kepada rasulul
lah SAW. Rasulullah kemudian bertanya kepada ‘amr ibn al-‘ash engkau melaksanakan sholat bersa
ma-sama dengan teman-teman engkau,sedang engkau dalam keadaan junub? ‘amr ibn al-‘ash menja
wab saya ingat firman allah SWT yang mengatakan , jangan kamu membunuh diri kamu sesungguhny
a allah itu maha pengasih lagi maha penyayang lalu saya bertayamum dan langsung sholat. Mendeng
ar jawaban ‘amr ibn al-‘ash ini rasulullah SAW tertawa dan tidak berkomentar apapun (HR. Ahmad ib
n hanbal dan al-baihaki). Tidak berkomentarnya rasulullah SAW dipandang sebagai pengakuan boleh
nya bertayamum bagi orang yang junub dalam keadaan hari yang sangat dingin sekalipun air untuk 
mandi ada.

Dalam pembagian sunnah menjadi sunnah Fi’liyyah, sunnah Qauliyah, dan sunnah  Takririyah para u
lama ushul fiqih membahas secara khusus kedudukan sunnah fi’liyah. Persoalan yang dikemukakan p
ara ahli ushul fiqih adalah apakah seluruh perbuatan rasulullah wajib diikuti umatnya. Dalam hal ini p
ara ahli ushul fiqih membagi sunnah fi’liyah kepada:
a. Perbuatan yang muncul dari rasulullah sebagai manusia biasa seperti makan, minum, duduk dan pakai
annya.perbuatan yang seperti ini yang wajib diikuti oleh umatnya karena perbuatan seperti itu munc
ul dsri rasulullah sebagai manusia biasa dengan tabi’atnya. Termasuk dalam hal ini adalah perbuatan 
yang ditunjukan rasulullah sebagai akibat dari keahlian dan pengalaman hidupnya dalam pandangan 
duniawi, seperti dalam masalah perdagangan, pertanian, peperangan atau masalah pengobatan.

b. Perbuatan yang dilakukan rasulullah dan ada alasan menunjukan bahwa perbuatan itu khusus untuk d
irinya seperti shnita sholat tahajud yang dilakukan setiap malam, mengawini wanita lebih dari empat 
orang sekaligus, dan tidak menerima sedekah dari orang lain. Perbuatan seperti ini hanya khusus unt
uk dirinya dan tidak wajib diikuti umatnya.

c. Perbuatan yang berkaitan dengan hukumdan ada alasannya maka hukumnya berkisar antara wajib, su
nat, haram, makruf dan boleh. Perbuatan seperti ini menjadi syariat bagi umat islam

D. Fungsi Sunnah Terhadap Alquran

Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan) atau tabyin (menjelaskan ayat-ayat h
ukum dalam al-quran)

Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah ilahi berfungsi untuk menjelaskan kepada umat islam ajara
n-ajaran yang diturunkan allah melalui alquran, hal ini sesuai dengan firman allah dalam surat annah
al :16:44

ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/–“9$#ur 3 !$uZø9t“Rr&ur y7ø‹s9Î) tò2Ïe
%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ä¨$¨Z=Ï9 $tB tAÌh“çR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur 
šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ 
44.    Keterangan-keterangan  (mukjizat)  dan  kitab-kitab.  dan  kami  turunkan  kepadamu  Al  Quran,  a
gar  kamu  menerangkan  pada  umat  manusia  apa  yang  Telah  diturunkan  kepada  mereka[829]  dan 
supaya  mereka  memikirkan,

[829]  Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Qura
n.

Penjelasan rasulullah terhadap alquran ada beberapa bentuk yaitu:

1. Merinci hukum global yang ada dalam alquran, seperti kewajiban sholat yang ada dalam alquran yang 
sifatnya global, karena tidak merinci berapa kali, berapa rakaat, dan bagaimana tatacaranya, dalam h
al ini rasulullah bertugas menjelaskannya, sebagaimana sabda beliau:

‫اصلي‬ ‫ني‬ ‫صلواكمارايتمو‬
Sholatlah  kamu  sebagaimana  kamu  melihat  saya  melakukan  sholat  (HR.  Al-bukhari  dan  muslim)

2. Menjelaskan maksud hukum mutlak, yang ada dalam al-quran seperti perintah allah untuk memotong 
tangan  orang yang melakukan tindak pidana pencurian. Perintah allah ini tidak menjelaskan ukuran 
yang dipotong dan nisab harta yang dicuri yang dikenakan hukuman potong tangan. Tugas rasulullah 
adalah menjelaskan yang mutlak tersebut, yaitu bahwa tangan yang dipotong itu sampai pergelanga
n tangan dan nisab barang yang dicuri itu adalah seperempat dinar (HR. Al-bukhari dan muslim)

3. Mengkhususkan hukum-hukum yang bersifat umum dalam al-quran seperti tentang pembagian harta 
warisan dalam surat annisa: 11

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ( 
  Allah  mensyari'atkan  bagimu  tentang  (pembagian  pusaka  untuk)  anak-anakmu

Kalimat anak-anakmu dalam ayat-ayat ini masih bersifat umum  yaitu seluruh naka.. akan tetapi apa
bila anak itu sengaja membunuh ayahnya agar cepat mendapatkan warisan, apakah dapat bagian jug
a? Dalam kaitan ini rasulullah menjelaskan bahwa”  pembunuh  tidak  mendapat  bagian  warisan”(HR. 
Muslim)
[1][1] Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA. Hal: 50

[2][2] Dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang
[3][3] dikutip dari “makalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum” IAIN Walisongo Semarang

[4][4] Dikutip dari kitab “Ilmu ushul Fiqh” Prof. DR. Rachmat Syafe’i. MA.Hal: 51

[5][5] Dikutip dari “Kehujjahan Al-Qur’an” STAI Bani Saleh 2009

[6][6] Dikutip dari, “ilmu ushul fiqh”. Prof.Dr.Abdul Wahhab Khalaf

Anda mungkin juga menyukai