Anda di halaman 1dari 11

DASAR-DASAR KEHUJJAHAN HADITS

FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR'AN


INGKAR SUNNAH DAN SEJARAHNYA

Disusun oleh kelompok 2:


ADINDA TALIA SABELA (220901022)
BULAN YUANDA (220901035)
FAKAL MAHAPUTRA (220901012)
NADIA (220901001)
PUTRI HUMAIRA (220901023)
RIZKA ANJANI (2209011003)

Dosen pengampu:
Khairul Fahmi, M.A.

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
2022
Daftar Isi
Kata pengantar 3
Dasar dasar kehujjahan hadis 4
Pengertian kehujjahan hadis 4
Dalil dalil kehujjahan hadis4
Fungsi fungsi hadis terhadap Al-Qur’an 5
Bayān at-Taqrīr 5
Bayān at-Tafsir 6
Bayan at Tasyri’ 7
Bayan an-Nasakh 7
Ingkar sunnah dan sejarahnya 7
Daftar pustaka 11

2
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan kesehatan dan umur panjang kepada para
penulis untuk menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah ini disusun agar dapat memenuhi
tugas dari bapak Khairul Fahmi, M.A pada mata kuliah Ulumul Hadis di Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry. Selain itu, para penulis juga mengharapkan pembaca dapat mengerti dan paham akan
materi ini.
Para penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak Khairul Fahmi, M.A
selaku guru mata kuliah ulumul hadis. Berkat tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan terkalit materi yang ditulis.
Para penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang positif akan diterima oleh para penulis demi kesempurnaan makalah ini.

3
I. DASAR DASAR KEHUJJAHAN HADIS
A. Pengertian Kehujjahan Hadis
Hujjah atau Hujjat adalah istilah yang banyak digunakan di dalam Al-Qur'an dan
literatur Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata
kerja berhujjah" diartikan sebagai 'memberikan alasan alasan"
Dalil kehujjahan Hadits adalah keberadaan Hadits itu sendiri sebagai sumber pokok
ajaran dalam agama Islam. Hadits merupakan pedoman kedua bagi seluruh umat Islam
setelah Al-Qur'an. Jika kita diwajibkan untuk iman kepada Al-Qur'an maka secara otomatis
kita juga wajib untuk mengimani al-Hadits.

B. Dalil Dalil Kehujjahan Hadist


1. Al Quran
Al Qur'an menurut bahasa berarti bacaan atau yang dibaca. Menurut istilah, Al-Qur'an
adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril sebagai petunjuk bagi umat manusia. Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah
SWT berfirman yang Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, retaplah beriman
kepada Allah dan Rasul Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya,
serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS.An Nisa:136)

2. Al Hadist
Al Hadist juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Hadits menurut istilah syara' ialah hal-hal
yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir).
Selain dalil dari Al-Qur'an, banyak juga dalil dalil yang menunjukkan pentingnya
berpegang teguh kepada al-Hadits sebagal pedoman hidup kedua umat muslim dunia
setelah Al-Qur'an yang menjadi pedoman pertama dan utama. Di antaranya yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh Imam al Hakim seorang ulama ahli hadits yang telah menulis
banyak kitab terkenal, seperti Ma'rifat Ulum al-Hadits dan Fadlail al-Imam as-Syafi'i.
"Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya selama
kamu berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunah Rasul
(al-Hadits)" (HR Al-Hakim)
Dalam kitab Arba'in Nawawi karya ulama besar bermadzab Syafi'i yaitu Imam
Nawawi, seorang pemikir muslim pada bidang fiqh dan hadits yang kini karya-karya
beliau banyak dikaji di pesantren juga diterangkan keharusan untuk berpegang teguh
kepada al-Hadits dan juga ajaran Khulafa ar-Rasyidin.

3. Ijma'
Ijma' merupakan suatu proses mengumpulkan perkara dan memberi hukum atasnya
serta menyakininya. Berdasarkan konsensus para ulama, hukum dalam mengikuti sunnah
Rasul SAW baik ketika beliau masih hidup maupun setelah beliau wafat adalah wajib

4
hukumnya. Kewajiban ini telah dipraktekkan oleh para sahabat untuk selalu menjalankan
apa yang diperintahkan Rasulullah SAW dan apa yang dilarang oleh beliau.
Sahabat Mu'adz hin Jabal pernah berkata "jika saya tidak menemukan sumbernya
melalui al-Qur'an dalam memutuskan perkara umat, maka saya akan memutuskan dengan
berpedoman kepada sunnah Rasulullah SAW." Hal ini semakin memperkuat kedudukan
al-Hadits saja sebagai pedoman umat muslim yang kedua setelah Al-Qur'an al-Karim.
Adapun sepeninggal Rasulullah SAW, jika mereka tidak menemukan ketentuan ajaran
agama yang secara spesifik disebutkan dalam Al Qur'an, mereka masih tetap berpedoman
kepada sunnah Rasulullah SAW.

4. Qiyas
Qiyas merupakan suatu proses mengukurkan sesuatu atas lainnya dan
mempersamakannya. Tidak bisa diingkari bahwa kerasulan Nabi Muhammad SAW
merupakan kebenaran yang absolute dan telah di akui juga dibenarkan oleh seluruh umat
Islam bahkan umat dunia. Dalam mengemban misi, Rasulullah SAW tidak hanya
menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT yaitu Al-Qur'an, yang didapatkan secara
sadar bukan dalam keadaan sedang bermimpi. Namun, tidak jarang juga Rasulullah SAW
menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu perkara, dan hasil ijtihad beliau
tetap berlaku sampai akhirnya ada naskh yang menasakhnya.
Dari penjelasan mengenai dalil kehujjahan hadits di atas, dapat kita tarik kesimpulan
bahwa al-Hadits jelas merupakan sumber ajaran kedua setelah Al-Qur'an yang menjadi
sumber pertama dan utama dalam agama Islam. Jika diwajibkan untuk mengimani Al-
Qur'an, berarti juga wajib mengimani al-Hadits. Begitu juga sebaliknya, jika mengingkari
al-Hadits berarti juga mengingkari Al-Qur'an.

II. FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR'AN


Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al- Qur’an. Seluruh umat
Islam, telah sepakat bahwa Hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati
kedudukannya setelah al-Qur’an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam baik berupa
perintah maupun berupa larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dapat dilihat
beberapa dalil naqli (al-Qur’an dan Hadis) dan ‘aqli (rasional), seperti dibawah ini:

1. Bayān at-Taqrīr
Bayān at-Taqrīr disebutkan juga dengan bayān at-Ta’ kīd dan bayān al-itsbāt. Yang
dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan dalam al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi
kandungan al-Qur’an, seperti ayat al- Qur’an surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu atau
surat al-Baqarah ayat 185 tentang melihat bulan di-taqrir dengan hadits-hadits di
antaranya yang diriwayatkan oleh Muslim dan al-Bukhari.

5
Dalam QS. al-Baqarah/2: 185 yang menyatakan :
Terjemahnya: “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di Negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa.”(QS.al- Baqarah/2: 185).
Ayat di atas ditaqrir oleh Hadis riwayat Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi, sebagai
berikut :
‫ص ْو ُم ْو َاو ِإ َذا َراَْیتُ ُم ْوهُ فََأ فْ ِط ُر ْوا ﴿ رواه مسلم‬
ُ َ‫﴾ إ َذ َار َْأیتُ ُم ْوهُ ف‬
Artinya : Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, begitu pula melihat
(ru’yah) bulan itu maka berbukalah. (H.R. Muslim)

2. Bayān at-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir, adalah penjelasan Hadits terhadap ayat-ayat
yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang
mujmal, muthlaq, dan ‘am. Maka fungsi Hadits dalam hal ini, memberikan perincian
(tafshil) dan penafsiran terhadap ayat- ayat al-Qur’an yang masih mujmal, membrikan
taqyid ayat ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhshish ayat-ayat yang masih
umum. Tafsiran yg diberikan ada 3 macam yaitu:
1) Tafshil al mujmal artinya yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini
terkadang banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena, belum jelas makna
mana yang dimaksudkannya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan
kata lain, ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.
2) Tayyid al muthalaq Kata muthlaq, adalah kata yang menunjukkan pada hakikatnya kata
itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya.
Men-taqyid yang muthlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat,
keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Penjelasan Rasul saw., yang berupa men-taqyid
ayat-ayat al-Quran yang bersifat muthlaq, antara lain dapat dilihat pada sabdanya, yang
menyatakan:

ٍ ‫ق إالَّفِي ُرب ِْع ِد ْین‬


َ َ‫َار ف‬
‫صا ِعدًا ﴿رواه مسلم‬ ِ ‫﴾الَ تُ ْقطَ ُع یَ ُد الس‬
ِ ‫َّار‬
Artinya:“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai)
seperempat dinar atau lebih.” (H.R. Muslim)
Hadits diatas men-taqyid ayat QS. al-Maidah/5: 38, yang menyatakan: “Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
3) Takhshush al am Kata ‘am, kata yang menunjuk atau memiliki makna dalam jumlah
yang banyak. Sedang kata takhshish atau khash, ialah kata yang menunjuk arti khusus,
tertentu, atau tunggal. Yang dimaksud men-takhshish yang ‘am d isini, ialah yang
membatasi keumuman ayat al- Qur’an, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian
tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka para ulama berbeda pendapat apabila
mentakhshish-nya dengan hadis Ahad. Menurut Asy-Syafi’I dan Ahmad bin Hambal,

6
keumuman yang bisa di-tkhshish oleh Hadits Ahad yang menunjukkan kepada sesuatu
yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah sebaliknya

3. Bayan at Tasyri’
Kata at Tasyri’, artinya: pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan dan hukum.
Maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ di sini ialah penjelasan Hadits yang berupa
mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang
tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an. Rasul saw., dalam hal ini, berusaha menunjukkan
suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu, dengan
sabdanya sendiri.

4. Bayan an-Nasakh
Kata an-Nasakh secara bahasa, bermacam-macam arti. Bisa berarti al-ibthal
(membatalkan), atau al-izalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan), atau at
tagyir (mengubah). Dari pengertian di atas, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadits sebagai ketentuan yang dating
kemudian dari pada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi
kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya
fungsi bayan an-nasakh. Diantara para ulama, baik mutaakhirin maupum mutaqaddimin
terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayaan an-naskh ini. Perbedaan
pendapat ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti nasakh dari sudut
kebahasaan. Menurut ulama mutaqaddamin, bahwa yang disebut bayan an-nasakh, ialah
adanya dalil syara’ yang datangnya kemudian. Di antara para ulama yang membolehkan
adanya nasakh Hadits terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam Hadits
yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya.dalam hal ini mereka tarbagi kepada tiga
kelompok.
1) Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala Hadits, pendapat ini
diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian
para pengikut Zhahiriah.
2) Kedua, yang memperbolehkan me-nasakh dengan syarat, bahwa hadits tersebut harus
Mutawatir. Pendapat ini diantarnya dipegang oleh Mu’tazilah.
3) Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadits Masyur, tanpa harus
dengan Hadits Mutawatir. Pandapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiah.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama, ialah sabda Rasul saw., dari
Abu Umamah al-Bahili, yang menyatakan:
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang
haknya(masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (H.R. Ahmad dan al-
Arba’ah, kecuali an-Nasa’i)

III. INGKAR SUNNAH DAN SEJARAHNYA

7
Ingkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa,
artinya “menolak atau mengingkari”, berasal darikata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan
Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani,
terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik.
Secara definitif Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu
paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk
dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at Islam.
Jadi, Inkar sunnah adalah gerakan yang ada di kalangan umat Islam yang tidak atau
enggan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw, mereka hanya berpegang kepada al-Quran
saja, ada juga menyebut inkar sunnah dengan munkir sunnah, jadi inkar sunnah adalah
kelompok dari kalangan umat Islam yang menolak ototritas dan kebenaran sunnah sebagai
hukum dan sumber ajaran Islam.

A. SEJARAH
1. Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin
Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu
mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi
pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah
(shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk
Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan
berterima kasih kepada Imran.
Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi
dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal
masa Abbasiyah.
Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim
yang berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak
menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan,
kelompok tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama,
misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-
sama hanya menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam,
baik dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari
sunnah sebagai landasan agama. Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok,
yaitu :
1) Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi SAW.
2) Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan
petunjuk al-Qur’an.
3) Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah yang
berstatus Mutawatir.
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan
kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan
Sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar
Sunnah.
8
a. Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara totalitas
Banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya,
baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan rasio.
Diantara ayat-ayat al-Qur’anyang digunakan mereka sebagai alasan menolak sunnah
secara total adalah surat an-Nahl ayat 89 :
‫ﻮﻨﺰﻠﻨﺎ ﻋﻠﻳﻚ ﺍﻠﮑﺘﺎﺏ ﺘﺑﻴﺎﻨﺎ ﻠﮑﻞ ﺸﺊ‬
Artinya :“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu….”
Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:

...‫ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ‬....


Artinya :“…Tidaklah kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…”
Menurut mereka kepada ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup
segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama, tanpa perlu penjelasan dari al-
Sunnah. Bagi mereka perintah shalat lima waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya
surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat 78 dan lain-lain. Adapun
alasan lain adalah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik dan
tentunya al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.

b. Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an
sebagai dalil yaitu, surat Yunus ayat 36:

‫ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ‬


Artinya :“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran”.
Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan
hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus
didasarkan pada dalil yang qath’I yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya.
Oleh karena itu hanya al-Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi
hujjah atau sumber ajaran Islam.

2. Ingkar Sunnah pada Periode Modern


Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang
terkenal adalah :
1) Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir
2) Ghulam Ahmad Parvez dari India
3) Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan
4) Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia
Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan.
Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar
sunnah pada periode klasik.
Tokoh-tokoh “ Ingkar Sunnah “ yang tercatat di Indonesia antara lain adalah :
1) Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia)
9
2) Dadang Setio Groho (karyawan Inilever)
3) Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan,
4) Dalimi Lubis (karyawan kantor Departemen Agama Padang Panjang).

Sebagaimana kelompok ingkar sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil
naqli maupun aqli untuk menguatkan pendapat mmereka, begitu juga kelompok ingkar
sunnah Indonesia. Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-
Nisa’ ayat 87 :

‫َﻮﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ‬


Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Siapakah yang benar haditsnya dari pada
Allah”.

Kemudian surat al-Jatsiayh ayat 6:

‫ﻓﺒﺄﻱ ﺤﺪﻴﺚ ﺒﻌﺪ ﺍﷲ ﻮﺍﻴﺎﺗﻪ ﻴﺆﻤﻨﻮﻦ‬


Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Maka kepada hadits yang manakah selain
firman Allah dan ayat-ayatnya mereka mau percaya”.

Selain kedua ayat diatas, mereka juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul
kepada umat manusia hanyalah al-Qur’an dan jika Rasul berani membuat hadits selain
dari ayat-ayat al-Qur’an akan dicabut oleh Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik
jamulnya, jamul pendusta dan yang durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak
berhak untuk menerangkan ayat-ayat al-Qur’an, Nabi Hanya bertugas menyampaikan.

B. Lemahnya Argumen Para Peingkar Sunnah


Ternyata argumen yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi para pengingkar sunnah
memiliki banyak kelemahan, misalnya pada umumnya pemahaman Surat an-Nahl ayat 89
diselewengkan maksudnya sesuai dengan kepentingan mereka. Surat an-Nahl ayat 89
yang merupakan salah satu landasan bagi kelompok ingkar sunnah untuk menolak sunnah
secara keseluruhan. Menurut al-Syafi’I ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban
tertentu yang sifatnya global, seperti dalam kewajiban shalat, dalam hal ini fungsi hadits
adalah menerangkan secara tehnis tata cara pelaksanaannya. Dengan demikian surat an-
Nahl sama sekali tidak menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran. Bahkan ayat
tersebut menekankan pentingnya hadits.
Surat Yunus ayat 36 yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak hadits ahad
sebagai hujjan dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah zhanni adalah
tentang keyakinan yang menyekutukan Tuhan. Keyakinan itu berdasarkan khayalan
belaka dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Keyakinan yang
dinyatakan sebagai zhanni pada ayat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dan
tidak da kesamaannya dengan tingkat kebenaran hasil penelitian kualitas hadits.
Keshahihan hadits ahad bukan didasarkan pada khayalan melainkan didasarkan pada
metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.

10
Daftar Pustaka

Dr. sulaemang L, M.Th.I. 2017. Ulumul hadits. Sulawesi Tenggara: AA-DZ Grafika

Dr. Nawir Yuslem, MA. 2001. Ulumul hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya

https://www.maskuns.my.id/2021/02/dalil-kehujjahan-hadits.html?m=1#:~:text=Dalil
%20kehujjahan%20Hadits%20adalah%20keberadaan,wajib%20untuk%20mengimani%20al
%2DHadits

https://www.kompasiana.com/

11

Anda mungkin juga menyukai