Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH HADIST

STUDI ISLAM 1

MUHAMMAD DIDI MAJDI SALEH


1113091000069

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKAR
1

KATA PENGANTAR
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Alquran. Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah
laku dan perbuatan manusia. Untuk Alquran semua periwayatan ayat-ayatnya
mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan
hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi
atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayatayat Alquran yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupunMutasabihat.
Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam
dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya
yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah
hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan.
Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak
memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah
hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu), hal ini
dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para
ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun
meriwayatkan hadis Rasulullah. Berbagai macam hadis yang menimbulkan
kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis
baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun
bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metodemetode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah
hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif
dan maudhu serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
Oleh karena itu saya akan menjelaskan berbagai istilah-istilah dan jenis-jenis
hadits yang ada

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..2
PENDAHULUAN4
PEMBAHASAN...5
PENUTUP...51
KESIMPULAN...51

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Islam sebagai agama yang sempurna yang mengatur disegala aspek kehidupan
seorang anak manusia. Selain Al-Quran, umat Islam juga memiliki tuntunan lain
sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu As-Sunnah
(ucapan, perbuatan dan sikap) yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka sangatlah penting bagi umat Islam untuk
memahami dan mempelajari hadits (As-Sunnah) agar dapat menentukan mana
hadits yang dapat menjadi landasan hukum dalam berbagai persoalan yang
dihadapi umat manusia.

1.2.

Rumusan Masalah

1.

Apa pengertian ilmu hadits ?

2.

Apa saja yang menjadi pokok bahasan dalam ilmu hadits ?

3.

Bagaimana pembagian ilmu hadits ?

4.

Istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits ?

5.

Seperti apa klasifikasi hadits itu ?

1.3.

Tujuan Penulisan

1.

Mengetahui apa pengertian ilmu hadits.

2.
3.

Untuk dapat mengetahui apa saja yang menjadi pokok bahasan dalam ilmu
hadits.
Agar mengerti pembagian ilmu hadits.

4.

Agar dapat menguasai istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits.

5.

Untuk mengetahui klasifikasi hadits.


4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.

Pengertian Ilmu hadits

Ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan


matan, apakah diterima atau ditolak. Situs wikipedia menyatakan bahwa makna
hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan Rasulullah. Dengan
demikian ilmu Al-Hadits adalah ilmu-ilmu tentang perkataan atau percakapan
Rasulullah.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni ilmu yang
berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya. sedangkan Al-Hadits di
kalangan ulama hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dari
perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat. Hal ini sejalan dengan pengertian hadits
yang dikemukakan dalam buku Musthalahul hadits yang berarti segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir
(persetujuan), atau sifat.

2.2.

Pokok Bahasan Ilmu Hadits

1.

Hadits, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi

a.

Hadits

Hadits adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari


Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber
hukum Islam selain al-Qur'an yang mana kedudukannya hadits merupakan sumber
hukum kedua setelah al-Qur'an. Kedudukannya yang lebih lengkap adalah sebagai
berikut:

b.

Khabar dan Atsar

Pengertian khabar dan atsar menurut ulama hadits adalah sama dengan hadits.
Namun sebagian ulama berpendapat bahwasannya sesuatu yang berasal dari Nabi
adalah hadits. Sedangkan yang berasal dari selain Nabi disebut khabar. Para
fuqaha Khurasan menyebut hadits mawquf dengan khabar dan hadits maqthu
dengan atsar.
Menurut arti bahasa khabar ialah berita. Jadi, khabar memiliki arti yang hampir
sama dengan hadits, karena tahdits (pembicaraan) artinya tidak lain
adalah ikhbar(pemberitaan). Secara terminologi khabar ada beberapa pendapat, di
antaranya "hadits yang disandarkan pada sahabat", atau "segala berita yang
diterima dari selain dari Nabi". Untuk terminologi khabar, peneliti lebih sepakat
dengan definisi yang pertama - sebagaimana juga dikemukakan oleh ulama
Khurasan- yaitu khabar ialah hadits yang disandarkan pada sahabat (mawquf). Hal
ini dimaksud untuk memudahkan klasifikasi serta untuk membedakan antara
khabar dengan hadits atau sunnah.
Secara etimologi atsar berarti bekas atau sisa. Sedangkan secara terminologi ada 2
pendapat; (1). Atsar sinonim dengan hadits (2). Atsar adalah perkataan, tindakan,
dan ketetapan sahabat. Pendapat yang kedua ini mungkin berdasarkan arti
etimologisnya. Dengan penjelasan, perkataan sahabat merupakan sisa dari sabda
Nabi. Oleh karena itu, perkataan sahabat disebut dengan atsar merupakan hal yang
wajar.
Dari paparan tentang definisi hadits, sunnah, khabar dan atsar di atas, dapat dilihat
bahwa ada perbedaan terminologi yang digunakan oleh muhadditsin terkait ruang
lingkup dan sumber ke empat definisi tersebut. Hadits atau sunnah memberikan
pengertian bahwa rawi mengutip hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Saw
(marfu). Sedangkan khabar tidak hanya mencakup hadits marfu saja tetapi juga
mengakomodasi hadits mawquf (rawi hanya bersumber dari sahabat saja tidak
sampai pada Rasulullah). Bahkan juga yang hanya berhenti sampai tingkatan
tabiin (maqtu) saja. Sedangkan atsar oleh para muhadditsin lebih diidentikkan
hanya pada hadits mawquf atau maqtu saja.
Untuk memudahkan pengidentifikasian hadits, maka akan lebih mudah apabila
istilah hadits, sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam pendefinisiannya. Hal ini
dilakukan bukan untuk mendistorsi makna dari istilah tersebut, tetapi lebih
dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi. Selain itu, diharapkan akan lebih
mempermudah dalam memahami struktur hadits. Sehingga menurut hemat
6

peneliti,hadits dan sunnah dipergunakan adalah untuk hadits marfu, khabar untuk
haditsmawquf, dan atsar untuk hadits maqthu.

c.
Hadits Qudsi (Arab: ; Hadits Qudsiy) salah satu
jenis hadits dimana perkataan Nabi Muhammad disandarkan kepada Allah atau
dengan kata lain Nabi Muhammad meriwayatkan perkataan Allah.
Contohnya adalah: Nabi bersabda bahwa Allah berfirman;
Artinya; Aku menurut persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku
beersamanya ketika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku
mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di kumpulan orang banyak,
Aku mengingatnya di kumpulan orang banyak yang lebih baik dari mereka.
Kedudukan Hadits Qudsi adalah antara Al-Quran dan Hadits Nabawi (Perbedaan
ketiganya dapat diketahui dari penisbatan lafadz dan makna). Lafadz dan makna
Al-Quran Al-Karim dinisbatkan kepada Allah SWT. Sedangkan hadits nabawi,
lafadz dan maknanya dinisbatkan kepada Nabi. Adapun hadits qudsi,
hanya maknanya saja yang dinisbatkan kepada Allah Taala, bukan lafadznya.
Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara Hadits Qudsi dengan Al-Quran, di
antaranya adalah:
1. Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Subhanahu wa Taala
sedangkan hadits qudsi tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah
namun lafazhnya berasal dari nabi.
2. Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan hadits qudsi tidak
demikian.
3. Syarat validitas al-Qur`an adalah at-Tawtur (bersifat mutawatir) sedangkan
hadts qudsi tidak demikian.
4. Secara sederhana dapat dikatakan, hadits qudsi adalah wahyu Tuhan yang
diterima Nabi Muhammad secara langsung, TANPA perantaraan malaikat
Jibril. Sehingga tidak ada kata qul (katakanlah) diawal kalimat dan Allah
membahasakan diri-Nya dengan sebutan AKU.

5. Sedangkan Al Qur'an adalah wahyu Tuhan yang diterima Nabi Muhammad


lewat perantaraan Malaikat Jibril. Sehingga Jibril membacakan wahyu
dengan permulaan kata quldan Jibril membahasakan Tuhan dengan sebutan
nama-Nya, Allah (dan Asmaul Husna lainnya).
6. Hadits qudsi memakai kalimat langsung (orang pertama/Aku), sedang Al
Qur'an memakai kalimat orang ketiga .
7. Hadits qudsi diturunkan secara "private" (khusus ) kepada Muhammad
sebagai nabi, sehinggga tidak disebarluaskan untuk umum, karena bersifat
pribadi. Hanya beberapa sahabat terpercaya saja yang menerimanya.
8. Sedangkan Al Qur'an diturunkan kepada Muhammad sebagai rosul,
sehingga Nabi Muhammad wajib menyebarluaskannya kepada umatnya dan
seluruh umat manusia.
9. Demi kemurnian dan kesucian Al Qur'an, hadits qudsi dan Al Qur'an tidak
disatukan dalam satu mushaf. Hadits qudsi dibiarkan berdiri sendiri dan
tidak pernah dibukukan (kodifikasi) secara resmi.

Oleh karena itulah, membaca hadits qudsi tidak terhitung sebagai ibadah, tidak
dapat digunakan sebagai bacaan dalam shalat, tiada tantangan dari Allah kepada
orang kafir untuk menandinginya dan tidak dinukil secara mutawatir sebagaimana
Al-Quran. Sehingga Hadits qudsi ada yang berderajat shahih, dhaif, bahkan
maudlu (palsu).
Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits nabi, maka hadts qudsi bisa dibilang
tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits. Karena Hadits qudsi
sebenarnya adalah untuk Muhammad sebagai pribadi nabi, bukan sebagai rosul,
maka nabi pun "pilih-pilih" dalam memberikannya kepada sahabat-sahabatnya.
Hanya sahabat-sahabat terpilih yang mempunyai kecerdasan tinggi saja yang
menerimanya. Karena memang Hadits qudsi bukan untuk konsumsi umum. Sampai
sekarang pun masih banyak kalangan umat Islam yang tak mampu menerima
"kebenaran" hadits qudsi. Tinggi kandungan "isi"-nya adalah penyebabnya. Hanya
sahabat-sahabat khusus saja yang menerima hadits qudsi dari Nabi Muhammad,
semisal Sayyidina Ali bin Abu Tholib dan sahabat Abu Hurairah

2.
Isnad, Sanad, Matan, Musnad, Musnid, Muhaddits, Hafiz, Hujjah dan
Hakim
a.

Isnad.

Isnad secara etimologi berarti menyadarkan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan
menurut istilah, isnad berarti :
Mengangkat Hadits kepada yang mengatakannya (sumbernya), yaitu
menjelaskan jalan matan dengan meriwayatkan Hadits secara musnad.
Disamping itu, isnad dapat juga diartikan dengan menceritakan jalannya matan.
b.

Sanad dan Matan Hadits

Pengertian Sanad dan Matan Hadits


Sanad dari segi bahasa artinya sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran.
Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad berarti silsilah atau jalan yang
menyampaikan kepada matan hadits.
Contoh :
Dikabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang
menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda: Janganlah
sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian
yang lainnya.
Dalam hadits tersebut dinamakan sanad adalah:
Dikabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang
menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda.
Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan
menurut istilah ahli hadits, matan yaitu; Perkataan yang disebut pada akhir sanad,
yakni sabda Nabi yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.
Apa yang disebut matan hadits yang telah kami sebutkan di awal adalah:

Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh
sebagian yang lainnya.

Kedudukan Sanad dan Matan Hadits


Para ahli hadits sangat hati-hati dalam menerima suatu hadits kecuali apabila
mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada
umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak di syaratkan apa-apa untuk diterima
periwayatannya.
c.

Musnad

Menurut bahasa Musnad adalah bentuk isim maful dari kata kerja asnada, berarti
sesuatu yang disandarkan kepada yang lain.
Secara terminologi, musnad mengandung tiga pengertian:
Hadits yang bersambung sanad-nya dari perawinya (dalam contoh sanad di
atas adalah Bukhari) sampai kepada akhir sanadnya yang biasanya adalah
Sahabat, dan dalam contoh diatas adalah Anas r.a.
Kitab yang menghimpun Hadits-hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh
shahabat, seperti Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan
lainnya. Contohnya, adalah kitab Musnad Imam Ahmad.
Sebagai mashdar (Mashdar mimi) mempunyai arti sama dengan sanad.
d.

Musnid

Kata musnid adalah isim fail dari asnada-yusnidu, yang berarti orang yang
menyadarkan sesuatu kepada yang lainnya. Sedangkan pengertiannya dalam
istilah Ilmu Hadits yaitu:
Musnid adalah setiap perawi hadits yang meriwayatkan Hadits dengan
menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang sanad
tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, tetapi hanya
sekadar meriwayatkan saja
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, hal ini dikarenakan hadits yang
diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan
sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau
ditolak dan mana hadits yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan
jalan yang mulia untuk menetapkan hukum Islam.

10

e.

Muhaddits

Yaitu orang yang banyak menghafal hadits serta mengetahui sifat-sifat orang yang
meriwayatkan tentang 'adil dan kecacatannya.
f.

Hafiz

Yaitu orang yang menghafal sebanyak 100,000 hadits dengan isnadnya.


g.

Hujjah

Yaitu orang yang menghafal sebanyak 300,000 hadits dengan isnadnya.


h.

Hakim

Yaitu orang yang meliputi 'ilmunya dengan urusannya hadits.

2.3. Pembagian Ilmu hadits


Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits
riwayat (riwayah) dan ilmu hadits dirayat (dirayah).
1.

Ilmu hadits riwayah

Ilmu hadits riwayah adalah ilmu hadits yang mempelajari cara-cara penukilan,
pemeliharaan dan penulisan hadits. Tujuannya untuk memahami hadits-hadits Nabi
Muhammad Rosulullah saw. sebagai penjelas al-Qur'an, dan menjadikan hadits
(perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad saw.) sebagai teladan.
Objek kajian ilmu hadits riwayah ini meliputi:
1)
cara periwayatan hadits, berarti cara penerimaan dan penyampaian hadits
kepada orang lain,

11

2)
penulisan serta pembukuan hadits
Pada masa Nabi Muhammad saw. para sahabat dilarang menulis hadits. Dengan
demikian hadits hanya tersimpan dalam hafalan para sahabat. Meskipun demikian
keaslian hadits tersebut sejak penerimaan dari Rosulullah saw. sampai pada masa
pembukuannya terjamin dengan baik, karena beberapa faktor:
a) Nabi Muhammad saw. menyampaikannya dengan fasih serta menggunakan
bahasa yang baik dan benar;
b) Nabi Muhammad saw. sering menyesuaikan dialeknya dengan dialek lawan
bicaranya;
c) cara Nabi Muhammad saw. berbicara perlahan-lahan, tegas, dan jelas, serta
sering mengulangnya hingga tiga kali;
d) para sahabat sangat mengidolakan dan sangat hormat kepada Nabi Muhammad
saw. sehingga mereka yakin betul apa yang beliau ucapkan mengandung makna.
Karena itulah para sahabat mendengarkan sabdanya dengan tekun;
e) orang-orang Arab memiliki kemampuan menghafal yang sangat luar biasa; dan
f) pada tingkat tabi'in, periwayatan hadits dan keasliannya terjamin oleh anggapan
mereka bahwa apa yang diterima itu semuanya adalah sesuatu yang berharga.
Periwayatan hadits oleh para sahabat, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan tabi'ittabi'in (generasi sesudah tabi'in) dilakukan dengan dua cara, yaitu periwayatan
dengan lafal (riwayah bi al-lafzi); dan periwayatan dengan makna (riwayah bi alma'na)
1) periwayatan dengan lafal (riwayah bi al-lafzi) adalah periwayatan yang
disampaikan sesuai dengan lafal yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw.
Periwayatan hadits sesuai dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya.
Ciri-ciri hadits yang diriwayatkan secara lafal ini, antara lain:
a. dalam bentuk muta'abad (sanadnya memperkuat hadits lain yang sama
sanadnya), misalnya hadits tentang adzan dan syahadat
b. hadits-hadits tentang doa; dan
c. tentang kalimat yang padat dan memiliki pengertian yang mendalam (jawaami'
al-kalimah)

12

2) periwayatan dengan makna (riwayah bi al-ma'na) adalah hadits yang


diriwayatkan sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian dari segi redaksinya ada perubahan. Sebagian besar hadits Nabi
saw. diriwayatkan dengan cara demikian. Sebab beliau memberi isyarat
diperbolehkannya meriwayatkan hadits dengan riwayah bi al-ma'na
Syarat-syarat yang ditetapkan dalam meriwayatkan hadits secara makna ini cukup
ketat, yaitu:
a. periwayat haruslah seorang muslim, baligh, adil, dan dhobit (cermat dan kuat);
b. periwayat hadits tersebut haruslah benar-benar memahami isi dan kandungan
hadits yang dimaksud;
c. periwayat hadits haruslah memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafal
sinonim dalam bahasa Arab;
d. meskipun si pelafal lupa lafal atau redaksi hadits yang disampaikan Nabi
Muhammad saw., namun harus ingat maknanya secara tepat;
2.

Ilmu hadits dirayah

Ilmu hadits dirayah adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidahkaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan
menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Definisi ini sesuai dengan
makna kata dirayah yang secara bahasa berarti pengetahuan dan pengenalan.
Kegunaan ilmu ini tidak lain untuk mengetahui dan menetapkan diterima (maqbul)
dan ditolak (mardud) nya suatu hadits.
Ilmu hadits dirayah ini memiliki beberapa cabang yang berkaitan dengan sanad,
rawi, dan matan hadits.
Cabang-cabang penting yang berkaitan dengan sanad dan rawi, antara lain:
a) 'Ilrn al-Jarh wa at-Ta'dil adalah ilmu yang membahas hal ikhwal rawi
(periwayat) dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, untuk menentukan
periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Untuk menunjukkan atau menilai
kekuatan periwayatan seseorang digunakan ungkapan-ungkapan seperti:
"orang yang paling terpercaya",
"orang yang kuat lagi teguh", dan
"orang yang tidak cacat"

13

Sebaliknya guna memperlihatkan atau menilai kelemahan periwayatan seseorang


dipakailah ungkapan-ungkapan seperti:
"orang yang perlu diteliti",
"orang yang tidak dikenal", dan
"orang yang paling dusta".
Berkaitan dengan 'Ilm al-Jarh wa at-Ta'dil para 'ulama hadits menggunakan istilahistilah sebagai berikut:
Jarh yaitu penolakan seorang ulama hadits terhadap riwayat seorang rawi karena
adanya petunjuk mengenai perangai atau riwayatnya yang tercela. Penyebab jarh
menurut rumusan para ulama adalah:
a. al-Bid'ah (menambah-nambahi dalam urusan agama);
b. al-Jahalah (asing/tidak dikenal); dan
c. al-Gholat (kacau/tidak kuat/salah hafalannya)
Tajrih adalah identifikasi terhadap seorang rawi dengan berbagai karakter yang
melemahkannya atau menyebabkan riwayatnya ditolak;
'Adl sebagian pengertiannya adalah seorang muslim yang telah dewasa, berakal,
dan tidak fasik;
Ta'dil adalah identifikasi terhadap seorang rawi dengan mencari-cari sifat baiknya,
sehingga periwayatannya dapat diterima.
b) 'Ilm Rijal al-Hadits adalah ilmu yang mengkaji keadaan rawi dan perilaku hidup
mereka, mulai dari kalangan sahabat, tabi'in, dan tabi'it-tabi'in. Bagian dari ilmu ini
adalah 'ilm tarikh rijal alhadits yaitu kajian terhadap periwayat hadits dengan
menelusuri tanggal kelahiran, garis keturunan, guru sumber hadits, jumlah hadits
yang diriwayatkan dan murid-muridnya;
c) 'Ilan Thobaqot ar-Ruwat adalah ilmu yang membahas keadaan periwayat
berdasarkan pengelompokan tertentu.
Cabang-cabang ilmu dirayah hadits yang berkaitan dengan matan hadits adalah:
1) 'Ilm Ghorib al-Hadits adalah ilmu yang membahas masalah lafal atau kata yang
terdapat dalam matan hadits yang sulit dipahami, baik karena nilai sastranya yang
tinggi maupun karena sebab yang lain. 'Ulama perintis bidang ini ialah Ab Ubaidah
Ma'mar bin Musanna at-Tamimi;
2) 'Ilm Asbab Wurud al-Hadits adalah ilmu yang membahas latar belakang atau
sebab-sebab lahirnya suatu hadits. 'Ulama perintis bidang ini, antara lain ialah Abu
Hamid bin Kaznah, dan Abu Hafs 'Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukbari;
14

3) 'Ilan Tawarikh al-Mutun adalah ilmu yang mengkaji waktu terjadinya suatu
hadits. Ilmu ini berguna dalam pembahasan nasikh mansukh suatu hadits. 'Ulama
perintis di bidang ini adalah Sirojudin Abu Hafs Amr al-Bukqini;
4) 'Ilm talfiq al-Hadits adalah ilmu yang membahas cara menyelesaikan atau
memadukan masalah dua hadits yang secara lahir tampak saling bertentangan.
'Ulama perintis di bidang ini ialah Imam Syafi'i, karena beliaulah yang pertama
kali menyusun buku dalam disiplin ilmu ini dengan judul
Mukhtalif al-Hadits.
5) 'Ilan at-Tasif wa at-Takhrif adalah ilmu yang mengkaji hadits yang telah
mengalami perubahan tanda baca titik dan bentuknya. 'Ulama perintis di bidang ini
adalah Daruquthni, dan Abu Ahmad al-Askari.
6) 'Ilm an-Nasikh wa al-Mansukh adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang
bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Maka penyelesaiannya dilakukan
dengan cara menelusuri sejarah munculnya hadits-hadits itu.

2.4. Istilah-Istilah Dasar Dalam Ilmu Hadits


1.
Al jarhu wa tadil: Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari
kata Kerja yang berarti melukai sebagian badan yang
memungkinkan darah dapat mengalir, selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh
mempunyai arti mengaibkan seseorang yang oleh karenanya ia menjadi
kurang. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat
hakim itu menolak saksi.
Menuut Istilah,al- Jarh ialah:

Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau
merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat
menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak.
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, Jarh
menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat
menjatuhkan keadalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga
menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Sedangkan Tadil menurut bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan). Adapun
Pengertian tadil menurut ahli hadis antara lain:
15

Sifat rawi dari segi diterima dan nampak keadilannya. Sedangkan menurut
Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy definisi tadil adalah:

Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil,


yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya.
Dengan demikian menurut Ajaz al-Khatib, Ilmu Jarh wa Tadil adalah suatu ilmu
yang membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya
riwayat mereka.Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-tadil dalam satu definisi,
yaitu:

Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan
mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu.
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti dikutip
Faturahman mendefinisikan Ilmu Jarh wa Tadil, yaitu suatu ilmu yang membahas
tentang Jarh dan Tadil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafazd tertentu
dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan Ilmu Jarh wa
Tadil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al- Hadits.
Dan dari berbagai macam pengertian itu, maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian Jarh wa Tadil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan kepada para perawi dan tentang pentadilannya (memandang lurus
perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima
atau menolak riwayat mereka.

2.

At Tadil: Pernyataan adanya al-Adalah pada diri seorang rawi.

3.
Al Jarhu: Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat
mengganggu (atau bahkan meng-hilangkan) bobot predikat al-Adalah dan
hafalan yang bagus, dari dirinya.
4.
Tsiqah: Kredibel, di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah
dan adh-Dhabt (hafalan yang bagus).
5.

Rawi La Ba`sa Bihi: Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.


16

6.

Jayyid: Baik

7.

Layyin: Lemah.

8.

Majhul: Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecuali oleh seorang.

9.

Mubham: Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.

10. Mudallis: Rawi yangi melakukan tadlis.


11. Rawi Mastur: Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati
dirinya).
12. Perawi Matruk: Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak
melakukan kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan
perawi yang tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang
tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.
13. Rawi Mudhtharib: Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di
mana riwayat yang disam-paikannya kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara
yang satu dengan lainnya, yang menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa
yang mahfuzh (terjaga).
14. Rawi Mukhtalith: Rawi yang akalnya terganggu, yang menye-babkan
hafalannya menjadi campur aduk dan ucapannya menjadi tidak teratur.
15. Rawi yang tidak dijadikan sebagai hujjah : Rawi yang haditsnya
diriwayatkan dan ditulis tapi haditsnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil
dan hujjah.
16. Saqith: Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di
dalamnya).
17. Tadhif: Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersangkutan dhaif (lemah).
18. Tahqiq: Penelitian ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga
mencapai kebenaran yang paling tepat.
19. Tahsin: Pernyataan bahwa hadits bersangkutan ada-lah hasan.
20. Taliq: Komentar, atau penjelasan terhadap suatu potongan kalimat, derajat
hadits dan sebagainya yang biasanya berbentuk catatan kaki.
21. Takhrij: Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sum-bernya, berikut
memberikan hukum atasnya; shahih atau dhaif.
17

22. Syahid: Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para
rawi suatu hadits, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang
berbeda.
23. Syawahid: Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid. Haditsnya layak
dalam kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang
memperkuatnya, atau sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat
dengannya.
24. Mutabaah: Hadits yang para rawinya ikut serta meriwayatkannya bersama
para rawi suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari
seorang sahabat yang sama.

2.5.

Klasifikasi Hadits

1.

Hadits Qudsi

a.

Pengertian Hadits Qudsi

Secara terminologi hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan kepada kita dari
Nabi SAW yang disandarkan oleh beliau kepada Allah SWT. Atau setiap hadits
yang disandarkan Rasulullah SAW. perkataannya kepada Allah Azza wa Jalla
Definisi tersebut menjelaskan bahwa hadits Qudsi itu adalah perkataan yang
bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau kepada Allah SWT.
tetapi bukanlah Al-Quran.
b.

Perbedaan antara Hadits Qudsi dan al-Quran

Antara al-Quran dan Hadits Qudsi terdapat beberapa perbedaan, yaitu :


Al-Quran lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sedangkan hadits Qudsi
maknanya berasal dari Allah SWT, sementara lafaznya dari Rasulullah SAW.
Al-Quran hukum membacanya adalah ibadah, sedangkan hadits Qudsi
membacanya tidak dihukumi ibadah.
Periwayatan dan keberadaan al-Quran disyaratkan harus mutawatir, sementra
hadits Qudsi periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir.
Al-Quran adalah mukjizat dan terpelihara dari terjadinya perubahan dan
pertukaran serta tidak boleh diriwayatkan secara makna. Sedangkan hadits Qudsi

18

bukanlah mukjizat, dan lafaz serta susunan kalimatnya bisa saja berubah, karena
dimungkinkan untuk diriwayatkan secara makna.
Al-Quran dibaca di dalam shalat sedangkan hadits qudsi tidak.
c.

Perbedaan antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi.

Berdasarkan pengertian dan kriteria yang dimiliki hadits Qudsi, terdapat perbedaan
antara hadits Qudsi dan hadits Nabawi, yaitu; bahwa Hadits Qudsi, nisbah atau
pebangsaannya adalah kepada Allah SWT, dan Rasulullah berfungsi sebagai yang
menceritakan atau meriwayatkannya dari Allah SWT. Sedangkan Hadits Nabawi,
nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus peiwayatannya
adalah dari beliau.

2.

Hadits Marfu

Hadits marfu adalah hadits yang khusus disandarkan kepada Nabi saw berupa
perkataan, perbuatan atau taqrir beliau; baik yang menyandarkannya sahabat,
tabiin atau yang lain; baik sanad hadits itu bersambung atau terputus.
Berdasarkan definisi diatas hadits marfu itu ada yang sanadnya bersambung,
adapula yang terputus. Dalam hadits marfu ini tidak dipersoalkan apakah ia
memiliki sanad dan matan yang baik atau sebaliknya. Bila sanadnya bersambung
maka dapat disifati hadits shahih atau hadits hasan, berdasarkan derajat kedhabitan
dan keadilan perawi. Bila sanadnya terpuus hadits tersebut disifati dengn hadits
dhaif mengikuti macam-macam putusnya perawi.
- Macam-macam Hadits Marfu
Mengingat bahwa unsur-unsur hadits itu dapat berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrir Nabi, maka apa yang disandarkan kepada Nabi itupun dapat
diklasifikasikan menjadi marfu qauli, marfu fili dan marfu taqriri. Dari ketiga
macam hadits marfu tersebut ada yang jelas dengan mudah dikenal rafanya, dan
adapula yang tida jelas rafanya. Yang jelas (shahih) disebut marfu hakiki, dan yang
tidak jelas (ghairu shahih) disebut marfu hukmi.

19

1. Marfu Qauly Hakiki


Ialah apa yang disandarkan oleh sahabat kepada Nabi tentang sabdanya, bukan
perbuatannya atau iqrarnya, yang dikatakan dengan tegas bahwa nabi bersabda.
Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan lapazh qauliyah :

Aku mendengar Rasulullah saw bersabda begini


Contohnya :
:
:
) (

Warta dari Ibn Umar r a, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda : Shalat jamaah
itu lebih afdhal dua puluh tujuh tingkat dari pada shalat sendirian ( HR Bukhari
dan Muslim)
2. Marfu Qauly Hukmi
Ialah hadits marfu yang tidak tegas penyandaran sahabat terhadap sabda Nabi,
melainkan dengan perantaran qarinah yang lain, bahwa apa yang disandarkan
sahabat itu berasal dari sabda nabi. Seperti pemberitaan sahabat yang
menggunakan kalimat :
.

Aku diperintah begini., aku dicegah begitu


Contohnya :
) (

Bilal r.a. diperintah menggenapknan adzan dan mengganjilkan iqamah (HR


Mutafaqqun Alaih)
Pada contoh diatas hadits tersebut dihukumkan marfu dan karenanya hadits yang
demikian itu dapat dibuat hujjah. Sebab pada hakikatnya si pemberi perintah iu
tidak lain kecuali Nabi saw.

20

3. Marfu Fili Hakiki


Adalah apabila pemberitaan sahabat itu dengan tegas menjelaskan perbuatan
rasulullah saw.
Contohnya :

) ( (: ,
)

Warta dari Aisyah r.a. bahwa rasulullah saw mendoa di waktu sembahyang,
ujarnya: Ya Tuhan, aku berlindung kepada Mu dari dosa dan hutang (HR
Bukhari)
4. Marfu Fili Hukmi
Ialah perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan Rasulullah atau diwaktu
Rasulullah masih hidup. Apabila perbuatan sahabat itu tidak disertai penjelasan
atau tidak dijumpai suatu qarinah yang menunjukkan perbuatan itu dilaksanakan di
zaman Rasulullah, bukan dihukumkan hadits marfu melainkan dihukumkan hadits
mauquf. Sebab mungkin adanya persangkaan yang kuat, bahwa tindakan sahabat
tersebut diluar pengetahuan Rasulullah saw.
Contohnya :
) ( :

Jabir r.a. berkata : Konon kami makan daging Kuda diwaktu Rasulullah saw
masih hidup (HR Nasai)
5. Marfu Taqririyah Hakiki
Ialah tindakan sahabat dihadapan Rasulullah dengan tiada memperoleh reaksi, baik
reaksi itu positif maupun negatif dari beliau.
Contohnya, Seperti pengakuan Ibnu Abbas r.a:

Konon kami bersembahyang dua rakaat setelah matahari tenggelam, Rasulullah


saw mengetahui perbuatan kami, namun beliau tidak memerintahkan dan tidak
pula mencegah.

21

6. Marfu Taqririyah Hukmy


Ialah apabila pemberitaan sahabat diikuti dengan kalimat-kalimat sunnatu Abi
Qasim, Sunnatu Nabiyyina atau minas Sunnati.
Contohnya, perkataan Amru Ibnu Ash r.a kepada Ummul Walad:
) (

Jangan kau campur-adukkan pada kami sunnah nabi kami. (HR. Abu Dawud)
Perkataan di atas tidak lain adalah sunnah Nabi Muhammad saw, akan tetapi kalau
yang memberitakan dengan kalimat minas sunnati dan yang sejenis dengan itu
seorang tabiin, maka hadits yang demikian itu bukan disebut hadits marfu, tetapi
disebut hadits mauquf.
-

Hadits yang Dianggap Marfu

Selain yang tersebut di atas, terdapat beberapa ketentuan untuk menggolongkan


hadits kepada hadits marfu. Antara lain:
1. Apabila dalam memberitakan itu, diikuti dengan kata-kata seperti: Yarfaahu,
Marfuan, Riwayatan, Yarwihi, Yannihi, Yatsuruhu/yablughu bihi.
Contohnya, yaitu hadits al-Araj:
)) ( ( :

Warta dari Abu Hurairah r.a, yang ia rafakan kepada Nabi saw: manusia itu
menjadi pengikut orang Quraisy. (HR. Mutafaq alaih)
2. Tafsir sahabat yang berhubungan dengan asbabun nuzul.
3. Sesuatu yang bersumber dari sahabat yang bukan semata-mata hasil pendapat
ijtihad beliau sendiri.
Contohnya:

) (

Konon Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a, sama-sama berbuka puasa dan mengejar
shalat dalam perjalanan sejauh empat barid (18.000 langkah). (HR. Bukhari)

22

- Kehujjahan hadits marfu


Hadits marfu yang shahih dan hasan dapat dijadikan hujjah, sedangkan hadits
marfu yang dhaif boleh dijadikan hujjah hanya untuk menerangkan fadhailil
amal

3.

Hadits Mauquf

a.

Hadits mauquf adalah:

Berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang
disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun
terputus.
Contohnya:
) ( :

Konon Ibnu Umar r.a berkata: Bila kau berada di waktu sore jangan menunggu
datangnya pagi hari, dan bila kau berada di waktu pagi jangan menunggu
datangnya sore hari. Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu
dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu. (HR. Bukhari)
Hadits di ata adalah hadits mauquf, sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu
Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasulullah saw, yang ia ucapkan
setelah ia menceritakan bahwa rasulullah memegang bahunya dengan bersabda:

Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalanan
Hadits mauquf dapat disifati hadits shahih atau hasan tetapi tidak ada kewajiban
untuk menjalankannya, tetapi boleh dijadikan sebagai penguat dalam beramal
karena sahabat dalam hal ini hanya berkata atau berbuat yang dibenarkan oleh
rasulullah saw.
Jika disandarkan hadits mauquf itu kepada orang yang bukan sahabat, hendaklah
ditegaskan yakni harus dikatakan, umpamanya, hadits ini mauquf kepada Ibnul
Musayyab. Jelasnya, apabila diithlaqkan mauquf, dan dimaksudkan perkataan atau
perbuatan tabiin, hendaklah ditegaskan, dikatakan mauquf pada mujahid,
umpamanya.
23

Apabila seorang sahabat berfatwa atau mengerjakan sesuatu, maka diketika kita
terangkan yang demikian itu kepada orang lain, maka apa kita terangkan itu
disebut hadits mauquf. Yakni bicara yang demikian dari sahabat, atau perbuatan
yang dinukilakn dari sahabat.
Hadita mauquf yang memiliki banyak qarinah dari sahabat-sahabat yang lain naik
derajatnya menjadi marfu.
-

Hukum Hadits Mauquf

Para ulama berselisih pendapat tentang menggunakan hadits mauquf sebagai


hujjah. Menurut ulama Syafiiyah dalam al-jadid, jika perkataan sahabat itu tidak
populer di masyarakat maka perkataan itu bukanlah ijma dan tidak pula dijadikan
hujjah.
Apapun tingkatan atau martabatnya tidaklah diterima sebagai hujjah atau dalil bagi
ajaran Islam, sebab yang dapat diterima sebagai hujjah itu hanyalah Al-Quran dan
Hadits Nabi saw, tetapi hadits yang disandarkan kepada sahabat.
Pada prinsipnya hadits mauquf itu tidak dapat dibuat hujjah, kecuali ada qarinah
yang menunjukkan (yang menjadikan) marfu.

4.

Hadits Maqthu'

Dari segi bahasa, berarti hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan:

Ialah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabiin serta
dimauqufkan padanya, baik sandanya bersambung maupun tidak.
Contohnya ialah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabiin besar, ujarnya:

Orang mukmin itu bila telah mengenal tuhanya azza wajalla, niscaya
iamencintainya dan bila ia mencintainya Allah menerimanya.
Contoh lain seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang tabiin, yang
mengatakan:

24

Termasuk sunnat ialah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat Idul Fitri, dan
6 rakaat sehabis shalat Idul Adha.
Asy-Syafii dan Ath-Thabarani menggunakan istilah maqthu untuk munqathi.
Tetapi sebenarnya ditinjau dari segi istilah, memang kedua-duanya mempunyai
perbedaan. Sebab suatu hadits dikatakan dengan munqathiitu dalam lapangan
pembahasan sanad, yakni sanarnya tidak muttashil. Sedang untuk hadits dikatakan
maqthu itu dalam lapangan pembahasan matan, yakni matannya tidak dinisbatkan
kepada Rasulullah saw atau sahabat r.a.
Apabila para muhadditsin mengatakan: Ini hadits maqthu, maka maksudnya:
Hadits (khabar) yang disandarkan kepada tabiin, baik perbuatan maupun
perkataan, baik muttashil maupun munqathi.
-

Hukum Hadits Maqthu

Hadits maqthu tidak dapat dijadikan hujjah, mengenai hadits ini para ulama
berpendapat, bahwa hadits maqthu itu tidak dapat dijadikan hujjah. Tetapi jika
pendapat itu berkembang dalam masyarakat dan tidak diperoleh bantahan dari
seseorang, maka ada ulama yang menyamakannya dengan pendapat sahabat yang
berkembang dalam masyarakat yang tidak didapati bantahan dari seseorang, yakni
dipandang sebagai suatu lama.
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi
sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua
macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
- Analisis Hadist Hadits Marfu, Hadits Mauquf, Hadits Maqthu
Hadits marfu adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi saw, tidak dipersoalkan
apakah itu memiliki sanad dan matan yang baik atau sebaliknya. Hadits marfu itu
dapat mencakup hadits mutawatir dan ahad, dapat mencakup hadits muttashil dan
ghair muttashil seperti hadits mursal, munqathi, mudhal, muallaq, serta dapat
mencakup hadits shahih, hasan dan dhaif.
Apabila ditinjau dari segi sanarnya, hadits marfu dapat digolongkan menjadi tiga
golongan, yaitu hadits, shahih, hasan dan dhaif . Bila sanadnya bersambung maka
dapat disifati hadits shahih atau hadits hasan berdasarkan derajat kedhabitan dan
keadilan perawi. Bila sanadanya terputus dapat disifati hadits dhaif mengikuti
macam-macam putusnya perawi. Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
dapat diklasifikasikan menjadi marfu qauly, marfu fily dan marfu taqriry.
25

Kehujjahan hadits marfu yang shahih dan hasan dapat dijadikan untuk menentukan
suatu hukum, karena kedua hadist ini dapat dogolongkan kepada hadits mutawatir,
sedangkan taraf kapasitas tentang benarnya hadits mutawatir berasal dari Nabi saw
adalah tertinggi atau 100 %, keshahihannya berasal dari Nabi bersifat pasti, tidak
bersifat dugaan; kerana itu kedudukannya sebagai sumber ajaran agama Islam
adalah tertinggi ketimbang hadits-hadits lain, sedangkan hadits marfu yang dhaif
tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan akidah dan hukum, kecuali yang
menjelaskan tentang berbagai keutamaan yang terkandung dalam suatu amal yang
diperintahkan oleh Allah dan RasulNya.
Hadits mauquf bukanlah hadits Nabisaw, tetapi hadits yang disandarkan kepada
sahabat. Hadits mauquf ada yang sunguh-sungguh sebagai hadits shahih dan ada
hadits mauquf yang sebenarnya bukan hadits sahabat. Dengan kata lain taraf
kebenaran bahwa hadits mauquf sebagai sungguh-sungguh hadits sahabat ada yang
shahih, hasan dan ada pula yang dhaif.
Hadits mauquf apapun tingkatan dan martabatnya, tidak dapat dijadikan hujjah
dalam menentukan suatu hukum karena yang dapat dijadikan hujjah adalah alQuran dan Hadits yang benar-benar dari Nabi saw.
Hadits maqthu adalah hadits yang disandarkan kepada tabi-in, hadits tersebut tidak
dinisbatkan kepada nabi ataupun sahabat. Hadits ini berupa perkataan, perbuatan
dan taqrir tabiin yang mereka lakukan dan kerjakan pada waktu nabi masih hidup
dan tidak mendapat teguran atau sapaan dari Nabi saw, artinya Nabi saw
membiarkan yang sedang dilakukan sahabat tersebut. Hadits maqthu tidak dapat
dipegang sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum karena hadits tersebut
bukanlah perkataan atau perbuataan tabiin.

26

5.

Hadits Mutawatir.

a.

Ta'rif Hadits Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat
untuk dusta.
Artinya: "Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari
permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap
tingkatan."
b.

Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan


sebagai berikut :
Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu
benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwaperistiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil
tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya,
maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu
mencapai jumlah yang banyak.
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil
mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat
seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi
menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan
yang sedemikian ketatnya.
c.

Pembagian Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi tiga, yaitu:


27

Hadits Mutawatir Lafzi


Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
1)
"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan
demikian juga pada hukum dan maknanya."
2)
"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari
sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut:
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan
bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah;
"Hadits yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari
kesimpulannya atau satu makna yang umum."
Jadi, hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir yang para perawinya
berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat kesamaan dalam
maknanya.
Hadits Mutawatir Amali
Yaitu: "Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama
dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau
memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."

28

6.

Hadits Ahad

a.

Pengertian hadits ahad

Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain:


"Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah
pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang,
empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi
pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: "
"Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat mutawatir."
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung kepada tiga hal,
yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut
menetukan tinggi-rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan
keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh
dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu
orang rawi; dan hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi
tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi; hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang
diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits menentukan tinggi rendahnya kedudukan
hadits sebagai sumber hukum Islam. Para ulama membagi hadits ahad dalam tiga
tingkatan, yaitu hadits sahih, hadits hasan dan hadits dhaif.

29

1.

Hadits Sahih.

Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yang benar
berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama,
yaitu"Hadits shahih adalah hadits yang susunan lafadznya tidak cacat dan
maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadits mutawatir atau ijimak serta
para rawinya adil dan dabit."
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang
yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak
syaz dan tidak muallal (terkena illat)

Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:


Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari
perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa
syuzuz tanpa illat

Dengan demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah


hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu:
a. muttashil sanadnya,
b. Perawi-perawinya adil
c. Perawi-perawinya dhabit
d. Yang diriwayatkan tidak syaz,
e. Yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)

30

Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam


melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:

a.
Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang
teratas.
b. Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan
memang terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih
tinggi.
c.
Hadis shahih bukan hadis yang terkena illat. Illat ialah: sifat tersembunyi
yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara
zahirnya terhindar dari illat.
d.

Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat

Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis


shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya
perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah
hadis dikatakan shahih, jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung
(muttashil) sampai ke rasulullah saw. dinukil dari dan oleh orang yang adil
lagi dhabittanpa adanya unsur syaz maupun muallal (terkena illat).

Dengan demikian apabila ada hadis yang sanadnya munqathi,


mudal dan muallaq dan sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai hadis shahih. Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis
memiliki illat maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.

Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisin tentang


hadis shahih diatas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri hadis
shahih, namun dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang tidak
sama, misalnya dalam hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan
periwayat thabaqah berikutnya harus betul-betul serah terima hadis, peristiwa
serah terima ini dapat dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya dengan sebab
31

tidaklah menjamin bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara
langsung.

- Pembagian Hadis Shahih


Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:

a.
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifatsifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan shahih li Dzatihi karena telah
memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk
sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan
sendirinya. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari:

:


.
: : .
:



: : .
: :

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih
yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.

b. Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara


sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad
yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li
ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang
lain. Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :

:


:
.

32

Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li


ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat
Muhammad bin Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang
sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun
keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi
derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Araj dari
Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).

Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada kedhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si
perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang
diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib
mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat
mengenai ashahhul asanid, ada yang mengatakan:

1) Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn
Umar.
2) Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman alAmasy dari Ibrahim an-Nakhaiy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn
Masud.
3) Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat
imam Malik ibn Anas dari Nafi maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam
Syafii merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam
Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan
dari Imam Syafii, maka sebagian ulamamutaakhirin cenderung menilai
bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafii dari Imam
Malik dari Nafi dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata
rantai emas).

33

3. Kehujjahan Hadis Shahih.


Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang
kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum)
sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :

"Apa

yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya".

4. Kitab-kitab yang memuat Hadis Shahih.


Manna Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi Ulum al-Hadis, mengemukakan
bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah:
a. Shahih Bukhari

d. Shahih Ibn Hibban

b. Shahih Muslim

e. Shahih Ibn Khuzaimah

c. Mustadrak al-Hakim

Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis


shahih adalah:
a. Shahih Bukhari

e. Sunan an-Nasai

b. Shahih Muslim

f. Sunan Ibn Majah

c. Sunan Abu Daud

g. Musnad Ahmad ibn Hanbal

d. Sunan at-Tirmidzi

34

Nuruddin Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi Ulum alHadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara
lain:
a. al-Muwattha
b. Shahih Bukhari
c. Shahih Muslim
d. Shahih Ibn Khuzaimah
e. Shahih Ibn Hibban
f. Al-Mukhtarah

2.

Hadits Hasan

Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang
adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar
dari Syaz dan illat.
Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna
untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan
Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis
mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang
disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li
dzatihi
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi
syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau
sebagiannya, kurang ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih.
Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para
ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis
shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya
kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.

35

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria


sebagai berikut:
a.

Sanad hadis harus bersambung.

b.

Perawinya adil

c.
Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang)
dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.

Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz

e.

Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)[16]

Pembagian Hadis Hasan

Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:


a.

Hadis hasan li dzatihi

Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi
kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat
lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.

b.

Hadis hasan li ghairihi

Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dhaif apabila jalan (datang)-nya berbilang
(lebih dari satu), dan sebab-sebab kedhaifannya bukan karena perawinya fasik
atau pendusta.
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dhaif,
yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan
berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu
masih berstatus dhaif.

36

Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn
Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syuaib dari ayahnya dari
kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama
dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.
Contoh hadis hasan:





:
:




) (.

Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk


orang-orang terpercaya kecuali Mabad al-Juhany menurut adz-Zahaby,Mabad
termasuk orang yang kurang ke-adilan-nya.
Contoh hadis shahih li ghairihi:

:

.




"
(. : . :




" :
)

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syubah dari ashim bin Ubaidillah,dari
Abdillah bin Amir bin Rabiah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani
Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.

Kemudian at-Tirmidzi berkata,pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama)
dari Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.Jalur Ashim didhaifkan
karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui
jalur riwayat yang lain.

37

Hadis dhaif dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua


ketentuan,yaitu:
a) hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan
syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik
dari padanya.
b) bahwa sebab kedhaifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya
sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal.

Jadi hadis dhaif yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah
hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti
hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid dan muttabi kedudukannya tetap
saja dhaif, tidak bisa berubah menjadi hasan.

Kehujjahan Hadis Hasan.

Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya


dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjahdalam penetapan
hukum maupun dalam beramal.
Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat
tentang kehujjahan hadis hasan ini.

- Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan


Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan
dhaif adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki
peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat
hadis hasan adalah
a. Sunan at-Tirmidzy
b. Sunan Abu Daud
c. Sunan ad-Dar Quthny

38

3.

Hadits Dhaif

Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dhaif ada dua macam, yaitu
lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dhaif
maknawiyah.
Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang didalamnya tidak didapati syarat
hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.
Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif
ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat
hadis hasan
As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
Hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis
maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat
hadis maqbul
Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka
dapat dibagi kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena tidak
memenuhi syarat bersambungnya sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada
perawinya.
Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif
jenis ini di bagi lagi menjadi :
1) Hadis Muallaq
Hadis muallaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi
baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya pada hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari:
"

Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal
ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,

39

Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah

2) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah
tabiin, seperti bila seorang tabiin mengatakan,Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda begini atau berbuat seperti ini. Contoh hadits ini adalah:

Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi
perantara antara nabi dan bapaknya.

3) Hadis Munqathi'
Hadis munqathi menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai hadis
yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi. Sedangkan menurut para ulama
hadis mutaakhkhirin adalah suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur seorang
perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut
Contoh hadits ini adalah;

Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman
bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan
hadis dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat
yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk
hadis yang munqthi.

4) Hadis Mu'dhal
Hadis mudhal menurut istilah adalah hadis yang gugur pada sanadnya dua atau
lebih secara berurutan.

40

Contohnya :
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qanaby dari Malik
bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, rasulullah
bersabda,
"

Al-Hakim berkata, hadis ini mudhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa.,
Letak ke-muadalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu
Muhammad bin Aljan, dari bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara
berurutan

5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis
sendiri dibagi menjadi beberapa macam;

a. Tadlis Isnad, adalah hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang
yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak
mendengar hadis tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan
penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadis tersebut padahal kenyataannya
tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/
kefasikan.
b. Tadlis qathi : Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya
dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan
telah berkata kepadaku, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan alAmasi . . . umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar
dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut
juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk
memotong).
c. Tadlis Athaf (merangkai dengan kata sambung semisal Dan). Yaitu bila
perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan
menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadis tersebut dari
guru kedua yang disebutnya.

41

d. Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan


gurunya karena dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh
orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis
shahih. Tadlistaswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena
mengandung penipuan yang keterlaluan.
e. Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifatsifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan)
yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan
masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: Orang yang sangat alim dan teguh
pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya brkata
kepadaku.
f. Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama
tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah
suatu tempat di pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi
melakukan tadlis suyukh, adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu
diberikan sifat yang belum dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia
mempunyai banyak guru atau karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa
malu meriwayatkan hadis darinya dan lain sebagainya.

Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya


Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan keadalahan perawi ada lima,
dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.

Adapun yang berkaitan dengan keadalahannya, yaitu: Dusta, Tuduhan, berdusta,


Fasik, bidah, al-Jahalah (ketidakjelasan)

Adapun yang berkaitan dengan keadalahannya, yaitu: kesalahan yang, sangat


buruk, Buruk hafalan, Kelalaian, Banyaknyawaham, menyelisihi para perawi
yang tsiqah
Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:

42

1) Hadis Maudhu'
Hadis maudhu adalah hadis kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak
mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih adalah khabar yang di buat
oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor
kepentingan. Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang
diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:

Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang
pembohong dan pembuat hadis palsu.

2) Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka
berdusta. Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan
oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.
...

Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap
hadisnya.

3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang
menyalahi orang kepercayaan. perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan
seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan
bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada
sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
4) Hadis Majhul

a. Majhul 'aini : hanya diketahui seorang saja tanpa


tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn
Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib
ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
.
43

Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah
ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh danta'dilnya.

b. Majhul hali : diketahui lebih adari satu orang namun tidak


diketahui jarh dan ta'dilnya.contoh hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari
Yazid ibn Madkur.
.

Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.

5) Hadis Mubham
Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam
rangkaian sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan. Contohnya adalah hadis
Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.

6) Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan dengan hadis lain yang riwayatnya
lebih kuat.

7) Hadis maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar balikkan
(mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan
mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.

44

8) Hadis mudraj
Secara terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau
tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran
perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan,
baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.

9) Hadis mushahaf
Hadits mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah.
Perubahan ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud
hadis menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.

Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara
lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu
hadis dan juga Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits

- Pengamalan Hadits Dhaif

Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila
dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama melakukan
pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga
terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.

Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif:

a. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail amal
maupun ahkam. pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Main, Bukhari dan
Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar ibn Araby.
45

b. Hadis dhaif bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu
Daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari
rayu perorangan.
c. Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah
fadhail mawaiz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.

Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal,


mensyaratkan kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:

1) Kelemahan hadis itu tiada seberapa.


2) Apa yang ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat
diperpegangi, dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan suatu
dasar hukum yang sudah dibenarkan.
3) Jangan diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia
hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan
pada nash sama sekali.

Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai


pada ilmu hadits antara lain:
a.
Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal
dengan Hadits Bukhari dan Muslim.
b.
As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah.
c.
As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain
Ahmad bin Hanbal (Imam Ibnu Majah).
d.
Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas
selain Imam Bukhari dan Imam Muslim.

46

e.
Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas
selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
f.
Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas
selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah

Hadits Maudhu.

4.

Maudhu menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut


istilah adalah:

sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah secara
dusta.

Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif lainnya.
Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan
maudhu. Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri.

Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu dinamakan juga
hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.

Sejarah Munculnya Hadis Maudhu

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis,
berikut pendapat mereka:

a.
Menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudhu terjadi sejak masa rasulullah
masih hidup.
b. Shalahuddin ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan
masalah keduniaan yang terjadi pada masa rasulullah saw.
c.
Menurut jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
47

Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu

Hadis maudhu tidaklah bertambah kecuali bertambahnya bidah dan pertikaian.


Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang
islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam.

Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:
a.

Pertentangan Politik

Perpecahan umat islam terjadi akibat permasalahan politik yang terjadi pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib, membawa pengaruh besar terhadap munculnya hadishadis palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawannya dan
berusaha mempengaruhi orang-orang tertentu, salah satu usahanya adalah dengan
membuat hadis palsu.

b.

Usaha Kaum Zindiq

Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama maupun
sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat memalsukan
Alquran sehingga mereka beralih melakukan upaya pemalsuan hadis. Dengan
tujuan ingin menghancurkan islam dari dalam.

c.

Sikap Fanatik Buta

Salah satu faktor upaya pembuatan hadis palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik
buta tehadap suku, bangsa, negeri dan pimpinan
Contoh golongan yang fanatik yaitu ash-Syuubiyah yang fanatik terhadap bangsa
persia, dia mengatakan Apabila Allah Murka, dia menurunkan wahyu dengan
bahasa arab dan apabila senang dia menurunkan dengan bahsa persia.

48

d.

Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah dan Nasehat

Kelompok yang melakukan pemalsuan hadis ini bertujuan untuk memmperoleh


simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Hadis
yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan.
Bahkan ada hadis palsu yang berbunyi: nabi duduk bersanding dengan Allah
diatas Arsy-nya.

e.

Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam

Munculnya hadis palsu dalam masalah fiqhi dan ilmu kalam, berasal dari para
pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena ingin menguatkan
madzhabnya masing-masing.

f.

Lobby dengan penguasa

Sebuah peristiwa yang terjadi pada masa khilafah bani Abbasiyah, seorang yang
bernama Ghiyats ibn Ibrahim pernah membuat hadis yang disebutkannya didepan
khalifah al-Mahdi yang menyangkut kesenangan khalifah.

g. Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan.


Dikalangan para ahli ibadah ada yang beranggapan bahwa membuat hadis-hadis
yang bersifat mendorong agar giat beribadah (targhib) adalah hal yang dibolehkan,
dalam rangka ber-taqarrub kepada Allah.

- Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu


Para ulama hadis menetapkan kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak
keberadaan hadis maudhu, sehingga hadis maudhu dapat diketahui dengan
beberapa hal, antar lain:

a.
Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi Ismat
Nuh bin Abi Maryam, yang digelari Nuh al-Jami, bahwa dia telah memalsukan
hadis atas Ibnu Abbas tentang keutamaan-keutamaan al-Quran surah persurah.
49

b. Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya:


misalnya seorang perawi yang Rafidhah dan hadisnya tentang
keutamaan ahlul bait.
c.
Adanya indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal
sehat, atau bertentangan dengan indra kenyataan, atau berlawanan dengan
ketetapan agama yang kuat dan terang, atau susunan lafazhnya yang lemah dan
kacau, misalnya apa yang diriwayatkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari
bapaknya dari kakeknya secara marfu,bahwasanya kapal nabi Nuh thawaf
mengelilingi kabah tujuh kali dan shalat dua rakaat di maqam Ibrahim.

- Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu


Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhudari orang
yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan
penjelasan akan kemaudhuannya, berdasarkan sabda Nabi saw:

barang siapa yang menceritakan hadis dariku sedangkan dia mengetahui bahwa
itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.(HR.Muslim)

50

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu, bahwa hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik itu berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan maupun persetujuannya. Para ulama membagi tingkatan
hadits ke dalam beberapa golongan, seperti hadits qudsi, hadits mutawatir, hadits
shahih, hadits hasan, hadits dhaif dan lain sebagainya.
Selain hal yang kami sebut di atas, ada hal lain yang harus dipahami dalam
mempelajari ilmu hadits, yaitu istilah-istilah yang ditetapkan para ulama dalam
ilmu hadits, seperti; At Tadil, Tsiqah, Rawi La Ba`sa Bihi dan lain sebagainya.

3.2.

Saran

Dari runtutan pembahasan mengenai dasar-dasar ilmu hadits ini kami


merekomendaikan beberapa saran yaitu:
1.
Kepada seluruh kaum muslimin untuk terus mendalami sumber hukum umat
islam yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2.
Mempelajari ilmu hadits dapat dilakukan dengan mncari referensi-referensi
yang terkait ataupun bertalaqqie kepada seorang ahli ilmu (ulama atau Ustadz).

51

DAFTAR PUSTAKA

Shalih Al-Utsaimin. Syeikh Muhammad, 2008. Musthalahul Hadits. Jogjakarta:


Media Hidayah.
As-Shalih, Dr. Subhi. 2002. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
An-Nawawi, Imam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ahmad, H. Muhammad. 1998. Ulumul hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Ismail, M. S. 1994. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Angkasa.
http://wildanesia.blogspot.com/2012/12/pengertian-hadits-sunnah-khabaratsar.html
http://contohdakwahislam.blogspot.com/2013/06/ilmu-hadits-riwayah-dandirayah.html
http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/hadits-marfu/
http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html

52

Anda mungkin juga menyukai