Anda di halaman 1dari 31

“EUTHANASIA (SUNTIK MATI)

DALAM PERSPEKTIF HUKUM


ISLAM”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam

Oleh Bapak Baidhowi

Disusun Oleh :

ROHADHATUL AISY (8111414356)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena atas
rahmat dan karunia-Nyalah, Tugas ini dapat terselsaikan dengan baik, tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Islam pada semester 1, di tahun ajaran 2014/2015, dengan judul
“Euthanasia Killing menurut Perspektif Hukum Islam” Dengan membuat tugas ini,
penulis diharapkan mampu untuk lebih mengenal tentang Hukum Islam khususnya
masalah-masalah yang sedang menjadi isu kontroversi, salah satunya Euthanasia
(mempercepat kematian)

Dalam penyelesaian tugas ini, penulis banyak mengalami kesulitan, terutama di


sebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya tugas ini dapat terselsaikan. Dengan
selesainya tugas ini, maka kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak, baik moril ataupun materil dalam pembuatan tugas ini.

penulis sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang lebih baik
lagi di masa yang akan datang.

Harapan saya, semoga makalah sederhana ini, dapat bermanfaat dan dapat

menambah pengetahuan kita. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Semarang, 25 Desember 2014

Penulis

ii | P a g e
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... ............i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ............ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ............iii
RINGKASAN .................................................................................................... ............iv
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... ............1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... ............2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... ............3
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................................3
1.5 Ruang Lingkup ...................................................................................... ............3

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Euthanasia..........................................................................................4
2.2 Faktor – Faktor Penyebab Euthanasia..................................................................5
2.3 Pendapat Para Ahli tentang Euthanasia...............................................................7
2.4 Dalil Al – Qur’an dan Hadits tentang pelaksanaan Euthanasia..........................11
2.5 Pandangan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Euthanasia..............................14

BAB III : ANALISIS


3.1 Analisis Penulis terhadap pelaksanaan Euthanasia ................................ ..........19

BAB IV : PENUTUP
4.1 Kesimpulan.........................................................................................................25
4.2 saran....................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ ...........27

iii | P a g e
RINGKASAN

Perkembangan moral dan etika di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini semakin


pesat. Tak sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan
perkembangan moral dan etika yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah
satunya adalah Euthanasia. Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat
kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan
menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra. Euthanasia dalam tinjauan
kedokteran adalah apabila seorang pasien mengalami penyakit menahun dan dalam
kondisi yang kritis (akut) maka seorang dokter biasanya melakukan tindakan-tindakan
untuk mempercepat kematian pasiennya, misalnya dengan memberikan obat penenang
dengan dosis lethal atau mencabut alat pacu jantung dengan pertimbangan untuk
menolong si penderita tanpa merasa sakit. Euthanasia ada dua macam, yaitu euthanasia
aktif dan euthanasia pasif. Para ahli sepakat bahwa eutanashia aktif tidak diperbolehkan
atau diharamkan, karena diidentikkan dengan pembunuhan dalam istilah islam yaitu
qatl al-‘amd. Sedangkan hukum euthanasia pasif masih menjadi perdebatan, antara
boleh dan tidak boleh. Tetapi berdasarkan beberapa litelatur yang telah dikaji, penulis
menemukan sebuah benang merah yang bisa ditarik yaitu hukum kondisional, artinya
euthanasia pasif (menghentikan pengobatan) pada orang yang secara medis tidak
tertolong lagi maka boleh hukumnya, mengingat penyakit yang diderita dan beban yang
ditanggung dirinya dan keluarga. Sedangkan pada orang yang secara medis masih bisa
diselamatkan, maka wajib diteruskan pengobatan. Sebenarnya dalam menelaah berbagai
konsep euthanasia yang telah dirumuskan oleh para ahli, baik dari kalangan atau pakar
Islam maupun diluar Islam, dasar-dasar perumusannya dapat ditemukan di dalam Al-
Qur’an maupun Hadits Nabi. Hal ini sejalan dengan fleksibilitas akan sumber ajaran
Islam tersebut. Walaupun euthanasia pasif diperbolehkan, tapi hal tersebut sangat tidak
dianjurkan. Umat Islam diharapkan untuk tetap berpegang teguh kepada
kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai
ketentuan yang datang dari Allah SWT. Hal itu hendaknya dihadapi dengan penuh
kesadaran dan tawakkal. Justru keadaan yang kritis itu merupakan masa penentuan
kokoh atau goyahnya iman seseorang. Konsekuensi dari akan dipertanggung jawabkan
di kemudian hari.

Kata Kunci : Euthanasia, qatl al-‘amd, Euthanasia aktif, Euthanasia pasif.

iv | P a g e
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan moral dan etika di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini


semakin pesat. Tak sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk
dan perkembangan moral dan etika yang terjadi di masyarakat bermacam-macam
dan salah satunya adalah Euthanasia. Euthanasia merupakan suatu isu yang
kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan
yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra.

Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati
adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan
manusia terhadap Tuhan, karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan
hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di dalam rahim ibunya sampai
sepanjang hidupnya. Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami
siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di
dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari
berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih
mengandung misteri yang sangat besar.

)185: ‫ اآلية (آل عمران‬...... ‫كل نفس ذائقة الموت‬

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”

Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu
pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di dalam
ajaran agama, kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini,
merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda
sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.
Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakutkan,
namun akan dialami oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu proses yang
tidak dapat ditunda, namun kebanyakan orang tidak mau kematian itu datang

1|Page
dengan segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan
tiba-tiba. Orang bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun
jauh lebih dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi.

Tidak demikian halnya dengan orang yang telah putus asa menghadapi hidup
karena penyakit yang diderita sangat menyiksanya. Mereka ingin segera
mendapatkan kematian, dimana bagi mereka kematian bukan saja merupakan hal
yang diharapkan, namun juga merupakan suatu hal yang dicari dan diidamkan.
Terlepas dari siap tidaknya mereka menghadapi kehidupan setelah kematian,
mereka menginginkan kematian segera tiba. Kematian yang diidamkan oleh para
penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh
dari rasa sakit dan mengerikan. Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut
“euthanasia” yang dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang
tipis harapannya untuk sembuh. Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas
antara hidup dan mati. Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya
dan telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu
nafas (respirator), dapat bangkit kembali. Kadang upaya penyelamatan berhasil
sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung kembali normal,
tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis
dia tergolong hidup tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup
dengan bantuan berbagai alat medis.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengkaji dan membahas


bagaimana hukum “euthanasia” dalam perspektif hukum islam.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
antara lain :

1. Apa pengertian Euthanasia?


2. Faktor – Faktor apa yang menyebabkan adanya euthanasia?
3. Bagaimana Pendapat para ahli tentang pelaksanaan Euthanasia?
4. Bagaimana dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits tentang Euthanasia?
5. Bagaimana hukum melakukan Euthanasia menurut pandangan hukum islam?

2|Page
1.3 Tujuan Penulisan

Segala aktifitas itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai demi suatu
kesuksesan. Karya tulis ini juga mempunyai tujuan. Adapun tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis antara lain :

1. Untuk mengetahui pengertian Euthanasia.


2. Untuk mengetahui Faktor – Faktor yang menyebabkan adanya euthanasia.
3. Untuk mengetahui Pendapat para ahli tentang pelaksanaan Euthanasia.
4. Untuk mengetahui dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits tentang Euthanasia.
5. Untuk mengetahui hukum melakukan Euthanasia menurut pandangan hukum
islam.
6. Untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum islam.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Melatih untuk tanggap terhadap suatu masalah.


2. Mengetahui pengertian Euthanasia.
3. Mengetahui Faktor – Faktor yang menyebabkan adanya euthanasia.
4. Mengetahui Pendapat para ahli tentang pelaksanaan Euthanasia.
5. Mengetahui dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits tentang Euthanasia.
6. Mengetahui hukum melakukan Euthanasia menurut pandangan islam.

1.5 Ruang Lingkup Masalah


Supaya karya tulis ini mudah dipahami, maka dalam karya tulis ini, penulis
hanya mempunyai ruang lingkup permasalahan mengenai Hukum pelaksanaan
Euthanasia menurut pandangan hukum islam.

3|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Euthanasia


A. Pengertian

Euthanasia berasal dari kata Yunani eu yang berarti baik dan thanatos
yang berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang
mudah tanpa rasa sakit. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah “qatlu ar-
rahmah” atau “ taysir al-maut”. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti
tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan
meninggal menjadi ringan atau mempercepat kematian seseorang yang ada
dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. Dalam kamus
Inggris – Indonesia disebutkan, bahwa euthanasia termasuk kata benda yang
berarti tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan orang yang
sekarat.
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, MA Pengertian qatl ar-rahmah atau
taysir al-maut (euthanasia) ialah tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit. Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti
“pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya
dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin
lagi untuk bisa sembuh. Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri,
permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar),
atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar). Dari pengertian-
pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa euthanasia adalah usaha dan
bantuan yang dilakukan untuk mempercepat kematian seseorang, dengan tujuan
meringankan atau membebaskannya dari penderitaannya.
B. Macam – macam Euthanasia
Ditinjau dari cara pelaksanannya, euthanasia dapat dibagi menjadi 2
macam :
1. Euthanasia Aktif, adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan

4|Page
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah
sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak
mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya
dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang
memang sudah parah. Contoh euthanasia aktif misalnya, ada seseorang
menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien
sering pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan
meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi
(overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.
2. Euthanasia Pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi
dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat
kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena
keadaan ekonomi pasien yang terbatas, dana yang dibutuhkan untuk
pengobatan sangat tinggi, dan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter
sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan
euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap
pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat
tinggi. Contoh euthanasia pasif misalnya, penderita kanker yang sudah kritis,
orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak
yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka penderita bisa meninggal.
Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan
dapat mempercepat kematiannya.

2.2 Faktor – Faktor Penyebab Euthanasia


Euthanasia sebenarnya bukanlah suatu persoalan yang baru. Bahkan
euthanasia telah ada sejak dari zaman Yunani purba. Dari Yunanilah euthanasia

5|Page
bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik itu di Benua Eropa
sendiri, Amerika maupun di Asia. Di negara-negara barat, seperti Swiss, euthanasia
itu sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi, bahkan euthanasia sudah
dilegalisasi dan diatur dalam Hukum Pidana
Esensi daripada dilakukan euthanasia ini adalah untuk meringankan
penderitaan si pasien yang telah mengalami penyakit menahun (akut) dan sudah
tipis harapan untuk sembuh. Di samping itu alasan-alasan yang dipertimbangkan
sehingga terjadi euthanasia adalah untuk dapat meringankan beban keluarga pasien
yang ditinggalkan apalagi kalau kehidupan mereka tergolong ekonomi lemah. Ada
beberapa contoh kejadian yang mengarahkan perhatian umum kepada masalah
euthanasia. Tahun 1984 Gubernur Lamm dari Negara Bagian Colorado
menyarankan bahwa, warga negara yang sudah tua barangkali mempunyai satu
kewajiban untuk meninggal dunia. Sehingga mereka tidaklah menghabiskan
sumber daya yang sudah langka. Elizabeth Bouvia, berumur 26 tahun menderita
kelumpuhan total akibat trauma otak dan minta agar diizinkan mati kelaparan saja
dengan menghentikan infus. Dan tahun 1985, Roswell Gilbert menjadi orang
Amerika pertama yang mana didakwa dengan alasan pembunuhan karena
melakukan euthanasia langsung. Istrinya mengidap penyakit Alzhaimer dan
Osteoporosis, sehingga ia kehilangan semangat hidup dan sangat menderita. Setelah
ia memberitahukan kepada suaminya bahwa ia ingin pergi dari dunia ini, Roswell
lalu menembaknya.
Di bawah ini salah satu faktor – faktor yang menyebabkan dilakukannya
euthanasia terhadap seorang pasien antara lain :
1. Faktor Kemanusiaan.
Faktor ini dilakukan oleh seorang dokter baik atas permintaan pasien
atau keluarganya atau kehendak dokter itu sendiri. Hal ini dilakukan oleh
seorang dokter karena merasa kasihan terhadap penderitaan pasiennya yang
berkepanjangan, yang secara medis sulit untuk disembuhkan. Dengan demikian
seorang dokter mengabulkan permintaan pasiennya.
2. Faktor Ekonomi
Faktor yang kedua ini diakui oleh wakil ketua Umum Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. Kartono Muhammad bahwa mengenai

6|Page
Euthanasia pasif banyak dilakukan atas permintaan keluarga penderita yang
tidak sampai hati melihat keluarganya terbaring berlama-lama di rumah sakit
dan sudah tidak mempunyai biaya untuk melakukan pengobatan. Oleh karena
itu, mereka memilih membawa pulang pasien dengan harapan biarlah ia
meninggal di tengah familinya.

2.3 Pendapat Para Ahli tentang Euthanasia


Euthanasia merupakan suatu persoalan yang cukup dilematik baik di kalangan
dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan. Di Indonesia masalah ini juga
pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh pihak Ikatan Dokter Indonesia
(yang selanjutnya disebut IDI) dalam seminarnya pada tahun 1985 yang melibatkan
para ahli kedokteran, ahli hukum positif dan ahli hukum Islam, akan tetapi hasilnya
masih belum ada kesepakatan yang bulat terhadap masalah tersebut. Demikian juga
dari sudut pandang agama, ada sebagian yang memperbolehkan dan ada sebagian
yang melarang terhadap tindakan euthanasia, tentunya dengan berbagai argumen
atau alasan. Dalam Debat Publik Forum 01 Januari 1996, Ketua Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (yang selanjutnya disebut MUI) Pusat, Ibrahim Husein
menyatakan bahwa, Islam membolehkan penderita AIDS dieuthanasia bilamana
memenuhi syarat-syarat berikut: 1. obat atau vaksin tidak ada; 2. kondisi
kesehatannya makin parah; 3. atas permintaannya dan atau keluarganya serta atas
persetujuan dokter; 4. adanya peraturan perundang-undangan yang mana
mengizinkannya. Masfuk Zuhdi mengatakan bahwa sekalipun obat atau vaksin
untuk HIV/AIDS tidak atau belum ada dan kondisi pasien makin parah tetap tidak
boleh di euthanasia sebab hidup dan mati itu di tangan Tuhan.
Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus
berlangsung. Mengingat euthanasia merupakan suatu persoalan yang rumit dan
memerlukan kejelasan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat Islam.
Maka MUI dalam pengkajian (muzakarah) yang diselenggarakan pada bulan Juni
1997 di Jakarta yang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan
bunuh diri. Secara logika berdasarkan konteks perkembangan ilmu pengetahuan,
euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini merupakan suatu konsekuensi dari
proses penelitian dan juga pengembangan. Demikian juga, dipandang dari sudut

7|Page
kemanusiaan, euthanasia tampaknya merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu
menolong sesama manusia dalam mengakhiri kesengsaraannya (Amri Amir,
1997:72). Namun akan timbulah berbagai permasalahan ketika euthanasia
didasarkan pada konteks yang lain seperti hukum dan agama, khususnya agama
Islam.
Beberapa pendapat para ahli tentang Euthanasia dilihat dari berbagai sudut
pandang diantaranya :
1. Beberapa pendapat ulama’
Diantara masalah yang sudah terkenal dikalangan Ulama syara’ ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit, tidak wajib hukumnya, pendapat
ini dikemukakan menurut Jumhur Fuqaha dan Imam-Imam mazhab. Bahkan
menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya segolongan kecil yang
mewajibkannya. Sahabat-sahabat Imam syafi’i, Imam Ahmad dan sebagian
Ulama menganggap bahwa mengobati itu sunnat. Para Ulama berbeda
pendapat mengenai mana yang lebih utama. Berobat ataukah bersabar?
Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih
utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih
dari seorang wanita yang ditimpa penyakit, wanita itu meminta kepada Nabi
SAW agar mendoakannya, lalu beliau menjawab “Jika engkau mau bersabar
(maka bersabarlah) engkau akan mendapat surga; jika engkau mau, maka
saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Wanita itu menjawab
aku akan bersabar. Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saja, oleh
karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit
saya. Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan
penyakitnya”.
tetapi ada juga sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa berobat itu wajib.
Dalam hal ini Yusuf Qardhawi sependapat dengan golongan yang
mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan
untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta’la. Oleh karena itu, pengobatan
atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat
diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh,
sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan

8|Page
dimengerti oleh para ahlinya yaitu para dokter, maka tidak ada seorang pun
yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib. Maka memudahkan proses
kematian ini tidak perlu diistilahkan dengan qatl ar-rahmah (euthanasia),
karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Akan tetapi
dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah,
sehingga tidak dikenai sanksi. Dan jika demikian, maka tindakan pasif ini
adalah jaiz hukumnya dan dibenarkan oleh syara’ apabila keluarga penderita
mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan
si sakit dan keluarganya.. Menurut pendapat sebagian ulama, bahwa euthanasia
boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular apalagi kalau
tidak bisa disembuhkan. Salah satu ulama’ yang memperbolehkan yaitu
Ibrahim Hosen, ini disandarkan kepada suatu kaidah ushul fiqh : Al- Irtifaqu
Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan dari dua mudlarat. Jadi katanya,
langkah ini boleh dipilih karena ia merupakan pilihan dari dua hal yang buruk.
Pertama, penderita mengalami penderitaan. Kedua, jika menular
membahayakan sekali. Artinya dia menjadi penyebab orang lain menderita
karena tertular penyakitnya, dan itu dosa besar. Dan beliau bukan hanya
menganjurkan euthanasia pasif tapi juga euthanasia aktif.
Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat
menentang dilakukannya euthanasia. Para Ulama’ berbeda pendapat mengenai
hal ini ada yang mempebolehkan euthanasia tapi euthanasia pasif dan ada yang
tidak memperbolehkan, masing-masing mempunyai dasar dan argumen sendiri.
2. Menurut Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang
menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti
kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa derita. Dalam
perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi pembunuhan atau
pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan
seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death).
Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat
mempertanggung jawabkan semua perbuatannya terhadap pasien menurut
hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa euthanasia ternyata

9|Page
memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis lainnya.
Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak
diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969) Kode Etik
Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan
bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut
pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien
sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi
otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati
walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus
diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus
secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi
dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan
keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan.
Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri
hidup pasien.
3. Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui
beberapa pasal khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal
euthanasia”. Pasal ini berbunyi :“barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Jika dokter
membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis
(euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal
tersebut berbunyi :”barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara....”

10 | P a g e
Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter
itu bisa dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35
mengatakan: “barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh
diri”

2.4 Dalil Al – Qur’an dan Hadits tentang pelaksanaan Euthanasia

Di dalam Al-Qur’an, banyak ayat - ayat yang menjelaskan tentang haramnya


melakukan pembunuhan bahkan mengancamnya dengan hukuman. Berbicara
mengenai euthanasia, yaitu khususnya euthanasia aktif, berarti juga berbicara
mengenai pembunuhan, karena antara keduanya ada banyak kemiripan dan tidak
dapat pisahkan. Dalam dunia kedokteran, euthanasia dikenal sebagai tindakan yang
dengan sengaja tidak melakukan sesuatu yang bertujuan memperpanjang hidup
seseorang atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau juga
mengakhiri hidup seorang pasien dan ini semua dilakukan untuk mempercepat
kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik tanpa penderitaan yang
tidak perlu. jadi, banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan
pelaksanaan euthanasia. Selain ayat – ayat Al-Qur’an, ada juga hadits yang
berkaitan dengan pelaksanaan euthanasia ini.
Sebenarnya dalam menelaah berbagai konsep euthanasia yang telah
dirumuskan oleh para ahli, baik dari kalangan atau pakar Islam maupun diluar
Islam, dasar-dasar perumusannya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an maupun
Hadits Nabi. Hal ini sejalan dengan fleksibilitas akan sumber ajaran Islam tersebut.
Misalnya dalam Al-Qur’an pada QS. Al- An’am ayat 151:

11 | P a g e
”Katakanlah (Muhammad) marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan
kepadamu, Jangan menyekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baik kepada ibu
bapak, janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang
memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati
perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu sebab yang benar. Demikianlah dia memerintahkan kepadamu
agar kamu mengerti”
Membunuh yang dimaksudkan dalam ayat di atas mengandung pengertian
segala macam bentuk dan jenis pembunuhan, termasuk juga membunuh dengan
jalan euthanasia itu termasuk dalam kategori ayat tersebut, yaitu membunuh secara
sengaja terhadap seseorang dengan bantuan dari orang lain. Dalam pengertian ini
ada subjek, yaitu orang yang membantu melakukan proses pembunuhan dan ada
obyek yaitu pasien yang tengah mengalami penderitaan yang dinilai cukup tragis.
Akan tetapi pada Surat Al-An’am ayat 151 di atas ada pengecualian pembunuhan
yang tidak termasuk euthanasia seperti membunuh saat berperang melawan orang
kafir. Inilah yang diisyaratkan membunuh dengan alasan yang dibenarkan. Dalam
ayat lain Allah juga menjelaskan tentang larangan membunuh sesama mu’min,
dalam surat An – Nisa ayat 92 yang berbunyi :

12 | P a g e
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang
beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika dia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka
hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Jika dia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barang siapa tidak memperolehnya, maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dalam pengertian yang lebih eksklusif yang mana mengarah kepada
euthanasia pasif sebenarnya dapat pula ditemukan dasarnya di dalam Al-Qur’an.
Karena akan dianggap tindakan bunuh diri, dimana pasien meminta sendiri untuk
mempercepat kematiannya dengan diberi obat yang bisa mempercepat
kematiannya, keadaan yang demikian berarti berputus asa dan mengingkari rahmat
Allah SWT, sebagaimana firmanNya dalam QS. An-Nisa ayat 29 yang berbunyi:

13 | P a g e
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar) kecuali dengan perdagangan
yang berlaku atas dasar suka sama suka. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Nyawa merupakan barang titipan Allah SWT, oleh karenanya tidak boleh
diabaikan apalagi untuk menghilangkan secara sengaja. Islam menghendaki setiap
muslim untuk dapat selalu optimis sekalipun ditimpa suatu penyakit yang sangat
berat. Dalam Hadits-Hadits Nabi saw larangan pembunuhan ini dipertegas oleh
Rasulullah saw :

Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata telah bersabda Rasulullah saw: “ Tidak halal darah
seseorang yang bersyahadat, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara yaitu janda
atau duda yang berzina, orang yang melakukan pembunuhan dan orang yang
meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah (H.R Bukhari dan
Muslim). Disamping melarang untuk melakukan pembunuhan terhadap orang lain,
syariat Islam juga melarang untuk melakukan perbuatan bunuh diri,

2.5 Pandangan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Euthanasia


Kontroversi menyangkut isu euthanasia (perilaku sengaja dan sadar
mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan)
tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, tetapi telah merambah
kemana-mana terutama para ulama Islam. Isu euthanasia selalu muncul, salah
satunya karena praktek tersebut bukan hanya melibatkan pertimbangan hidup mati.
Tetapi, termasuk juga pertimbangan hukum, perasaan, dan etika kedokteran.
Selama jenis penyakit pada manusia terus berkembang dan penyembuhan
terhadapnya diyakini mustahil (apalagi dengan kadar penularan yang tinggi), para
ahli medis dan hukum mulai melirik kemungkinan-kemungkinan euthanasia.

Dari ayat-ayat dan Hadits – Hadits yang telah dijelaskan di atas dapat
disimpulkan bahwa euthanasia khususnya euthanasia aktif dimana seorang dokter

14 | P a g e
melakukan upaya aktif membantu untuk mempercepat kematian seorang pasien,
yang menurut perkiraannya sudah tidak dapat bertahan hidup, meskipun atas
permintaan si pasien maupun keluarganya dilarang menurut Syari’at Islam, karena
perbuatan tersebut tergolong dalam pembunuhan dengan sengaja. Oleh sebab itu,
tindakan euthanasia menurut hukum Islam dianggap sebagai perbuatan terlarang
dan hukumnya adalah haram. Pembunuhan yang dibolehkan menurut Hadits Nabi
saw, telah dikemukan oleh asy-Syaikh Prof. Mahmud Syaltut bahwa dengan
melihat maksud dan tujuannya, pembunuhan yang dibolehkan oleh syara’ (Islam)
dapat dirumuskan dalam tiga segi :

1. Segi pelaksanaan perintah atau kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati


oleh algojo atas perintah pengadilan/hakim.

2. Segi pelaksanaan hak, yang meliputi :

a. Hak wali si korban dengan pelaksanaan Qishash.

b. Hak penguasa untuk menghukum bunuh perampok/pengganggu stabilitas


keamanan.

3. Segi pembelaan, baik terhadap diri, kehormatan, maupun terhadap harta benda .

Dari tiga segi pembunuhan yang dibolehkan dalam Islam sebagaimana


yang dikemukakan oleh asy-Syaikh Prof.Mahmud Saltut diatas, euthanasia tidak
termasuk didalamnya. Dengan demikian, euthanasia aktif jelas dilarang oleh Islam.
Adapun euthanasia yang dilakukan dokter dalam rangka menyelamatkan ibu yang
akan melahirkan dengan jalan mematikan bayi yang dikandungnya, pada saat
diketahui proses kelahiran bayi itu mengakibatkan hilangnya nyawa ibu, ini
dibolehkan karena darurat berdasarkan qaidah :

Artinya: “Keadaan darurat dapat membolehkan perbuatan yang dilarang.”

Artinya : “Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang
berbahaya itu adalah wajib”.

15 | P a g e
Jadi Islam membolehkan untuk melakukan euthanasia aktif dengan
mengorbankan janin karena menyelamatkan nyawa ibu. Nyawa ibu diutamakan,
mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah mempunyai hak dan kewajiban,
baik terhadap Allah maupun sesama makhluk, sedangkan si janin (bayi), sebelum ia
lahir dalam keadaan hidup, ia belum mempunyai hak seperti hak waris dan belum
mempunyai kewajiban apapun.

Sehubungan dengan pengaruh keadaan darurat tersebut asy-Syaikh Abdul


Wahhab Khallaf mengatakan bahwa: “barangsiapa yang tidak bisa
mempertahankan keselamatan dirinya kecuali dengan menyelamatkan/
membinasakan orang lain, tidaklah berdosa ia dalam tindakan itu”.
Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang diberikan dokter untuk
membantu mempercepat kematiannya dianggap tidak ada, tetapi dokter yang
melakukan euthanasia dianggap melakukan tindakan pidana atau kriminal yang
harus dijatuhi hukuuman. Hanya saja mengenai jenis hukumannya Ulama’ berbeda
pendapat.
Menurut al-Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan
sebagian Ulama’ Syafi’iyyah, bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku
euthanasia (pembunuhan dengan persetujuan korban) adalah membayar diyat
(membayar 100 ekor unta atau seharga itu), dan bukan Qishash. Dengan alasan
karena persetujuan si korban (pasien) untuk menjadi objek euthanasia merupakan
syubhat dalam status perbuatannya dan dalam Hadits Nabi saw, yaitu apabila dalam
jarimah hudud (termasuk didalamnya Qishash) terdapat syubhat maka hukuman
bisa digugurkan atau diganti. Menurut Zufar salah seorang murid Abu Hanifah dan
pendapat Madzhab Maliki serta pendapat sebagian Ulama’ syafi’iyyah hukuman
yang dikenakan kepada pelaku euthanasia tersebut diatas, tetap hukuman qishash
(hukuman mati) karena persetujuan untuk menjadi obyek euthanasia tersebut
dianggap tidak pernah ada, sehingga persetujuan tersebut tidak ada pengaruhnya
sama sekali. Sedangkan menurut pendapat imam Ahmad bin Hanbal dan sebagian
Ulama’ syafi’iyyah, bahwa pelaku euthanasia atas persetujuan si korban dibebaskan
dari hukuman, karena persetujuan pasien untuk menjadi obyek euthanasia, sama
statusnya dengan pembunuhan, baik dari hukuman Qishash, maupun diyat maka dia
bebas dari hukuman. Kemudian bagaimanakah pandangan Islam terhadap

16 | P a g e
euthanasia pasif? Menurut ajaran Islam, bahwa sakit yang menimpa seseorang itu
dapat menghapuskan dosa. Meskipun demikian, bukan berarti penyakit yang
menimpa seseorang itu dibiarkan saja tanpa upaya pengobatan karena agama Islam
memerintahkan untuk megobati setiap penyakit yang menimpa manusia. Menurut
al-Imam al-Syaukani bahwa penyakit yang oleh dokter telah dinyatakan tidak ada
obatnya sekalipun, tak ada upaya untuk mengupayakan pengobatannya .
Apabila dokter mengatakan, bahwa penyakit tersebut sudah tidak bisa disembuhkan
atau keadaanya sudah masuk dalam stadium terminal dan pihak pasien atau
keluarganya dengan bebarapa pertimbangan meminta atau menyetujui
dihentikannya upaya pengobatan, maka dengan penghentian pengobatan, pasien
tersebut akhirnya meninggal. Dalam situasi dan kondisi yang demikian, tindakan
yang bisa dilakukan adalah bersabar dan tawakkal serta berdoa kepada Allah.

Islam mengajarkan bahwa kematian datang tidak seorang pun yang dapat
memperlambat atau mempercepatnya. Allah menyatakan bahwa kematian hanya
terjadi dengan izin-Nya dan kapan saat kematian itu tiba telah ditentkan waktunya
oleh Allah. Dalam Islam kematian adalah sebuah gerbang menuju kehidupan abadi
(akhirat) dimana setiap manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
selama hidup didunia dihadapan Allah SWT. Kode etik kedokteran Islami yang
disahkan oleh Konferensi Internasional Pengobatan Islam yang pertama (The First
International Conference of Islamic Medical) menyatakan: bahwa euthanasia aktif
sama halnya dengan bunuh diri (tidak dibenarkan) sesuai dengan frman Allah :

“Dan janganlahkamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah maha


penyayang kepadamu”.
Kesabaran dan ketabahan terhadap rasa sakit dan penderitaan sangat dihargai dan
mendapat pahala yang besar dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah
menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan dari yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya
itu” (HR. Bukhari Muslim).

17 | P a g e
Pengertian yang dirumuskan oleh komisi dari fatwa MUI, bahwa
euthanasia adalah pembunuhan dengan didampingi oleh pertimbangan medis bagi
seorang penderita atau mengidap penyakit yang mana tidak mungkin lagi
disembuhkan. Sebenarnya dalam menelaah berbagai konsep euthanasia yang telah
dirumuskan oleh para ahli, baik dari kalangan atau pakar Islam maupun diluar
Islam, dasar-dasar perumusannya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an maupun
Hadits Nabi. Hal ini sejalan dengan fleksibilitas akan sumber ajaran Islam tersebut.
Sebagaimana ayat-ayat yang telah di jelaskan di atas. Jadi, pendapat sejumlah
fuqaha, bahwa islam mengharamkan pelaksanaan euthanasia aktif karena sama
dengan pembunuhan, kecuali dalam hal-hal yang telah di jelaskan di atas. Dan
sebagian menghukumi ja’iz terhadap pelaksanaan euthanasia pasif.

18 | P a g e
BAB III
ANALISIS

3.1 Analisis Penulis terhadap pelaksanaan Euthanasia.


Pada bab sebelumnya telah di jelaskan tentang pengertian euthanasia,
bagaimana euthanasia dipandang dari segi medis, hukum, dan agama terutama
bagaimana pandangan hukum islam tentang pelaksanaan euthanasia. Kontroversi
yang mana menyangkut isu etika euthanasia tidak saja santer didiskusikan di
kalangan dunia medis, tetapi telah merambah kemana-mana terutama para ulama
Islam. Isu euthanasia selalu muncul, salah satunya karena praktek tersebut bukan
hanya melibatkan pertimbangan hidup mati. Tetapi, termasuk juga pertimbangan
hukum, perasaan, dan etika kedokteran.
Menurut analisis saya, Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif
dan etika Islam karena hal ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia
sekaligus telah membuat manusia dapat menentukan kematiannya sendiri,
sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan manusia dan Dia
pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak untuk menentukan
dan mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri.
Islam menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam
menghadapi setiap musibah. Sebab seorang mu’min dicipta justru untuk berjuang,
bukanlah untuk tinggal diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan
budinya tidak mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap mukmin
mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu senjata iman dan kekayaan budi.
Tidak sedikit anjuran bagi para penderita untuk bersabar dan menjadikan
penderitaan sebagai sarana pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa. Agar supaya
meringankan derita sakit, seorang muslim diberi pelipur lara oleh Nabi Saw.
dengan sabdanya, Jika seseorang dicintai Tuhan maka ia akan dihadapkan kepada
cobaan yang beragam.
Masalah boleh dan tidaknya pelaksanaan euthanasia, masing-masing punya
dasar dan pendapat yang diyakininya. Analisis saya, .syari’at islam jelas
mengharamkan pelaksanaan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amd), walaupun niatnya baik yaitu untuk

19 | P a g e
meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Syariat Islam juga menghormati dan
menjunjung tinggi hak hidup bagi manusia. Setiap perbuatan menghilangkan hidup
(nyawa), baik oleh orang lain maupun oleh diri sendiri dilarang dengan tegas dalam
al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-
dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Sebagaimana ayat yang telah di jelaskan sebelumnya,
dalam surat Al – An’am ayat 151, An – Nisa’ ayat 92, An – Nisa’ ayat 29 dan
masih banyak lagi.
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter
melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amd) yang merupakan tindak pidana (jarimah)
dan dosa besar. Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering
dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter
memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris),
padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak
dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif,
pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah
kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah
menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya
itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain di jelaskan:
“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang
mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong
tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar
sehingga ia mati. Maka Allah berfirman : hambaku telah menyegerakan
kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Adapaun mengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk
dalam kategori menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan

20 | P a g e
berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya
lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter
menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat
pernapasan buatan dari tubuh pasien. Hal ini menurut saya hukumnya ja’iz (boleh),
karena, jika dilihat hukum berobat itu menurut jumhur ulama’ adalah sunnah atau
tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis, pada satu sisi Nabi SAW menuntut
umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarînah (indikasi) bahwa
tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang dituturkan oleh Usama bin
Syarik, bahwa beberapa orang Arab pernah bertanya, “Ya Rasulullah, haruskah
kami berobat?” Rasulullah saw bersabda, “Benar wahai hamba-hamba Allah,
berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit
kecuali Dia membuat pula obatnya. (HR at-Tirmidzi).
Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kita untuk
berobat. Hanya saja, perintah (al-amr) tersebut tidak serta-merta berkonotasi wajib.
Ini sesuai dengan kaidah:

“Perintah itu pada asalnya sekadar menunjukkan adanya tuntutan”.


(An-Nabhani, 1953).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan
tersebut bersifat wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak wajib.
Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, bahwa seorang perempuan
yang berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata,
“Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku
[saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi saw. Lalu
berkata, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau,
aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu
berkata, “Baiklah aku akan bersabar.” Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh]. Karena itu, berdoalah kepada

21 | P a g e
Allah agar auratku tidak tersingkap.” Nabi saw, kemudian berdoa untuknya. (HR
Bukhari).
Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini
digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka
hadis terakhir ini menjadi indikasi (qarînah), bahwa perintah berobat adalah
perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah
sunnah (mandûb), bukan wajib, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu
bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya
dari pasien yang telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum mengatakan, bahwa
jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya maka
para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu
pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Penggunaan dan
penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti
menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien (setelah
matinya atau rusaknya organ otak) hukumnya boleh (jâ’iz) bagi dokter. Jadi, ketika
dokter mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan
melakukan pembunuhan terhadap pasien. Berbeda dengan euthanasia
aktif/mempercepat kematian itu tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah
menyembuhkan, bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan
kepada keluarga. Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli baik dari kalangan
kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan.
Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien
sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi
kepastian hidup. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ
utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar,
bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien
yang berada di RS yang lengkap peralatannya. Tetapi bila pasien berada di RS yang
sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang
disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih lengkap

22 | P a g e
tidak memadai. Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak
sanggup memikulnya, yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk
mempercepat kematian pasien.
Hukum euthanasia pasif memang masih menjadi perdebatan, antara
boleh dan tidak boleh. Tetapi berdasarkan beberapa litelatur yang telah dikaji,
penulis menemukan sebuah benang merah yang bisa ditarik yaitu hukum
kondisional, artinya euthanasia pasif (menghentikan pengobatan) pada orang yang
secara medis tidak tertolong lagi maka boleh hukumnya, mengingat penyakit yang
diderita dan beban yang ditanggung dirinya dan keluarga. Sedangkan pada orang
yang secara medis masih bisa diselamatkan, maka wajib diteruskan pengobatan.
Walaupun euthanasia pasif ini banyak yang memperbolehkan, tetapi sedapat
mungkin euthanasia dapat dihindari, mengapa tidak dilakukan. Karena pepatah
mengatakan dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan. Kalau dokter sudah
menyerah untuk mengobati pasiennya lebih baik dikembalikan kepada keluarganya
tanpa bermaksud untuk menghentikan bantuan kepada si pasien. Karena, kalau
menurut saya pribadi euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang
tidak bermoral. Kalaupun euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita
perlu menyadari bahwa tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya.
Hanya Allah yang mengetahui hidup dan mati seseorang, hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat Ali imran ayat 156 :

“....Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Ali Imran:156)
Jadi, kalau menurut saya euthanasia itu sebaiknya tidak dilakukan,
walaupun euthanasia pasif di perbolehkan, tapi hal tersebut tersebut termasuk
tindakan yang kurang bermoral. Syari’at islam itu salah satu tujuannya adalah untuk
hifdz an-nafs (menjaga jiwa), jadi jika dilihat dari segi hifdzun nafsi maka
euthanasia adalah perbuatan yang di larang terlebih Euthanasia aktif, hal itu di

23 | P a g e
haramkan. Dan Allah SWT menurunkan penyakit beserta obatnya, kita juga
dilarang berputus asa dengan rahmat Allah. Rasulullah SAW juga pernah bersabda,
bahwa sakit itu bisa menjadi sarana untuk penghilang dosa kalau kita bersabar dan
ikhlas.

24 | P a g e
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan di atas, akhirnya dapat ditarik suatu
kesimpulan, Pertama, bahwa proses euthanasia dalam tinjauan kedokteran adalah
apabila seorang pasien mengalami penyakit menahun dan dalam kondisi yang kritis
(akut) maka seorang dokter biasanya melakukan tindakan-tindakan untuk
mempercepat kematian pasiennya, misalnya dengan memberikan obat penenang
dengan dosis lethal atau mencabut alat pacu jantung dengan pertimbangan untuk
menolong si penderita tanpa merasa sakit. Ketika konsep euthanasia tersebut
diperkenalkan di sebagian negara dunia, dan sebagian juga sudah dapat melegalkan,
akan tetapi bagi negara Indonesia yang masih berpayung di bawah Pancasila tidak
dapat melegalkan hal tersebut. Sebab secara hukum tugas dan tanggungjawab
kedokteran di Indonesia, dibatasi oleh Etika Kedokteran sendiri yang isinya seorang
dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Juga dilarang oleh hukum positif kita yaitu KUHP, Bahkan secara tegas
menyebutkan barangsiapa yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara, paling lama dua belas tahun. Kedua, Tinjauan akan hukum Islam mengenai
euthanasia, terutama yaitu euthanasia aktif adalah diharamkan. Karena euthanasia
aktif ini dikategorikan sebagai perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam
oleh Allah SWT dengan hukuman neraka selama-lamanya. Karena yang berhak
mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu orang yang
mengakhiri hidupnya atau orang yang membantu mempercepat suatu kematian
seseorang sama saja dengan menentang ketentuan agama.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memiliki pandangan tersendiri
akan hal ini. Dari sudut pandang hukum Islam, diputuskan bahwa euthanasia aktif
atau positif adalah haram hukumnya. Sedangkan hukum euthanasia pasif masih
menjadi perdebatan, antara boleh dan tidak boleh. Tetapi berdasarkan beberapa
litelatur yang telah dikaji, penulis menemukan sebuah benang merah yang bisa
ditarik yaitu hukum kondisional, artinya euthanasia pasif (menghentikan

25 | P a g e
pengobatan) pada orang yang secara medis tidak tertolong lagi maka boleh
hukumnya, mengingat penyakit yang diderita dan beban yang ditanggung dirinya
dan keluarga. Sedangkan pada orang yang secara medis masih bisa diselamatkan,
maka wajib diteruskan pengobatan.

4.2 Saran
Untuk dapat menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya
euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Bilamana pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang
lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya yang amat terbatas,
ataupun karena rumah sakit yang mana lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat
dilakukan dua cara yakni:
a. menghentikan perawatan atau pengobatan, dalam artian membawa pasien
pulang ke rumah
b. membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud
melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
Oleh karena itu, umat Islam diharapkan untuk tetap berpegang teguh
kepada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita
sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah SWT. Hal itu hendaknya
dihadapi dengan penuh kesadaran dan tawakkal. Justru keadaan yang kritis itu
merupakan masa penentuan kokoh atau goyahnya iman seseorang. Konsekuensi
dari akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.
2. Untuk para dokter diharapkan agar tetap berpegang pada kode etik kedokteran
dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan
proses kematian bisa dihindari. Kode etik kedokteran dan sumpah jabatan
merupakan standar profesi yang mengawal praktek dokter, sehingga praktek
euthanasia bisa dihindarkan.

26 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Abdusshomad, Muhyidin. 2012. Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi. Surabaya:


Khalista dan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur

Alghifary. 2013. Hukum Euthanasia Menurut Islam. diakses dari


http://aul-al-ghifary.blogspot.com/2013/10/hukum-euthanasia-menurut-
islam.html (20 Desember 2014)

Hazm, Ibnu. 2013. Euthanasia Dalam Hukum Islam. diakses dari


http://ibnuhazm57.blogspot.com/2013/03/euthanasia-dalam-hukum-islam.html
(20 Desember 2014)

Latifa, Risma. 2013. Euthanasia Killing Menurut Hukum Islam diakses dari
http://keperawatanreligionrismalatifa.wordpress.com/2013/05/15/euthanasia-
killing-menurut-hukum-islam/ (20 Desember 2014)

Mukhlis, Ahmad. 2013. Euthanasia Menurut Islam. diakses dari


http://mukhlis11ahmad.blogspot.com/2013/05/euthanasia-menurut-islam.html
(20 Desember 2014)

Pakdeneo. 2006.Perpustakaan Digital : Fatwa-Fatwa Kontemporer Dr.Yusuf Al


Qardhawi. diakses dari http://www.pakdeneo.com (20 Desember 2014)

27 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai