Anda di halaman 1dari 3

ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN ( PENELITIAN )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehadiran ajaran agama islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW diyakini oleh umat islam dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Didalam agama tersebut terdapat
berbagai petunjuk bagi penganut agama islam. Beberapa orang menganggap penelitian agama adalah tabu
sebagian dari mereka akan berkata: Mengapa agama yang sudah begitu mapan mau di teliti :Agama adalah
wahyu Allah yang sudah pasti kebenaranya.
Sikap serupa juga terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theoritis Of Religion dikatakan dulu
orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama. Sebab antara ilmu dan nilai ,antara
ilmu dan agama (kepercayaan), tidak bisa di sinkronkan.Mungkinkah kita meneliti agama , apalagi agama
islam ,oleh orang-orang islam ? Tentu saja ,agama,termasuk islam ,dapat dan boleh di teliti
Pada tahun 1990-an,Prof Dr.Mukti Ali telah berkata begitu,dan banyak orang yang tidak setuju.Tapi sampai
saat ini dengan perkembangannya pemahaman tentang islam ,maka masyarakat luaspun mulai bisa
menerima pemikiran tersebut .Dalam perguruan tinggipun studi islam terus berkembang terkait materi-
materi yang di pelajari oleh mahasiswa dalam melengkapi mata kuliahnya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana islam sebagai objek kajian dalam penelitian
C. Tujuan
Mengetahui berbagai objek dalam Islam yang dapat dijadikan sebagai kajian. Dengan mengkaji Islam kita
akan mengetahui kebenaran ajaran islam dari berbagai sudut pandang. Mengkaji islam secara objektif bukan
secara subjektif.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Agama sebagai Gejala Budaya dan Sosial
Pada mulanya ilmu terbagi menjadi dua yaitu : ilmu kealaman dan ilmu budaya. Ilmu kealaman, seperti
fisika, kimia, biologi dan lain-lain mempunyai tujuan utama mencari hukum-hukum alam, mencari
keterturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Suatu penemuan yang di hasilkan oleh seseorang pada suatu
waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam yang dapat di tes kembali oleh peneliti lain, pada waktu lain
dengan memperhatikan gejala eksak.
Contoh, kalau sekarang air mengalir dari atas ke bawah, besok kalau di tes lagi juga begitu. Itulah inti dari
pada penelitian dalam ilmu eksakta, yakni mencari keterulangan dari gejala-gejala, yang kemudian diangkat
menjadi teori, menjadi hukum.Sebaliknya, imu budaya mempunyai sifat tidak berulang, tetapi unik. Contoh,
budaya kratonYogya unik buat Yogya, batu nisan seorang tokoh sejarah unik untuk yang bersangkutan, dan
sebagainya. Di sini tidak ada keterulangan.
Kemudian, di antara penelitian kealaman dan budaya itu terdapat penelitian ilmu-ilmu social Penelitian
ilmu-ilmu social, berada di antara ilmu budaya dan ilmu kealaman, yang mencoba memahami gejala-gejala
yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya.
Inti ilmu kealaman adalah positivisme. Sesuatu itu baru di anggap sebagai ilmu kalau dapat di amati,
(abservable) dapat di ukur, (measurable) dan di buktikan (veriviable). Sebaliknya, ilmu budaya hanya dapat
di amati. Kadang-kadang tidak dapat di ukur, apabila diverifikasi. Ilmu soaial yang memandang dirinya
lebih dekat kepada ilmu alam mengatakan, bahwa ilmu social dapat di amati, di ukur dan di verifikasi.
Untuk itu, para pakar Sosiologi Universitas Chicago mengembangkan sosiologi Kuantitatif yang lebih
menekankan pada perhitungan statistik. Di kalangan sosiologi Indonesia juga ada dua kelompok : kelompok
kualitatif dan kelompok kuantitatif. Keduanya mempunyai kelemahan dan kekuatan.
Timbulnya pertanyaan : Bisakah agama di dekati secara kualitatif atau kuantitatif? Jawabannya, bisa agama
di dekati, secara kuntitatif dan kualitatif sekaligus, atau salah satunya, tergantung agama yang sedang diteliti
itu di lihat sebagai gejala apa.
Ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau kita hendak mempelajari suatu agama.
Pertama, scripture, naskah-naskah smuber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau
pemimpin dan pemuka agama, yakni sikap, perilaku,dan penghayatan para penganutnya.Ketiga, ritus-ritus,
lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-
alat,seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat
para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja
Katolik, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Dalam penelitian mengenai naskah atau sumber-sumber ajaran agama, yang pertama diteliti adalah personal
pholologi dan kedua adalah isi naskah yang ada. Misalnya, dalam Islam, memebahas Al-Qur’an dan isinya,
kritik atas jemaah orang lain, kitab tafsir atau penafsir seseorang, kitab hadis, naskah-naskah sejarah agama,
dan sebagainya. Orang dapat pula meneliti ajaran atau pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang
sejarah suatu agama (Islam).
Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Pada zaman
dahulu, sosiologi agama memepelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat
mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan, sosiologi agama mempelajati
bukan soal hubungan timbal balik itu, melainkan lebih pada pengaruh agama terhadap tingkah laku
masyarakat: bagaimana agama sebagai system nilai mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun
juga, ada juga pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa lahirnya
teologi Syi’ah,Khawarij, Shli Sunnah wal Jamaah sebagai produk pertikaian politik.
Oleh karena itu, dapat juga diteliti bagaimana perkembangan masyarakat industri mempengaruhi pemikiran
keagamaan. Contoh, kita hidup di kampung dan di sebelah rumah kita ada masjid. Kalau kita tidak pernah
kelihatan shalat Jum’at di situ, kita akan dianggap kurang saleh dalam beragama. Tetapi kalau kita tinggal di
kota, walau setahun kita tidak pernah kelihatan shalat Jum’at di masjid kampung itu, kita tidak di anggap
kurang saleh dalam beragama. Mengapa? Karena indikasi kesalehan telah bergeser dan berbeda bagi orang
desa dan kota. Kehidupan kota telah menyebabkan pergeseran itu; perkembangan masyarakat telah
mempengaruhi cara berfikir orang mengenai penilaian kesalehan.

I. Islam sebagai Wahyu dan Produk Sejarah


1. Islam sebagai Wahyu
Islam biasanya didefinisikan sebagai berikut: al-Islam wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin
Sallallahu ‘alaihi wasallam lisa’adati al-dunya wa al-akhirat (Islam adalah wahyu yang di turunkan kedapa
nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat). Jadi, inti Islam
adalah wahyu yang di turunkan kepada Nabi Muhammad. Kita percaya bahwa wahyu itu terdiri atas dua
macam: wahyu yang berbentuk Al-Qur’an dan wahyu yang berbentuk hadis, sunnah nabi Muhammad.
a. Wahyu yang berbentuk Al-Qur’an
Tujuan studi Al-Qur’an bukan mempertanyakan kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu, tetapi misalnya
mepertanyakan: bagaimana cara membaca Al-Qur’an, kenapa cara membacanya begitu, berapa macam jenis
bacaan itu, siapa yang menggunakan jenis-jenis bacaan itu, apa kaitannya dengan bacaan sebelumnya, apa
yang sesungguhnya yang melatar belakangi lahirnya suatu ayat, apa maksud ayat itu.Maka lahirlah misalnya
tafsir maudu’i yang merupakan salah satu bentuk jawaban terhadap pertanyan-petanyaan tersebut di atas.
Pertanyaan selanjutnya, kalau dahulu dipahami begitu, apakah sekarang masih harus dipahamu sama
ataukah perlu pemahaman baru.
Satu hal yang patut di perhatikan dalam studi Al-Qur’an, yaitu studi interdisipliner mengenai Al-Qur’an.
Sebab Al-Qur’an selain berbicara mengenai keimanan, ibadah, atura-aturan, juga berbicara tentang sebagian
isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Maka ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani, dan semacamnya, perlu
dipelajari untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu lain.Di sini di butuhkan studi
interdisipliner.
b. Wahyu yang berbentuk Hadis Nabi
Selanjutnya, Islam sebagai wahyu yang di cerminkan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw.Sebagaimana
dalam buku hadis pertama, Al-Muwatta’, yang dikumpulkan ternyata hanya memuat sekitar 700 buah hadis,
termasuk sunnah sahabat.Sementara itu oleh Imam Bukhari yang datang belakangan dicatat 4.000 hadis, dan
oleh Imam Muslim dicatat 6.000 hadis. Lalu oleh Imam Ahmad bin Hanbal dicatat 8.500 hadis. Kemudian
hadis shahih, hadis mutawatir, hadis mashur, dan hadis ahad. Wilayah-wilayah ini antara lain yang dapat
dijadikan kajian. Kita melihat, bahwa orang sekarang mempunyai perlengkapan lebih untuk melakukan
seleksi hadis. Sebab sekarang misalnya kita memiliki komputer.
Kita mengetahui dalam sejarah adanya pemalsuan hadis. Kita juga mengetahui bahwa Imam Bulhari, Imam
Muslim atau Imam Malik lebih dahulu melakukan wudhu’ dan shalat sebelum mencatat hadisnya.Hal ini
dilakukan sebagai usaha kehati-hatian. Imam Muslim dalam pengantarnya mengatakan, tadinya hadis yang
di kumpulkannya ada 300.000 (tiga ratus ribu) buah. Tetapi setelah di seleksi menjadi 6.000 buah.
Hadis mengenai psikologi, pendidikan, iptek, dan sebagaimya, perlu dikelompokkan dan dibandingkan
dengan hasil penemuan ilmu modern. Hadis mengenai idza waqa’a al-dzubabu fi inai ahadikum falyaqmishu
(ketika sadar lalat terjatuh ke dalam bejanamu, maka benamkanlah), telah di terangkan misalnya dalam kitab
Subulu al- Salam, bahwa sebabnya adalah di sayap kana ada ini dan di sayap kiri ada itu. Sebetulnya
penjelasan terhadap hadis ini memerlukan suatu upaya untuk mencoba mengadakan studi interdisipliner
terhadap hadis, barangkali memerlukan ilmu entemologi, ilmu tentang serangga.
2. Islam sebagai Produk Sejarah dan Sasaran penelitian
Ada bagian Islam yang merupakan produk sejarah.Teologi Syi’ah adalah dari wajah Islam produk sejarah.
Konsep Khulafa al- Rasyidin adalah produk sejarah, karena nama ini muncul belakangan. Seluruh bangunan
sejarah Islam klasik, tengah modern adalah produk sejarah.
Andaikata Islam tidak bergumul dengan budaya Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain lagi. Andaikata
Inggris tidak datang ke India, sejarah Islam di anak benua itu akan lain lagi. Demikianlah sebagian wajah
Islam di berbagai belahan dunia adalah produk sejarah.
Filsafat Islam, kalam, fikih, ushul fikih juga produk sejarah. Tasawuf, dan akhlak, sebagai ilmu adalah
produk sejarah. Akhal sebagai nilai sumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisir akhlak
adalah produk sejarah. Kebudayaan Islam klasik, tengah, modern, arsitektur Islam, seni lukis, music, bentuk-
bentuk masjid Timur Tengah, di Jawa, bentuk pagoda dan di Cina serta kesamaannya dengan bentuk
beberapa masjid di Jawa merupakan bagian kebudayaan Islam yang dapat dijadikan obyek studi dan
penelitian. Demikian juga seni dan metode baca Al-Qur’an yang berkembang di Indonesia, adalah produk
sejarah.
BAB:III
PENUTUP
Penelitian ke-Islaman merupakan suatu keharusan, yaitu meneliti tentang ajaran Islam dari berbagai
aspeknya, termasuk normatif dan aktualitasnya. Pengkajian Islam normatif dimaksudkan adalah penelaahan
lebih jauh ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi yang berimplikasi pada lahirnya
aturan-aturan normatif yang lain, seperti persoalan fikih, teologi, dan tasawuf. Aspek normatif adalah
pengkajian Islam atas refleksi keagamaan secara fakultas, agar perkembangan masyarakat muslim semakin
maju. Sementara pengkajian non-normatif adalah pengkajian terhadap aspek antropologis, sosiologis, dan
historis umat Islam itu sendiri.
Dampak langsung dari gairah atau kesadaran penelitian ke-Islaman adalah penyegaran khazanah
intelektualitas dalam Islam dengan pengkajian yang sistematis dan struktur yang berampak pada pencerahan
terhadap iklim sportivitas ilmiah dalam Islam. Hal ini berdampak langsung kepada gairah umat Islam untuk
kembali mengkaji Alquran dan Hadis Nabi sebagai sumber utama ajaran Islam. Dalam keadaan demikian,
Alquran dan Hadis Nabi tidak hanya dipahami sebagai dogma ilahiyah-mabawiyah, tapi dapat dijadikan
sebagai sumber teori.
Penelitian terhadap Alquran bukan mempertanyakan kebenaran Alquran sebagai wahyu, tetapi mengkaji
Alquran akan melahirkan sejumlah bidang. Kajian itu meliputi proses turunnya Alquran, termasuk faktor
sosiologis dan kultural masyarakat pada saat Alquran diturunkan. Kajian ini melibatkan ilmu antropologi,
sosiologi, dan sejarah.
Demikian halnya dengan penelitian terhadap Hadis Nabi. Riwayat-riwayat hadis yang tersebar dalam
berbagai kitab hadis memerlukan penelitian yang sangat serius terhadap sanad dan matan-nya untuk
membuktikan bahwa riwayat itu betul-betul berasal dari nabi. Kajian terhadap riwayat-riwayat tersebut
membutuhkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, sosiologi, dan antropologi.

Anda mungkin juga menyukai