Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

METAFISIKA (ONTOLOGI)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum
Dosen pengampu :
M. Manar, S.Fil.I, M.Ag.

Disusun Oleh Kelompok 8 :


1. Indah Novitasari (1860103221101)
2. Muhamad Gilang S. (1860103221113)
3. Peti (1860103221072)
4. Rofin Nur Azizah (1860103221053)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik
serta, hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat kami selesaikan.
Shalawat dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para
keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.
Adapun penulisan makalah ini disusun untuk melengkapi tugas Filsafat
Umum. Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan banyak terima
kasih khususnya kepada :
1. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sayyid
Ali Rahmatullah Tulungagung.
2. Dr. H. Nur Efendi, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
3. Ahmad Gelora Mahardika S.IP, M.H selaku Ketua Program Studi Hukum
Tata Negara Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
4. M. Manar, S.Fil.I, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Filsafat Umum.
5. Atas nama kelompok 8 selaku penulis dan pembuat makalah ini. Serta untuk
teman-teman yang tergabung dalam kelas “Hukum Tata Negara B”
Penyusunan makalah ini disusun dengan sebaik-baiknya, namun masih
terdapat kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
sifatnya membangun sangat kami harapkan, tidak lupa harapan kami semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta menambah ilmu pengetahuan
bagi kami.

Tulungagung, 29 Agustus 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN .............................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1

1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2

2.1 Pengertian Metafisika ............................................................................... 2

2.2 Ontologi .................................................................................................... 5

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 11

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filsafat merupakan induk dari segala ilmu (mother of science), dalam
perkembangannya ilmu semakin terspesifikasi dan mandiri, namun
mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh
ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat secara
garis besar dibagi dalam dua kelompok yakni, filsafat sistematis dan sejarah
filsafat.
Filsafat sistematis bertujuan dalam pembentukan dan pemberian
landasan pemikiran filsafat. Di dalam filsafat sistematis terdapat pembagian
beberapa cabang slah satunya adalah metafisika. Metafisika itu sendiri
menurut Harry Hamersma terbagi menjadi dua yakni, metafisika umum
(ontologi) dan metafisika khusus (teologi metafisik, antropologi,
kosmologi).

1.2 Rumusan Masalah


Pada makalah ini akan dibahas beberapa rumusan masalah, yakni :
1. Apa yang dimaksud dengan Metafisika?
2. Apa yang dimaksud dengan Ontologi?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui mengenai metafisika secara garis besar.
2. Untuk mengetahui mengenai Ontologi sebagai salah satu cabang
metafisika umum.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Metafisika


Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani, meta yang berarti selain,
sesudah atau sebalik dan fisika yang berarti alam nyata. Ditinjau dari segi
filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat
dibalik alam nyata. Metafisika ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu
dari alam nyata dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh
panca indra.1 Metafisika menurut Van Peursen adlah bagian filsafat yang
memusatkan perhatiannya pada pertanyaan-pertanyaan mengenai akar
terdalam yang mendasari segala aspek adanya kita. 2
Ajaran Aristoteles mengenai fisika dan metafisika tidak senantiasa
dibeda-bedakan. Istilah “metafisika” bukan berasal dari Aristoteles sendiri,
melainkan dari Andronikos dari Rhodos (tahun 70 SM). Andronikos yang
menemukan sejumlah tulisan mengenai fisika, namun yang membicarakan
sesuatu yang bersifat lebih umum dari segala sesuatu yang dibicarakan
dalam fisika. Andronikos memberikan nama himpunan bagi tulisan-tulisan
tersebut, yaitu metata physika. Kemudian sebutan itu tetap dihubungkan
dengan karya-karya Aristoteles dan dengan bagian filsafat yang dibicarakan
dalam karya-karyanya.3
Aristoteles berpendapat bahwa objek dari metafisika ada dua macam,
yaitu “yang ada” sebagai “yang ada” dan Yang-ilahi. Pembahasan mengenai
“yang ada” sebagai “yang ada” dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan
bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk memahami “yang
ada” itu dalam bentuk yang semurni-murninya. Dalam hal ini yang penting
bukan apakah “yang ada” itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak,
bersifat kejasmanian atau tidak, melainkan apakah barang sesuatu itu

1
Hasbullah Bakry, 1971, hlm. 45
2
Van Peursen, 1983, hlm. 73
3
DR. Harun Hadiwijono; Sari Sejarah Filsafat Barat I, hlm. 47

2
memang sungguh-sungguh ada. Jika diikuti cara berpikir yang demikian,
berarti akan sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh-
sungguh ada, yang semutlak-mutlaknya, artinya yang sama sekali tidak
tergantung pada hal-hal yang lain. Segala sesuatu yang lainnya hanya
sekedar mempunyai pengertian yang nisbi4, begitu pula adanya tergantung
pada Tuhan.5
Mengenai “yang ada” sebagai “yang ada” bertitik tolak pada
pencerapan/tangkapan dengan panca indra. Apabila kita ingin berpikir
mengenai barang sesuatu, pertama-tama kita harus mengetahui apakah
barang tersebut ada di dunia ini. Oleh karena itu, yang menjadi masalah
ialah sesuatu yang dicerap, yang mempunyai ciri-ciri bersifat umum. Ciri-
ciri tersebut ialah sesuatu yang sungguh-sungguh ada dan sesuatu itu mau
tidak mau pasti akan mempunyai akibat-akibat tertentu. Sebaliknya apabila
kita membicarakan “Yang ilahi” berarti kita bertitik tolak dari sesuatu yang
pada dasarnya tidak dapat ditangkap dengan panca indra. Karena Tuhan
tidak dapat diketahui dengan menggunakan alat-alat indra manusia.6
Inti sari ajaran Aristoteles mengenai fisika dan metafisika terdapat
dalam ajarannya tentang apa yang disebut dinamis (potensi) dan energeia
(aksi). Semula ajaran ini dipakai untuk memecahkan soal perubahan dan
gerak.
Menurut Aristoteles, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoretis
yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, dengan demikian ilmu
metafisika menjadi inti filsafat. Masalah-masalah yang metafisik merupakan
sesuatu yang fundamental7 dari kehidupan, oleh karena itu setiap orang yang
sadar berhadapan dengan sesuatu yang metafisik tetap tersangkut di
dalamnya.

4
Definisi/arti kata nisbi/nis·bi/ a di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hanya terlihat
(pasti; terukur) kalau dibandingkan dengan yang lain; dapat begini atau begitu; bergantung
kepada orang yang memandang; tidak mutlak; relatif:
5
Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Ilmu Pengantar, hlm. 115-116
6
Delfgaauw, 1988, hlm. 23-24
7
Definisi/arti kata fundamental/fun·da·men·tal/ /fundaméntal/ a di Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah bersifat dasar (pokok); mendasar.

3
Pada zaman pertengahan Al Ghazali hidup yang dijumpai hanyalah
nama metafisika. Pada waktu itu ajaran mengenai “yang ada” dan
pembicaraan secara kefilsafatan mengenai Tuhan sudah termuat dalam ilmu
pengetahuan yang dinamakan metafisika. Pada waktu itu orang beranggapan
bahwa kedua macam masalah tersebut yang satu tidak dapat dipisahkan
dengan yang lain.8
Pada abad ke-17 dan 18 orang mulai mengadakan pemilihan terhadap
berbagai bagian dari metafisika. Yang paling berpengaruh adalah pemilihan
yang dilakukan oleh Christian Wolff, yaitu antara methaphysica generalis
dan methaphysica specialis. Bagi methaphysica generalis, Christian Wolff
menggunakan istilah Ontologia. Methaphysica generalis membahas asas-
asas atau prinsip yang umum, sedangkan methaphysica specialis membahas
penerapan asas atau prinsip terhadap bidang-bidang khusus yakni,
cosmologia, psichologia, dan theologia.9
Ditinjau pengertian secara etimologi antara ontologi dan metafisika
berbeda. Ontologi berasal dari kata ta onta dan logia. Ta onta berarti segala
sesuatu yang ada dan logia berarti ajaran/ilmu pengetahuan. Ontologi berarti
ajaran mengenai yang ada atau segala sesuatu yang ada. Prof. B. Delfgaauw
membedakan antara ontologi dan metafisika melihat dari obyeknya. Obyek
yang bisa ditangkap oleh panca indra termasuk maalah ontologi, sedangkan
obyek yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra termasuk bidang
metafisika. “Alam semesta yang dibicarakan dalam filsafat alam merupakan
sesuatu yang dapat ditangkap dengan panca indra, dan termasuk pula suatu
permasalahan di bidang ontologia. Adapun jiwa manusia yang setidak-
tidaknya dalam penjelmaannya dapat ditangkap dengan panca indra
merupakan bagian dari ontologia juga, tetapi dalam keadaannya sebagai
sesuatu yang tidak dapat dicerap trmasuk bidang metafisika untuk
pembahasannya.”10

8
Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Ilmu Pengantar, hlm. 116-117
9
B. Delfgaauw, 1984, hlm. 32-33
10
B. Delfgaauw, 1984, hlm. 46

4
Louis O. Kattsoff juga membedakan antara metafisika dan ontologi.
Metafisika adalah pengetahuan yang mempersoalkan hakikat terakhir
eksistensi, yang erat hubungannnya dengan ilmu pengetahuan alam. Ada
dua persoalan dalam metafisika, yaitu :
1. Apakah jiwa kita sebagai gejala sesuatu zat, atau pada hakikatnya
berbeda dengan sesuatu zat.
2. Darimana asal kosmos,11 apa hakikat ruang dan waktu?

Adapun ontologi adalah ilmu yang mencari esensi dari eksistensi yang
terakhir. Jadi, persoalan yang pertama menyangkut masalah ontologi.
Dengan demikian menurut Louis O. Kattsoff ontologi adalah bagian dari
metafisika.

2.2 Ontologi
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Christian Wolff (1679-
1714). Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti
“yang berada” dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan
demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang
berada. Ontologi membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan
sekaligus. Pembahasan itu dilakukan dengan membedakan dan memisahkan
eksistensi yang sesungguhnya dari penampakan atau penampilan eksistensi
itu.12
Persoalan terhadap keberadaan menurut Ali Mudhofir (1996) ada 3
pandangan, yang masing-masing menimbulkan aliran yang berbeda.

1. Keberadaan Dipandang Dari Segi Jumlah (Kuantitas)


Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas) artinya berapa
banyak kenyataan yang paling dalam itu. Pandangan ini melahirkan
beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya, yaitu :

a. Monisme

11
Definisi/arti kata kosmos/kos·mos/ n di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah jagat
raya; alam semesta.
12
Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Ilmu Pengantar, hlm. 118

5
Aliran yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan
fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan
atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui. Thales (625-545
SM) adalah penganut monisme, kesimpulan dari ajarannya adalah
“semuanya itu air”. Air adalah pangkal pokok dan dasar (principe)
segala-galanya. Semua barang berasal dari air dan kembali pada air
pula.13 Berbeda dengan Thales, Anaximandros (610-547 SM)
berkeyakinan bahwa tidak mungkin bahwa asas pertama segala
sesuatu itu adalah air. Sebab seandainya benar bahwa air adalah
asas pertama segala sesuatu, air harus didapatkan juga dimana-
mana, harus meresapi segala sesuatu. Padahal air adalah hal yang
terbatas. Menurut Anaximandros, asas pertama itu adalah to
aperion (yang tak terbatas) karena tidak mmiliki sifat-sifat benda
yang dikenal manusia.14 Kemudian muncul pandangan Anaximenes
(585-528 SM) menurutnya asas pertama segala sesuatu adalah
hawa atau udara. Manusia akan mati apabila tidak bernafas. Filsuf
modern yang termasuk penganut monisme adalah B. Spinoza yang
berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Dalam
hal ini Tuhan identik dengan alam (naturans naturata).

b. Dualisme (Serba Dua)


Aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-
masing berdiri sendiri. Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini
adalah Plato (428-348 SM) yang membedakan dua dunia, yaitu
dunia indra (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang
terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M) yang
membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan. Leibniz
(1646-1716) yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya
dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang

13
Drs. Sudarsono, S.H., M.Si. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, hlm. 121
14
DR. Harun Hadiwijono, Op. Cit; hlm. 17

6
membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki
(noumena).

c. Pluralisme (Serba Banyak)


Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua
substansi melainkan banyak substansi. Para filsuf yang termasuk
pluralisme diantaranya adalah Empedokles (490-430 SM) yang
menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas empat unsur,
yaitu udara, api, air, dan tanah. Anaxagoras (500-428 SM) yang
menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas unsur-unsur yang
tidak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan
semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous. Nous
adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai
bergerak dan mengatur. Leibniz (1646-1716) menyatakan bahwa
hakikat kenyataan terdiri atas monade-monade yang tidak berluas,
selalu bergerak, tidak terbagi, dan tidak dapat rusak. Setiap monade
saling berhubungan dalam suatu sistem yang sebelumnya telah
diselaraskan “harmonia prestabilia”.

2. Keberadaan Dipandang Dari Segi Sifat (Kualitas)


a. Spiritualisme
Spiritualisme mengandung beberapa arti, yaitu :
1) Ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam
adalah roh (Pneuma, Nous, Reason, Logos) yakni roh yang
mengisi dan mendasari seluruh alam.
2) Terkadang dikenakan pada pandangan idealistis yang
menyatakan adanya roh mutlak. Dunia indra dalam pengertian
ini dipandang sebagai dunia ide.
3) Dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh
langsung dari roh suci dalam bidang agama.
4) Kepercayaan bahwa roh orang mati berkomunikasi dengan
orang yang masih hidup melalui perantara atau orang tertentu

7
dan melalui bentuk wujud yang lain. Istilah spiritualisme lebih
tepat dikenakan bagi kepercayaan semacam ini.
Aliran spiritualisme juga disebut idealisme (serba cita). Tokoh
aliran ini diantaranya adalah Plato dengan ajarannya tentang idea
(cita) dan jiwa. Idea atau cita adalah gambaran asli segala benda.
Semua yang ada dalam dunia hanyalah penjelmaan atau bayangan
saja. Idea atau cita tidak dapat ditangkap dengan indra (dicerap)
tetapi dapat dipikirkan, sedangkan yang ditangkap oleh indra
manusia hanyalah dunia bayang-bayang.15

b. Materialisme
Adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu
yang nyata kecuali materi. Materi adalah sesuatu yang kelihatan,
dapat diraba, berbentuk, dan menempati ruang. Hal-hal yang
bersifat kerohanian seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dan
rasa senang tidak lain hanyalah bersifat ungkapan proses
kebendaan. Tokoh aliran ini antara lain Demokritos (460-370 SM)
yang berkeyakinan bahwa hakikat alam ini adalah atom-atom yang
banyak jumlahnya tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom
itulah yang menjadi asal kejadian peristiwa alam. Demokritos
masih tergolong pendukung monisme dengan ajaran yang atomistik
(materialisme).16 Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa
segala sesuatu yang terjadi di dunia merupakan gerak dari materi.
Termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka karena
segala sesuatu yang terjadi dari benda-benda kecil. Bagi Thomas
Hobbes, filsafat sama dengan ilmu yang mempelajari benda-
benda.17

3. Keberadaan Dipandang Dari Segi Proses, Kejadian, Atau


Perubahan
15
Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Ilmu Pengantar, hlm. 120
16
Drs. Sudarsono, S.H., M.Si. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, hlm. 124
17
Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Ilmu Pengantar, hlm. 120

8
a. Mekanisme
Menyatakan bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan
asas-asas mekanik (mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari
materi yang bergerak dan dapat dijelaskan menurut kaidahnya.
Aliran ini juga menerangkan semua peristiwa berdasar pada sebab
kerja (efficient cause) yang dilawankan dengan sebab tujuan (final
cause). Alam dianggap seperti sebuah mesin yang keseluruhan
fungsinya ditentukan secara otomatis oleh bagian-bagiannya.
Pandangan yang bercorak mekanistik dalam kosmologi pertama
kali diajukan oleh Leucippus dan Demokritos yang berpendirian
bahwa alam dapat diterangkan berdasarkan pada atom-atom yang
bergerak dalam ruang kosong. Pandangan ini dianut oleh Galileo
Galilei (1564-1641) dan filsuf lainnya dalam abad ke-17 sebagai
filsafat mekanik.
Rene Descartes menganggap bahwa hakikat materi adalah
keluasan (extension) dan semua gejala fisik dapat diterangkan
dengan kaidah mekanik. Bagi Immanuel Kant, kepastian dari suatu
kejadian sesuai dengan kaidah sebab akibat (causality) sebagai
suatu kaidah alam.18

b. Teleologi (Serba Tujuan)


Berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam
bukanlah kaidah sebab akibat, akan tetapi sejak semula memang
ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke
suatu tujuan. Plato membedakan antara idea dengan materi. Tujuan
berlaku di alam ide, sedangkan kaidah sebab akibat berlaku dalam
materi.
Menurut Aristoteles, untuk dapat melihat kenyataan yang
sesungguhnya kita harus memahami empat sebab, yaitu sebab
bahan (material cause), sebab bentuk (formal cause), sebab kerja

18
Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Ilmu Pengantar, hlm. 120-121

9
(efficient cause), dan sebab tujuan (final cause). Sebab bahan
adalah bahan yang menjadikan sesuatu itu ada; sebab bentuk adalah
yang menjadikan sesuatu itu berbentuk; sebab kerja adalah yang
menyebabkan bentuk itu bekerja atas bahan; sebab tujuan adalah
yang menyebabkan tujuan semata-mata karena perubahan tempat
atau gerak. Di bidang ini semata-mata berkuasa yang kaidah sebab
akibat yang pasti. Sebaliknya segala kejadian tujuannya adalah
menimbulkan suatu bentuk atau suatu tenaga. Namun, dikatakan
juga bahwa kegiatan alam mengandung suatu tujuan. Sehubungan
dengan masalah ini kaidah sebab akibat hanyalah alat bagi alam
untuk mencapai tujuannya.19

c. Vitalisme
Memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya
dijelaskan secara fisika-kimiawi, karena hakikatnya berbeda
dengan yang tidak hidup. Filsuf vitalisme seperti Henry Bergson
(1859-1941) menyebutkan elan vital yang merupakan sumber dari
sebab kerja dan perkembangan dalam alam. Asas hidup ini
memimpin dan mengatur gejala hidup dan menyesuaikannya
dengan tujuan hidup. Oleh karena itu, vitalisme sering juga
dinamakan finalisme.
Organisisme, aliran ini biasanya dilawankan dengan
mekanisme dan vitalisme. Menurut organisisme, hidup adalah
suatu struktur yang dinamis, suatu kebetulan yang memiliki
heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya sistem yang
teratur.20

19
Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Ilmu Pengantar, hlm. 121
20
Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Ilmu Pengantar, hlm. 121

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani, meta yang berarti selain,
sesudah atau sebalik dan fisika yang berarti alam nyata. Ditinjau dari segi
filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat
dibalik alam nyata. Metafisika ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu
dari alam nyata dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh
panca indra. Menurut Aristoteles, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat
teoretis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, dengan demikian
ilmu metafisika menjadi inti filsafat.
Ditinjau pengertian secara etimologi antara ontologi dan metafisika
berbeda. Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Christian Wolff
(1679-1714). Ontologi berasal dari kata ta onta dan logia. Ta onta berarti
segala sesuatu yang ada dan logia berarti ajaran/ilmu pengetahuan. Ontologi
berarti ajaran mengenai yang ada atau segala sesuatu yang ada. Ontologi
membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus.
Persoalan terhadap keberadaan menurut Ali Mudhofir (1996) ada 3
pandangan, yang masing-masing menimbulkan aliran yang berbeda. Tiga
segi pandangan itu adalah keberadaan dipandang dari segi jumlah
(kuantitas) yang berisi aliran Monisme, Dualisme (serba dua), dan
Pluralisme (serba banyak); keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas)
yang terdiri dari aliran Spiritualisme dan Materialisme; serta keberadaan
dipandang dari segi proses, kejadian atau perubahan yang terdiri dari aliran
Mekanisme, Teleologi (serba-tujuan), dan Vitalisme.

11
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Sudarsono, S. M. (2008). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka


Cipta.

Rapar, J. H. (2019). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: PT Kanisius.

Surajiyo, D. (2018). Ilmu Filsafat Ilmu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Zaprulkhan. (2013). Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik (1st ed., Vol.
XVI). Jakarta: Rajawali Pers.

12

Anda mungkin juga menyukai