Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“DALIL AQLI DAN NAQLI”

Disusun Oleh :
MELINI
LELY FEBRIANI
SRI MAHDEWAN

DOSEN : Dr. HATIMBULAN, MA

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


YAYASAN UNIVERSITAS LABUHAN BATU
ASAM JAWA 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas izin dan kehendak-Nya, kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Dalil Aqli dan Naqli.
Makalah ini disusun sebagai tugas Pendidikan Agama Islam. Dalam
penyelesaian makalah ini, tidak sedikit halangan dan rintangan yang dihadapi,
namun berkat pertolongan Allah SWT, usaha, kerja keras, ketekunan dan kesabaran
serta bantuan dari berbagai pihak dapat diatasi.
Sebagai manusia biasa, kami menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan yang memiliki banyak kekurangan dan kesalahan. Namun semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
BAB I

PENDHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam mengkaji kebenaran suatu perkara dan kesahihannya, atau di dalam


menentukan bahwa sesuatu itu benar, dapat dipercayai dan diyakini, atau ketika kita
ingin menetapkan dasar pijakan suatu perkara yang kita ucapkan dan kerjakan, kita
memerlukan adanya bukti-bukti, tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk yang sah dan
akurat, sehingga kebenaran, kesahihan dan keyakinan itu dapat ditunjukan dan
dibuktikan, dan sekaligus kita dapat memberantas keragu-raguan dan rasa was-was
yang mungkin tertanam di dalam hati kita, juga dapat dijadikan pijakan yang kokoh
di dalam mengerjakan suatu perkara tersebut.
Di dalam hal ini, para ulama Islam telah menentukan dua landasan pokok
yang harus di pegang oleh setiap Muslim di dalam hal-hal tersebut diatas, yaitu
Naqli dan 'aqli. Dimana kedua landasan tersebut merupakan pijakan yang dipakai
oleh mereka, khususnya, ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-
kebenaran dan memantapkan keteguhan dalam berkeyakinan yang ada di dalam
ruang lingkup disiplin ilmu Tauhid atau akidah, dan ketika mengistinbath
(mengambil dalil-dalil) dan menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di
dalam ruang lingkup disiplin ilmu fikih, serta ketika menafsirkan al-Qur'an.
Untuk itu, pemakalah akan mencoba membahas kedua landasan pokok
tersebut agar kita selaku umat islam dapat mengetahui dan memahami naqli dan
'aqli, serta dapat mempergunakannya di dalam keber-agama-an kita sehari-hari, baik
yang ada kaitannya dengan keimanan maupun amal perbuatan.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi, maksud dan keutamaan naqli dan 'aqli di dalam syari'at Islam
a. Naqli
Naqli menurut bahasa adalah dari (‫ )نقل الشيء‬yakni mengambil sesuatu dari
satu tempat ke tempat lain, dan (‫ )نَقَلَة الحديث‬yakni mereka yang menuliskan hadist-
hadist dan menyalinkannya dan menyandarkannya kepada sumber-sumbernya.
Dikatakan pada dalil-dalil dari Al-qur'an dan hadist: dalil naqli. Oleh karena
itu naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari
Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang
diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi1.
Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an dan sunnah sebagai dalil
naqli oleh para ulama adalah sebuah hadist Rasulullah saw:

2
‫ كتاب هللا وسنة نبي‬:‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما‬

Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara, yang apabila kalian berpegang
kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah (al-Qur'an) dan
Sunnah Nabi-Nya".
Namun ketika naqli dihubungkan dengan ilmu tafsir maka disebut tafsir bi
al-manqul atau bi al-ma'tsur, yaitu penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada
riwayat-riwayat yang sahih secara tertib, atau dengan cara menafsirkan al-Qur'an
dengan al-Qur'an atau menafsirkannya dengan as-Sunnah atau menafsirkannya
dengan riwayat-riwayat yang di terima dari para sahabat atau para tabi'in3, seperti
penafsirannya At-Thabari dan Ibnu Katsir.
Al-qur'an (‫ )القرآن‬adalah kitab suci umat Islam yang secara bahasa merupakan
masdar (kata benda) dari kata kerja (‫ قرأ‬- ‫)قرآنا – قراءة‬, yang berwazan ‫فُ ْعالن‬. Allah swt
berfirman:

1 Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, Al-maktabah Asy-
Syamilah, hal. 3.
2 Malik Bin Anas, Al-Muwaththa, Muassasah Zaaid bin Sulthan Aal nahyaan, 2004, jil. 5, hal. 1323.
3 Drs. Mochammad Asrukin, M.Si., Tafsir al-Qur'an: Sebuah Tinjauan Pustaka, Makalah, hal. 5.
َ‫ فَإِذَا قَ َرأْنَاهُ فَاتَّبِ ْع قُ ْرآن‬.ُ‫إن َعلَ ْينَا َج ْمعَهُ وقَ ُرآنَه‬
َّ
Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu".
Adapun secara istilah adalah kalam Allah, yang diturunkan kepada
Muhammad saw, yang membaca setiap hurufnya adalah ibadah. Atau secara
lengkapnya adalah kalam Allah yang bermukjizat, diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril dalam bahasa Arab,
diriwayatkan secara mutawatir dan membaca setiap hurufnya adalah ibadah,
bermula dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah an-Naas4.
Oleh karena itu al-Quran merupakan Kitab Suci umat Islam yang
keotentikannya tidak diragukan lagi; baik dari segi asal-usulnya, turunnya,
riwayatnya, ayat-ayatnya, dst. sehingga umat Islam menjadikanya sebagai sumber
utama dalam mempelajari, memahami, dan menjalankan ajaran (syariat) Islam juga
dalam mengambil dalil-dalil mengenai perkara-perkara atau permasalahan-
permasalahan yang ada kaitannya dengan keimanan dan amal ibadah mereka.
Sedangkan sunnah (‫ )السنة‬secara bahasa bermakna (‫)السيرة الحسنة أو القبيحة‬: jalan
hidup yang baik atau jelek, juga bermakna (‫)الطريقة‬: jalan.
Adapun secara istilah sunnah memiliki beberapa definisi, diantaranya:
1. Sunnah menurut muhadditsun (ahli hadits) adalah apa yang disandarkan
kepada Rasulullah saw dari segi perkataan atau perbuatan atau pengakuan
atau sifat akhlak (peribadi) dari permulaan diutusnya sampai wafatnya.
2. Sunnah menurut ulama usul adalah perkataan-perkataan Rasulullah saw dan
perbuatan-perbuatannya serta pengakuan-pengakuannya yang diriwayatkan
kepada kita dengan periwayatan yang sahih.
Sunnah Rasul saw adalah sumber rujukan umat Islam kedua setelah al-
Qur'an, dimana kedudukannya dalam Islam adalah sesuatu yang tidak dapat
diragukan kerana terdapat penegasan yang banyak di dalam al Quran tentang sunnah
tersebut, bahkan di dalam beberapa tempat sunnah disebutkan bersamaan dengan al
Kitab ataupun al Quran, dan disebutkan juga ketaatan terhadap Rasulullah saw
setelah ketaataan kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan di dalam

4 http//id.wikipedia/wiki/Al-Qur'an, 08 Januari 2018


firman-Nya seperti:“Dan taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu adalah orang-
orang yang beriman”. Dan firman-Nya:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan
RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang
lain bagi urusan mereka”. Juga firman-Nya:“Apa yang diberikan Rasul kepada
kamu, maka ambillah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”5.
Dengan penegasan al Quran di atas, jelaslah bahawa sunnah tidak dapat
dipisahkan penggunaannya di dalam segala hal yang berkaitan dengan Islam.
Sehingga fungsi sunnah di dalam Islam, diantaranya:

1. Penguat dan penyokong hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran


seperti dalam perkara pensyariatan shalat, puasa dan haji.
2. Penghurai dan pentafsir ayat-ayat al-Quran yang umum seperti
memperjelaskan mengenai tata cara perlaksanaan shalat, kaedah jual beli,
menunaikan zakat dan haji dan sebagainya yang mana perkara-perkara
tersebut hanya disebutkan secara umum oleh al-Quran.
3. Menjadi keterangan tasyri’ yaitu menentukan sesuatu hukum yang tidak
disebutkan di dalam al-Quran seperti dalam hal memakan haiwan yang
ditangkap oleh hewan pemburu terlatih seperti anjing yang mana buruan
tersebut terdapat kesan dimakan oleh hewan pemburu terlatih tadi dan kesan
tersebut menunjukkan bahwa hewan pemburu tadi menangkap buruan untuk
dirinya sendiri. Di dalam al-Quran hanya dibenarkan memakan buruan yang
ditangkap oleh hewan pemburu terlatih. Maka dalam hal ini, hadith
menerangkan bahawa buruan yang mempunyai kesan dimakan oleh hewan
pemburu adalah haram dimakan.
4. Menasakhkan hukum yang terdapat di dalam al Quran. sebagian ulama
berpandangan bahawa hadith yang dapat menasakhkan hukum al Quran itu
mestilah sekurang-kurangnya bertaraf Mutawatîr, Masyhûr ataupun
Mustafhîdh.
5. Menerangkan mengenai ayat yang telah dinasakh dan ayat mana yang telah
dimansukhkan.

5 QS. Al-Hasyr: 7.
b. 'Aqli
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab (‫)عقل‬: akal yang
mempunyai beberapa makna, di antaranya: (‫)الدية‬: denda, (‫)الحكمة‬: kebijakan, dan
(‫)حسن التصرف‬: tindakan yang baik atau tepat6.
Secara istilah akal memiliki beberapa definisi diantaranya:
1. Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-perkara yang
penting dan fitrah.
2. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada
setiap manusia.
3. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia
yang memiliki sifat berubah-rubah, yakni bisa ada dan bisa hilang. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya: "...dan
termasuk orang gila sampai ia kembali berakal".
Dan akal merupakan indera yang diciptakan oleh oleh Allah swt dengan
kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat
melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia
yang telah dimuliakan Allah swt, sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di
daratan dan di lautan".
Oleh karena itu, syari’at Islam telah memberikan nilai dan urgensi yang amat
tinggi terhadap akal manusia, sebagaimana dapat dilihat pada beberapa point berikut
ini:
1. Allah mengkhususkan penyampain kalam-Nya hanya kepada orang yang
berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.
Allah swt berfirman: "…dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai akal".
2. Syarat utama yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif
(beban kewajiban) dari Allah swt yang berkenaan dengan hukum-hukum
syari’at Islam adalah akal. Oleh karena itu ketika ia kehilangan akalnya

6 Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala
Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H, cet. II, hal. 40.
dikarenakan gila misalnya, maka ia tidak tidak menerima taklif itu.
Rasulullah saw bersabda: "Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat
(dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil
sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)".
3. Allah swt mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan
Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya. Allah swt
berfirman: "Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-
penghuni Neraka yang menyala-nyala".
4. Banyak disebutkan di dalam al-Qur-an mengenai anjuran-anjuran Allah
kepada manusia agar mempergunakan akalnya untuk berfikir, seperti:
tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Diantaranya seperti kalimat: ‫لعلكم‬
‫( تتفكرون‬mudah-mudahan kamu berfikir), ‫( أفال تعقلون‬apakah kamu tidak
berakal) dan ‫( أفال يتدبرون القرآن‬apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi
isi kandungan al-Qur'an), dan lainnya.
5. Islam mencela hal-hal yang dapat membatasi dan melumpuhkan fungsi dan
kerja akal, seperti taqlid buta yang hanya menerima pendapat orang lain
tanpa dilandasi oleh dalil.
Kata 'Aqli ketika dihubungkan dengan kajian ilmu-ilmu agama identik
dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran manusia yang sehat dan obyektif,
tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi atau kebencian dari emosi.
Dan ketika 'Aqli dihubungkan secara khusus dengan disiplin ilmu tafsir,
maka disebut tafsir bi al-ma'qul atau bi ar-ra'yi, yaitu penafsiran al-Qur'an yang
lebih dititikberatkan kepada kemampuan akal fikiran yang sehat dan obyektif
(ijtihad) daripada disandarkan kepada periwayatan-periwayatan. Dalam hal ini
seorang mufassir akan menggunakan kemampuan akalnya (ijtihadnya) dengan
bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu
hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain untuk menerangkan maksud ayat dan
mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang
ada, sehingga tersusunlah bentuk tafsir yang sesuai dengan masa dimana mufassir
tersebut hidup. Beberapa tafsir yang terkenal dalam bentuk ini antara lain: Tafsir Al-
Jalalain, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Al-Baidhawi, dll7.
2. Contoh-contoh penggunaan naqli dan 'aqli
a. Contoh penggunaan naqli dan 'aqli dalam bidang tauhid, yang ada kaitannya
dengan iman kepada kitab-kitab Allah swt
a.1 Dalil Naqli:
Al-Qur’an:
َ‫َوالَّذِينَ يُؤْ ِمنُونَ بِ َما أُ ْن ِز َل إِلَيْكَ َو َما أ ُ ْن ِز َل ِم ْن قَ ْبلِكَ َوبِ ْال ِخ َرةِ ُه ْم يُوقِنُون‬
Artinya: "Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah
diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat".

Hadits Nabi saw:


)‫(أن تؤمن باهلل ومالئكته وكتبه ورسله واليوم الخر وتؤمن بالقدر خيره وشره‬:‫ قال‬.‫فأخبرني عن اإليمان‬
Artinya: "Beritahukan aku tentang Iman. Lalu beliau bersabda: "Engkau
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan
hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk".

a.2 Dalil 'Aqli:


Allah swt 'Alimun (Maha Tahu) bahwa manusia adalah makhluk yang dha’if
(lemah). Sedangkan Allah SWT adalah Tuhan yang Rahman (Maha Pengasih) dan
Rahim (Maha Penyayang). Atas hal itulah Allah swt berkehendak memberikan
bimbingan kepada manusia agar tetap menjadi makhluk paling mulia di sisi-Nya
dengan memberikan pedoman berupa kitab suci lengkap dengan uswah hasanah
(contoh tauladan) yang berupa seorang Nabi dan Rasul.

b. Contoh penggunaan naqli dan 'aqli dalam bidang fikih, yang ada kaitannya dengan
larangan nikah mut'ah

7 M. Aly Ash-Shobuniy, At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Alam al-Kutub, 1985, hal. 67.
a.1 Dalil Naqli:
Al-Qur’an:
‫َت أ َ ْي َمانُ ُه ْم‬
ْ ‫اج ِه ْم أَ ْو َما َملَك‬
ِ ‫ إِالَّ على أَ ْز َو‬. َ‫ظون‬
ُ ِ‫وج ِه ْم َحاف‬
ِ ‫والذين ُه ْم ِلفُ ُر‬
Artinya: "Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki".
Hadits Nabi saw:
‫ «يا أيها الناس إني كنت أذنت لكم في‬: ‫حرم المتعة فقال‬
ّ ‫ما رواه ابن ماجة أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
»‫ أال وإن هللا قد حرمها إلى يوم القيامة‬،‫االستمتاع‬
Artinya: "Diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwasanya Rasulullah saw telah
mengharamkan mut'ah, maka ia bersabda: "Wahai manusia sesungguhnya dulu aku
telah mengizinkan kalian bermut'ah, (tetapi mulai sekarang) tidaklah begitu
sesungguhnya Allah swt mengharamkannya sampai hari kiamat".
‫ما رواه مالك عن الزهري بسنده عن علي كرم هللا وجهه أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم نهى عن متعة‬
‫النساء‬
Artinya: "Diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zahri dengan sanadnya dari Ali
karramallahu wajhah bahwasanya Rasulullah saw telah melarang menikahi wanita
secara mut'ah".

a.2 Dalil 'Aqli:


Sesungguhnya nikah mut'ah itu tidak dimaksudkan untul apa-apa kecuali
hanya untuk memenuhi syahwat, tidak pula dimaksudkan untuk beranak cucu,
memelihara anak-anak yang semua itu merupakan maksud dari pernikahan, maka
mut'ah itu mirip dengan zina dari segi maksud untuk memenuhi syahwat saja dan
mengeluarkan air mani.

c. Contoh penggunaan naqli dan 'aqli dalam bidang tafsir, yang ada kaitannya dengan
َّ ‫ِإذَا ال‬
penafsiran ayat pertama dari surat Al-Insyiqaaq (terbelah), yaitu berbunyi: ‫س َما ُء‬
ْ ‫ش َّق‬
‫ت‬ َ ‫( ا ْن‬Apabila langit terbelah)
a.1 Tafsir bi al-manqul (bi al-ma'tsur):
Al-Alusi menafsirkan ayat ini dengan ayat lain dan dengan menyandarkan
kepada pwriwayatan-periwayatan, sebagaimana ia sebutkan di dalam tafsirnya,
yaitu:
"(‫)إذا السماء انشقت‬: "Apabila langit terbelah" yakni (‫)بالغمام‬: berawan (berkabut
putih), seperti yang di riwayatkan Ibnu Abas, yang diikuti oleh Al-Farra da Az-Zujaj
di dalam "Al-Bahr" dan ia menguatkannya dengan firman Allah: ( ‫ويوم تشقّ ُق السماء‬
‫)بالغمام‬: "Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan kabut putih",
maka al-Qur'an sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain, dan dikatakan bahwa
langit itu terbelah karena kedahsyatan hari kiamat, sebagaiman firman Allah: ( ‫وانشقت‬
‫)السماء فهي يومئذ واهية‬: "Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi
lemah".. dan Ibnu Hatim telah meriwayatkan dari Ali karramallahu wajhah
bahwasanya langit terlepas dari galaksi, dan didalam atsar (riwayat sahabat)
disebutkan bahwa hal itu (langit terbelah itu) menunjukan terbukanya pintu
langit...".

a.2 Tafsir bi al-ma'qul (bi ar-ra'yi):


Muhammad Abduh menafsirkan ayat ini dengan argumen akal yang
didasarkan pada pengetahuan dan penelitian ilmiah.
Maka ia memandang bahwa insyiqaaq as-samaa maknanya bisa berupa satu
kejadian besar dari sekian kejadian-kejadian yang berhubungan dengan tata surya,
seperti kejadian lewatnya sebuah bintang dekat dengan bintang lainnya yang
menimbulkan gaya tarik menarik dan menyebabkan terjadinya benturan antara
keduanya. Karena benturan tersebut, maka tata surya mengalami goncangan yang
kuat. Sehingga munculah di langit awan dan kabut yang datang dari berbagai arah.
Maka langitpun terbelah oleh awan dan kabut tersebut. Hal ini kemudian
mengakibatkan rusaknya peredaran tata surya.

3. Masalah pertentangan antara naqli dan 'aqli dalam bidang tauhid


Ketika kita menelusuri sejarah ilmu kalam atau ilmu Tauhid, maka kita akan
menemukan bahwa penggunaan dalil naqli dan dalil 'aqli, sebelum munculnya
faham Asy’ari sangat kontradiktif. Dimana kelompok salaf dan qaramatiyah, sangat
mengutamakan dalil naqli dan meremehkan dalil 'aqli, sedangkan kelompok
Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha’ sangat mengutamakan dalil 'aqli
dari pada dalil naqli, begitu juga kelompok Al-Maturidiyah memandang bahwa akal
dapat mengetahui baik buruknya perkara dan bahwa mengetahui Allah itu dengan
akal atau dengan kata lain bahwa akal itu merupakan alat untuk mengetahui Allah.
Kemudian setelah imam Asy'ari muncul, kedua dalil itu di kumpulkan olehnya
dengan secara paralel atau saling menguatkan.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali menegaskan bahwa akal memerlukan dalil
naqli dan dalil naqli memerlukan akal. Oleh karena itu ia memandang bahwa
bertaqlid atau menerima kepada pendapat orang tanpa mempergunakan akal sama
sekali adalah suatu kebodohan, begitu juga mencukupkan akal saja tanpa
memerlukan sinar wahyu Ilahi dan sunnah nabi adalah suatu tipuan belaka. Maka
menurutnya jauhilah model seperti ini dan hendaklah mempergunakan atau
menggabungkan kedua dasar pokok ini (naqli dan 'aqli), karena sesungguhnya "ilmu
logika dan filsafat itu seperti makanan, dan ilmu-ilmu syara' itu adalah obat".
Ibnu Taimiyah melihat bahwa apabila dikatakan bahwa dua dalil saling
bertentangan, baik kedua-duanya itu naqli atau kedua-duanya 'aqli atau salah
satunya naqli dan yang lainnya 'aqli, maka yang harus dikatakan (ditetapkan) adalah
bahwa hal tersebut tidak terlepas dari tiga pilihan, yaitu: kedua-duanya qath'i (pasti
atau absolut), atau kedua-duanya dzanni (relatif atau dugaan), atau salah satunya
qath'i dan yang lainnya dzanni.
Apabila kedua-duanya itu qath'i, maka tidak boleh ada pertentangan, baik
kedua-duanya itu 'aqli atau kedua-duanya naqli atau salah satunya 'aqli dan yang
lainnya naqli. Ini merupakan kesepakatan para ulama, karena dalil qath'i adalah dalil
atau petunjuk yang mengharuskan adanya ketetapan pada madlulnya (yang
ditunjukannya), dan dalalahnya (tanda penunjuknya) tidak mungkin bathil. Dalam
hal ini apabila kedua dalil qath'i saling bertentangan dan salah satunya menentang
madlul yang lainnya, maka kedua-duanya mesti bersatu, dan ini tidaklah mungkin,
bahkan setiap dalil yang diyakini bertentangan dengan dalil yang diyakini qath'i
maka kedua dalil tersebut atau salah satunya haruslah bukan qath'i atau kedua
madlulnya saling bertentangan.
Dan apabila salah satu dari kedua dalil yang saling bertentangan itu qath'i
tanpa yang lainnya, maka yang qath'i haruslah di dahulukan, sebagaimana
kesepakatan para ulama, baik dalil itu naqli ataupun 'aqli, karena yang dzanni tidak
sampai kepada tahapan yakin.
Adapun apabila kedua-duanya dzanni, maka hal ini harus di bawa ke ranah
tarjih, mana dari keduanya yang paling rajih maka didahulukan, baik dalil itu naqli
ataupun 'aqli.
Sedangkan Muhammad Abduh, salah seorang ulama yang termasuk
pembaharu agama dan sosial di Mesir pada zaman modern, disatu sisi berpandangan
seperti pandangannya Ibnu Taimiyah, bahwa antara naqli dan 'aqli tidak mungkin
bertentangan. Namun ketika didapat ada pertentangan antara keduanya, Abduh
memilih yang benar menurut 'Aqli, sehingga tampak dihadapannya dua jalan: tunduk
kepada kebenaran wahyu dengan mengakui ketidakmampuan dalam memahaminya
dan menyerahkan perkara tersebut kepada Allah swt, atau mena’wilkan wahyu
dengan memperhatikan kaedah-kaedah bahasa sehingga ada persesuian antara
maknanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh akal.
Secara ringkas pandangan jumhur ulama tentang pertentangan antara naqli
dan 'aqli dalam bidang tauhid adalah sebagai berikut:
1. Naqli didahulukan atas 'aqli, karena naqli itu ma’shum sedang 'aqli tidak ma’shum.
2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak
bersifat detail.
3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan naqli.
4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan naqli.
5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya)
adalah hak prerogatif syari'at (naqli).
6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya
wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan
buruk.
7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh naqli. Allah swt berfirman: "Kami
tidak akan meng‘adzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul".
8. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh naqli.
9. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah swt yang ditentukan oleh akal kita
kepada-Nya, karena Allah swt mengatakan tentang diri-Nya: "Maha Kuasa berbuat
apa yang dikehendaki-Nya".
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Naqli dan 'Aqli merupakan dua landasan pokok yang harus di pegang oleh
setiap Muslim di ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-kebenaran dan
memantapkan keteguhan dalam berkeyakinan yang ada di dalam ruang lingkup
disiplin ilmu Tauhid atau akidah, atau ketika mengistinbath (mengambil dalil-dalil)
dan menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di dalam ruang lingkup
disiplin ilmu fikih, atau ketika menafsirkan al-Qur'an.
Naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari
Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang
diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi. Keidentikan ini
selaras dengan kebutuhan ilmu Tauhid terhadap dalil-dalil yang bisa memberantas
dan mengikis segala keragu-raguan atau kepercayaan yang lemah, sehingga muncul
keteguhan, keyakinan dan kepercayaan yang kuat, tidak mudah goyah atau
mendangkal. Namun keidentikan ini tidak menutup bidang ilmu lain untuk
berpegang kepada naqli, justru setiap kajian-kajian ilmu agama Islam tidak terlepas
dari naqli, seperti dalam bidang fikih dan tafsir, dimana seorang fakih ketika ingin
menetapkan hukum suatu perkara ia membutuhkan naqli, begitu juga mufassir
ketika ingin menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an ia memerlukan bantuan naqli, sehingga
muncullah istilah tafsir bi al-manqul atau bi al-ma'tsur.
Sedangkan 'aqli identik dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran
manusia yang sehat dan obyektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi atau
kebencian dari emosi. Dan akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada
dalam diri manusia diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya
muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah
aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan
Allah swt. Jumhur ulama memandang bahwa antara naqli dan 'aqli tidak
bertentangan, tetapi saling menguatkan. Namun ketika diyakini antara keduanya ada
pertentangan, maka para ulama berbeda pendapat antara mendahulukan naqli atau
'aqli, dan jumhur memilih naqli.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim Said, Dr. Himam. At-Tamhid Fi Usul Al-Hadist, 'Amman: Dar Al-
Furqan, 1992.
Al-Buraikan, Dr. Ibrahim bin Muhammad. Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil
Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H.
Asrukin, M.Si., Drs. Mochammad. Tafsir al-Qur'an: Sebuah Tinjauan Pustaka,
Makalah.
Az-Zaqlam, Fatih Muhammad. Usul Al-Ahkam, Tripoli: Dar Al-Fasifsa, 2006.
http//id.wikipedia/wiki.
http//latifabdullah.files.wordpress.com.
http//nyimpanilmu.blogspot.com/2011/01/dalil-naqli-dalil-aqli.
Taimiyah, Ibnu. Dar'u Ta'aarudh Al-'Aql Wa An-Naql, Ar-Riyadh: Dar Al-Kunuz
Al-Adabiyah, 1391 H.
Ash-Shobuniy, M. Ali. At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Alam al-Kutub, 1985.
Ash-Shobuniy, M. Ali. Rawaai' Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam, Al-Maktabah
Asy-Syaamilah.
Al-Alusi, Mahmud Bin Abdullah Al-Husaini. Ruh Al-Ma'aani Fi Tafsir Al-Qur'an

Anda mungkin juga menyukai