Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


(BUKTI KE-ESAAN ALAH DARI DALIL NAQLI DAN AQLI)

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK SIPIL

KELAS A6 :

M. IRFAN (031 1029 0226)

RAHMAT FADLY ILHAM (031 2019 0235)

MUH RIONALDY SILONDAE (031 2019 0525)

WAHYU ARIYANGKA MANGNGEWA (031 2019 0244)

CHAIRIL HIJAS (031 2019 0221)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Di dalam mengkaji kebenaran suatu perkara dan kesahihannya, atau di dalam menentukan
bahwa sesuatu itu benar, dapat dipercayai dan diyakini, atau ketika kita ingin menetapkan dasar pijakan
suatu perkara yang kita ucapkan dan kerjakan, kita memerlukan adanya bukti-bukti, tanda-tanda atau
petunjuk-petunjuk yang sah dan akurat, sehingga kebenaran, kesahihan dan keyakinan itu dapat
ditunjukan dan dibuktikan, dan sekaligus kita dapat memberantas keragu-raguan dan rasa was-was yang
mungkin tertanam di dalam hati kita, juga dapat dijadikan pijakan yang kokoh di dalam mengerjakan
suatu perkara tersebut.
Di dalam hal ini, para ulama Islam telah menentukan dua landasan pokok yang harus di pegang
oleh setiap Muslim di dalam hal-hal tersebut diatas, yaitu Naqli dan 'aqli. Dimana kedua landasan
tersebut merupakan pijakan yang dipakai oleh mereka, khususnya, ketika mengungkap dan membuktikan
kebenaran-kebenaran dan memantapkan keteguhan dalam berkeyakinan yang ada di dalam ruang
lingkup disiplin ilmu Tauhid atau akidah, dan ketika mengistinbath (mengambil dalil-dalil) dan
menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu fikih, serta
ketika menafsirkan al-Qur'an.
Untuk itu, pemakalah akan mencoba membahas kedua landasan pokok tersebut agar kita selaku
umat islam dapat mengetahui dan memahami naqli dan 'aqli, serta dapat mempergunakannya di dalam
keber-agama-an kita sehari-hari, baik yang ada kaitannya dengan keimanan maupun amal perbuatan.

B. Rumusan Masalah
1. Pembuktian keesaan allah, dari dalil Naqli dan Aqli
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui tentang Dalil Naqli dan Aqli beserta dasar hukumnya.
2. Bukti keesaan Allah dari dalil Naqli dan Aqli
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dalil Naqli
1. Pengertian Dalil Naqli
Naqli menurut bahasa adalah dari (‫ )نقل الشيء‬yakni mengambil sesuatu dari satu tempat ke tempat
lain, dan (‫ )نَقَ َلة الحديث‬yakni mereka yang menuliskan hadist-hadist dan menyalinkannya dan
menyandarkannya kepada sumber-sumbernya.
Dikatakan pada dalil-dalil dari Al-qur'an dan hadist: dalil naqli. Oleh karena itu naqli secara
istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari
sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-
perawi.[1]
Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an dan sunnah sebagai dalil naqli oleh para ulama
adalah sebuah hadist Rasulullah saw:

[2]‫نبيه‬ ‫ كتاب هللا وسنة‬:‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما‬

Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara, yang apabila kalian berpegang kepada keduanya
maka kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".
Namun ketika naqli dihubungkan dengan ilmu tafsir maka disebut tafsir bi al-manqul atau bi al-
ma'tsur, yaitu penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang sahih secara tertib,
atau dengan cara menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an atau menafsirkannya dengan as-Sunnah atau
menafsirkannya dengan riwayat-riwayat yang di terima dari para sahabat atau para tabi'in [3], seperti
hadist.
A. Al-Qur’an
1) Pengertian
Al-Qur’an berasal dari bahasa arab yang secara etimologi adalah masdar dari kata qara’a setimbang
dengan kata fa’lan dengan arti bacaan berbicara tentang apa yang tertulis padanya.
Kata Al-Qur’an digunakan untuk maksud nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Bila dilafadzkan dengan menggunakan alif lam berarti untuk keseluruhan apa yang dimaksud
dengannya, sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 9:

Artinya : Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan
memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar,(Al-Isra’)

Pertama, bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafaz yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan
Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafadzkan oleh Nabi
Muhammad dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
Kedua, bahwa Al-Qur’an itu adalah bahasa arab, yang mengandung arti bahwa Al-Qur’an yang
dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa asing bukanlah Al-Qur’an.
Ketiga, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung arti bahwa
wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Qur’an.
Keempat, bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir mengandung arti bahwa ayat-ayat yang
tidak dinukilkan secara mutawatir bukanlah disebut Al-Qur’an.
Disamping 4 unsur pokok disebutkan di atas terdapat pula beberapa unsur dalam sebagian definisi
yang dikemukakan di atas sebagai unsur penjelasan tambahan terhadap keterangan yang disebutkan di
atas.
Pertama, kata-kata mengandung mu’jizat setiap surat daripadanya memberikan penjelasan bahwa
setiap ayat Al-Qur’an mengandung daya Mu’jizat.
Kedua, kata-kata beribadah membacanya memberikan penjelasan bahwa Al-Qur’an sebagaimana
yang dijelaskan di atas diakui telah melakukan suatu perbuatan ibadat yang berhak mendapat pahala.
Ketiga, kata-kata tertulis dalam mushaf sebagaimana yang terdapat dalam ta’rif Syaukani dan
Sarkhisi, mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak tertulis dalam mushaf walaupun itu wahyu
diturunkan kepada Nabi, umpamanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan tilawahnya tidak lagi disebut Al-
Qur’an menurut artian diatas.[4]
2) Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Walaupun Al-Qur’an itu bukan kitab hukum, melainkan mengandung dasar-dasar dan norma yang
menjelaskan tentang hukum yang perlu dipahami dan dirumuskan dalam bahasa hukum oleh para
ahlinya. Penjelasan Al-Qur’an tentang hukum secara sederhana dapat dipisahkan menjadi tiga bentuk:
a) Al-Qur’an memnerikan penjelasan secara sempurna dalam bentuk yang terperinci yang semua orang
dapat memahaminya dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut oleh Nabi. Penjelasan itu
diseput bayan kamil.
b) Al-Qur’an memberikan penjelasan secara umum dan garis besar, sedangkan untuk penjelasan
selanjutnya diserahkan Allah kepada Nabi, disebut bayan ijmail.
c) Al-Qur’an menjelaskan hukum secara tidak langsung melalui isyaratnya. Isyarat ini kemudian dipahami
oleh para ahliny atau mujtahid, dan merumuskan daripadanya hukum lain di luar yang secara langsung
disebutkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Al-Qur’an dalam bentuk pertama menghasilkan penunjukan yang pasti terhadap hukum
sehingga hukumnya disepakati oleh umat Islam, sedangkan penjelasan dalam bentuk kedua dan ketiga
menghasilkan penunjukan yang tidak pasti sehingga mungkin timbul beda pendapat dalam memahami
dan menetapkan hukumnya.

3) Kekuatan Penunjukan Al-Qur’an Terhadap Hukum


Ahli ushul fiqih sepakat menetapkan bahwa:
a) Al-Qur’an dari segi keautentikannya datang dari Allah SWT adalah pasti dan tidak diragukan (qath’iy
tsubut)
b) Al-Qur’an dari segi penunjukannya terhadap hukum ada yang pasti (qath’iy dalalah), sehingga tidak
mungkin timbul padanya pemahaman lain dan oleh karenanya tidak terdapat padanya beda pendapat.

4) Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber dan Dalil Hukum


Ahli ushul fiqih sepakat mengatakan bahwa Al-Qur’an menduduki sumber dan dalil pertama hukum
syara’ yang berarti dalam menetapkan hukum, pertama harus mencari jawabannya dalam Al-Qur’an,
setelah tidak menemukannya dalam Al-Qur’an baru mencarinya dari sumber dan dalil lain di bawahnya.
Dalam kedudukannya sebagai sumber utama, maka ia merupakan sumber dari segala sumber hukum oleh
karena itu, hukum-hukum yang ditetapkan melalui dalil dan sumber lain tidak boleh bertentangan
dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.

5) Hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an


Dalam Al-Qur’an terkandung ayat-ayat yang yang berbicara tentang hukum, yang secara garis besar
dapat dikelompokkan kepada tiga:
a) Hukum-hukum yang berkenaan dengan apa-apa yang harus diyakini oleh umat Islam dan bagaimana
cara melakukannya, disebut hukum i’tiqadiyah.
b) Hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat dan akhlak yang baik yang harus dilakukan oleh manusia
mukalaf, dan sifat-sifat yang buruk yang harus dijauhi umat disebut hukum khuluqiyah.
c) Hukum-hukum yang berkenaan dengan tindak tanduk dan amal perbuatan yang harus dilakukan atau
dijauhi oleh umat dalam kehidupan dunia, baik dalam hubungannya dengan Allah Pencipta maupun
dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya disebut hukum syari’iyah.[5]
B. Hadist
1. Pengertian
Istilah hadits pada dasarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata “Al-hadits” yang artinya adalah
perkataan, percakapan atau pun berbicara. Jika diartikan dari kata dasarnya, maka pengertian
hadits adalah setiap tulisan yang berasal dari perkataan atau pun percakapan Rasulullah
Muhammad SAW. Dalam terminologi agama Islam sendiri, dijelaskan bahwa hadits merupakan
setiap tulisan yang melaporkan atau pun mencatat seluruh perkataan, perbuatan dan tingkah laku
Nabi Muhammad SAW.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, hadits merupakan salah satu panduan yang dipakai oleh umat islam
dalam melaksanakan aktivitas atau pun mengambil tindakan.
2. Jenis-jenis Hadist
Jenis – jenis hadits dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, yaitu :
a. Berdasarkan Keutuhan Rantai Sanad

Berdasarkan tingkat keutuhan rantai Sanadnya, hadits dapat digolongkan ke dalam 6 jenis, yaitu :
1) Hadits Mursal – Merupakan hadits yang penutur satunya tidak dijumpaik secara langsung.
2) Hadits Munqathi’ – Merupakan hadits yang putus pada salah satu atau pun dua penutur.
3) Hadits Mu’dlal – Merupakan hadits yang terputus pada dua generasi penutur secara berturut – turut.
4) Hadits Mu’allaq – Merupakan hadits yang terputus sebanyak 5 penutur, dimulai dari penutur pertama
secara berturut – turut.
5) Hadits Mudallas – Merupakan hadits yang tidak tegas disampaikan secara langsung kepada penutur.
6) Hadits Musnad – Merupakan hadits yang penuturnya paling jelas dan tidak terpotong sama sekali.
b. Berdasarkan Jumlah Penutur

Berdasarkan Jumlah penuturnya, hadits dapat dikelompokkan ke dalam 2 jenis hadits, yaitu :
Hadits Mutawatir = Merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang sudah
sepakat untuk saling mempercayai.
Hadits Ahad = Merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang belum
mencapai tingkatan mutawatir. Hadits Ahad sendiri dapat dikelompokkan ke dalam tida
macam hadits yaitu Gharib, Aziz, dan Mansyur.

c. Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadits

Berdasarkan tingkat keasliannya, hadits dapat dibagi menjadi 4 macam hadits, yaitu :
Hadits Sahih = Merupakan hadits yang sanadnya bersambung, paling diakui tingkat keasliannya dan
paling banyak diterima oleh kelompok ulamah.
Hadits Hasan = Merupakan hadits yang sanadnya bersambung, namun diriwayatkan oleh rawi yang tidak
sempurna ingatannya.
Hadits Dhaif = Merupakan hadits yang sanadnya tidak bersambung atau pun diriwayatkan oleh rawi yang
tidak kuat ingatannya / tidak adil.
Hadits Maudlu’ = Merupakan hadits yang dicurigai palsu atau pun karangan manusia.
B. Dalil Aqli
1) Pengertian Dalil Aqli
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab (‫)عقل‬: akal yang mempunyai beberapa
makna, di antaranya: (‫)الدية‬: denda, (‫)الحكمة‬: kebijakan, dan (‫)حسن التصرف‬: tindakan yang baik atau tepat.[6]
Secara istilah akal memiliki beberapa definisi diantaranya:
a. Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-perkara yang penting dan fitrah.[7]
b. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
c. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia yang memiliki sifat
berubah-rubah, yakni bisa ada dan bisa hilang. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam
salah satu sabdanya: "...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal". [8]
Dan akal merupakan indera yang diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya
muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran
yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah swt [9], sebagaimana dalam firman-
Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di
lautan".[10]

a. Qiyas
1) Pengertian Qiyas
Qias menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain
dengan persamaan illatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu
hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum
yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal
dan furu’).[11]

2) Rukun dan Syarat Qias


Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum
yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi
hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl (hukum yang telah
ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qias yang telah dipeparkan dia atas
harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:[12]
a) Ashl
Syarat-syarat ashl itu adalah:
 Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
 Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
 ‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
 Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
 Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
 Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qias
b) Hukum al-Ashl
 Tidak bersifat khusus
 Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
 Tidak ada nash
 Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
c) Far’u
o ‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
o Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
o Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
o Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
d) ‘Illat
o ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
o ‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
o ‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
o ‘Illat merupakan sifat yang sesuai dengan hukum
o ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma
o ‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik
o ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl
o ‘Illat itu bisa ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain.

3) Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa segi berikut.
Dari segi kekuatan penetapan hukum pada furu’ bila dibandingkan dengan kekuatannya pada ashal,
qiyas dibagi tiga, yaitu:
a) Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat daripada berlakunya hukum
pada ashal, karena kekuatan ilat yang terdapat pada furu’.
b) Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama kuatnya dengan berlakunya
pada ashal.
c) Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ kurang kuat dibandingkan dengan
berlakunya pada ashal, karena keadaan ilatnya lebih rendah dari yang terdapat pada ashal.[13]
4) Sebab-sebab dilakukan Qiyas
Di antara sebab-sebab dilakukannya qiyas adalah:
a) Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nas Al-
Qur’an dan As-Sunnah tidak dikemukakan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’.
b) Karena nas, baik berupa Al-Qur’an maupun As-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi.
c) Karena adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang
hukumnya telah ditentukan oleh nas.[14]

b. Ijtihad
1) Pengertian Ijtihad
Ijtihad secara bahasa, berasal dari kata al-jahd dan al-juhd, yang berarti al-tahaaqah (tenaga, kuasa,
dan daya). Ijtihad secara istilah adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam)
untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).[15]

2) Dasar Hukum Ijtihad


Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang
menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun
berdasarkan isyarat, di antaranya:

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
(An-Nissa ayat: 105)

3) Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila
syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi dua, yaitu syarat-syarat umum dan
syarat-syarat khusus dan syarat pelengkap.

a) Syarat-syarat Umum
 Baligh
 Berakal sehat
 Memahami masalah
 Beriman
b) Syarat-syarat Khusus
 Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, yang dalam hal ini
ayat-ayat ahkam, termasuk asbab nuzul, mustarak, dan sebagainya.
 Mengetahui sunnah-sunnah Nabi berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbab wurud,
dan dapat mengemukakan hadist-hadist dari berbagai kitab hadist, seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim,
Sunan Abu Daud, dan lain-lain.
 Mengetahui maksud dan rahasia hukum Islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
 Mengetahui kaidah-kaidah kuliah, yaitu kaidah-kaidah fiqih yang diistimbatkan dari dalil-dalil syara’.
 Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, yaitu nahwu, saraf, dan balaghah dan sebagainya.
 Mengetahui ilmu ushul fiqih, yang meliputi dalil-dalil syar’i dan cara-cara mengistimbatkan hukum.
 Mengetahui ilmu mantiq.
 Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah (semacam praduga tak bersalah, praduga
mubah, dan sebagainya).
 Mengetahui soal-soal ijma, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.

c) Syarat-syarat Pelengkap
 Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan
hukumnya.
 Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati.
 Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.[17]
C. Pembuktian keesaan Allah dari Dalil Naqli dan Aqli
Banyak pakar yang memperdebatkan masalah ini, banyak bahkan yang mengkaji ulang
perihal masalah yang satu ini,ilmu sekarang betul-betul telah berkembang dan digunakan
untuk menafsir,memperkirakan bahkan memberi kejelasan tentang bukti adanya
allah,namun ketahuilah wahai sahabat ku sekalian semuanya itu bersumber dari dia maha
pencipta,kau kuat karena dia yang maha kuat,kau hidup karena dia yang maha
hidup,bahkan kau cerdas dan intelek semuanya tiada lain bersumber darinya.nah oleh
karena itu mari sejenak berfikir dan merenung untuk mengingatnya,selanjutnya saya akan
memberi sedikit ilmu untuk tambahan ilmu pikir dan pengamalannya.

a) Dalil Naqli
Meskipun secara fitrah dan akal manusia telah mampu menangkap adanya Tuhan, namun
manusia tetap membutuhkan informasi dari Allah swt untuk mengenal dzat-Nya. Sebab akal
dan fitrah tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan yang sebenarnya.
Allah menjelaskan tentang jati diri-Nya di dalam Al-Qur’an;
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang
yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(al-A’raf:54)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt adalah pencipta semesta alam dan seisinya, dan Dia
pulalah yang mengaturnya.

b) Dalil Aqli
Akal yang digunakan untuk merenungkan keadaan diri manusia, alam semesta dia dapat
membuktikan adanya Tuhan. Di antara langkah yang bisa ditempuh untuk membuktikan
adanya Tuhan melalui akal adalah dengan beberapa teori, antara lain;
a. Teori Sebab.
Segala sesuatu pasti ada sebab yang melatarbelakanginya. Adanya sesuatu pasti ada yang
mengadakan, dan adanya perubahan pasti ada yang mengubahnya. Mustahil sesuatu ada
dengan sendirinya. Mustahil pula sesuatu ada dari ketiadaan. Pemikiran tentang sebab ini
akan berakhir dengan teori sebab yang utama (causa prima), dia adalah Tuhan.

b. Teori Keteraturan.
Alam semesta dengan seluruh isinya, termasuk matahari, bumi, bulan dan bintang-bintang
bergerak dengan sangat teratur. Keteraturan ini mustahil berjalan dengan sendirinya, tanpa
ada yang mengatur. Siapakah yang mempu mengatur alam semesta ini selain dari Tuhan?

c. Teori Kemungkinan (Problabyitas)


Adakah kemungkinan sebuah komputer ditinggalkan oleh pemiliknya dalam keadaan
menyala. Tiba-tiba datang dua ekor tikus bermain-main di atas tuts keyboard, dan setelah
beberapa saat di monitor muncul bait-bait puisi yang indah dan penuh makna?
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Naqli dan 'Aqli merupakan dua landasan pokok yang harus di pegang oleh setiap Muslim di
ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-kebenaran dan memantapkan keteguhan dalam
berkeyakinan yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu Tauhid atau akidah, atau ketika
mengistinbath (mengambil dalil-dalil) dan menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di
dalam ruang lingkup disiplin ilmu fikih, atau ketika menafsirkan al-Qur'an.
Naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah yang
Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita olehnaqalah al-
hadist dan perawi-perawi. Keidentikan ini selaras dengan kebutuhan ilmu Tauhid terhadap dalil-dalil
yang bisa memberantas dan mengikis segala keragu-raguan atau kepercayaan yang lemah, sehingga
muncul keteguhan, keyakinan dan kepercayaan yang kuat, tidak mudah goyah atau mendangkal.
Namun keidentikan ini tidak menutup bidang ilmu lain untuk berpegang kepada naqli, justru
setiap kajian-kajian ilmu agama Islam tidak terlepas dari naqli, seperti dalam bidang fikih dan tafsir,
dimana seorang fakih ketika ingin menetapkan hukum suatu perkara ia membutuhkan naqli, begitu juga
mufassir ketika ingin menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an ia memerlukan bantuan naqli, sehingga muncullah
istilah tafsir bi al-manqul atau bi al-ma'tsur.
Sedangkan 'aqli identik dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran manusia yang sehat dan
obyektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi atau kebencian dari emosi.
Dan akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia diciptakan oleh
oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang
dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah
dimuliakan Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6)
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqih, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2012)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H, cet. II
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999)
Malik Bin Anas, Al-Muwaththa, Muassasah Zaaid bin Sulthan Aal nahyaan, 2004, jil. 5
Mochammad Asrukin, M.Si., Tafsir al-Qur'an: Sebuah Tinjauan Pustaka, Makalah
Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi
Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, Al-maktabah Asy-
Syamilah
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
Satria Effend dan M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2005)
Suparta, Fiqih, (Semarang : PT. Karya Toha Putra,1994)
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli Yang Shahih (terj),
Al-Manhaj.or.id

Anda mungkin juga menyukai