Anda di halaman 1dari 31

TUGAS MAKALAH

SEJARAH PENULISAN AL-QURAN DAN HADIST


ATAU SUNNAH

DISUSUN OLEH :
R BUANA PUTRA
NIM. 1509113206

Fakultas Hukum
Universitas Riau
Pekanbaru
2015

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu

alaikum

warahmatullahi

wabarakatuh dan

salam

sejahtera untuk kita semua, semoga apa yang kita lakukan pada
kesempatan kali ini bernilai ibadah disisi Allah swt. Salawat dan salam
kita kirimkan atas junjungan Nabi Muhammad saw yang telah
membawa perubahan dari dunia kegelapan menjadi dunia yang
terang bercahaya.
Makalah dengan judul Sejarah Penulisan Al-Quran Hadis Atau
Sunah
yang ada dihadapan peserta seminar ini disusun berdasarkan
petunjuk dalam mata Kuliah dengan mengkaji berbagai jenis literatur
yang terkait dengan pengkajian Islam, termasuk kajian khusus
mengenai Ulumul Quran. Makalah ini mengurai sejarah pengumpulan
hingga pembukuan Al-Quran Hadis atau Sunah menjadi sebuah
mushaf resmi yang berlaku universal.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama
kepada pemakalah. Namun pemakalah menyadari bahwa karya ini
masih sangat jauh dari kesempurnaan, olehnya itu, jika terdapat halhal yang dianggap kurang atau keliru dalam hal penulisan ataupun
penyampaian lisan, maka penyusun makalah tidak menutup diri
untuk menerima saran ataupun kritik yang sifatnya membangun
untuk perbaikan tugas-tugas selanjutnya.
Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pekanbaru,

Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................1
C. Tujuan...........................................................................1
BAB II ......................................................: PEMBAHASAN
A. Pembukuan Al-Quran......................................................2
B. Nama Nama Lain AlQuran................................................3
C. Struktur dan Pembagian Al Quran....................................3
D. Sejarah Al Quran Hingga Berbentuk Mushaf......................4
E. Pembukuan Hadi.............................................................9
F.

Transformasi Hadis Dari rasulullah Kepada Sahabat.........10

G. Hadis Pada Masa Rasulullah SAW...................................12


H. Hadis pada masa Khutafaur Rasyidin..............................13
I.

Masa pembukuan hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz ..13

J.

Sejarah Penulisan Hadits...............................................14

K. Masa penggalian hadis..................................................15


L. Masa penghimpunan al hadis.........................................15
M. Masa pendiwanan dan penyusunan al hadis....................16
N. Kritik Tentang sejarah Pembukuan Hadit.........................17
BAB III............................................................: PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................19
B. Saran..........................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada permulaan islam, kebanyakan orang bangsa islam
adalah bangsa yang buta huruf,sangat sedikit di antara mereka
yang tau menulis dan membaca.mereka belum mengenal kertas
seperti kertas yang ada sekarang. Perkataan al warakyang di
gunakan dalam mengatakan kertas pada masa itu hanyalah pada
daun kayu saja.kata Alqirthasdi gunakan oleh mereka hanya
berunjuk
kepada
benda-benda(bahan-bahan)yang
mereka
pergunakan untuk di tulis seperti kulit binatang, batu yang tipis
dan licin, pelepa tamar/kurma, tulang binatang, dan sebaganya.
Setelah mereka menaklukan negri persia,yaitu sesudah wafatnya
Nabi muhammad SAW barulah mereka mengenal kertas. Rang
persia menamakan kertas itu sebagai kaqhid.maka digunakan
kata itu kertas oleh bangsa arab islam semenjak itu.
Sebelum nabi muhammad atau sesama zaman nabi
muhammad kata kaqhiditu tidak ada digunakan didalam
bahasa arab, ataupun dalam hadis-hadis nabi. Kitab atau buku
tentang apapun juga belum ada pada mereka. Kata-kata kitab
di masa ini hanya bermaksud dalam bentuk seperti sepotong
kulit, batu atau tulang.
Walaupun kebanyakan bangsa arab islam pada masa itu
masih buta huruf, namun mereka mempunyai ingatan yang
sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan
meriwayatkan syair-ayair dari pujangga-pujangga dan penyairpenyair mereka,ansab mereka, peperangan-peperangan yang
terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan sebagainya
adalah kepada hafalan semata-mata. Maka Nabi Muhammad
menjalankan suatu cara yang amali(raktis) yang selaras dengan
keadaan itu dalam menyiarkan Al Quran dan memeliharanya.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa Hadis-Hadis yang di berikan nabi tidak bisa ditulis?
2. Masa
pengumpulan
al-quran
terbagi
atas
dua
periode,sebutkan?
3. penulisan al-quran dalam satu mushaf terbagi atas tiga fase
yaitu?
1

4. mengapa al-quran diturunkan secara berangsur-angsur?


C. Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui bagaimana orang-orang pada
masa duli begitu menghargai dan memelihara al-quran,sehing
kita juga bisa meneladani sifat-sifat manyarakat sebelumnya
yang begitu menjujung tinggi al-quran dan berpedoman
terhadapnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembukuan Al-Quran
Al-Qurn (Arab: ) adalah kitab suci agama Islam.
Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan
penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan
bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, melalui perantaraan
Malaikat Jibril.
Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah
SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq
ayat 1-5.
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Quran berasal dari bahasa
Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulangulang".
Kata Al-Quran adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata
kerja qara'a yang artinya membaca.
Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah
satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah AlQiyamah yang artinya:
Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu)
dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah
tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya
2

Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:


Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta
diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an
sebagai
berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan
Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada
mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara
mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan
ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan
surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai
Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi
Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Quran seperti Kitab Taurat
yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang
diturunkan
kepada
umat
Nabi
Isa
AS.
Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai
ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Quran.
Kemurnian Kitab Al-Quran ini dijamin langsung oleh Allah,
yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan Al-Quran itu
sendiri.
Dan pada kenyataannya kita bisa melihat, satu-satu kitab yang
mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat
Islam.

B. Nama Nama Lain AlQuran :


Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang
menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada
Al-Qur'an
itu
sendiri.
Berikut
adalah
nama-nama
tersebut
dan
ayat
yang
mencantumkannya:

Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)


Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57)
Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
An-Nur (cahaya): QS(4:174)
Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

C. Struktur dan Pembagian Al Quran


1. Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan
nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa
ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat
Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni
surat
Al
Kautsar,
An-Nasr
dan
Al-Ar.
Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi
yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
2. Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat
dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan
Madaniyah (surat Madinah).
Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan
surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun
sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat
Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.

Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya


pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan
akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia.
Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya
suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau
seseorang
dengan
lainnya
(syari'ah).
Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih
tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.
3. Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi
menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan
nama
juz.
Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin
menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan).
Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi
7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari
(satu
minggu).
Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan
pembagian subyek bahasan tertentu.
4. Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang
ada didalam Al-Quran terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
As Sabuththiwaal (tujuh surat yang panjang).
Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa, Al-Araaf, AlAnaam, Al Maa-idah dan Yunus
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan
sebagainya
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti AlAnfaal, Al-Hijr dan sebagainya
Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, AlIkhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
5

D. Sejarah Al Quran Hingga Berbentuk Mushaf


Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk
mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak
memihak. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya
mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim
mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih
mendekati landasan penanggalan astronomis. Al-Qur'an tidak
turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama
22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun
ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode
Madinah, Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu
ini tergolong surat Makkiyyah.
Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa
hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada
kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Penulisan (pencatatan
dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang
dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman
bin Affan.
1. Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup,
terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al
Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin
Abu
Sufyan
dan
Ubay
bin
Kaab.
Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut
walau tidak diperintahkan.
Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah
kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu,
pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu
banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayatayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
2. Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin Pada masa
pemerintahan Abu Bakar

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa


pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama
perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa
penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin
Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan
tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu
tersebar di antara para sahabat.
Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai
koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan
tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu
mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar
menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian
mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah
penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni
Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
3. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin
Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an
(qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek
(lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia
mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar
(menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan
sebuah
jenis
penulisan
yang
baku.
Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara
penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini.
Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang
berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk
dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil
mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat
Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan AlQur'an. Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam AlMashahif,
dengan
sanad
yang
shahih:
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah
segala yang baik tentang Utsman.

Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai


mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami.
Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at
ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka
mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang
lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata,
'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat
agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi
lagi
perpecahan
dan
perselisihan.'
Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi
'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang
dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat.
Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada
Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga
orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash
dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam.
Ia
memerintahkan
mereka
agar
menyalin
dan
memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid
dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam
bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa
mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli
kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke
Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah
ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an
telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan
penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai
bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap
sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi
atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab.
Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama
dengan Al-Qur'an itu sendiri.
4. Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan
secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan

usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak


boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an.
Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai
gaya
dan
untuk
suatu
maksud
yang
bervariasi;
kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk
arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
5. Terjemahan
dalam
dilaksanakan oleh:

bahasa

Indonesia

di

antaranya

Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama


Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan
2002
Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus An-Nur, oleh Prof.
T.M. Hasbi Ash-Siddieqy Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS
6. Terjemahan dalam bahasa Inggris
The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh
Abdullah Yusuf Ali The Meaning of the Holy Qur'an, oleh
Marmaduke Pickthall
7. Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya
dilaksanakan oleh:
Qur'an Kejawen
Jogyakarta

(bahasa

Jawa),

oleh

Kemajuan

Islam

Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)


Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R.
Muhamad Adnan
Al-Amin (bahasa Sunda)
8. Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak
semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat

tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan


penjelasan
atas
ayat
tertentu.
Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini
usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus
berlanjut.
Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai
dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat.
Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan
corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis
bahkan corak ilmiah.
9. Adab Terhadap Al Quran
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an
terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan
nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang
sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh AlQur'an
sebelum
bersuci.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja
untuk menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil yang
menguatkannya.
10.

Pendapat pertama

Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang


Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu
dengan
berwudhu.
Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari
surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya AlQur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78.pada kitab
yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79.tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah
salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar
Muslim. Mereka mempercayai bahwa penghinaan secara
sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan
serius
terhadap
sesuatu
yang
suci.
Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk
mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa

10

penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada


yang menerapkan hukuman mati.
11.

Pendapat kedua

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh


surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat
menyentuh Al-Quran yang ada di Lauhul Mahfudz
sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78)
kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah."
Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain
sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di
tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh
menyentuh atau memegang Al-Quran kecuali orang yang
bersih
dari
hadats
besar
dan
hadats
kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar
demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka
artinya
akan
menjadi:
Tidak ada yang menyentuh Al-Quran kecuali mereka yang
suci/bersih, yakni dengan bentuk faail (subyek/pelaku) bukan
maful
(obyek).
Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya
(Al-Quran) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan
bentuk maful (obyek) bukan sebagai faail (subyek).
Tidak ada yang menyentuh Al-Quran kecuali orang yang
suci Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang
menyentuh Al-Quran kecuali orang mumin, karena orang
mumin itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad.
Sesungguhnya orang mumin itu tidak najis.

12.

Hubungan Dengan Kitab Kitab Lain

Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai


diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam
agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an
dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap
kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang
tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai

11

hubungan
Al-Qur'an
dengan
kitab-kitab
tersebut:
Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam
terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu
ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan
perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang
berbeda. QS(16:63-64) Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah.
Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum
dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian
mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada
beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat
pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.

E. Pembukuan Hadis
Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya
peranan hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti
tafsir, fiqh, teologi, akhlaq dan lain sebagainya. Sebab secara
struktural hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua
setelah al-Quran, dan secara fungsional hadis dapat berfungsi
sebagai penjelas (baya>n) terhadap ayat-ayat yang mujmal atau
global. Hal itu dikuatkan dengan berbagai pernyataan yang
gamblang dalam al-Quran itu sendiri yang menunjukkan
pentingnya merujuk kepada hadis Nabi, misalnya Q.S> al-Ahzab
[33]: 21, 36, al-Hasyr [59]: 7.
Akan tetapi ternyata secara historis, perjalanan hadis tidak
sama dengan perjalanan al-Quran. Jika al-Quran sejak awalnya
sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat
wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu
antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak
demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, al-Quran secara
normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan
akan otentisitasnya, maka tidak demikian halnya dengan Hadis
Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Quran.
Bahkan dalam kitab kitab hadis, terdapat adanya pelarangan

12

penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi


tersendiri bagi transformasi hadis, terutam pada zaman Nabi.
Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan,
sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan
hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian
disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang
tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu
disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabiin (satu
generasi dibawah sahabat) . Berita itu kemudian disampaikan
lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para
tabiut tabiin dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku
hadist (mudawwin).Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits
belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para
sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk
melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi
untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Diantara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada
yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu
Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak
selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula
ketelitiannya. Namun demikian diantara para sahabat itu sering
bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad
banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan
umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih
hidup.Dengan demikian pelaksanaan Al Hadist dikalangan umat
Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi
Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang
berlarut-larut. Al Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat
Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut
sebagai Sunnah Muttabaah Marufah. Itulah setinggi-tinggi
kekuatan kebenaran Al Hadist.

F. Transformasi Hadis Dari rasulullah Kepada Sahabat


Sejarah hadsis memulai periodisasi sejarah perkembangan
hadis pada saat awal kenabian itu juga, walaupun informasi
yang dimuat adalah informasi-informasi sebelumnya. Sehingga

13

yang dimaksud dengan masa Nabi adalah masa diturunkannya


al-Quran dari Allah SWT dan masa disampaikannya hadis oleh
Nabi SAW.
Bagaimana suasana keilmuan di awal Islam, mungkin inilah
pijakan pertama yang harus dilihat untuk mengetahui perjalanan
hadis pada masa Nabi. Sejarah menginformasikan bahwa pada
awal Islam tersebut sudah ada kebiasaan tulis menulis. Hal ini
ditunjukkan oleh adanya penulisan wahyu dan berbagai bentuk
tulis menulis untuk keperluan administrasi negara. Setelah hijrah
serta kondisi negara sudah stabil terbukalah orientasi umat Islam
untuk mempelajari al-Quran dan ilmu pengetahuan lainnya,
melalui tradisi membaca dan menulis. Bahkan perang Badar
mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan
kemampuan baca tulis saat itu, karena para tawanan perang
akan mendapatkan kebebasan dari Nabi, bila mau mengajar
sepuluh anak Madinah untuk membaca dan menulis.
Kemudian berkembanglah kajian-kajian ilmu dan menyebar
ke seluruh penjuru dunia Islam. Ini dibuktikan dengan
ditemukannya berbagai tempat-tempat pertemuan dan tempat
kajian yang muncul di akhir abad pertama, yang menunjukkan
akan adanya kebangkitan ilmiah. Perkembangan ilmiah tersebut
bersamaan dengan usaha-usaha Nabi SAW dalam menyebarkan
sunnah, diantaranya dengan cara:
1. Mendirikan
sekolah
di
Madinah
segera
setelah
kedatangannya di sana dan setelah itu mengirimkan guru
dan khatib ke berbagai wilayah luar Madinah.
2. Memberikan
perintah
misalnya,
Sampaikanlah
pengetahuan dariku walaupun hanya satu ayat. Tekanan
yang sama dapat dilihat dalam pidatonya dalam haji Wada,
Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan amanat ini
kepada yang tidak hadir.
Di samping itu, Rasulullah juga menyuruh kepada delegasi
yang datang ke Madinah untuk mengajari kaumnya setelah
kembali ke daerahnya. Selain itu, beliau juga memberikan
rangsangan kepada pengajar dan penuntut ilmu misalnya:
ganjaran untuk penuntut ilmu dan pengajar serta ancaman pada
orang yang menolak terlibat dalam proses pendidikan.

14

Dari data historis ini dapat dilihat bahwa pada awal Islam
memang kemampuan baca tulis umat Islam masih rendah. Oleh
karenanya hal ini juga menjadi fokus perjuangan Nabi SAW
untuk mencerdaskan kehidupan umatnya. Dan berkat upayaupaya yang dirintis oleh beliau, pada periode-periode berikutnya
umat Islam memperoleh kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini
tentu saja sedikit banyak juga mempunyai implikasi terhadap
perjalanan transformasi hadis pada masa itu, yaitu bagaimana
mereka melestarikan ajaran-ajaran Nabi SAW yang notabenya
merupakan tafsir praktis terhadap al-Quran, melalui seluruh
aspek kehidupannya.
Di samping itu, Rasul Jafariyan dalam penelitiannya
menemukan bahwa tradisi penulisan hadis di kalangan Syiah
mendahului fatwa tentang penulisan hadis yang diberikan oleh
para Imam belakangan kepada para sahabat mereka. Penulisan
hadis merupakan tradisi yang telah dimulai pada masa Nabi dan
dikokohkan oleh Ali. Misalnya, Muhammad Ibn Muslim, seorang
sahabat Imam al-Baqir, berkata: Abu Jafar membacakan kepada
saya Kitab al-Faraid} yang didektekan oleh Nabi, dan ditulis
oleh Ali ra.
Namun demikian, hal ini tidak berarti hadis Nabi telah
terhimpun secara keseluruhan dalam catatan para sahabat
tersebut. Karena hadis tidak dilakukan pencatatan (secara resmi)
sebagaimana al-Quran, sehingga sahabat sebagai individu tidak
mungkin mampu menjadi wakil dalam merekam seluruh aspek
kehidupan Nabi SAW. Dengan kata lain, oleh karena hadis itu
meliputi segala ucapan, tindakan, pembiaran (taqrir), keadaan,
kebiasaan dan hal ihwal Nabi Muhammad. maka yang demikian
ini tidak selalu terjadi di hadapan orang banyak.
Dari keterangan di atas tampak bahwa tradisi penulisan
hadis sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi saw. Namun ada
kemungkinan bahwa sebagian hadis yang belum tercatat saat
itu, dan baru dicatat masa sesudahnya lewat hafalan-hafalan
penghafal hadis. Bahkan ada kemungkinan juga ada aspek-aspek
kehidupan Nabi yang tidak bisa direkam sampai saat ini. Dengan
demikian fase ini merupakan fase dimana penulisan hadis belum
menjadi praktek yang merata.

15

Hadis pada masa Nabi memang belum diupayakan


penghimpunannya dan tidak ditulis secara resmi sebagaimana
al-Quran pada masa Nabi SAW. Hal ini tentu ada sebab-sebab
yang melatarbelakannginya. Paling tidak ada beberapa faktor
mengapa hadis Nabi waktu itu tidak secara resmi ditulis,
Pertama, masa itu tradisi keilmuan (baca tulis) belum menjadi
praktek yang merata dan masih dalam tahap diupayakan
perkembangannya.
Lalu bagaimana bentuk transformasi hadis pada zaman Nabi
? Syuhudi Ismail dalam bukunya Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,
menyimpulkan bahwa bentuk transformasi hadis antara lain
melalui :
1. lisan di muka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki
2. pengajian rutin di kalangan laki-laki
3. pengajian khusus yang diadakan di kalangan kaum
perempuan, setelah mereka memintanya dan lain
sebagainya .

G. Hadis Pada Masa Rasulullah SAW


Hadis atau sunah adalah sumber hukum Islam yang kedua
yang merupakan landasan dan pedoman dalam kehidupan umat
Islam setelah Al Quran, Karena itu perhatian kepada hadis yang
diterima dari Muhammad SAW dilakukan dengan cara memahami
dan
menyampaikannya
kepada
orang
yang
belum
mengetahuinya. Perhatian semacam ini sudah ada sejak Nabi
Muhammad SAW masih hidup. Namun pada saat itu para perawi
hadis
sangat
berhati-hati
dalam
menerima
maupun
meriwayatkan hadis dan menjaga kemurniannya. Pada zaman
Rasulullah para sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang
pertama. Para sahabat adalah penerima hadis langsung dari
Muhammad SAW baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban
atas masalah yang dihadapi. Pada masa ini para sahabat
umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadis yang
diterima. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak berarti. Hal ini di
sebabkan antara lain :

16

1. Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan .AlQurun.


2. Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada
hadis saja.
3. Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai
dengan yang disampaikan
Nabi Muhammad SAW.
Meskipun demikian, hadits Nabi saw tetap dihafal dan
diriwayatkan oleh para Shahabat ra , karena Nabi saw bersabda :




Semoga Allah menjadikan putih cemerlang seseorang yang
mendengar sebuah hadits dari kami, kemudian menghafalkan
dan menyampaikannya karena mungkin saja terjadi orang
membawa ilmu kepada orang yang lebih faham darinya, dan
mungkin terjadi orang yang membawa ilmu tidak faham tentang
ilmunya itu.( HSR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah,
danAl-Hakim ).

H. Hadis pada masa Khutafaur Rasyidin


Setelah Rasulullah SAW wafat para sahabat mulai
menebarkan hadis kepada kaum muslimin melalui tabligh.Nabi
Muhammad SAW bersadba; yang Artinya; Sampaikanlah dari
padaku, walaupun hanya satu ayat.
Di samping itu Rasulullah berpesan kepada para sahabat
agar berhati-hati dan memeriksa suatu kebenaran hadis yang
hendak disampaikan kepada kaum muslimin. Ketika itu para
sahabat tidak lagi berdiam hanya di Madinah. Tetapi meyebar ke
17

kota-kota lain. Pada masa Abu Bakar dan Umar, hadis belum
meluas kepada masyarakat. Karena para sahabat lebih
mengutamakan mengembangkan A1 Quran.
Ada dua cara meriwayatkan hadis pada masa sahabat:
1. Dengan lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh
Nabi Muhammad SAW.
2. Dengan maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak
hafal lafalnya.
Cara yang kedua ini rnenimbulkan bermacam-macam lafal
(matan), tetapi maksud dan isinya tetap sama. Hal ini mmbuka
kesempatan kepada sahabat-sahabat yang dekat dengan
Rasulullah SAW untuk mengembangkan hadis, walaupun mereka
tersebar ke kota-kota lain.

I. Masa pembukuan hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz


Ide pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh
khalifah Umar bin Abdul Aziz pada awal abad ke 2 hijriyah.
Sebagai Khalifah pada masa itu beliau memandang perlu untuk
membukukan hadis. Karena ia meyadari bahwa para perawi
hadis makin lama semakin banyak yang meninggal. Apabil hadishadis tersebut tidak dibukukan maka di khawatirkan akan lenyap
dari permukaan bumi. Di samping itu, timbulnya berbagai
golongan
yang
bertikai
daIam
persoalan
kekhalifahan
menyebabkan adanya kelompok yang membuat hadis palsu
untuk memperkuat pendapatnya. Sebagai penulis hadis yang
pertama dan terkenal pada saat itu ialah Abu Bakar Muhammad
ibnu MusIimin Ibnu Syihab Az Zuhry.
Pentingnya pembukuan hadis tersebut mengundang para
ulama untuk ikut serta berperan dalam meneliti dan menyeleksi
dengan cermatl kebenaran hadis-hadis. Dan penulisan hadis
pada abad II H ini belum ada pemisahan antara hadis Nabi
dengan ucapan sahabat maupun fatwa ulama. Kitab yang
terkenal pada masa itu ialalah Al Muwatta karya imam Malik.

18

Pada abad III H, penulisan dilakukan dengan mulai


memisahkan antara hadis, ucapan rnaupun fatwa bahkan ada
pula yang memisahkan antara hadis shahih dan bukan shahih.
Pada abad IV H, yang merupakan akhir penulisan hadis,
kebanyakan bukti hadis itu hanya merupakan penjelasan ringkas
dan pengelompokan hadis-hadis sebelumnya.

J. Sejarah Penulisan Hadits


Hadits Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada
zaman Nabi saw masih hidup, karena ketika itu Al-Quran masih
dalam proses diturunkan dan diurutkan. Bahkan Nabi saw
melarang masyarakat umum dari menulis hadits, sebagaimana
sabdanya :

Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa
yang telah menulis dariku selain Al-Quran hendaklah dia
menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian
tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku
dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya
dari api neraka. ( HR. Muslim )
Walaupun demikian, Nabi saw memberikan izin kepada
orang-orang tertentu untuk menulis hadits yang diyakini tidak
akan terjadi tercampurnya tulisan Al-Quran dengan tulisan
hadits pada mereka. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat :

:
:

Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk
Yaman, dia berkata : Tuliskan untukku, wahai Rosullulloh ! Maka
Rosululloh saw bersabda : Tuliskan untuk Abu Syah ! ( HR. AlBukhori dan Abu Dawud )
Demikianlah usaha penulisan hadis pada masa khaIifah
Umar bin Abdui Aziz yang selanjutnya disempurnakan oleh
utama dari masa dan ke masa dan mencapai puncaknya pada
akhir abad IV H.

19

K. Masa penggalian hadis


Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada
awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena
sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan
menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul
masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist
ataupun Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu
untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 23 H
atau 634 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah
Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah
timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah
baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang
memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat
tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang,
namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru
tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu
bertukar Al Hadist.
Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas
penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar.
Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian
para sahabat kecil terutama para tabiin. Meski memerlukan
perjalanan jauh tidak segan-segan para tabiin ini berusaha
menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat
diperlukannya. Maka para tabiin mulai banyak memiliki Al Hadist
yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat.
Meski begitu, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah Al
Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.

L. Masa penghimpunan al hadis

20

Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal


Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan
diantara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan
harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu
semula
hanya
memperebutkan
kedudukan
kekhalifahan
kemudian bergeser kepada bidang Syariat dan Aqidah dengan
membuat Al Hadist Maudlu (palsu) yang jumlah dan macamnya
tidak
tanggung-tanggung
guna
mengesahkan
atau
membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka
yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin
memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan
(dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka
yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka
untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan
menjadi
semakin
memprihatinkan
dengan
terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala
(tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan
terutama para tabiin mengingat kondisi demikian itu lantas
mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist baru, yaitu
yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para
shabat kecil dan tabiin ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti
dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi
sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu
benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam
persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar
keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal
apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau
telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu
Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu
diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabiut tabiin.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah
(tahun 99 101 H / 717 720 M) termasuk angkatan tabiin yang
memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para
kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist
dari para tabiin yang terkenal memiliki banyak Al Hadist.
Seorang tabiin yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun
51 124 H / 671 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan
tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri menggunakan
semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal
21

isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu


bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah
siapa saja tentang apa saja).

M. Masa pendiwanan dan penyusunan al hadis


Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah
pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits
dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam
masa
ini
diawali
dengan
pengelompokan
Al
Hadits.
Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits
yang marfu, mauquf dan maqtu. Al Hadits marfu ialah Al Hadits
yang berisi perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al
Hadits yang berisi perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu ialah
Al Hadits yang berisi perilaku tabiin. Pengelompokan tersebut
diantaranya dilakukan oleh :
1. Ahmad bin Hambal
2. Abdullan bin Musa Al Abasi Al Kufi
3. Musaddad Al Bashri
4. Nuam bin Hammad Al Khuzai
5. Utsman bin Abi Syubah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulamaulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin
Hambal (164-241 H / 780855 M) yang berisi 40.000 Al Hadits,
10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya
Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri
maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat
musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad
sendiri yang bernama Abdullah dan Abu Bakr Qathii sehingga
tidak sedikit termuat dengan yang dlaif dan 4 hadist maudlu.
Adapun
pendiwanan
Al
Hadits
dilaksanakan
dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang
mempelopori usaha ini adalah :

22

Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al


Marwazi (161-238 H / 780855 M).
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari,
Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan
juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh
muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya
meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab Al Hadits
terwujud dalam kitab Al Jamiush Shahih Bukhari, Al Jamush
Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya
sebagaimana terdapat dalamdaftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah
telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih
dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al
Hadits, yaitu :
1. Kitab Shahih (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) berisi Al
Hadits yang shahih saja
2. Kitab Sunan (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An
Nasai, Ad Damiri) menurut sebagian ulama selain Sunan
Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dlaif yang
tidak munkar.
3. Kitab Musnad (Abu Yala, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar,
Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) berisi berbagai macam
Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu
hanya berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan
perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3
Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al
Hadits dari sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2
Hijriyah.
Ahli
Al
Hadits
abad
3
umumnya
melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits
yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan
pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian
pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya
adalah
masa memperbaiki
susunan kitab
Al
Hadits,menghimpun yang
terserakan
dan memudahkan
mempelajarinya.

23

N. Kritik Tentang sejarah Pembukuan Hadits


Demikian salah satu hadis yang menyatakan pelarangan
penulisan hadis. Apabila ditinjau dari hadis ini, maka dapat
diprediksikan bagaimana implikasinya terhadap penulisan dan
pembukuan hadis. Ulama kontemporer seperti Muhammad
Syharur, misalnya memaknai larangan hadis tersebut sebagai
suatu isyarat bahwa hadis itu sebenarnya hanyalah merupakan
ijtihad Nabi yang syarat dengan situasi sosio-kultural dimana
Nabi hidup. Hadis Nabi lebih merupakan marhalah ta>ri>khiyah,
dimana Nabi sangat dipengaruhi oleh situasi sosio-budaya Arab
waktu itu, sehingga tidak terlalu penting untuk dibukukan.
Namun demikian, disamping ada hadis yang melarang
menulisan hadis sebagaimana dikutip di atas, dalam bagian yang
lain ada juga hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan menulis
hadis. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu>
Hurairah yang artinya sebagai berikut:
Terhadap dua riwayat yang tampak saling bertentangan
tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya.
Sebagian menganggap bahwa larangan itu mutlak, tetapi
sebagian ulama yang lain berusaha mengkompromikannya
dengan mengembalikan persoalan tersebut kepada empat
pendapat:
1. Sebagian ulama menganggap bahwa hadis Abi Said Al-Hudri
tersebut Mauquf, maka tidak patut untuk dijadikan alasan,
untuk melarang penulisan hadis
2. Larangan penulisan hadis berlaku hanya pada masa awalawal Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan alQuran.
3. Dengan adanya larangan penulisan hadis tersebut pada
hakekatnya Nabi mempercayai kemampuan para sahabat
untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan
bergantung pada tulisan, sedang pemberian izin Nabi untuk
menulis hadisnya, pada hakekatnya merupakan isyarat
bahwa Nabi tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah,
dapat menghafalkannya dengan baik.

24

4. Larangan itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan


kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan baik, tidak
salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.
Meskipun para ulama mempunyai perbedaan pendapat
tentang boleh tidaknya penulisan hadis ini, namun nyatanya para
sahabat tetap memelihara dan melestarikan hadis Nabi. Hal ini
dibuktikan dengan adanya hadis Nabi yang mengatakan:
Riwayatkanlah dari saya. Barang siapa sengaja berbohong atas
nama saya maka tempatnya di neraka.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang
dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan
pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai
kekuatan hafalan yang tinggi, bahkan para penghafal masih
banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak
diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah
dilakukan sejak zaman Nabi.
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi
bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman
Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis

25

secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu
lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan
sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan
beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa
tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul
dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka
langsung masuk ke rumah Nabi, di kala beliau tak ada di rumah,
dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul
dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam
safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur
kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala
gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka.

B. Saran
Tentunya penulis dalam hal ini menyarankan kepada
pembanya agar supaya mempelajari dan menelaah makalah ini
Sebagai referensi dalam belajar .Sebagai penulis makalah ini
tentunya dalam penulisan masih banyak kesalahan dalam
penulisan dan lain sebagaai penulis saya menyarankan kepada
para pembaca agar memberikan kritik dan dan saran untuk
terbentuknya makalah yang lebih baik .

26

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, Cet. I; Penerbit


Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. Tahun 2001
Al-Qathnhan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilu Al-Quran, Jakarta;
Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012.
Atang, Abdul Hakim, Methodologi Study Islam, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2000
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya,
PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002.
Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo
Http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia
Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.

Ensiklopedia

Http://Ealah.Blogspot.Com/2008/04/Upaya-Sahabat-DalamPengumpulan-Mushaf.Html Upaya Sahabat Dalam Pengumpulan


Mushaf Pribadi Pra-Utsmani, oleh Nashif Ubadah; 19 Mei 2012.
Khalid, H.M. Rusdi, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Quran, Cet I; Alauddin
Universiti Press, Makassar 2011
Majid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah), Cet. II; Paramadina,
Jakarta. 2000.
Manna al-Qaththan Mabahits Fiy Ulum al-Quran (Beirut: Mansyurat
al-Asr al-Hadits, t.th.).
Umar, H. Nasaruddin .Ulumul Quran (mengungkap makna-makna
tersembunyi Al-Quran),Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008.

27

Anda mungkin juga menyukai