Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

WAHDATUL WUJUD

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok sebagai


presentasi pada mata kuliah Integrasi Akhlak, Tasawuf dan
Kalam
Dosen pengampu : Bapak Abdul Rozak, Lc.,M.Ag

Disusun oleh:
1. Ahmad Ma’sum (2022080105)
2. Deea Agriliana N (2022080099)
3. Dewi Fitriyani (2022080101)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
WONOSOBO JAWA TENGAH

2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................


KATA PENGANTAR...........................................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................................
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ajaran Wahdatul Wujuh .....................................................................
B. Konsep ajaran wahdatul wujud dalam pandangan ulama fiqih (syariat) ................
C. Konsep ajaran wahdatul wujuh dalam pandangan ulama tasawuf dan
kalam...,.......................

BAB III PENUTUP


A. Benang merah ajaran wahdatul wujuh ..................................................................
B. Daftar Pustaka..........................................................................................................
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Alhamdulilah. puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan
inayah-Nya, sehingga kami dapat memyelesaikan makalah yang berjudul AJARAN
WAHDATUL WUJUH.

Melalui tulisan ini kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu penyusunan makalah ini, tenaga maupun pikiran selama proses
penyusunan makalah. Dan kami menyatakan bahwa makalah ini benar-benar murni hasil karya
kami.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna
baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan
agar penulis bisa menjadi lebih baik di masa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Wonosobo, 14 Mei 2023

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep wahdatul wujud yang diprakarsai oleh Ibnu Arabi menimbulkan polemik dan
diskursus pelik di antara para ulama. Dari konsep manunggaling kawula lan Gusti ini
kemudian lahir kelompok yang pro dan kontra. Hakikat dari konsep wahdatul wujud adalah
bagaimana seseorang ingin begitu dekat dengan Tuhan, kemudian meluruh dan lebur
bersama maujud Tuhan. Prinsip pemahaman ini yang kemudian menimbulkan pro-kontra
di antara ulama yang satu dengan ulama lainnya.

Diperlukan pemahaman yang hakiki untuk menyelami kaidah wahdatul wujud. Karena
pemahaman konsep ini akan berakibat fatal bagi masyarakat kebanyakan (awam) yang
belum mengerti dasar-dasar syariat yang sesungguhnya. Ketika muncul persoalan akidah
terhadap hakikat ilahiyah (ketuhanan), tidak sedikit yang kemudian menafsirkan konsep
radikal, bahkan hingga hukuman mati sekalipun. Tentu hal ini bukan jalan keluar yang
benar, karena penghakiman “kafir” seseorang bukan ranah manusia, tetapi hak prerogatif
Tuhan.

Terlepas dari pro-kontra terhadap konsep wahdatul wujud, paham ini tetap berkembang dan
tumbuh secara normatif dan tersebar di banyak kalangan. Maka menjadi niscaya, jika
kemudian kaidah wahdatul wujud didiskusikan dan dikaji sedemikian, dengan cara ilmiah,
agar khazanah terhadap pengetahuan ini semakin baik dan dapat dipertanggung-jawabkan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ajaran wahdatul wujud?
2. Bagaimana konsep ajaran wahdatul wujud dalam pandangan ulama ilmu fiqih?
3. Bagaimana konsep ajaran wahdatul wuju dalam pandangan ulama tasawuf dan kalam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu pengertian ajaran wahdatul wujud?
2. Untuk mengetahui Bagaimana konsep ajaran wahdatul wujud dalam pandangan ulama
ilmu fiqih?
3. Untuk mengetahui Bagaimana konsep ajaran wahdatul wujuh dalam pandangan ulama
tasawuf dan kalam?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wahdatul Wujud
1. Makna Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud terdiri dari dua kata yaitu wahdatun dan wujud. Wahdatun yang berarti
keseorangan, kesatuan, keesaan. Sedangkan kata wujud. Mempunyai pengertian obyektif
dan juga subyektif. Dalam pengertian obyektif, kata wujud adalah Masdar dari kata
wujida = ditemukan, biasanya diartikan dalam Bahasa inggris dengan being atau
existence. Sedangkan dalam pengertian subyektifnya, kata Wujud adalah Masdar dari
kata wajada yang berarti menemukan, dan di terjemahkan dalam Bahasa inggris dengan
finding.
Dalam buku” Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi” dijelaskan, bahwa ada dua pengertian yang
berbeda dan mendasar dalam memahami istilah wujud yaitu:
• Wujud sebagai suatu konsep: ide tentang “wujud” eksistensi (wujud bil makna
al-masdari)
• Bisa berarti yang mempunya wujud, yakni yang ada(exist) atau yang hidup
(subsists) (wujud bi ma’na al-maujud).1
Jadi wahdat al -Wujud adalah kesatuan wujud, suatu faham yang mengajarkan bahwa
yang maujud hakekatnya adalah tuhan. Munir Baalbaki mengemukakan pengertian
wahdatul wujud adalah suatu aliran yang mengatakan bahwa Allah dan tabiat segala
sesuatu itu, alam materi, manusia dan segala yang Nampak tidak lain hanyalah
merupakan kenyataan dari zat Allah.
Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah dipahami bahwa Wahdat al-Wujud adalah
suatu ajaran tasawuf yang mempunya prinsip dalam melihat realitas alam, manusia dan
tuhan dalam suatu hubungan spiritual dalam wujud yang transcendental, bahkan

1
A.E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (Jakarta, Gaya Media Pratama1995), hal. 13.
menempatkan wujud yang mutlak sebagai wujud yang Maha Tinggi sekaligus menjadi
hakekat segala hal yang maujud.
Wahdatul wujud dalam perspektif Ibn ‘Arabi ini mengatakan bahwa tidak ada yang
maujud, kecuali maujud Allah Swt. Ini berarti apapun selain tuhan tidak mempunyai
wujud, secara logis dapat diambil kesimpulan bahwa wujud tidak dapat diberikan sesuatu
Selain Allah2.
Ada yang memaknai bahwa wahdatul wujud itu sama dengan manunggaling kawula lan
Gusti, konsep dalam bahasa Jawa yang diperkenalkan oleh Syeh Siti Jenar. Akan tetapi,
ada yang membedakan kedua makan tersebut. Kalau wahdatul wujud itu penyatuan
senyawa, peleburan, sedangkan manunggaling kawula lan Gusti adalah sebuah
percampuran (panteisme).
• Contoh yang pertama, semisal jari dicelupkan ke dalam air tawar, dan sesaat
setelah itu dicelupkan ke dalam air laut. Air di ujung jari tidak dapat dibedakan
antara air tawar dan air laut.
• Contoh yang kedua, seumpama secangkir kopi, di dalamnya terdapat bubuk kopi,
air, dan gula. Sama-sama menyatu dalam satu entitas akan tetapi berbeda secara
hakikat.
Bahwa wahdatul wujud itu sama dengan manunggaling kawula lan Gusti. Tidak ada
perbedaan makna, dan antara satu dengan yang satunya lagi adalah sepadan dan sama.
Dan yang lebih penting untuk dipahami, bahwa keduanya adalah wujud penyatuan apa
pun bentuk dan ragamnya. Menyatu dalam arti yang sesungguhnya.

2. Sejarah Wahdatul Wujud


Wahdatul wujud selalu dikaitkan dengan Ibnu Arabi, karena Ibnu Arabi dianggap sebagai
penggagasnya. Meskipun wahdatul wujud dikaitkan dengan aliran Ibnu Arabi, tetapi
sebenarnya wahdatul wujud sudah diajarkan oleh beberapa sufi sebelum Ibnu Arabi.
Akan tetapi di dalam berbagai penjabaran terkait dengan wahdatul wujud, Ibnu Arabi
dianggap yang paling berjasa dan berpengaruh terhadap konsep kesatuan wujud ini.
Sufi sebelum Ibnu Arabi yang membuat pernyataan yang dianggap mengandung doktrin
wahdatul wujud adalah Abu Hamid Al-Ghazali. Dalam sebuah karyanya, Al-Ghazali
berkata “sesuatu yang maujud dengan sebenar-benarnya adalah Allah Swt, sebagaimana

2
Hamzah Harun Al Rasyid, Pandangan sufistik Ibnu ‘Arabi: Studi tentang WahdatulWujud dan
pantheisme, (Makassar, Alauddin University Press, 2021), hal. 69-70.
cahaya yang sebenar-benarnya adalah Allah Swt”, dan “tidak ada wujud kecuali Allah
dan wajah-Nya, dengan itu pula, maka segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya secara
azali dan abadi”.
Konsep yang dikatakan Al-Ghazali ini dipandang sebagai prinsip wahdatul wujud.
Karena frasa “sebenar-benarnya cahaya adalah swt”, dan “tidak ada wujud kecuali Allah
dan wajah-Nya”, merupakan dasar hakikat konsep wahdatul wujud.
Ma’ruf Al-Karkhi, salah satu sufi yang hidup empat abad sebelum Ibnu Arabi, adalah
orang pertama yang mengungkapkan syahadat dengan kata-kata “tiada sesuatu pun
dalam wujud kecuali Allah”.
Itu artinya bahwa peletak dasar wahdatul wujud pertama bukan Ibnu Arabi, akan tetapi
ada beberapa sufi sebelumnya yang telah mengungkapkan konsep wahdatul wujud.
Mungkin, penjelasan dan penalarannya hingga pengaruh konsep ini baru tersebar luas
pada masa Ibnu Arabi. Maka kemudian Ibnu Arabi dianggap atau dipandang sebagai
penggagas konsep wahdatul wujud.
Tokoh yang cukup berperan mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Ibnu
Taimiyah, seorang pemikir dan ulama Islam guru dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Walaupun, Ibnu Taimiyah menggunakan istilah wahdatul wujud justru untuk mengkritik
doktrinnya. Tetapi, istilah ini sudah banyak digunakan oleh kalangan sufi di ajaran
tasawuf.
Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama yang tidak mengakui konsep wahdatul wujud.
Oleh karena itu, wahdatul wujud merupakan konsep yang menjadi perdebatan hingga
saat ini. Akan tetapi perbedaan pendapat tidak serta-merta meniadakan adanya konsep,
termasuk konsep wahdatul wujud itu sendiri.
B. Pandangan Ulama’ fiqih Terhadap Ajaran Wahdatul Wujud
• Ibn Taymiyah
dilahirkan pada tanggal 10 Rabi’ al-Awwal 661 H/22 Januari 1263 M di kota
Harran dekat Damaskus. Ayahnya, Shaykh Shihab al-Din, adalah seorang alim di
kalangan bangsanya. Ia mengajar dan memberikan petunjuk dan fatwa di masjid
Jami’ Damaskus. Kakeknya, Majd al-Din merupakan seorang alim dan fakih
mazhab Hanabilah pada masanya. Dalam lingkungan keluarga yang demikian,
memungkinkan Ibn Taymiyah menuntut ilmu sejak usia dini.
Di usianya yang relatif muda, ia telah hafal Al-Qur’an. Setelah itu ia mulai
mempelajari hadis, fikih, Bahasa, dan ilmu pasti. Ia dengan tekun mempelajari
fikih Hanbali, karena ayahnya termasuk pemuka mazhab itu.
Pada kesempatan lain, ia mendalami ilmu tafsir dan akidah. Ia dibesarkan dalam
lingkungan intelektual murni. Mayoritas komunitas di sekitar lingkungan tersebut
menekuni berbagai bidang keilmuan, seperti fikih dan juga ilmu-ilmu agama
lainnya. Bahkan di antara keluarganya telah mencapai puncak dalam karier
keilmuan yang sekaligus menjadikannya meraih reputasi di dunia Islam.
Sudah jelas diketahui bahwa Ibn Taymiyah adalah seorang pemikir dan pejuang
Islam yang beraliran salafi. Sebagai seorang yang menganut manhaj salafi, Ibn
Taymiyah terkenal dengan seruannya untuk mengajak kaum muslimin kembali
kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sufi yang sering disebut-sebut sebagai pendiri paham wahdat al-wujud ini adalah
Muhy al-Din Ibn Arabi. Doktrin ini selalu dikaitkan dengan tokoh sufi besar ini.
Jauh sebelum Ibnu Arabi datang, doktrin ini sudah diajarkan sufi-sufi yang lain,
seperti Ma‘ruf al-Karkhi (w. 200/815) yang mempunyai ungkapan syahadat:
Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah.
Demikian juga Abu al-Abbas Qassab (hidup pada abad ke-4/ke-10)
mengungkapkan kata-kata senada: Tiada sesuatupun dalam dua dunia kecuali
Tuhanku, segala sesuatu yang ada, segala sesuatu selain wujudnya adalah tiada.
Ibn Taymiyah menolak paham ini, karena pemahamannya terhadap
doktrin wahdat al-wujud ini berbeda dengan pemahaman Ibn Arabi dan para
pengikutnya. Menurut Ibn Taymiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan
dengan alam.
Dalam istilah modern sinonim dengan panteisme. Ibn Taymiyah mengatakan
mereka yang berpegang pada wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud adalah
satu, dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Tuhan adalah sama dengan mumkin
al-wujud yang dimiliki makhluk.
Dengan demikian, kritik Ibn Taymiyah ini muncul karena ia hanya melihat aspek
tasyabuh (penyamaan Tuhan dengan makhluknya) dari paham wahdat al-wujud,
dan sama sekali tidak melihat aspek tanzih (penyucian Tuhan dari keserupaan
dengan makhluknya) dari paham yang sama. Padahal, kedua aspek ini berpadu
menjadi satu dalam ajaran Ibn Arabi. Bahkan menurut Ibn Taymiyah, paham
yang menganggap wujud Tuhan menyatu dengan wujud makhluknya adalah
suatu bentuk pengingkaran bagi Tuhan, bentuk kekufuran dan kesyirikan
padanya.
Baginya, kesatuan dua zat adalah mustahil terjadi. Zat Allah adalah tetap sebagai
zat-nya sebagaimana zat makhluk adalah zatnya tersendiri. Keduanya tetap
berbeda dan tidak akan menyatu. Allah adalah Allah sebagaimana jelas dalam
kitab maupun hadis Rasul. Tidak salah jika dikatakan bahwa model tasawuf yang
ditawarkan Ibn Taymiyah adalah model tasawuf yang ukuran utamanya adalah
apa yang telah digariskan oleh syariah. Kesesuaian antara tasawuf dan syariah ini
merupakan ciri pokok model tasawufnya. Lebih dari itu, jika syariah merupakan
langkah awal perjalanan spiritual bagi para sufi, sebaliknya bagi Ibn Taymiyah,
syariah merupakan tujuan akhir bagi tasawuf.
Menurutnya, kualitas kesalehan seseorang tidak lagi diukur dari segi pengalaman
mistisnya, tetapi dari segi kualitas kemurnian moralnya seperti yang disebutkan
dalam Al-Qur’an dan al-sunah.
• Para ulama zahir kurang setuju dengan pendapat ibnu ‘arobi yang menyatakan
bahwa setiap sesuatu mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-
halq dan aspek dalam yang disebut al-haqq. Seperti dalam al hulul paham ini
mengatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan karenanya
diciptakanlah alam ini. Jadi, alam ini tak lebih dari cermin bagi Tuhan, sehingga
ketika Tuhan ingin melihat Dzat-Nya, Ia melihat alam yang di dalamnya terdapat
sifat-sifat ketuhanan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak tetapi
sebenarnya Ia adalah satu adanya. 3
Para ulama’ dhohir menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin mengambil tempat
(hulul) apalagi bersatu (ittihad) dengan manusia. Demikian juga, tidak mungkin
alam semesta ini adalah merupakan wujud Tuhan (wahdat al-wujud) sebab alam
semesta adalah ciptaan atau makhlukNya. Kalau hal itu terjadi, maka akan
mengurangi kesempurnaan Tuhan karena Tuhan akan tercemari oleh kekotoran
makhluk-Nya. Karena itu, ulama dhohir menentangnya sebab hal tersebut tidak
bisa diterima baik secara aqli maupun naqli. Para ulama yang menentang adalah
Ibnu Taymiyah, Ibn alQayyim al-Jawziyah, Ibnu Khaldun dan lain-lain. 4
C. Konsep ajaran ilmu Wahdatul Wujud dalam pandangan ulama tasawuf dan kalam
• Nuruddin Ar-Raniry
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji Ibn

3
Haru Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam. (Bandung: Bulan Bintang, 1983, hal. 93.
4
Hamka, Tasawuf, Perkembangan, dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 159.
Muhammad Ar-Raniry. Dipanggil Ar-Raniry karena beliau dilahirkan di daerah Ranir
(Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun yang belum diketahui Ia adalah
keturunan campuran India-Arab dari keluarga sufi dan ulama. Nenek moyangnya
kemungkinan termasuk dalam keluarga al-Hamid dari Zuhra, salah satu dari sepuluh
keluarga Quraiys. Namun bisa jadi ia adalah keturunan Humayd yang sering
dihubungkan dengan Abu Bakar Abdullah ibn Zubair al-Asadi al-Humaydi, seorang
ulama terkenal diMekkah. Keluarga Ar-Raniry telah memiliki hubungan yang baik
dengan dunia Melayu, khususnya Kerajaan Aceh Darussalam. Sehingga ada dugaan
bahwa sebelum berangkat ke Aceh ia sudah memiliki kemampuan dalam bahasa
Melayu dan menguasai ilmu agama Islam yang sangat luas.
Dugaan para ahli, kedatangan Ar-Raniry untuk pertama kali di Aceh tidak mendapatkan
sambutan dari sultan yang berkuasa saat itu (Iskandar Muda w.1636). Hal ini
disebabkan ia membawa ajaran yang menentang paham wujudiyyah. Padahal paham
tersebut justru menjadi keyakinan Sultan dan tersebar di seluruh negeri. Melihat kondisi
ini maka Ar-Raniry melanjutkan perjalanannya ke Pahang dan tinggal disana beberapa
tahun. Saat itu, kerajaan Pahang dipimpin oleh Sultan Ahmad. Iskandar Tsani yang
kemudian menjadi Sultan Aceh menggantikan Iskandar Muda adalah putra Sultan
Ahmad. 5
Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian Melanjutkan
ke Tarim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian ia pergi ke Mekkah pada Tahun 1030
H (1582 M) untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah. Dan Meninggal
dunia pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India.
Nuruddin Ar-Raniry, Tokoh tasawuf yang terkenal dan sebagai pelopor anti paham
wujudiyyah di Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Tsani. Otaknya yang sangat
cerdas berhasil menjatuhkan dan melenyapkan paham Wujudiyyah yang sedang
berkembang saat itu. Ia memiliki banyak keahlian selain sebagai sufi, juga ahli teolog,
ahli fikih, ahli hadits, sejarahwan, ahli perbandingan agama, dan politisi. Dan ia juga
seorang khalifah tarekat rifa’iyah yang kemudian ia kembangkan sampai ke wilayah
Melayu.
Menurut pandangan Azyumardi Azra, Ar-Raniri dalam hal Kalam dan Tasawuf dengan
fasih mengutip Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, al-Qunyawi, al-Qasyani, alFairuzabadi.
al-Jilli, ‘Abd ar-Rahman al-Jami’, Fadhlullah al-Burhanpuri, dan para ulama terkemuka

5
Sehat Ihsan Shadikin, Tasawuf Aceh, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009), hal. 99.
lainnya. Dalam bidang fikih, merujuk buku-buku Syafi’i standar seperti Minhaj at-
Thalibin, karya an-Nawawi, Fath al Wahhab bin Syarh Minhaj at-Thullab, karya
Zakariyya al-Anshari, Hidayat al-Muhtaj Syarh al-Mukhtashar karya Ibn Hajar, Kitab
alAnwar karya al-Ardabili atau Nihayat al Muhtaj (Ila Syarh al-Minhaj, karya an-
Nawawi) karya Syams ad-Din ar-Ramli. 6
Menurut Ar-Raniry, Wujudiyyah itu suatu paham yang menyesatkan. Ia mengeluarkan
fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh orang yang menolak
bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran sesat. Dan pada
tahun 1054/1644, ia meninggalkan Aceh karena mendapatkan serangan balik dari
lawan-lawan polemiknya yang tajam dari murid Syamsuddin yang dituduh menganut
paham panteisme.
Nuruddin Ar-Raniry, adalah seorang sosok sufi yang tidak toleran dan ortodoks, yang
tidak menghargai karya dan pemikiran orang lain. Tetapi disisi lain ia dianggap berjasa
dalam mengembangkan ilmu keislaman yang integral antara syariat dan tasawuf.
Tetapi sesungguhnya pemikiran beliau dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
• Tentang Tuhan. Pendirian Ar-Raniry dalam masalah ketuhanan pada umumnya
bersifat Kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan
paham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan
“wujud Allah dan Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriyah dari
hakikatnya yang batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi.
Namun, ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada. Jadi,
tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah.
Pandangan Ar-Raniry hampir sama dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam ini merupakan
tajalli Allah. Namun, tafsirannya di atas membuatnya terlepas dari label
pantheisme Ibn’Arabi.
• Tentang Alam. Ar-Raniry berpendapat bahwa alam ini diciptakan Allah melalui
tajalli Ia menolak teori al-faidh (emanasi) al-Farabi karena akan membawa
kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada
kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan wadah tajalli asma dan
sifat Allah dalam bentuk yang konkret. Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal; nama

6
Muzakkir, Studi Tasawuf; Sejarah, Perkembangan , Tokoh dan Analisis, (Bandung: CitaPusaka Media
Perintis, 2009), hal. 147.
Rahman ber-tajalli pada arsy; nama Rahim ber-tajalli pada kursy; nama Raziq
ber-tajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya.
• Tentang Manusia. Menurut Ar-Raniry merupakan, makhluk Allah yang paling
sempurna di dunia ini. Sebab, merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan
sesuaidengan citra-Nya. Juga, karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan
asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil,
katanya, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibn
‘Arabi.
• Wujudiyyah. Inti ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniry, berpusat pada wahdat
alwujud yang disalahartikan kaum Wujudiyyah dengan arti kemanunggalan Allah
engan alam.

Hubungan syariat dan hakikat. Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut
ArRaniry, merupakan sesuatu yang tidak benar. Kelihatannya, Ar-Raniry, sangat
menekankan syariat sebagai landasan esensial dalam tasawuf (hakikat).7

7
Solihi, Melacak, hal. 58.
BAB III

PENUTUP

A. Benang Merah Wahdatul Wujud


Wahdatul Wujud merupakan ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat
dan al-wujud. Wahdat berarti sendiri, tunggal atau kesatuan sedangkan alwujud
berarti ada. Jadi Wahdatul Wujud berarti kesatuan wujud. Jadi, Wahdatul
Wujud adalah konsep atau doktrin yang mengajarkan tentang keberadaan Tuhan
dan kesatuan ciptaan-Nya. Paham ini yang lebih dikenal dengan sebutan
Wujudiyah dalam ajaran Hamzah Fansuri. Wujudiyah adalah istilah yang
pertama kali diperkenalkan oleh Syaikh Nuruddin al-Raniri sehubungan dengan
lantunan tasawuf filosofis Hamzah Fansuri. Istilah ini disamakan atau memiliki
arti yang sama dengan istilah wahdatul Wujud Ibnu ‘Arabi. 8
Wujudiyah adalah konsep atau ajaran yang mengajarkan adanya wujud Tuhan.
Wujudiyah adalah faham tasawuf yang bersumber dari paham Wahdah al-
wujud Ibnu ‘arab bahwa alam adalah penampakan (tajalli) Tuhan, artinya hanya
ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan, yang diciptakan oleh Tuhan (termasuk alam
dan semua di dalamnya) pada dasarnya tidak memiliki wujud. Pemikiran
Hamzah Fansuri merupakan pengembangan konsep wahdatul wujud melalui
ekspresi wujudiyah yang terdapat dalam karya-karyanya, termasuk prosa dan
puisi. Pemahaman ini menganggap bahwa semua makhluk pada hakekatnya

8
Afif Ansori, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, (Gelombang Pasang, Yogyakarta, 2004) hal. 67.
Esa, karena diciptakan dari wujud Tuhan. Ia bukan hanya ulama dan pengarang
tasawuf terkemuka, tetapi juga pendiri dan pelopor sastra di nusantara.
Kontribusinya sangat penting bagi perkembangan kebudayaan Islam, terutama
dalam bidang spiritualitas, ilmu pengetahuan, filsafat, bahasa dan sastra 9.
Dalam doktrin tasawuf filosofis, aliran ini mempunyai tujuh martabat yang siap
menjelaskan tentang hakikat pemahaman wahdatul wujud (kesatuan wujud)
antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Doktrin tersebut menyatakan bahwa hanya ada
satu bentuk dan satu bentuk itu adalah bentuk al-Haqq (Tuhan). Ketujuh nilai
tersebut adalah martabat ahadiyah, martabat wahdah, martabat wahidiyah,
martabat alam spiritual, martabat fitrah mitsal, martabat alam jasmani dan
martabat insan atau kemanusiaan. Tiga martabat pertama meliputi nilai
Ketuhanan atau Uluhiyyah sedangkan empat martabat berikutnya meliputi nilai
alam tubuh dan martabat manusia, adapun empat martabat selanjutnya termasuk
martabat alam dan makhluk atau martabat al-Kawn wa al-Khalq dan martabat
kedua sampai ketujuh merupakan manifestasi dari martabat pertama yaitu
ahadiyah, sedangkan nilai pertama bukanlah manifestasi tetapi wujud asli dari
wujud itu sendiri yaitu Tuhan. Ada juga empat jalan panjang, yang disebut
maqamat atau jalur dalam, yang diinjak oleh para sufi yang ingin sedekat
mungkin dengan Tuhan dan bersatu dengan-Nya (Wahdatul Wujud). Jalur
panjang tersebut meliputi syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Seorang sufi
harus memahami dan mengamalkan empat konsep Maqamat sebagaimana telah
dikemukakan di atas. Jika dia bisa mengamalkannya secara penuh, dia akan bisa
mencapai tingkat kemanunggalan manusia dengan Tuhan yang dikenal dengan
Wahdatul Wujud.10

9
M.Solihin, Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 246.
10
Sangidu, Wachdatul Wujud (Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddȋ n as-
Sumatrani dengan Nuruddin ar-Raniri), (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2003), hal. 55-71.
B. Daftar Pustaka
Romadlon, D. A., Ihsan, N. H., & Istikomah, I. (2020). Ibn Arabi on Wahdatul
Wujud and it’s Relation to The Concept of Af’alul’Ibad. Tsaqafah.
Handoyo, B. (2022). Konsep Wahdatul Wujud dalam Pandangan Syekh
Syamsuddin As-Sumatrani. Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir
dan Pemikiran Islam.
Rosihin Anwar, M solihin. 2011. Ilmu Tasawuf. Bandung, Pustaka Setia.
Ansori, Afif. Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri. Yogyakarta: Gelombang
pasang, 2004
Ihsan Shadikin, sehat. 2009. Tasawuf Aceh. Banda Aceh

Anda mungkin juga menyukai