Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Transfusi Darah

Menurut dr. Rustam Masri, transfusi darah adalah proses pekerjaan

memindahkan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang

bertujuan untuk:

1. Menambah jumlah darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang

darahnya berkurang karena suatu sebab.

2. Menambah kemampuan darah dalam badan si sakit utuk

menambah/membawa zar asam atau O2 .

Dr. ahmad Sopian memberikan pengertian, bahwa transfuse darah adalah

memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh yang akan ditolong.1

Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis

produk dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Transfusi

darah dapat menyelamatkan jiwa dalam beberapa situasi, seperti kehilangan darah

besar karena trauma, atau dapat digunakan untuk menggantikan darah yang hilang

selama operasi.2

Transfusi darah (blood transfuse, bhs. Belanda), ialah memindahkan darah

dari seseorang kepada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya.3

1
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. II, hal. 112-113.
2
http://www.infokedokteran.com/kesehatan-2/transfusi-darah.html diakses pada tanggal
18-03-2017 pukul 08.30
3
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Mida Surya Grafindo: 1994), ed. II, cet.
VII, hal. 49.
Dengan demikian, transfusi darah itu tiada lain adalah suatu cara

membantu pengobatan yang sudah ada, dan darah hanya membantu saja sebagai

salah satu pelengkap daripada metode pengobatan. Namun demikian perlu

diperhatikan lagi, bahwa transfusi darah itu bukanlah pekerjaan yang tanpa resiko

dan mungkin merupakan suatu pekerjaan yang banyak resikonya bagi si sakit.

Sebagaimana diketahui, bahwa sumber darah itu amat terbatas. Sumber

darah itu hanya manusia saja dan tidak semua orang bisa menjadi donor, yaitu

yang berumur 19 sampai dengan 60 tahun. Kemudia ada lagi pembatasan-

pembatasan lain, yaitu bagi orang yang darahnya kurang, atau orang yang pada

saat menjadi donor kesehatannya terganggu. Transfusi darah, jangan sampai

menjadi beban bagi si sakit, Karena darah yang diterimanya kurang atau tidak

baik, disamping menanggung biaya yang cukup mahal. Pasien yang tidak

memerlukan benar, jangan diberikan darah, mengingak efek sampingnya yang

mungkin terjadi bagi si sakit. 4

B. Hubungan Antara Donor dan Resipien (Penerima)

Adapun hubungan antara donor dan resipien (penerima) setelah terjadi

transfuse darah, tidak membawa akibat hukum ada hubungan kemahraman

(haram kawin), umpamanya dipandang sebagai saudara sepersusuan. Sebab,

factor-faktor yang dapat menyebabkan kemahhramannya, sudah ditentukan dan

ditetapkan oleh Agama Islam sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, Allah

berfirman yang artinya:

4
Op. Cit., M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. II, hal. 113.
“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,

saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang

perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari

sauadara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-

saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara

perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang

dalam pemelihharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu

belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak

berdosa kamu menggawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak

kandungmu (menantu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan

yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nisa’: 23)

Dari terjemahan ayat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mahram karena ada hubungan nasab.

2. Mahram karena ada ada hubungan perkawinan.

3. Mahram karena ada hubungan persusuan.5

Kemudian pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa selain wanita-wanita

yang disebutkan tersebut di atas adalah halal untuk dinikahi. Sebab tidak ada

kemahraman, kecuali mengawini seorang wanita bersama bibinya secara

poligamis dilarang berdasarkan hadits Nabi. Maka jelaslah bahwa transfusi darah

tidak mengakibatkan hubunggan kemahraman antara donor dan resipien. Karena

5
Ibid., hal. 113-115.
itu, perkawinan antara donor dan resipien diizinkan oleh Agama (Hukum Islam),

berdasarkan mafhum mukhalafah Surah an-Nisa ayat 23-24 tersebut di atas.6

Menurut Ust. Subki Al-Bughury, adapun hubungan antara donor dan

resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya

hubungan kemahraman antara donor dan resipien.7

Hendaknya dingat, bahwa bila tidak hati-hati dalam penanganan transfusi

darah ini, maka aka nada resiko bagi resipien. Sebab itu secara medis harus

diperhatikan pengaruhnya.8

C. Pandangan Agama Islam terhadap Donor Darah

Masalah donor darah adalah masalah yang baru, dalam arti kata tidak

ditemukan hukumnya pada masa pembentukan hukum Islam, ataupun dalam Al-

Qur’an dan Hadits, sebagaimana telah disebutkan pada bagian latar belakang

masalah.

Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah

menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersil. Darah

itu dapat disumbangkan secara langsung kepada yang memerlukannya, seperti

untuk keluarga sendiri, atau diserahkan kepada Palang Merah Indonesia atau

Bank Darah untuk disimpan dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk

menolong orang yang memerlukan, apakah seagama atau tidak.9

6
Op. Cit., Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Mida Surya Grafindo: 1994),
ed. II, cet. VII, hal. 52. Lihat juga M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-
Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. II, hal. 113.
7
https://nezfine.wordpress.com/2011/02/03/transfusi-darah-menurut-pandangan-islam/
diakses pada tanggal 18-03-2017 pukul 08.45.
8
Loc. Cit., M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. II.
9
Ibid., hal. 116.
Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini, dapat dilihat

dalam kaidah hukum Islam bahwa “pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh

(mubah), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Berdasarkan kaidah tersebut di atas, maka hukum donor darah itu

diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya baik dari Al-Qur’an

maupun hadits. Namun demikian tidak berarti bahwa kebolehan itu dapat

dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja.10

D. Pengertian Euthanasia

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu “eu” dan “thanatos”.

Kata “eu” berarti baik, tanpa penderitaan dan “Thanatos” berarti mati. Dengan

demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada

yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.

Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa

penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan

untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan

penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang

demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk

mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi

persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat

dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.

10
Ibid., hal. 116.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih

menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut

pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan

yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan

penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang

menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah

yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena

definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.11

Istilah untuk pertolongan medis adalah agar kesakitan atau penderitaan

yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti

mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat

menjelang kematiannya.

E. Pandangan Islam terhhadap Bunuh Diri dan Euthanasia

Hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan, dan merupakan karunia dan

wewenang Tuhan, maka Islam melarang orang yang melakukan pembunuhan,

baik terhadap orang lain (kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh agama)

maupun terhadap dirinya sendiri (bunuh diri) denngan alasan apapun.

Dalil-dalil syar’i yang melarang bunuh diri dengan alasan apapun, ialah

friman Allah dalam surat an-Nisa ayat 29-30 yang artinya:

“dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepada kamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar

11
http://satriabara.blogspot.co.id/2012/06/makalah-euthanasia.html?m=1 diakses pada
tanggal 19-03-2017 pukul 20.45.
dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukannya ke dalam neraka. Yang

demikian itu adalah mudah bagi Allah.”12

Dalam hadits yang diiriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim pun

menjelaskan tentang hal tersebut. Dari Jundub bin Abdulllah r.a. “telah ada di

antara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu keluh

kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong ttangannya dengan pisau

itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah

bersabda, “Hamba-Ku telah menyegerakan kematiannya sebelum Aku

mematikan. Aku mengharamkan surge untuknya.”13

Dalam hal ini, Islam tetap tidak membolehkan si penderita menghabisi

nyawanya, baik dengan tangan sendiri, maupun dengan bantuan orang lain, seperti

dokter dengan cara memberi suntukan atau obat yang dapat mempercepat

kematiaannya (euthanasia positif) atau dengan cara menghentikan segala

pertolongan terhadap si penderita termmasuk pengobatannya (euthanasia negatif).

Orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara demikian berarti dia telah

mendahului atau melanggar kehendak Allah dan wewenang-Nya (seperti yang

disebutkan dalam Qur’an maupun hadits di atas). Seharusnya orang bersikap sabar

dan tawakkal menghadapi musibah dan berdo’a kepada Allah semoga berkenan

memberikan ampunan kepadanya dan memberikan kesehatan kembali, apabila

hidupnya masih bermanfaat dan lebih baik baginya.14

12
Op. Cit., Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT Mida Surya Grafindo: 1994),
ed. II, cet. VII, hal. 161-162.
13
Ibid., hal. 163.
14
Op. Cit., M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. II, hal. 132.

Anda mungkin juga menyukai