MODUL 4
PENDALAMAN MATAERI AKIDAH AKHLAK
A. Peta Konsep
PETA KONSEP
Akidah Islam bersumber dari al-Qur’an , al-Hadis dan ijtihad (dengan kemampuan akal yang
sehat), sehingga mayoritas ulama pada zaman kemunduran dan perpecahan umat isiam
berpendapat bahwa rukun Iman berjumlah enam; Lima dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur’an
sebagaimana firmanNya dalam Surah al-Baqarah: 177
Artinya:
Bukanlah menghadapkan wajah kamu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi……
Adapun rukun yang ke enam yaitu iman kepada qadar didasarkan kepada hadis nabi, ketika
beliau ditanya oleh Jibril tentang iman, maka Nabi menjawab
أن تؤمن باهلل ومالئكته وكتبه ورسله واليوم األخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Artinya:
Hendaklah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari
kemudian dan hendaknya pula kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.
Adapun dasar hadits yang dijadikan pedoman para Tabiin adalah sabda Rasulullah yang
diriwayatka oleh Bukhari dan Muslim “bDari Au Huraerah r.a dari Nabi saw bahwa beliau
bersabda: iman mempunyai 60 rukun atau/dan/kali70 rukun lebih mendzikirkan kalimat “lailaha
illallah sampai mengenal Allah adalah rukun iman yang paling awal/ tinggi,/utama dan rukun iman
yang paling rendah adalah menghilangkan gangguan yang terdapat di jalan atau di saluran air, malu
berbuat dosa sehingga ia meninggalkannya adalah bagian dari rukun iman “
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, membawa dan mengandung misi keimanan
kepada Allah yang wajib dipatuhi. Dalam rangka mengubah kehidupan manusia.dari yang belum
sholeh menjadi shaleh dari yang belum madani menjadi madani Nabi Muhammad saw. terus
menerus menyeru manusia agar mempercayai dengan sepenuh hati dan mengamalkannya denagn
tulus ikhlash bahkan nikmat mengamalkan rukun rukun iman tersebut sehingga melahirkan amal
shaleh amal yang berkwalitas dan berguna baik untuk diri seseorang atau untuk orang lain oleh
karena itu nabi Muhambad dan ummatnya bertugas dibumi ini untuk menyebarkan rahmat/kasih
sayang keseluruh alam baik yang lahir maupun yang batin, umat islam mengemban amanah untuk
menjadi umat teladan( wasatha ) dan harus ikut berpartisipasi mengawal peradaban duni ini adalah
merupakan tujuan iman umat islam secara sosial adapun butir butir rukun iman selain yang enam,
adalah; percaya sepenuh hati tanpa ragu terhadap ;7. Bangkit di alam kubur 8.padang mahsyar. 9.
Surga dan neraka.10.mencintai Allah 11,hormat dan takut kepada Allah. 12 tawakkal kepada Allah
setelahnya maksimal berusaha dan doa 13 menghaujuarp ridla Allah 14, mencitai Nabi
Muhammad15 menghormati Nabi16 setia pada Islam 17 menuntut ilmu 18 menyebarkan ajaran
islam 19 memuliakan dan mencintai Al Qur an seperti nabi dan shahabatnya 20 suci jasmani dari
najis,suci ruhani dari sifat tercela, suci pebuatan dari dosa 21 iman dan amal sholeh dilakukan
karena Allah 22 jujur dll, mengikuti dan mentaati agama yang diturunkan Allah merupakan tujuan
utama beriman . adapun tujuan tujuan perinciannya secara individu adalah ;
Di dalam Islam, Iman dan ikhsan terkumpul agama secara keseluruhan. Ketika Nabi saw.
ditanya oleh Jibril tentang 3 hal tersebut, Nabi memberikan jawaban yang berbeda, berikut
uraiannya.
Ihsan
Kata ihsan berasal dari bahasa Arab, yaitu ahsana, yahsinu, ihasanan, yang artinya
berbuat puncak ke baikan atau puncak berbuat kebajikan. Kata ihsan dalam al-Qur’an
diulang sebanyak 12 kali, dengan arti yang beraneka ragam. Di antaranya ada yang berarti puncak
berbuat baik atau puncak perbuatan baik ( karena itu kata ihsan lebih luas maknanya dari sekedar “
memberi nikmat atau nafkah pada pihak lain” maknanya lebih luas dan lebih dalam dari pada
kandungan makna “ adil” karena adil adalah” memperlakukan orang lain sama dengan
mereka memperlakuan mereka kepada anda”sedang ihsan. Adalah memperlakukan orang
lain lebih baik dari pada perlakuannya kepada anda”. Adil adalah mengambil semua hak
anda dan atau memberi hak semua orang lain, sedangkan ihsan adalah memberi lebih banyak
daripada yang anda berikan dan mengambil lebih sedikit dari pada yang seharusnya anda ambil”.
Terhadap hamba, ihsan tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain sehingga
dia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya; sedang ihsan antara hamba
dengan Allah adalah leburnya diri sehingga dia hanya” melihat” Allah karena itu pula, ihsan antara
hamba dengan sesama manusia wujud, ketika dia tidak melihat lagi dirinya dan hanya melihat
orang lain itu. Siapa yang melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat
dirinya pada saat beribadah kepada Allah maka dia itulah yang berhak menyandang sifat ihsan dan
ketika itu pula dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya. (QS. Al-Baqarah, 2 : 178).
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan. (Q.S. An-Nahl, 16 : 90). Dan
(ingatlah) ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu) : Janganlah kamu menyembah Allah, dan
berbuat baiklah kepada ibu bapak. Q.S. al-Baqarah, 2 :83).
Pada ayat-ayat tersebut kata ihsan selalu diartikan berbuat baik, dan dihubungkan dengan
berbagai masalah sosial, yaitu berbuat baik dalam bentuk mau memaafkan kesalahan orang lain,
dalam memimpin masyarakat atau memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan dalam
hubungannya dengan kedua orang tua. Dengan demikian kata ihsan lebih menunjukkan pada
akhlak yang mulia. Sedangkan arti ihsan sebagaimana digunakan dalam arti istilah ( Muraqabah )
adalah merasa diperhatikan oleh Allah, sehingga ia tidak berani melakukan pelanggaran atau
meninggalkan perintah Tuhan.
Iman adalah “ pembenaran hati yang mengikat manusia dan mengarahkan perbuatan
manusia sesuai dengan hakikat dan objek iman, karena sifatnya yang mengikat itu, maka ia dinamai
juga dengan sebutan aqidah ia bersemi di dalam hati, tidak tampak dalam kenyataan karena itu ia
juga dinamai keimanan, karena keimanan yang benar itu harus dibuktikan kebenarannya dengan
akhlak yang terpuji karena Allah ia dinamai Tauhid.,
Tauhid terbagi menjadi dua bagian: ada yang potensial(Rububiyah) dan aktual(Uluhiyah),
yang potensial yang harus memenuhi ruang kalbu seorang hamba ada tiga. Pertama, Tauhid Dzat
yaitu kepercayaan seorang hamba kepada Allah bahwa Dzat Allah tidak tersusun dari partikel dan
unsur apapun, ia sangat transenden, sangat suci ,agung dan hanya Allah sendiri yang tau Kedua,
Tauhid Sifat Yaitu keyakinan dan kepercayaan seorang hamba kepada Allah bahwa sifat sifat yang
tak terhingga jumlahnya dimiliki oleh Allah adalah Maha sempurna, sifat-sifat kesempurnaan Allah
tersebut bersifat abadi dan menjadi sumber sifat-sifat positif hambanya(imanen), meskipun ketika
melekat pada hambanya didunia sifatnya temporal dan amanah seperti sifat mukmin, wujud dll.
Ketiga,Tauhid Af al yaitu kepercayaan seorang hamba kepada Allah bahwa Wujud dan gerak
seluruh alam semesta(pada hakikatnya) adalah wujud dari perbuatan Allah dan yang Keempat
harus aktual mewarnai semua aktivitas seorang hamba adalah Tauhid dalam beribadah ( Uluhiyah
) yaitu : kepercayaan seorang hamba kepada Allah bahwa ibadah yang dinilai oleh Allah hanyalah
amal ibadah yang yang dilakukan karena Allah ( Ikhlash ), meskipun sambil berharap terhindar
dari adzab yang pedih dari Allah, berharap meraih bahagia (surgawi) dan atau berharap ridha dari
Allah.
Islam adalah pengamalan yang merupakan dampak atau buah dari iman, yang memang
harus tampak dalam kenyataan,ia dinamai juga syariah, yang secara harfiah ber arti sumber air yang
memberi kehidupan, sedang ihsan adalah puncak kebajikan menghasilkan akhalak. Dengan
demikian, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Agama yaitu sikap pasrah seorang
hamba untuk mengikuti kehendak Allah yang berupa Akidah, syariah dan akhlak atau islam, iman
dan ihsan yang merupakan modal (sumber) dasar kehidupan seorang hamba untuk meraih
kebahagiaan atau sumber kebahagiaan (sumber air) Allah itu sendiri..
Ketika Nabi Muhammad saw, masih hidup, semua persoalan agama dapat ditanyakan
kepada beliau secara langsung. Dan jawaban dari persoalan tersebut dapat diperoleh secara
langsung dari Rasulullah saw. Para sahabat dan kaum muslimin percaya dengan sepenuh hati,
bahwa apa yang diterima dan disampaikan oleh Nabi adalah berdasarkan wahyu Allah. Dengan
demikian, tak ada keraguan sedikitpun mengenai kebenarannya. Dalam masalah akidah atau
teologi, umat Islam pada masa Nabi saw, tidak terjadi perpecahan atau pengelompokan. Mereka
semua bersatu dalam masalah akidah sampai pada masa dua kepemimpinan khulafaur rasyidin,
yakni pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakur As-Siddiq dan Khalifah Umar bin Khattab.
Karena pada masa setelahnya umat Islam telah terusik nafsunya untuk mengambil pemahaman
secara sepihak menurut versi kelompoknya dalam masalah agama termasuk persoalan akidah atau
teologi yang dalam agama Islam merupakan ajaran yang pokok.
Persoalan teologi dalam umat Islam memang bukan merupakan persoalan yang muncul
sebagai persolan teologis. Namun persoalan-pesoalan teologi dalam umat Islam muncul
dikarenakan isu persoalan politik yang melahirkan persistiwa pembunuhan Usman bin Affan
sebagai khalifah umat Islam yang sah pada watu itu. Dan dalam peristiwa pembunuhan tersebut
yang terlibat langsung adalah umat Islam. Ternyata, persoalan pertama yang muncul dalam Islam
justru persoalan politik yang kemudian melahirkan persoalan teologi.jadi persoalan teologi
lahirnya dibidani oleh persoalan politik. Ketika Nabi saw. Wafat, yang terpikir didalam
kalangan umat (para sahabat) adalah siapa pengganti Rasulullah saw.? Dan berlanjut sampai
khalifah Usman yang terbunuh merupakan titik awal lahirnya permasalahan teologi yang
dipertentangkan. Dari peristiwa pembunuhan Usman yang menjadi permaslahan adalah dosa apa
yang telah diperbuat olehnya,sahabat usman memimpin umat selama 12 th, 6th pertama situasi
ekonomi umat cukup stabil, 6th kedua terjadilah instabilitas ekonomi umat islam pada saat itu
sehingga sahabat Usman mengeluarkan kebijakan untuk mengangkat para pejabat negaranya yang
berlatar belakang praktisi ekonomi ( saudagar) dengan harapan agar rekaperi ekonomi umat dapat
segera diwujudkan,ketepatan saja para saudagar yang diangkat Usman tersebut adalah masih
kerabat Usman, beliau berharap( berijtihad) dengan diangkatnya saudaranya, Usman dengan
mudah komunikasi dan kerja sama untuk mengatasi kemelut ekonomi pada saat itu, namun sayang
memang ijtihad yang dilakukan oleh Usman meleset bahkan banyak banyak sekali aset negara yang
dipribadikan sehingga lawan politiknya menuding Usman telah mengambil kebijakan politik
“”Nepotismenya”sehingga keadaan ini memicu munculnya demontrasi yang sangat besar dan
masif yang berakhir dengan terbunuhnya Beliau, Kemudian bagaimana dosanya bagi orang-orang
yang membunuh beliau? Peristiwa pembunuhan itu sebenarnya merupakan peristiwa politik, yakni
sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan pemerintahan yang dijalankan pada waktu itu.
Pembicaraan masalah dosa tersebut semakin meningkat ketika terjadi perebutan kekuasaan
antara Ali dan Muawiyah dengan keputusan akhir adanya arbitrase (tahkim) mereka yang setuju
terhadap tahkim berpendirian bahwa baik kelompok Ali atau kelompok muawiyah keduanya
adalah keluarga besar islam oleh karena itu mereka menggunakan ayat tahkim “ apabila terjadi
perselisihan kedua bela pihak yang sulit diselesai maka kedua belah fihak hendaklah menunjuk juru
runding” sementara Kelompok yang tidak setuju ( Khawarij ) adanya arbitrase, berpendirian
bahwa orang terlibat dalam persolan arbitrase, seperti Ali bin Ali Thalib, Muawiyah, Amr bin Ash,
Abu Musa al Asy’ary dan lain-lain, dianggap kafir, karena telah mengambil hukum yang tidak
berdasarkan Al-Qur’an. Khawarij menyikapi Muawiyah dan kelompoknya adalah kaum bughat (
kelompok pembangkang terhadap otoritas Khalifah) oleh karena itu untuk menyikapi kelompok
ini harusnya menggunakan dalil al Qur an Surah al-Hujurat ayat 9, jika tidak berarti mereka tidak
berhukum dengan menggunakan hukum Allah, Karena Allah berfirman didalam Al-Qur’an surat
Al-Maidah ayat 44,
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan, menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Mereka (kaum Khawarij) berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh
arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang
ada dalam Al-Qur’an dalam menghadapi kaum pemberontak seharusnya penguasa menggunakan
dalil bughat ,tidak dengan arbitrase , mereka menganggap bahwa semua pihak yang terlibat tahkim
sudah tidak lagi berhukum dengan hukum Allah, mereka menyebarkan isu-isu jargon politik ke
publik La Hakama Illa Allah (Tidak ada pengantara selain dari Allah) menjadi semboyan mereka.”
dengan ucapan la hukma illa lillah (Tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau La Hukamaillallah
barang siapa yang tidak memakai hukum Allah adalah kafir.
Kemudian pengertian kafir, semakin berkembang tidak hanya pada orang yang tidak
menentukan hukum berdasarkan Al-Qur’an tetapi juga kepada orang yang berbuat dosa besar.
Persoalan dosa besar mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya.
Persoalan ini berdampak negatif terhadap persaudaraan dan persatuan umat islam , hal ini
menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama, aliran Khawarij tokoh utama aliran ini
adalah Abdullah al Rasibi atau Abdullah ar Rasyidi, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
adalah kafir. Artinya keluar dari Islam (murtad) karena itu ia wajib dibunuh. Kedua, aliran Murji’ah
tokoh aliran ini adalah Aabdullah bin umar,Abu Huraerah dll menegaskan bahwa orang yang
berdosa besar tetap mukmin, bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah
untuk diampuni atau tidak, Ketiga, aliran Mu’tazilah tokoh aliran ini adalah Washil bin atho, kaum
ini tidak setuju dengan pendapat-pendapat diatas. Baginya orang yang berdosa besar bukan kafir
tetapi juga bukan mukmin. Orang yang melakukan dosa besar mengambil posisi antara mukmin dan
kafir.akan tetapi fasiq, Terkenal dengan paham/istilah Manzilah baina al Manzilataini. Fasiq adalah
gelar yang pantas diberikan kepada pendosa atau bagi penikmat dosa yang tersebut dalam al Qur
an, karena gelar al Mukmin adalah salah satu nama-nama indah milik Allah yang pantas hanya
diberikan kepada orang-orang terpuji saja yang sudah benci pada perbuatan dosa seperti ia benci
apabila dimasukkan kedalam neraka, akan tetapi ia juga tidak boleh diberi gelar kafir karena
pendosa itu masih percaya kepada kebenaran ajaran yang dibawa oleh Rasulullah seperti ia masih
bersyahadat atau shalat.Keempat aliran asy ariah tokoh pendiri aliran ini adalah Abu Hasan
al asy ari dan maturidiyah tokoh pendiri aliran ini adalah Abu Manshur al -Maturidi,
mereka berpendapat ; apabila perbuatan dosa itu berkaitan dengan keyakinan seperti mereka
berpendapat bahwa Allah tidak ada, atau malaikat tidak ada, surga tidak ada, shalat tidak wajib dll
maka berakibat bagi pelakunya rneyandang gelar kafir, tapi apabila perbuatan dosa tersebut
berkaitan dengan perbuatan seperti meninggalkan solat,zakat dll maka berakibat bagi pelakunya
menyandang gelar mukmin ashi menurut asy ariah dan bergelar mukmin fasiq bagi maturidiyah.
Persoalan lain dalam masalah teologis berkaitan dengan persoalan perbuatan manusia dalam
kaitannya dengan perbuatan Tuhan. Pertanyaan di sekitar peroalan tersebut diantaranya apakah
manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? Apakah perbuatan yang dilakukan oleh
manusia terdapat campur tangan (interfensi) dari Tuhan yang mengatur alam raya ini berserta
seluruh isinya? Kalau Tuhan ikut campur tangan dalam perbuatan manusia, sampai sejauh mana
interfensi Tuhan tersebut: Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengusik para ulama kalam (mutakallimin)
untuk membahasnya.
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan para mutakallimin ini kemudian terbentuk aliran-
aliran/paham dalam persoalan teologi. Aliran-aliran teologi yang muncul berangkat dari latar
belakang persoalan-persoalan tersebut sebagaimana uraian berikut. Pertama, aliran Jabariyah yang
dalam persoalan tersebut memahami bahwa manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Hanya
Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua amal
perbuatan itu adalah atas qudrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mempunyai otoritas sama sekali
dalam mewujudkan perbuatannya( Ijbari ). Dalam paham jabariyah, perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan sering digambarkan bagai bulu ayam yang diikat dengan tali dan
digantungkan di udara. Kemana angin bertiup kesanalah bulu ayam itu terbang. Ia tidak mampu
menentukan dirinya sendiri, tetapi terserah angin. Apabila perbuatan manusia diumpamakan
sebagai bulu ayam, maka angin itu adalah Tuhan yang menentukan kearah mana dan bagaimana
perbuatan manusia itu dilakukan. Bagi mereka hanya satu hakikat wujud perbuatan itu, kalau ada
dua perbuatan dalam tingkat hakikat berarti ada dua hakikat perbuatan, dan menurut mereka, hal
ini akan berakibat kepada musyrik, dalam rangka mempertahankan tauhid af al tersebut, mereka
berpendapat bahwa hakikat wujud perbuatan manusia adalah perbutan Allah. Bagi mereka
berkeyakinan bahwa di Dunia ini tidak boleh ada dua Fa il.
Kadang-kadang manusia diumpamakan pula seperti wayang yang tidak berdaya. Bagaimana
dan ke mana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang bagi manusia adalah
“Tuhan”. Pahan Jabariyah sebagaimana dikemukakan diatas adalah paham yang dikemukakan oleh
Jahm bin Shafwan, tokoh utama Jabariyah. Aliran ini pun kadang-kadang disebut dengan aliran
Jahamiyah. Faham ini sebenarnya hanya cocok bagi kelompok minoritas manusia tingkat Haqu al
Yaqin yang sudah terbuka hijab tabir ilahinya, dan akan terjadi salah faham bila difahami oleh
kelompok dibawahnya, karena rasanya tidak mungkin generasi shahabat berpendirian “Konyol”
seperti yang difahami kaum awam terhadap mereka. Kedua kelompok aliran Qodariah dan Mu
tazilah Menurut paham ini Allah swt., membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat dan iradat :
suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya sendiri dengan akal dan ajaran agama sebagai
pedoman dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.menurut mereka ; manusia dan jin
adalah makhluk Allah yang diberi kebebasan untuk menentukan perbuatannya.
Karena manusia bebas, merdeka, dan memiliki kemampuan mewujudkan perbuatan-
perbuatannya, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu dihadapan Allah swt. Jika ia
banyak melakukan yang baik, ia akan mendapat balasan berupa nikmat dan karunia yang besar.
Sebaliknya, jika perbuatan jahat yang banyak dikerjakan, ia akan disiksa. Karena perbuatan itu
diciptakan dan diwujudkan oleh manusia sendiri, wajar dan adil kalau Tuhan menyiksa atau
member pahala. Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa menurut paham Qadariyah, Tuhan tidak
ikut campur tangan dalam perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan itu.
Jika perbuatan manusia diciptakan Tuhan seluruhnya, maka taklif tidak ada artinya. Pahala dan
siksa tidak berguna karena perbuatan itu dikerjakan bukan dengan kehendak dan kemauan sendiri.
Ketiga, aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam persoalan ini mereka mengambil jalan
tengah ( Tawazun ) antara paham Jabariyah dan paham Mu’tazilah. Untuk menggambarkannya
pahamnya mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan, Asy’aryah
menggunakan teori Al- Kasb.Mereka berpendirian bahwa perbuatan manusia adalah proses sintesa
( perpaduan) antara energi sebagai ciptaan dan wujud kehendak Allah dengan kehendak manusia
dalam mewujudkan perbuatannya.
c. Sifat-Sifat Tuhan
Persoalan lain yang muncul dalam toelogi Islam selain dua persoalan diatas adalah tentang
sifat Tuhan. Para mutakallimin dalam membahas persoalan tentang sifat Tuhan secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua golongan pendapat yang berlawanan. Pertama, aliran Mu’tazilah yang
memahami dan membahas persoalan ini dengan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat,menurut mereka Allah Maha Pengasih.Maha Pemurah,Maha Mengetahui dll akan tetapi itu
bukanlah sifat Allah akan tetapi Dzat Allah Mereka berargumen jika Tuhan mempunyai sifat dan
Zat Tuhan.berarti Allah tersusun, jika demikian maka yang bersifat kekal bukan satu , tetapi
banyak ada yang kekal. Jika Tuhan itu mempunyai sifat-sifat maka akan menyebabkan paham
banyak yang kekal (Ta’aduddul qudama) yang selanjutnya melahirkan paham syirik atau polytheisme
sebagai suatu yang tidak mendapat tempat didalam teolegi Islam.
Jadi, menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat
golongan lain. Apa yang dipandang sebagai sifat dalam pendapat golongan lain, bagi Mu’tazilah
tidak lain adalah Zat Allah sendiri. Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazilah
menafikan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya
sebagai golongan Ahlut Tauhid wal’Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.
Kedua, aliran Asy’ariyah yang membahas persoalan sifat-sifat Tuhan dengan mengambil
sikap yang berlawanan dengan pendapat golongan pertama atau Mu’tazilah.mereka sependapat
dengan aliran Maturidiyah yang dalam hal ini berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat.
Sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan sifat;sifat Allah
yang tak terhingga jumlahnya bukanlah Tuhan akan tetapi bukan selain Tuhan seperti
hubungannya antara matahari dengan sinarnya , sinar matahari bukanlah matahari akan tetapi sinar
tersebut tidaklah diluar mata hari antara dzat dan sifat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan..
5. Akhlak
a. Definisi Akhlak
Perkataan akhlak secara etimologis, berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk mufradnya
khuluqun ) ( خلقyang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku,karakter atau
tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan”Khalkun”) ( خلق
yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “Khaliq” ) ( خالقyang berarti pencipta dan
“Makhluk” ) (مخلوقyang berarti diciptakan.
Pola bentuk defenisi “Akhlak” diatas muncul sebagai mediator yang menjembatani
komunikasi antar Khaliq (pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan)secara timbal balik yang
kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk hablum minallah yang benar, biasanya
lahirlah pola hubungan antar sesama manusia yang disebut dengan hablum minannas (pola
hubungan antar sesame makhluk).
Kemudian komentar dari Ibnu Athir dalam bukunya Annihayah menerangkan,
“Hakikat makna khuluq itu adalah gambaran batin manusia (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya),
sedang khalqu merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah
tubuhnya, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan sikap dan perbuatan hamba)”.
Identik dengan pendapat Ibnu Athir ini,adalah Imam Al-Ghazali yang menyatakan.bahwa:
“Bilamana orang mengatakan si A itu baik khalqunya dan khuluqnya, berarti si A baik sifa-
sifat lahirnya dan sifat-sifat batinnya.
Jadi, berdasarkan sudut pandang kebahasaan defenisi akhlak dalam pengertian sehari-hari
disamakan dengan “budi pekerti”, kesusilaan, sopan santun, tata karma dan karakter (versi bahasa
Indonesia) sedang dalam Bahasa Inggrisnya disamakan dengan istilah moral atau etic.
Begitupun dalam bahasa Yunani istilah “akhlak” dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau
etika (tanpa memakai huruf H) yang mengandung arti “Etika adalah bahasa indonesia untuk
menakai akal budi dan daya pikirnya dalam memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau
ia mau menjadi baik”. Dan etika itu adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran. Dalam sebuah kitab
yang ditulis oleh Abd. Hamid Yunus dinyatakan:
األخالق هي صفات االنسان االدابية
Artinya:
“Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik”
Memahami ungkapan tersebut bisa dimengerti sifat/potensi yang dibawa setiap manusia
sejak lahir: artinya, potensi tersebut sangat tergantung dari cara pembinaan, latihan/pembiasaan
dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya posotif, outputnya adalah akhlak mulia; sebaiknya
apabila pembinaaannya negatif, yang terbentuk adalah akhlak mazmumah (tercela).pengaruh
lingkungan keluarga, masyarakat dan situasi negara sangat mempengruhi akhlah seseorang sebagai
individu dan warga negara, karena secara potensial dan aktual Allah telah membentangkan jalan
yang benar dan jalan yang salah.
Firman Allah surat Al-Syam: 8
Artinya:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kepasikan dan ketakwaannya”.
Berikut ini dikemukakan defenisi ‘akhlak” menurut beberapa pakar sebagai berikut:
1. Ibn Miskawaih
1. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama sehingga menjadi
kebiasaan,
2. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena
adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar, seperti paksaan dari orang lain yang
menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah, dan lain
sebagainya.
Beberapa kalangan pengkaji etika maupun akhlak seperti Poeddjawiyatna menklasifikasi
beberapa ukuran baik dan buruk seperti teori hedonisme, utilitarisme, vitalisme, sosialisme,
religeosisme dan humanisme, dengan uraian sebagai berikut;
1. Hedonisme, yaitu sebuah aliran klasik dari Yunani yang menyatakan bahwa ukuran tindakan
kebaikan adalah done, yakni kenikmatan dan kepuasan rasa. Tokoh utama pandangan ini
adalah S. Freud.
2. Utilitarisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa yang baik adalah yang berguna. Karena ini
jika berbuatan itu dilakukan atas diri sendiri maka itu disebut individual, dan jika terhadap
kepentingan orang banyak disebut sosial.
3. Vitalisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa ukuran perbuatan baik itu adalah kekuatan
dan kekuasaan. Bahwa yang baik adalah mencermikan kekuatan dalam hidup manusia.
4. Sosialisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa baik nya sesuatu ditentukan oleh masyarakat.
Jadi, masyarakatlah yang menentukan baik dan buruknya tindakan seseorang bagi anggotanya.
5. religiosisme, aliran yang mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sesuai dengan
kehendak Tuhan. Lantas, manakah yang menjadi kehendak Tuhan itu?, ini adalah tugas para
theolog dalam memberikan gambaran.
6. Humanisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa baik dan buruknya sesuatu itu adalah
sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, atau kemanusiaannya.
Dari sejumlah aliran dalam mengukur baik buruknya sesuatu di atas, bagi Islam tentu saja
memiliki sikap tersendiri. Islam berpandangan bahwa baik dan buruk itu adalah sesuai dengan
kehendak Allah. Meski demikian, tidak mudah menjawabnya, jika muncul pertanyaan yang
manakah yang dikehendaki Tuhan?. Sebagai antaran awal, guna menjawab pertanyaan ini, bahwa
kehendak Tuhan tentu saja adalah apa-apa yang difirmankan di dalam al-Qur’an dan ajaran praktis
para utusan-utusan-Nya, khususnya terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Lebih dari itu, pemahaman tentang kebaikan dan keburukan, atau yang dikehendaki oleh Allah
dan yang tidak dikehendaki-Nya dapat pula diperoleh melalui akal, jiwa dan hati yang jernih..
b. Objek Pembahasan Akhlak
Sebelum sampai kepada pembahasan inti tentang objek akhlak, sebaiknya perlu dipahami
dahulu apa sebenarnya ilmu akhlak itu.
Ilmu akhlak ialah ilmu untuk menetapkan segala perbuatan manusia. Baik atau buruknya,
benar atau salahnya, sah atau batal, semua itu ditetapkan dengan mempergunakan ilmu akhlak
sebagai petunjuknya.
Ahmad Amin lebih mempertegas lagi dalam kitabnya Al-Akhlak dengan menyatakan:
و يشرح الغاية التى ينبغي أن يقصدها ما فى أعمالهم و،علم يوضح معنى الخير و الشر و يبين معاملة الناس بعضهم بعضا
.يبين السبيل لعمل ما ينبغي
Artinya:
“ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan menerangkan apa yang harus diperbuat oleh sebagian
manusia terhdapap sesamanya dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dan perbuatan
mereka dan menunjukkan yang lurus yang harus diperbuat”.
Jadi, menurut definisi tersebut ilmu akhlak itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
Berdasarkan beberapa bahasan yang berkaitan dengan ilmu akhlak, maka dapat dipahami
bahwa objek (lapangan/sasaran) pembahasan ilmu akhlak itu ialah tindakan-tindakan seseorang
yang dapat diberikan nilai baik/buruknya, yaitu perkataan dan perbuatan yang termasuk dalam
kategori perbuatan akhlak. Dalam hubungan ini, Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa “etika itu
menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik atau buruk”. J.H.
Muirhead meyebutkan bahwa pokok pembahasan (subject matter) etika adalah penyelidikan tentang
tingkah laku dan sifat manusia. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa daerah pembahasan
ilmu akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan)
maupun kelompok (masyarakat).
Untuk jelasnya, bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu dapat dibagi dalam tiga macam
perbuatan. Dari yang tiga ini ada yang masuk perbuatan akhlak dan ada yang tidak masuk
perbuatan akhlak.
1. Perbuatan yang dikehendaki atau disadari, pada waktu dia berbuat dan disengaja. Jelas,
perbuatan ini adalah perbuatan akhlak, bisa baik atau buruk, tergantung pada sifat
perbuatannya.
2. Perbuatan yang tidak dilakukan tidak dikehendaki, sadar atau tidak sadar diwaktu dia berbuat,
tetapi perbuatan itu diluar kemampuannya dan dia tidak bisa mencegahnya. Perbuatan
demikian bukan perbuatan akhlak. Perbuatan ini ada dua macam:
a. Reflex action, al-a’maalu-mun’akiyah
Umpamanya, seseorang keluar dari tempat gelap ketempat terang, matanya berkedip-
kedip. Perbuatan berkedip-kedip ini tidak ada hukumnya, walupun dia berhadap-hadapan
dengan seseorang yang seakan-akan dikedipi. Atau seseorang karena digigit nyamuk, dia
menamparkan pada yang digigit nyamuk tersebut.
b. Automatic action, al-a’maalul’aliyah
Model ini seperti halnya degup jantung, denyut urat nadi dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan reflex actions dan automatic actions adalah perbuatan diluar kemampuan
seseorang, sehingga tidak termasuk perbatan akhlak.
3. Perbuatan yang samar-samar, tengah-tengah, mutasyabihat.
Yang dimaksud samar-samar/tengah-tengah, mungkin suatu perbuatan dapat dimasukkan
perbuatan akhlak tapi bisa juga tidak. Pada lahirnya bukan perbuatan akhlak, tapi mungkin
perbuatan tersebut termasuk perbuatan akhlak, sehingga berlaku hukum akhlak baginya, yaitu
bahwa perbuatan itu baik atau buruk. Perbuatan-perbuatan yang termasuk samar-samar,
umpamanya lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya. Terhadap
perbuatan-perbuatan tersebut ada hadis-hadis rasul yang menerangkan bahwa perbuatan-
perbuatan lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya, tidak termasuk
perbuatan akhak.
Selanjutnya, dalam menetapkan suatu perbuatan yang muncul dengan kehendak dan
disengaja hingga dapat dinilai baik apa buruk ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan: (1)
situasi dalam keadaan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja dan (2) pelaku tahu apa
yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik buruknya. Oleh sebab itu, suatu perbuatan dapat
dikatakan baik buruknya manakala memenuhi syarat-syarat diatas. Kesengajaan merupakan dasar
penilaian terhadap tindakan seseorang. Sebagai contoh, seorang prajurit yang membunuh musuh
dimedan perang tidak dikatakan melakukan kejahatan, karena ia dipaksa oleh situasi perang.
Seorang anak kecil yang main api didalam rumah hingga berakibat rumah itu terbakar, tidak dapat
dikatakan bersalah, karena ia tidak tahu akibat perbuatannya itu. Dalam Islam factor kesengajaan
merupakan penentu dalam penetapan nilai tingkah laku/tindakan seseorang. Seorang muslim tidak
berdosa karena melanggar syariat, jika ia tidak tahu bahwa ia berbuat salah menurut hukum Islam.
Erat kaitannya dengan permasalahan diatas Rasulullah saw. telah memberikan penjelasan
bahwa kalaulah suatu tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang didasari karena kelalaian (diluar
kontrol akal normal) atau karena dipaksa, betapapun ada ukuran baik/buruknya, tidak dihukumi
sebagai berdosa. Ini berarti diluar objek ilmu akhlak. Dalam hubungannya dengan problem di atas
Rasulullah saw. Telah mengeluarkan sabdanya yang diriwatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan
Hukum dari Umar bahwa Rasulullah saw. berdabda:
.رفع القلم عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ و عن النائم حتى يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم
Artinya:
“Tidak berdosa seorang muslim karena tiga perkara: (1) orang gila hingga sembuh dari gilanya, (2) orang
yang tidur hingga terbangun dan (3) seorang anak hingga ia dewasa”.
Berdasarkan hadis tersebut, perbuatan lupa atau khilaf tidak diberi hukum dan tidak
termasuk perbuatan akhlak. Perbuatan persebut umpamanya perbuatan diwaktu tidur dan yang
dipaksa. Namun, menurut ayat Al-Qur’an, kita diperintahkan berdoa kepada Allah, untuk minta
ampun, agar Allah tidak menghukum dan menyiksa kita apabila kita berbuat lupa dah khilaf yang
dianggap salah, sehingga mendapat hukuman siksa. Jadi meskipun lupa atau khilaf termasuk
perbuatan akhlak. Dalam hal ini para ahli etika menyimpulkan bahwa perbuatan lupa dan khilaf
dan sebagainya ada dua macam:
a. Apabila perbuatan itu sudah dapat diketahui akibatnya atau patut diketahui akibat-akibatnya,
atau bisa juga diikhtiarkan untuk terjadi atau tidak terjadinya. Oleh karena itu, perbuatan
mutasyabih demikian disebut perbuatan ikhtiari atau ghair ta’adzur, sehingga dimasukkan
perbuatan akhlak. Umpamanya, kalau kita tahu bahwa dikhawatirkan kalau tidur akan berbuat
yang tidak diinginkan, maka hendaknya sebelum tidur kita harus menjauhkan benda-benda
yang membahayakan, senjata harus diamankan, api dipadamkan, pintu-pintu dikunci dan
sebagainya.
b. Apabila perbuatan ini tidak kita ketahui sama sekali dan diluar kemampuan manusia,
walaupun sudah diikhtiarkan sebelumya, tapi toh terjadi juga, perbuatan demikain disebut
ta’adzury (diluar kemampuan manusia). Perbuatan demikian tidak termasuk perbuatan akhlak.
Sebagaimana Rasulullah saw. Telah mengisyaraktkan sebagai berikut:
.ّللا تعالى تحاوزلى و عن امتى الخطأ و النسيان و ما استكرهوا عليه
إن ه
Artinya:
“Sesungguhnya Allah member maaf bagiku dari umatku yang khilaf, lupa dan terpaksa”.
c. Faedah Mempelajari Ilmu Akhlak
Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia dengan makluk hewani.
Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling
mulai, menjadi turun kemartabat hewani. Manusia yang telah lari dari sifat insaniyahnya adalah
sangat berbahaya dari binatang buas. Di dalam surat Al-Tiin ayat 4-6, Allah mengajarkan bahwa:
“sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka); kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, amak bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya”.
Menurut Iman Al-Ghazali dalam bukunya Mukasyafatul Qulub, Allah telah menciptakan
makhluknya terdiri atas tiga kategori. Pertama, Allah menciptakan malaikat dan diberikan
kepadanya akal dan tidak diberikan kepadanya elemen nafsu (syahwat). Kedua, Allah menjadikan
bintang dan tidak dilengkapi dengan akal, tetapi dilengkapi dengan syahwat saja. Ketiga, Allah
menciptakan manusia (anak Adam) lengkap dengan elemen akal dan syahwatn(nafsu). Oleh karena
itu, barang siapa yang nafsunya dapat mengalahkan akalnya, maka hewan melata misalnya lebih
baik dari manusia. Sebaliknya bila manusia dengan akalnya dapat mengalahkan nafsunya,
derajatnya diatas malaikat. Sedangkan menurut Prof. John Oman, Morality without religion lacks awide
heaven to bearth in (moral tanpa agama kehialangan tempat yang luas untuk bernafas).
Akhlak sangatlah urgen bagi manusia. Urgensi akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia
dalam kehidupan perseorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat,
bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa atau bernegara. Akhlak adalah mustika hidup
yang membedakan makhluk manusia dan makhluk hewani. Manusia tanpa akhlak adalah manusia
yang telah “membinatang”, sangat berbahaya. Ia akan lebih jahat dan lebih buas dari pada
binatang buas sendiri.
Jika akhlak telah lenyap dari diri masing-masing manusia, kehidupan ini akan kacau balau,
masyarakat menjadi berantakan. Orang tidak lagi peduli soal baik atau buruk, halal atau haram.
Dalam Al-Qur’an ada peringatan menjadi hukum besi sejarah (sunnatullah), yaitu firman Allah
dalam surat Al-Araf Ayat: 182
Artinya:
“(dan orang-orang yang mendustakan ayat kami, akan kami lalaikan mereka dengan kesenangan-
kesenangan dari jurusan yang mereka tidak sadari dan mengetahui)”.
Rasulullah saw. pun diutus diantara misinya membawa ummat manusia kepada akhlakul
karimah. Dalam sabdanya disebutkan:
إنهما بعثت ألتمم مكارم األخالق
Artinya:
“Saya diutus (kedunai) ialah untuk menyempurnakan akhlak yang mulai”.
Syauqi Beik, penyair Arab yang ternkenal pernah memperingatkan bangsa Mesir:
Artinya:
“Bangsa itu hanya bisa bertahan selama mereka memiliki akhlak. Bila akhlak telah lenyap dari mereka,
merekapun akan lenyap pula”.
Berdasarkan definisi ilmu akhlak, faedah mempelajari ilmu akhlak sebagai berikut:
a. Dapat menyinari orang dalam memecahkan kesulitan-kesulitan rutin yang dihadapi manusia
dalam hidup sehari-hari yang berkaitan dengan perilaku.
b. Dapat menjelaskan kepada orang sebab atau illat memilih perbuatan yang baik dan lebih
bermanfaat.
c. Dapat membendung dan mencegah kita secara kontinyu untuk tidak terperangkap kepada
keinginan-keinginan nafsu, bahkan mengarahkannya kepada hal yang positif dengan
menguatkan unsure iradah.
d. Manusia atau orang banyak mengerti benar-benar akan sebab-sebab melakukan atau tidak
akan melakukan sesuatu perbuatan, dimana dia akan memilih pekerjaan atau perbuatan yang
nilai kebaikannya lebih besar.
e. Mengerti perbuatan baik akan menolong untuk menuju dan menghadapi perbuatan itu
dengan penuh minat dan kemauan.
f. Orang yang mengkaji ilmu akhlak akan tepat dalam memvonis perilaku orang banyak dan
tidak akan mengekor dan mengikuti sesuatu tanpa pertimbangan yang matang lebih dulu.
Sebenarnya dengan memahami ilmu akhlak itu bukanlah menjadi jaminan bahwa setiap yang
mempelajarinya secara otomatis menjadi orang yang berakhlak mulai, bersih dari berbagai sifat
tercelah. Ilmu akhlak ibarat dokter yang hanya memberikan penjelasan penyakit yang diderita
pasien dan memberikan obat-obat yang diperlukan untuk mengobatinya. Dokter menjelaskan apa
dan bagaimana memelihara kesehatan agar ia sembuh dari penyakitnya; memberikan saran-saran
dan peringatan bahaya-bahaya penyakit yang diderita pasiennya agar ia lebih berhati-hati menjaga
dirinya.
Jadi, tugas dokter bukan untuk menyembuhkan pasien, tetapi dia menjelaskan dengan
sesempurna mungkin mengenai penyakit dan gejala-gejala penyakit bila si pasien tidak
menghentikan merokok atau tidak meninggalkan minuman-minuman keras, misalnya, jadi,
kesempuhan suatu penyakit sangat tergantung kepada si pasien apakah setelah ia mendapat
keterangan dari dokter maukah dia menurutinya atau tidak. Jika dituruti, insya Allah dia ada
harapan terhindar dari penyakit atau penyakit yang sedang diderita itu akan berangsur-angsur
hilang dan dia menjadi sehat. Dengan demikian, faedah ilmu akhlak dapat dipahami bahwa
sesungguhnya ilmu akhlak tidak memberi jaminan seseorang menjadi baik dan sopan. Ilmu akhlak
membuka mata hati seseorang untuk mengetahui suatu perbuatan dapat dikatan baik atau buruk.
Selain itu juga memberikan pengertian apa faedahnya jika berbuat baik da apa pula bahayanya jika
berlaku jahat.
1. Asal Usul Tasawuf
Berbicara tentang asal atau etimologi kata sufi, Harun Nasution menyebut beberapa teori,
yaitu dari kata : (1) suffah ) ( صفة, yang berarti “pelana” (2) saf ) (صفyang berarti “baris” ; (3) sufi
) صفى، صافي،(صوفي, yang berarti “suci”; (4) suf )(صف, yang berarti “bulu domba atau wol”: (7)
sophos, kota yunani yang berarti “hikmat”.
Dari beragam teori seperti yang disebutkan diatas, teori keempatlah yang banyak diterima
sebagai asal kata sufi. Untuk memperkuat argumen ini, berikut akan dianalisis masing-masing asal
kata tersebut.
a. Dari segi niat maupun tujuan setiap ibadah kaum sufi, jelas bahwa hal itu tidak terlepas dari
niat suci untuk membersihkan jiwa dan mengabdi kepada Allah. Dari segi inilah sehingga ada
teori yang menyebut bahwa kata tasawuf berakar pada kata safa. Menurut Mir Valiudin, jika
teori ini diterima, maka bentuk yang tepat bukan sufi tapi safawi.
b. Sufi dikatakan berasal dari kata saff karena kaum sufi berada pada baris pertama didepan
Allah. Hal tersebut dilator belakangi oleh besarnya keinginan dan kecenderungan hati mereka
terhadap Allah serta tinggalnya bagian-bagian rahasia dalam diri mereka dihadapan-Nya.
Menurut Mir Valiudin, jika dilihat dari segi ini, maka bentuk yang tepat bukan sufi tapi saffi.
c. Teori yang menyebutkan bahwa kata sufi berasal dari kata suffah. Karena dihubungkan dengan
suatu tempat di Masjid Nabawai. Tempat tersebut didiamai sekelompok sahabat dan sangat
miskin dan tidak mempunyai tempat tinggal, terkenal dengan ahl al-suffah. Mereka adalah
orang-orang yang menyiapkan diri untuk berjihad berdakwah serta meninggalkan segala usaha
yang bersifat duniawi. Namun Mir Vauddin kembali menyanggah bahwa jika teori ini
diterima, maka bentuk yang tepat adalah suffi, bukan sufi.
d. Sebagai sarjana Eropa menyatakan bahwa kata sufi dari kata sophos (Yunani), dalam pengertian
sebagaimana pada kata teoshopy. teoshopy. Yang berarti “kebijaksanaan”. Menurut Ibrahim
Basyuni, pendapat ini kurang tepat, karena huruf sugma Yunani yang diarabkan, semuanya
diteransliterasikan dengan huruf sin ) ( سbukan dengan huruf sad ) ( ص. Jadi, kata sufi
berasal dari kata Yunani, maka ia akan ditulis سوفيbukan صوفي
e. Ada juga teori yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suf, karena kaum sufi tidak
memakai pakaian halus dan indah, melainkan mereka hanya menggunakan pakaian untuk
menutupi ketelanjangannya dari kain yang kasar. Menurut al-Kalabadi. Jika akar kata ini dapat
diterima, maka ia tepat menurut gramatika bahasa Arab, sekaligus melingkupi semua makna
yang disebutkan sebelumnya.
2. Al-Maqamat
Sufi yang pertama kali membahas masalah jenjang perjalanan menuju kedekatan dengan
Tuhan (al-Makamat) adalah al-Haris ibn Asad al-Muhasibi (w.243 H), kemudian diikuti al-Surri al-
Saqati (w.257 H), kemudian diteruskan oleh Abu Sa’id al-Kharraz (w.277 H).
Adapun jenjang perjalanan yang dimaksud, para ulama tidak sepakat. Namun, secara garis
besar dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Al-Taubah
b. Al-Zuhd
c. Al-Wara
d. Al-Faqr
e. Al-Tawakkal
f. Al-Sabr
g. Al-Rida
3. Al-Ahwal
Al-Ahwal adalah jamak dari kata al-hal, yang oleh kaum sufi diartikan sebagai situasi kejiwaan
yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah. Datangnya situasi dan kondisi seper ti ini tidak
menentu, terkadang datang dan perginya berlangsung secara cepat (lawaih), dan terkadang pula
dalam tempo yang cukup panjang dan lama (bawadih). Jika kondisi kejiwaan itu telah menjadi
kepribadian, maka itulah yang disebut al-ahwal.
Pada prinsipnya, al-ahwal adalah manifestasi dari al-maqamat yang dilalui sebelunya. Al-
maqamat adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidup dan hasilnya dapat dilihat dari
perilaku seseorang. Sedangkan kondisi al-ahwal bersifat abstrak, tidak dapat dilihat dengan mata,
tetapi hanya dirasakan dan dipahami oleh orang yang mengalaminya.
Sebagaimana halnya dengan al-maqamat, para ulama juga berbeda pendapat tentang jumlah
dan formasi al-ahwal. Namun yang terpenting dan paling banyak penganutnya meliputi enam
formasi, yaitu:
a. Al-Muraqabah
b. Al-Khauf
c. Al-Raja
d. Al-Tuma’ninah
e. Al-Musyahadah
f. Al-Yaqin
Rangkuman
1. Akidah adalah suatu kepercayaan yang meresap kedalam hati dengan penuh keyakinan, tidak
bercampur syak dan keraguan serta menjadi alat kontrol bagi tingkah laku dan perbuatan
sehari-hari. Akidah Islam bersumber dari al-Qur’an , al-Hadis dan akal yang sehat dan
mempunyai tujuan yang telah digariskan oleh kedua sumber tersebut. Iman ditafsirkan
dengan amal batiniah atas dasar kepercayaan terhadap kebenaran ajaran yang disampaikan
oleh Rasulullah, sedangkan Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan lahiriah atas dasar
kepasrahan terhadap wahyu sebagai wujud dari kehendak Allah sedangkan ihsan adalah
melakukan perbuatan baik atas dasar karena selalu melihat Allah pemberi nikmat atau atas
dasar merasa selalu diawasi oleh Allah..
2. Persoalan-persoalan teologi dalam Islam muncul dikarenakan persoalan politik. Aliran teologi
dalam Islam yang muncul antara lain : Khawarij, Syiah, Mu’tazilah, al-Asy’ariah, Murjiah dan
lain-lain. Masalah yang diperdebatkan dalam teologi Islam antara lain nasib pelaku dosa besar,
perbuatan Tuhan dan sifat Tuhan.
3. Menurut bahasa akhlak berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Objek
pembahasan adalah semua perbuatan manusia sedangkan objek pembahasan ilmu akhlak ialah
tindakan-tindakan yang dapat diberikan nilai baik/buruk, yaitu perkataan dan perbuatan yang
termasuk kedalam kategori perbuatan akhlak. Ilmu akhlak bukanlah jaminan seseorang
menjadi orang yang berakhlak mulai bersih dari sifat tercela.
4. Banyak teori yang menyebutkan asal kata tasawuf yang paling dapat diterima ialah kata
tasuwuf yang bersal dari kata suff yang berarti bulu domba atau wol. Maqamat adalah terminal
atau jenjang yang harus dilalui seorang salik untuk dekat dengan Tuhan sedangkan ahwal
adalah keadaan kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah. Ulama
berbeda pendapat mengenai jenjang atau urutan maqamat dan jumlah ahwal.
Latihan-latihan
Pililah salah satu jawaban yang paling tepat dari alternative jawaban berikut!
Cocokanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban tes formatif yang terdapat dibagian akhir
modul ini. Hitunglah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus berikut untuk mengetahui
tingkat penguasan anda terhadap materi kegiatan belajar tersebut.
Jumlah soal
80-89% = baik
70-79% = cukup
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% anda haruas mengulangi materi kegiatan belajar
selanjutnya. Jika masih dibawah 80% anda harus mengulangi materi kegiatan belajar tersebut,
terutama bagian yang belum dikuasai.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Studi Agama; Normativisme dan Historisitas, Jokjakarta, Pustaka Pelajar, 1996
Azhari, Kautsar Noer, Tasawuf Perenial, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2002
Abdullah, Fauzan Al-Fauzan, Kitab Tauhid 3, Jakarta, Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi
Arabia Jakarta, 2002
Basyuni, Ibrahim, Nasya’tal-Tshawwuf al-Islamy, Kairo, Dar al-Fikr, 1969
Hamka, Tasawwuf; Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1994
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Jokjakarta, LPPI UMY-Pustaka Pelajar, 2006
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1998
Al-Anshari, Muhammad Abdul Haq, Sufism and Syari’ah; A Study syeh Ahmad Sirhindi’s Effort to
Reform Muslim, London, The Islamic Foundation, 1986
Poedjawiyatna, Etika; Filsafat tingkah Laku, Jakarta, Rineka Cipta, 1996
Sinaga, Hasanuddin, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004