PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Islam dengan beragam sistem dan tingkatan dari waktu ke waktu
senantiasa mengalami tantangan. Berbagai kemajuan atau ketertinggalan
Pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat dalam sejarah antara lain disebabkan
karena kemampuannya dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi.
Tantangan yang dihadapi Pendidikan Islam saat ini jauh lebih berat dibandingkan
dengan tantangan yang dihadapi Pendidikan Islam dimasa lalu. Era Globalisasi
dengan berbagai kecenderungannya melahirkan berbagai paradigm baru dalam
dunia Pendidikan. Visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik,
peserta didik, manajemen, sarana & prasarana, kelembagaan pendidikan dan
lainnya kini tengah mengalami perubahan besar. Pendidikan Islam dengan
pengalamannya yang panjang seharusnya dapat memberikan jawaban yang tepat
atas berbagai tantangan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini Pendidikan Islam
membutuhkan sumber daya manusia yang handal, memiliki komitmen dan etos
kerja yang tinggi, manajemen yang berbasis sistem dan infrastruktus yang kuat,
sumber daya yang memadai, kemauan politik yang kuat serta standar yang unggul.
Hanya dengan usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan itulah,
Pendidikan Islam dapat mengubah tantangan menjadi peluang.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang menjadi acuan
sebagai materi, yaitu sebagai berikut :
1|Page
c. Pendidikan Islam?
d. Problem Filsafat Pendidikan Islam?
2. Apa saja problem-problem pendidikan yang bersifat teknis non-
filosofik?
3. Apa saja problem-problem pendidikan yang bersifat filosofik?
4. Bagaimana cara pemecahan problem-problem pendidikan yang bersifat
non-filosofik maupun yang bersifat filosofik?
C. Tujuan Penulisan
2|Page
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah problem berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang artinya
persoalan atau masalah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia problem berarti
masalah ataupun persoalan. Menurut penulis problem dapat diartikan sebagai suatu
persoalan yang belum dapat terpecahkan.
Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah
sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang berbunyi, “Pendidikan nasional
3|Page
bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.”
Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak
selalu anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama
untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama
hanya menjadi masalah pribadi dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan
publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem
pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan
bertaqwa (sebagai perilaku individu).
Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan
agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomi semacam ini terbukti
telah gagal melahirkan manusia yang berkepribadian Islam sekaligus mampu
menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
4|Page
ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan
menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
2. Permasalahan lain
1
http://kurniawaalex.blogspot.co.id/2015/05/makalah-problematika-pendidikan-
islam.html diakses pada tanggal 17/09/2016 pukul 07:27
5|Page
seimbangantara pembentukan kepribadian yang utama dalam diri seseorang
Muslim dengan peranan sosialnya di tengah uamat, di mana hal ini menyebabkan
timbulnya kesalehan individual dan mengesampingkan teknologi yang
dianggapnya tidak ada hubungan sama sekali dengan kesalehan dan ketakwaan.
Selain itu, problem epistimologi pendidikan yang dikototmik antara ilmu-ilmu
agama dengan umum, dan problem paradigma berpikir normative-deduktif masih
lazim dijumpai dalam pendidikan Islam secara umum, bukan hanya di Indonesia,
tetapi juga Negara-negara Islam lainnya. Berikut ini adalah penjelasannya.
1. Lack of Vision
Ismail Raji al-Faruqi menilai bahwa problem yang belum terselasaikan dari
gejala rendahnya standar kelembagaan di dunia Islam adalah kosekuensi
dari lemahnya visi ini. Menurutnya, tak ada upaya menuntut ilmu tanpa
spirit, di mana spirirt itu sendiri tentu tidak bisa dikopi, melainkan
dinyatakan dalam sebuah visi diri, dunia, dan realitas, yang secara ringkas,
di motivasi oleh agama. Materi dan metodologi pendidikaan yang diajarkan
di dunia Islam saat iniadalah kopian dari Barat, bahkan meninggalkan visi
yang menggerakkan mereka balajar di Barat. Lemahnya visi ini
menyebabkan mereka sebagai alat jiplakan. Secara tak sadar, materi dan
metodologi tanpa spirirt ini terus-menerus menimbulkan proses e-Islamisasi
yang memengaruhi para pelajar dengan anggapannya bahwa hal tersebut
merupaakn pendidikan Islam alternative, atau sebagai agen perubahan dan
modernisasi.
2. Kesalehan Individual dan Ketertinggalan Teknologi
Tafsir QS Al-Dzariyat [5] : 56 sering digunakan menunjukkan bahwa tujuan
umum pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang taa
beribadah, karena “Aku (Tuhan) tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. Sepatutnya ayat tentang ibadah
ini dipahami secara komprehensif dan tidak dipersempit maknanya.
Lazimnya ibadah di sisni dimaknai sebagai pemenuhan proses
penghambaan atau pengabdian seorang makhluk kepada sang Khalik
6|Page
melalui berbagai macam ritual yang umumnya dibatasi pada hal-hal yang
termasuk dalam ibadah makhdah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Ibadah dalam konteks seperti ini membentuk kepribadian Muslim sebagai
hamba Allah Swt. (‘abd Allah Swt.) dan kesalehan individual. Sementara
kategori ibadah ghairu makhdah yang cakupannya lebih luas, semisal
solidaritas social, etika politik, kewajiban menuntut ilmu, masalah
pergaulan, kepedulian terhadap lingkungan dan alam sekitar, kerja sama
antarbangsa, pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lain, kurang
mendapat perhatian. Penyempitan makna beribadah di sini menimbulkan
dampak yang besar atas sikap mereka terhadap sains dan teknologi. Seolah-
olah sains dan teknologi tidak ada kaitannya dengan kesalehan dan
ketakwaan. Padahal, justru di bidang sains dan teknologi inilah umat Islam
saat ini jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Sampai saat ini umat Islam masih jauh tertinggal dengan negara negara lain
dalam hal ilmu dan teknologi modern. Negara-negara Islam jauh tertinggal
oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, dan Selaindia Baru yang
Protestan; Eropa selatan dan Amerika Selatan yang Khatolik: Eropa Timur
yang Khatolik Ortodoks; Israel yang Yahudi; India yang Budhis
Konfusianis; Jepang yang Budhis Taois’ Thailand yang Budhis. Praktis di
semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah
yang paling rendah dalam sains dan teknologi.
3. Problem Epistimologi: Dikotomi Ilmu
Dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam telah berjalan cukup lama, terutama
sekali semenjak madrasah Nizhamiyah mepopulerkan ilmu-ilmu agama dan
mengesampingkan logika dan falasafah, hal itu mengakibatkan terjadinya
pemisahan antara al-‘ulum al-diniyah dengan al’ulum al-aqliyah. Terlebih
bagi dengan pemahaman bahwa menuntut ilmu agama itu tergolong fardhu
‘ain dan ilmu ilmu-ilmu non-agama adalah fardhu kifayah, maka
menimbulkan banyaknya umat yang mepelajari agama sebagai suatu
kewajiban seraya mengabaikan pentingnya mepelajari ilmu-ilmu non-
agama. Akibat barangkali dari pola piker pendidikan yang dikotomis ini
7|Page
adalah disharmonirelasi antara pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-
ayat kauniyah antara iman dengan ilmu , antara ilmu dengan amal, antara
dimensi duniawi dengan ukhrawi, dan relasi antara dimensi ketuhanan
(teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris).
4. Tradisi Berpikir Normatif-Deduktif
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tradisi keilmuan Muslim saat ini
cenderung pada pola piker normatif-deduktif. Hal itu terlihat pada praktik
pendidikan Islam yang saat ini lebih mengarah pada pola mengajar
(teaching, ta’lim) daripada mendidik (education, tarbiyah atau ta’dib).
Mengajar jelas berbeda dengan mendidik. Aktivitas mengajar dibatasi oleh
ruang kelas dan mengandalkan peran guru yang amat besar. Sedang
mendidik atau pendidikaan tidak harus dilaksanakan dalam ruang kelas, bila
di aula, auditorium, laboratorium, bahkan di luar sekolah atau kampus.
Dalam pendidikan terdapat interaksi edukatif antara guru-murid , murid-
murid , bahkan guru-guru, sehingga murid dipandang sebagai peserra aktif
dalam keseluruhan proses pendidikan.
8|Page
belajar untuk menjadi (learning to be), belajar untuk berbuat (learning to do) dan
belajar untuk hidup bersama (learning to live together).2
2
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2011), Cet. II, hal. 19-24.
9|Page
masyarakat, apakah individu itu independen atau defenden dalam
masyarakat.
7. Apakah isi kurikulum yang relevandengan pendidikan yang ideal, apakah
kurikulum yng mengutamakan pembinaan kepribadian dan sekaligus
kecakapan untuk memangku sesuatu jabatan dalam masyarakat, ataukah
kurikulum yang luas dengan konsekuensi yang kurang intesif, ataukah
dengan kurikulum yang terbatas tetapi intensif penguasannya dan bersifat
praktis pula.
8. Bagaimana metode pendidikan yng efektif untuk mencapai tujuan
pendidikan yang ideal, bagaimanak kepemimpinannya dan pengaturan
aspek-aspek sosial paedagogis lainnya.
9. Bagaimana azaz penyelenggaraan pendidikan yang baik, apakah
sentralisasi, desentralisasi, ataukah otonomi; apakah oleh negara ataukah
oleh swasta, dan sebagainya.
Problema problema tersebut,merupakan sebagian dari contoh contoh
problematika pendidikan,yang dalam pemecahanya memerlukan usaha usaha
pemikiran yang mendalam dan sistematis,atau analis filsafat.dalam memecahkan
masalah masalah tersebut,analisa filsfat menggunakan berbagai macam macam
pendekatan yang sesuai dengan permasalahanya.3
3
Zuhairi, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1984), ed. 1, cet. II, hal.
12-14.
10 | P a g e
1. Filsafat Pendidikan Islam menunjukkan problem yang dihadapi oleh
pendidikan Islam, sebagai hasil dari pikiran yang mendalam dan berusaha
untuk memahami duduk masalahnya. Dengan analisa filsafat maka Filsafat
Pendidikan Islam bisa menunjukkan alternative-alternatif pemecahannya.
2. Filsafat Pendidikan Islam memberikan pandangan tertentu tentang manusia.
Pandangan tentang hakikat manusia tersebut berkaitan dengan tujuan hidup
manusia dan sekaligus juga merupakan tujuan pendidikan menurut Islam.
3. Filsafat Pendidikan Islam dengan analisanya terhadap hakikat hidup dan
kehidupan manusia, berkesimpulan bahwa manusia mempunyai potensi
pembawaan yang harus ditumbuhkan dan diperkembangkan. Filsafat
Pendidikan Islam menunjukkan bahwa potensi pembawaan Manusia tidak
lain adalah sifat-sifat Tuhan, atau al-asma’ al-husna, dan dalam
mengembangkan sifat-sifat Tuhan tersebut dalam kehidupan kongret, tidak
boleh mengarah kepada menodai dan merendahkan nama dan sifat Tuhan
tersebut. Hal ini memberikan petunjuk pembinaan kurikulum yang sesuai
dan pengaturan lingkungan yang diperlukan.
4
Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), Cet. I, hal. 29-30.
11 | P a g e
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
12 | P a g e
3. Filsafat Pendidikan Islam dengan analisanya terhadap hakikat hidup dan
kehidupan manusia, berkesimpulan bahwa manusia mempunyai potensi
pembawaan yang harus ditumbuhkan dan diperkembangkan.
13 | P a g e