Anda di halaman 1dari 2

Syarat-syarat pada pihak Konselor (counselor)

a. Tiga sikap pokok, menerima (acceptance), sikap ingin memahami (understanding), sikap
bertindak dan berkata secara jujur (sincerity). Sikap menerima berarti, bahwa konselor
menerima murid sebagaimana adanya dan tidak segera ‘’mengadili’’ murid tentang
kebenaran dari pendapatnya/perasaannya/perbuatannya. Maka konselor harus berusaha
untuk ikut merasakan (empaty) apa yang diungkapkan dan apa yang dialami oleh murid.
Sikap bertindak dan berbicara secara jujur berarti bahwa konselor tidak boleh berpura-pura,
sehingga dalam pandangan murid konselor kelihatan ‘’spontan’’ (misalnya konselor jangan
pura-pura bersikap ramah terhadap seorang murid yang berpakaian terlalu seenaknya; lebih
baik konselor mengatakan bahwa caranya berpakaian kurang pantas dan lain kali sebaiknya
dibenarkan).berdasarkan uraian di atas jelaslah kiranya, bahwa pertemuan yang untuk
pertama kalinya sangat menentukan bagi kelancaran pertemuan-pertemuan konseling yang
masih akan datang.
b. Kepekaan terdapat apa yang terdapat ‘’dibelakang ‘’ kata-kata klien; terhadap macam-
macam perasaan yang dialami oleh klien, tetapi sering kali tidak dapat diungkapkan dalam
kata-kata. Kepekaan ini lebih penting daripada metode dan tehnik-tehnik konseling. Orang
muda dapat menghadapi banyak masalah yang menimbulkan kegelisahan dan kebingungan;
hanyalah konselor yang peka terhadap apa yang mereka rasakan akan berhasil.
c. Kemampuan dalam berkomunikasi yang tepat (rapport). Hal ini berarti, bahwa konselor
harus mampu menyatakan pemahamannya terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh murid.
Caranya konselor menyatakan ‘’pengertiannya’’ harus bijaksana, agar jangan menimbulkan
sikap-sikap defensif pada murid (misalnya jangan dikatakan: ‘’Ternyata kau bertindak tolol;
rupanya engkau seorang penakut’’), atau menimbulkan rasa malu pada murid (misalnya
jangan dikatakan: ‘’Rupanya kau merasa sangat bermusuhan dengan ayahmu, ya toh?’’).
konselor harus ingat, bahwa kata-katanya, nada bicara, dan reaksinya yang lain dapat
menimbulkan reaksi terkejut, atau tersinggung.
d. Meskipun seorang konselor di sekolah juga berfungsi sebagai pendidik, tetapi janganlah
konselor itu bertindak/berlagak ‘’dominan’’, atau main peranan sebagai seorang ayah/ibu
yang membuat murid terlalu menggantungkan diri pada konselor.
e. Memiliki kesehatan jasmanidan mental yang layak. Meskipun seorang anak remaja cukup
sering masih ‘’labil’’, tetapi dia mengharapkan dan mengandaikan bahwa konselor adalah
seorang yang cukup ‘’stabil’’.
f. Menaati Kode Etika Jabatan. Konvensi Nasional Bimbingan Ke-1 telah menyusun suatu Kode
Etika Jabatan yang berlaku bagi konselor yang tergabung dalam ikatan petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI) yang meliputi hal-hal seperti sikap, ketrampilan, syarat pendidikan,
penggunaan informasi yang diperoleh dari counselee, penggunaan testing, hak kewajiban
anggota profesi penyuluhan.
Syarat-syarat pada Pihak Murid (Konseli)
a. Motivasi yang mengandung keisnyafan akan adanya suatu masalah, kesedian untuk
membicarakan masalah itu dengan konselor, dan keinginan untuk mencari penyelesaian
dari masalah itu. Bilamana murid datang ke kantor konselor atas kehendaknya sendiri,
boleh diandaikan bahwa murid itu sudah memiliki motif yang cukup kuat. Wawancara
baru dilanjutkan, kalau murid menunjukkan kesedihannya dan ingin mendapatkan
bantuan dari konselor; kalau murid tidak bersedia untuk bicara lebih lanjut, maka
‘’memaksakan’’ konseling kepadanya tidak akan membawa hasil.
b. Keberanian untuk mengekspresikan diri, kemampuan untuk membahasahakan
persoalan, untuk mengungkapkan perasaan, dan untuk memberikan informasi/data
yang diperlukan. Selain itu, konselor harus menyadari bahwa murid yang menghadap
kerap merasa sedikit cemas, kurang tenang, atau malahan merasa malu. Maka kadang-
kadang asa murid-murid yang ingin ‘’meraba-raba’’ dahulu, apakah situasi wawancara
cukup safe dengan mulai menanyakan sesuatu yang sebetulnya bukan masalah yang
sebenarnya; baru setelah counselee mendapat tanggapan dari konselor yang cukup
meyakinkan, dia berani untuk mengutarakan masalah yang sebenarnya.
c. Keinsyafan akan tanggung jawab yang dipikul sendiri dan akan keharusan untuk
berusaha sendiri. Murid yang menganggap konselor sebagai dukun atau sebagai ahli
nujum itu belum mempunyai sikap yang tepat. Namun, mengingat masyarakat kita
masih suka berpegang pada macam-macam ‘’kepercayaan’’, konselor harus
menunjukkan kesabaran yang besar dan menuntun murid ke arah sikap yang tepat.i

i
W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling Di Sekolah Menengah, Jakarta: PT Gramedia,1978, hlm 87-88

Anda mungkin juga menyukai