Anda di halaman 1dari 51

20 15

MODUL 4
PENDALAMAN MATERI FIQH

A. Peta Konsep
B. Materi
Materi fikih untuk pembelajaran pada jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) merupakan satu rangkaian materi yang
saling terkait. Muatan materi fikih jenjang MI, MTs, dan MA disusun secara bertahap
untuk mencapai kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Orientasi
pembelajaran fikih pada masing-masing jenjang adalah sebagai berikut:
1. Materi Fikih di Madrasah Ibtidaiyyah (MI)
Pembelajaran Fikih di Madrasah Ibtidaiyah mencakup kelompok materi fikih
ibadah dan dan kelompok fikih muamalah. Adapun ruang lingkup materi fikih ibadah
dan fikih mumalah di tingkat MI adalah: a. Fikih ibadah, meliputi: tata cara taharah,
salat, puasa, zakat, dan ibadah haji; b. Fikih muamalah, meliputi: ketentuan tentang
makanan dan minuman yang halal dan haram, khitan, kurban, serta tata cara
pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam.

2. Materi Fikih di Madrasah Tsanawiyah (MTs)


Pembelajaran fikih Madrasah Tsanawiyah meliputi ketentuan pengaturan hukum
Islam dalam menjaga keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan
manusia dengan Allah SWT. dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Adapun
ruang lingkup mata pelajaran Fikih di Madrasah Tsanawiyah meliputi:
a. Aspek fikih ibadah meliputi: ketentuan dan tatacara taharah, salat fardu, salat
sunnah, dan salat dalam keadaan darurat, sujud, azan dan iqamah, berzikir dan
berdoa setelah salat, puasa, zakat, haji dan umrah, kurban dan akikah, makanan,
perawatan jenazah, dan ziarah kubur.
b. Aspek fikih muamalah meliputi: ketentuan dan hukum jual beli, qird, riba, pinjam-
meminjam, utang piutang, gadai, dan borg serta upah.

3. Materi Fikih di Madrasah Aliyah (MA)


Pembelajaran fikih di Madrasah Aliyah meliputi kajian tentang prinsip-prinsip
ibadah dan syari’at dalam Islam; hukum Islam dan perundang-undangan tentang zakat
dan haji, persoalan mumalah, jinayah dan hadd; peradilan dan hikmahnya; hukum
Islam tentang keluarga, waris; ketentuan Islam tentang siyasah syar’iyah; dan beberapa
tema ushul fikih. Adapun ruang lingkup mata pelajaran fikih-ushul fikih di Madrasah
Aliyah meliputi bidang Fikih dan Bidang Ushul Fikih
a. Bidang Fikih meliputi:
1) prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam
2) Perundang-undangan tentang zakat dan haji
3) Hikmah zakat dan pengelolaannya
4) Hikmah kurban dan akikah
5) Ketentuan hukum Islam tentang pengurusan jenazah
6) Hukum Islam tentang kepemilikan
7) Konsep perekonomian dalam Islam dan hikmahnya
8) Hukum Islam tentang pelepasan dan perubahan serta harta beserta hikmahnya;
9) Hukum Islam tentang wakalah dan sulhu beserta hikmahnya;
10) Hukum Islam tentang aiman dan kaflah beserta hikmahnya;
11) Riba, bank dan asuransi;
12) Ketentuan Islam tentang jinayah, hudud dan hikmahnya;
13) Ketentuan Islam tentang peradilan dan hikmahnya;
14) Hukum Islam tentang keluarga, waris;
15) Ketentuan Islam tentang siyasah syar’iyyah.
b. Ushul Fikih
1) Usul-fikih: pengertian, tujuan mempelajarinya, dan sejarahnya;
2) Hukum syara’, sumber hukum Islam yang muttafaq dan mukhtalaf;
3) Kaidah-kaidah usul fikih;
4) Masalah pengembangan hukum Islam.

Dalam modul PLPG ini, tidak seluruh materi tersebut dibahas, tetapi akan
dipilihkan KD tertentu yang dirasa urgen untuk bahan pendalaman dan penguatan materi
Fikih sebagai bagian tidak terpisahkan dari kompetensi profesional yang harus dimiliki
guru Fikih di MI, MTs dan MA.

C. Ruang Lingkup
1. Kaifiah bersuci dari hadas dan najis
2. Ketentuan shalat Idain dan Shalat Jum’at
3. Ketentuan Juali Beli dan Pinjam-meminjam
4. Ketentuan zakat
5. Ketentuan waris
6. Lafazh Amm-Khass, Muthlaq-Muqayad dan Manthuq-Mafhum

D. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, peserta diharapkan sebagai berikut:
1. Memahami kaifiah bersuci dari hadas dan najis
2. Memahami ketentuan shalat idain dan shalat jum’at
3. Memahami ketenuan jual-beli dan pinjam-meminjam
4. Memahami Ketentuan zakat
5. Memahami Ketentuan waris
6. Ketentuan lafaz amm-khass, muthlak-muqayad dan manthuq-mafhum.

E. Pendekatan dan Strategi


Pelatihan ini menggunakan pendekatan andragogy yakni proses pendidikan orang
dewasa yang sudah memiliki pengalaman dan diarahkan pengembangannya secara aktif
dan mandiri. Strategi yang digunakan kombinasi berbagai meode active learning, seperti:
brainstorming, ceramah interaktif, diskusi kelompok, tanya-jawab, dan presentasi.

F. Media dan Alat Pembelajaran


1. Modul
2. Power point
3. Penugasan
4. Kertas plano
5. Spidol
6. Isolatip.
G. Uraian Materi
Materi Fiqh MI kelas I Semester Ganjil
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR
3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara 3.3 Memahami kaifiah bersuci
mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan dari hadas dan najis.
menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang
dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya,
dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan
di sekolah.

4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa 4.1 Mensimulasikan tata cara


yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, bersuci dari hadas dan najis.
dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat,
dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku
anak beriman dan berakhlak mulia.

1. Bersuci dari Najis dan Hadas


Sebelum membahas tentang bagaimana kaifiah (tatacara) bersuci dari najis dan
hadas, hendaknya kita memahami benda atau wujud dari najis dan hadas terlebih dahulu.
Najis atau istilah fiqh dengan kata khubuts (najis) adalah sesuatu yang kotor atau
menjijikan, khubuts ini harus dibersihkan ketika hendak shalat. Adapun benda-benda
khubuts (najis) adalah:
a. Bangkai, daging babi dan darah
Tiga jenis ini termasuk yang diharamkan oleh Allah Swt untuk dimakan, karena
mengandung unsur najis yang harus dibersihkan ketika hendak menunaikan shalat. Hal ini
sebagaimana firman Allah Swt: “Katakanlah aku tidak jumpai di dalam wahyu yang
disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang
mengalir/memancar, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (QS. Al-An’am: 145).
Bangkai meliputi bangkai binatang darat yang memiliki darah mengalir ketika
disembelih, bukan bangkai binatang belalang dan bukan bangkai binatang laut. Karena
Rasulullah secara tegas bersabda:
)‫هو الطهور ماءه والح ّل ميتته (اخرجه البخارى‬
“Dia (air laut) itu suci dan halal bangkainya.” (HR. Bukhari).
Juga termasuk bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti
semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam suatu dan mati di
sana, maka tidaklah menyebabkan bernajis.
‫ واما الدمان فالكبد والطحال (رواه‬،‫ اما الميتتان فالحوت والجراد‬: ‫اح ّل لنا ميتتان ودمان‬
.)‫أحمد والشافعى وابن ماجه والبيهقى والدارقطنى‬
“Dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan darah, adapun dua bangkai
ialah bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah ialah hati dan limpa.” (HR.
Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daru Quthni).
b. Anjing dan Babi serta hewan yang dilahirkan dari keduanya.
Adapun dalil najisnya anjing adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Nabi Saw bersabda:
‫اذا ولغ الكلب فى إناء احدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات‬
“Jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian, maka
bersihkanlah kemudian basuhlah sebanyak tiga kali....(al-hadits)
c. Potongan daging dari anggota badan binatang yang masih hidup
Mengambil sebagian daging dari anggota badan binatang yang masih hidup adalah
najis. Hal ini didasarkan kepada hadits dari Abu Waqid al-Laits yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:“Sesuatu yang dipotong dari seekor binatang,
sedang ia masih hidup maka potongan tersebut termasuk bangkai.”
d. Muntah, air kencing dan kotoran manusia.
Semua ulama sepakat bahwa muntah, air kencing dan kotoran manusia adalah
najis. Kecuali jika muntahnya itu sedikit, maka dimaafkan. Hal ini didasarkan kepada
sabda Rasulullah Saw:
‫اذا قاء احدكم فى صالته او قلس فلينصرف وليتوضأ‬
“Apabila muntah salah seorang diantara kamu dalam keadaan shalat, maka
hendaklah keluar dari shalatnya dan berwudhulah

Selain muntah sebagai najis, air kencing dan kotoran pun dihukumi najis, karena
sesuatu yang keluar dari qbul maupun dubul dihukumi najis. Tetapi diberi keringanan bagi
air kencing bayi laki-laki yang belum makan kecuali air susu ibunya.
e. Sesuatu yang keluar dari dubur atau kubul
Setiap sesuatu yang keluar dari dubur maupun kubul adalah najis baik berupa
cairan ataupun benda padat. Diantara sesuatu yang keluar dari kubul adalah wadi, madzi
dan mani. Adapun wadi adalah air yang berwarna putih, kental, sedikit berlendir yang
keluar mengiringi keluarnya air kencing dikarenakan kelelahan. Sedang madzi adalah air
yang berwarna putih, bergetah yang keluar karena kuatnya dorongan syahwat, akan tetapi
keluarnya tidak disertai kenikmatan.
Keluar wadi dan madzi tidak diwajibkan mandi junub, tetapi cukup membersihkan
kemaluannya dan berwudhu, hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim: “Dari Ali bin Abi Thalib berkata: Saya kerapkali
mengeluarkan madzi, sedang saya sendiri malu menanyakannya kepada Rasulullah Saw,
karena putrinya menjadi isteriku, maka saya menyuruh Miqdad untuk menanyakannya.
Miqdad pun menanyakannya kepada beliau. Beliau menjawab “Hendaklah ia basuh
kemaluannya, dan berwudhulah.”
Adapun mani sebagian ulama berpendapat bahwa ia adalah suci, tetapi disunatkan
mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering. Aisah berkata: “Kukorek mani itu
dari kain Rasulullah saw bila ia kering, dan kucuci bila ia basah.” (Riwayat Daruquthni,
Abu Uwanah dan al-Bazzar). Dan dari Ibnu Abbas ra berkata:
‫ انما هو بمنزلة المخاط‬: ‫سئل النبي صلى هللا عليه وسلم عن المني يصيب الثوب فقال‬
)‫ وانما يكفيك ان تمسحه بخرقة او بإذرة (رواه الدارقطنى والبيهقى والطحاوى‬، ‫والبصاق‬
Nabi Saw pernah ditanya mengenai mani yang mengenai kain. Maka jawabnya: “Ia
hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik
kain atau dengan daun-daunan.” (Riwayat Daruquthni, Baihaqi dan Thawawi).1
Meskipun mani dihukumi suci, namun mani menyebabkan seseorang diwajibkan
untuk mandi junub. Mandi junub itu sendiri merupakan cara membersihkan hadas besar.
f. Khamar
Khamar merupakan salah satu yang diharamkan oleh Allah Swt berdasarkan
firman-Nya: “Hai orang-orang beriman, sesungguhny khamar, judi, berhala dan
mengundi nasib itu adalah najis, termasuk pekerjaan syaithan.” (QS. Al-Maidah:90)

2. Kaifiah Bersuci dari Najis

1
Sayid Sabiq, hal. 24.
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk menghilangkan khubuts atau najis,
pertama dengan menggunakan air. Ketika terdapat benda najis, maka cukup dibersihkan
dengan air. Namun cara membersihkan najis dengan air ini tergantung kepada kategori
najisnya. Najis dikategorikan kepada najis ringan (mukhaffafah), sedang (mutawassithah)
dan berat mughallazah.Adapun kaifiah membersihkan kategori najis ringan (mukhaffafah)
adalah cukup dengan memercikkan air. Kategori najis ini ada pada najis air kencing bayi
laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan apapun selain air susu ibunya (asi).
Kemudian kaifiah membersihkan najis kategori najis sedang (mutawassithah) adalah
dengan membersihkan benda yang terkena najis tersebut sehingga hilang rasa, warna dan
baunya. Sedangkan najis mughallazah (berat) maka wajib dibersihkan dengan tujuh kali
dan salah satunya dengan debu. Kategori najis mughallazah adalah najis jilatan anjing.
Kedua, berubahnya benda najis menjadi sesuatu yang baik, seperti perubahan khamar
menjadi cuka dan darah ghazal (kijang) menjadi minyak misik (parfum) dengan sendirinya
tanpa dicampur dengan benda apapun.. Ketiga, membakar benda najis dengan api.
Pendapat ini dipegang teguh oleh ulama Hanafinyah. Menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah bahwa membakar benda najis dengan api tidak dapat mensucikan benda
tersebut. Mereka beralasan bahwa debu dan asapnya itu adalah najis. Begitu juga ulama
Malikiyah yang berpendapat bahwa api tidak dapat mensucikan benda najis.2 Keempat,
menyamak kulit hewan yang najis. Setiap hewan yang najis sebab penyamakan. Baik
hewan yang halal dimakan dagingnya maupun hewan yang tidak halal dimakan dagingnya,
jika disamak kulitnya, kulit itu boleh digunakan untuk shalat karena telah suci dengan
sebab penyamakan3. Hal ini didasarkan kepada hadits Maimunah r.a ketika ia ditanya oleh
Nabi Muhammad Saw perihal kambingnya.
‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يطهره الماء‬. ‫ انها ميتة‬: ‫لو أخذتم اهابها ! فقالوا‬
.‫والقرط‬
“Andaikata kamu ambil kulitnya, tentu lebih bagus? Para sahabat berkata: kambing ini
bangkai. Rasulullah Saw berkata: kulitnya itu boleh disucikan dengan air dan daun
salam.”
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas r.a
‫اذا دبغ االهاب فقد طهر‬
“Apabila kulit bangkai itu sudah disamak, maka ia menjadi suci.” (HR. Muslim).
Ada beberapa keterangan dari Rasulullah Saw ketika membersihkannajis,
diantaranya adalah membersihkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki yang
masih menyusui yaitu cukup dengan memercikkan air di atasnya dan tidak perlu dicuci.
Rasulullah juga memerintahkan untuk mencuci bejana yang terkena jilatan anjing, dibasuh
tujuh kali, yang pertama atau salah satunya dengan tanah. Boleh juga menggantikan tanah
dengan sabun atau pembersih lain yang kuat.4

3. Bersuci dari hadas


Hadas adalah sesuatu yang mewajibkan wudhu atau mandi. Bersuci dari hadas
hanya dapat dilakukan dengan wudhu atau mandi dengan air suci mensucikan, dan jika
tidak ada air dapat dilakukan dengan tayammum. Sesuatu yang mewajibkan wudhu disebut

2
Al-Jaziri, hal. 30
3
Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar, hal. 24
4
Menurut pendapat Mahmud Syaltut, mantan Syaikh al-Azhar di Mesir, ketentuan pencucian bejana yang
dijilat anjing, sebanyak tujuh kali, satu diantaranya dengan air bercampur tanah, tidak harus dipahami secara
harfiyah. Yang penting, mencucinya beberapa kali sedemikian rupa sehingga diyakini bejana tersebut telah
bersih dari air liur anjing. Demikian pula tanah dapat diganti dengan sabun atau pembersih lainnya yang
kuat. (Lihat Al-Fatawa, hal.86).
hadas kecil dan sesuatu yang mewajibkan mandi disebut hadats besar. Adapun sesuatu
yang mewajibkan wudhu adalah meliputi sesuatu yang membatalkan wudhu. Pertama,
sesuatu yang keluar dari dua jalan (dubur atau kubul) seperti kencing, buang air besar,
haid, nifas. Air mani, madzi dan wadi. Berdasarkan firman Allah Swt:
43 ‫ سورة النساء‬...... ‫أو جاء أحد منكم من الغائط‬..........
“Atau apabila salah seorang di antaramu, keluar dari kakus”, maksudnya sindiran
terhadap buang air, baik kecil maupun besar.
‫فيه الوضوء ولقول ابن عباس رضي هللا عنهما اما المني فهو الذي منه الغسل واما المذي‬
)‫والودي فقال أغسل ذكرك أو مذاكيرك وتوضا وضوءك للصالة (رواه البيهقى فى السنن‬
"Dikarenakan harus berwudhu, karena perkataan Ibnu Abbas ra mengenai mani, itulah
yang diwajibkan mandi karenanya. Adapun madzi dan wadi, maka hendaklah kamu basuh
kemaluanmu atau sekitarnya, kemudian berwudhulah yakni wudhu untuk shalat”.
Kedua, sesuatu yang tidak keluar dari dua jalan dubur dan qubul, yaitu meliputi:
Hilang akal, seperti gila, pingsan, tidak sadar disebabkan khamar, ganja, morfin dan tidur.
Yang menjadi perselisihan ulama adalah tidur. Bagaimana tidur yang menyebabkan batal
wudhu’. Rasulullah Saw bersabda:
‫ان الوضوء ال يجب اال على من نام مضطجعا فانه اذا اضطجع استرخت مفاصله (رواه‬
)‫ابو داود والترمذى‬
“Sesungguhnya wudhu itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur terlentang, sebab
apabilah tidur terlentang, akan terbuka jalan lubang kubul.” (HR. Abu Daud dan
Tumudzi).

Hadits di atas dipahami oleh para ulama mazhab dengan pendapat yang berbeda,
seperti:Ulama Hanabilah: tidur yang mebatalkan wudhu adalah tidur dalam setiap keadaan
dengan waktu yang cukup lama, jika tidur sebentar dalam keadaan terlentang tidak
membatalkan wudhu. Sehingga mudhtaji’an di sana adalah tidur yang lama.
Ulama Syafi’iyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasul yaitu tidur terlentang, tidur duduk tidak membatalkan, sekalipun
tidurnya lama.
Ulama Malikiyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang pulas sebentar
atau lama dalam setiap keadaan, duduk, sujud, atau berbaring. Tidur dengan terlentang
dalam keadaan lama tetapi gelisah tidak pulas tidak membatalkan wudhu tetapi
disunnatkan wudhu’.
Ulama Hanafiyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dalam tiga keadaan:
tidur terlentang, tidur bersandar ke dinding, dan tidur duduk dengan kepala di atas lutut.
Selain dari tiga keadaan tidur ini tidak membatalkan wudhu. (Al-Jaziri: Madzahib al-
Arba’ah: Juz I: 73)
Menyentuh wanita dengan syahwat.
Menurut Imam Syafi’i menyentuh wanita membatalkan wudhu baik yang
disentuhnya laki-laki atau perempuan tua ataupun muda tanpa ada kenikmatan syahwat.
Tetapi dengan syarat tidak ada penghalang. Imam Hambali berpendapat bahwa wudhu
menjadi batal apabila menyentuh wanita dengan syahwat tanpa penghalang meskipun
yang disentuhnya mahram, dalam keadaan hidup atau mati, tua atau muda, kecil atau
besar. Imam Malikiyah : berpendapat bahwa wudhu batal dengan syarat: bagi yang
menyentuh sudah baligh dan bermaksud untuk mendapat kenikmatan sekalipun tidak
memperoleh kenikmatan. Syarat bagi yang disentuh jika dia telanjang atau tertutup dengan
kain tipis, jika kain tebal tidak batal. Imam Hanafiyah: tidak batal karena menyentuh
sekalipun telanjang. Suami dan isteri yang tidur dengan telanjang tidak batal wudhunya.
Kecuali dalam dua keadaan: keluar sesuatu dan bersentuhan dua parji.

Menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang


Menurut tiga imam seperti Imam Syafi’i, Maliki dan Hambali bahwa menyentuh
kemaluan dengan tanpa penghalang adalah membatalkan wudhu. Berdasarkan sabda
Rasulullah Saw:
‫من مس ذكره فليتوضأ‬
“Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu.”

Tetapi menurut Imam Hanafiyah menyentuh zakar tidak membatalkan wudhu


sekalipun dengan syahwat. Tetapi disunnahkan berwudhu. Dalil yang digunakan oleh
Imam Hanafiyah adalah sabda Rasulullah Saw:
‫ (هل هو اال‬: ‫ان النبي صلى هللا عليه وسلم سئل من رجل يمس ذكره فى الصالة فقال‬
)‫بضعة منك‬
“Sesungguhnya Nabi Saw ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya
dalam shalat. Rasul pun menjawab: Tidaklah zakar (kemaluan) itu kecuali seperti anggota
tubuh darimu.”
Hadits tersebut dapat dipahami bahwa menyentuh zakar sama dengan menyentuh
telinga, pipi, dan anggota tubuh lainnya, sehingga tidak membatalkan wudhu. Menurut
Imam Hanafi dalil yang digunakan oleh ketiga Imam di atas adalah anjuran untuk mencuci
tangan, bukan berwudhu. ِ)Al-Jaziri, Madzahib al-Arba’ah: Juz I: 78)
Adapun hadats besar adalah sesuatu yang mewajibkan mandi. Ada beberapa hal
yang mewajibkan mandi besar. Yaitu:
Berjimak, baik keluar mani maupun tidak. Sabda Rasulullah Saw:
)‫اذا التقى الختانان فقد وجب الغسل وان لم ينزل (رواه مسلم‬
“Apabila dua khitan bertemu, maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi, meskipun
tidak keluar mani." (HR. Muslim).
Keluar mani. Sabda Rasulullah Saw:
‫عن ام سلمة ان ام سليم قالت يا رسول هللا ان هللا ال يستحيى من الحق فهل على المرأة‬
)‫الغسل اذا احتلمت؟ قال نعم اذا رأت الماء (متفق عليه‬
“Dari Ummi Salamah. Sesungguhnya Ummi Sulaim telah bertanya kepada Rasulullah
Saw. “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu mempertanyakan yang hak. Apakah
perempuan wajib mandi apabila bermimpi? Jawab beliau, “Ya (wajib atasnya mandi),
apabila ia melihat air mani." (Muttafaq ‘alaih).
Mati
Orang yang mati pun diwajibkan mandi, tentunya dimandikan oleh kerabat atau
orang khusus yang biasa memandikan mayat, kecuali orang yang mati syahid.
Haid /Nifas
Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan kaum hawa yang rutin setiap bulan,
minimal darah haid adalah setetes (sekecretan) dan maksimalnya adalah lima belas hari.
Lebih dari itu adalah darah penyakit yang disebut darah istihadhah. Atau jika keadaan
keluar darahnya secara terputus-putus, misalnya dua hari haid dan dua hari suci, kemudian
keluar lagi dan berhenti lagi, maka seluruh hari haid dan hari suci dijumlah sehingga
mencapai lima belas hari. Setelah itu, apabilah masih keluar juga, maka ia dianggap darah
istihadhah (darah penyakit).
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan walaupun dalam
keadaan keguguran). Lamanya tidak dapat ditentukan. Adakalanya sebentar saja, tetapi
pada umumnya selama empatpuluh hari, dan paling lama enampuluh hari. Darah nifas
pada hakikatnya adalah kumpulan darah haid karena pada masa kehamilan selama
Sembilan bulan seorang wanita hamil tidak mengalami haid.
Bagi wanita yang keluar haid/nifas ini diwajibkan mandi. Hal ini sebagaimana
sabda Rasulullah Saw:
‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لفاطمة بنت ابى حبيش اذا اقبلت الحيضة فدعى‬
)‫الصالة واذا ادبرت فاغتسلى وصلّى (رواه البخارى‬
“Beliau berkata kepada Fatimah bin Abi Hubaisy, “Apabila dating haid itu, hendaklah
engkau tinggalkan shalat, dan apabila habis haid itu, hendaklah engkau mandi dan
shalatlah." (HR. Bukhari).
Setelah melahirkan seorang ibu pun diwajibkan untuk mandi, bukan mandi karena
keluar darah haid, tetapi mandi setelah melahirkan untuk menyegarkan dan
menyehatkannya setelah melahirkan seorang anak.
4. Kaifiah Bersuci dari Hadas
a. Wudhu
Salah satu cara menghilangkan hadats kecil adalah dengan berwudhu. Wudhu
adalah membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu kepala dan membasuh
kedua kaki sampai mata kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
‫ياايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصالة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحوا‬
‫برؤسكم وارجلكم الى الكعبين‬
“Hai orang-orang beriman, apabilah hendak menegakkan shalat maka basuhlah
wajahmu, kemudian kedua tanganmu sampai siku, dan usapkanlah kepalamu, dan
basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah:6)

1) Rukun Wudhu
Berdasarkan ayat di atas, menurut al-Jaziri (2004:52-59) bahwa ulama madzhab
berbeda pendapat dalam menetapkan rukun wudhu. Menurut Imam Hanafiyah bahwa
rukun wudhu ada empat yaitu membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu
kepala dan membasuh kaki sampai mata kaki.
Imam Malikiyah berpendapat bahwa rukun wudhu tidak sesingkat itu, mereka
menyatakan bahwa rukun wudhu ada tujuh (7) yaitu: Niat, membasuh wajah, membasuh
kedua tangan sampai siku, menyapu seluruh kepala, membasuh kaki sampai mata kaki,
muwalat (segera jangan sampai kering) dan menyela-nyela anggota wudhu seperti kuku
dan rambut.
Imam Hanabilah tidak memasukkan niat ke dalam rukun, sehingga rukun wudhu
menurut mereka ada enam (6). Yaitu: Membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai
siku, menyapu seluruh kepala. Membasuh kedua kaki, muwalat dan tertib. Sedangkan
menurut Imam Syafi’iyah yang banyak dipegang oleh mayoritas orang Indonesia bahwa
rukun wudhu ada enam 6. Yaitu: Niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai
siku, menyapu sebagian kepala, membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan tertib.
Dari urain di atas, yang memasukkan niat sebagai rukun adalah Imam Malikiyah
dan Imam Syafi’iyah, hal ini bukan berarti Imam Hanafiyah dan Imam Hanabilah tidak
penting dengan niat, mereka berpendapat selain rukun (fardhu) ada lagi sesuatu yang harus
dipenuhi dalam wudhu, mereka menyebutnya dengan syarat. Sehingga mereka
memasukkan niat ke dalam syarat-syarat wudhu. Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa rukun dengan syarat tidak ada perbedaan. Keduanya sama-sama harus
dipenuhi. Niat menjadi sesuatu yang harus dipenuhi dalam segala aktivitas ibadah,
termasuk wudhu. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
. . . ‫ انما األعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى‬:‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
)‫الحديث (رواه الجماعة‬
“Bahwa Rasulullah Saw bersabda: semua perbuatan itu adalah tergantung kepada niat,
dan setiap manusia akan mendapat sekedar apa yang diniatkannya….(HR. Jama’ah).
Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa menyapu seluruh kepala, sedangkan
Syafi’iyah dan Hanafiyah cukup menyapu sebagian kepala. Perbedaan mereka tersebut
memiliki alasan yang rasional. Menurut Imam yang berpendapat bahwa menyapu kepala
keseluruhan adalah dari hadits Abdullah bin Zaed:
‫ بدأ بمقدّم رأسه ثم ذهب‬،‫ان النبي صلى هللا عليه وسلم مسح رأسه بيديه فأقبل بهما وأدبر‬
)‫بهما الى قفاه ثم ردّهما الى المكان الذى بدأ منه (رواه الجماعة‬
“Bahwa Na bi Saw menyapu kepalanya dengan kedua tangannya, maka ditariknya dari
muka ke belakang, dimulainya dari bagian depan kepalanya lalu ditariknya kedua
tangannya itu kea rah pundak, kemudian dibawanya kembali ke tempat ia bermula tadi.
(HR. Jama’ah).
Sedangkan alasan Syafi’iyah dan Malikiyah adalah meninjau bentuk lafazh masaha
yang merupakan bentuk muta’addi. Seperti lafazh masaha zaedun ra’sahu (Zaed telah
menyapu kepalanya). Lafazh masaha tidak memerlukan hurup jar seperti ba. Sebagaimana
firman Allah Swt:
‫وامسحوا برؤسكم‬
Sehingga mengusap pada ayat di atas berkonotasi sebagian kepala.
Dalam hadits-hadits Rasulullah Saw yang menceritakan kaifiyat wudhu ada
beberapa lafazh yang menggunakan masaha ra’sahu dan masaha bi ra’sihi.
Walaupun demikian, Syafi’iyah menghukumi Sunnah menyapu keseluruhan kepala dan
tetap menganggap sah mengusap sebagian kepala atau sepertiga atau seperempat dari
kepala.
Muwalat adalah turut-temurut dalam membasuh seluruh anggota wudhu. Setelah
membasuh wajah tidak dibolehkan berhenti untuk melakukan aktivitas lain yang kemudian
membasuh kedua tangannya. Inilah yang bukan termasuk muwalat. Oleh karena itu
muwalat dimasukkan ke dalam rukun wudhu oleh Imam Malikiyah dan Imam Hanabilah,
imam madzhab lainnya menghukumi Sunnah muwalat ini. Sunnah menurut para imam
madzhab adalah perbuatan yang hampir tidak pernah ditinggalkan oleh mereka.
Tertib adalah mendahulukan sesuatu yang harus didahulukan dan mengakhirkan
sesuatu yang seharusnya diakhirkan. Menurut Imam Syafi’iyah dan Imam Hanabilah tertib
termasuk rukun dalam wudhu karena wawu athaf pada ayat wudhu menunjukkan
demikian. Berbeda dengan mereka adalah Imam Hanafiyah dan Malikiyah bahwa sah
berwudhu dengan pertama kali membasuh kedua tangan kemudian wajah. Walaupun
demikian mereka menghukumi Sunnah melakukan tertib dalam berwudhu.
2) Sunnah-Sunnah Wudhu
Adapun Sunnah-Sunnah wudhu meliputi:
a. Membaca Basmalah ketika memulai berwudhu.
b. Bersiwak. Pada zaman Rasul bersiwak dilakukan untuk membersihkan gigi,
menguatkan gusi dan dapat menghilangkan bau mulut dengan menggunakan kayu
arak yang berasal dari Hijaz (Sayid Sabiq: 72). Pada zaman sekarang ini, fungsi
tersebut dapat digantikan dengan sikat gigi dan pasta gigi yang memiliki tujuan
yang sama. Lebih bagus keduanya dapat digunakan. Namun kayu yang digunakan
itu jarang didapat atau didapat tetapi hamper tidak berfungsi dalam menghilangkan
bau mulut. Anda dapat bandingkan hasil sikat gigi dengan siwak dalam
memberikan kenyamanan pada mulut Anda. Sunnah bersiwak berdasarkan hadits
dari Abu Hurairah r.a:
‫ لوال أن أشق على أمتى ألمرتهم بالسواك عند ك ّل‬:‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
.)‫وضوء (رواه مالك والشافعى والبيهقى والحاكم‬
“Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Kalau tidak akan memberatkan umatku, tentulah aku
perintahkan umatku untuk bersiwak setiap kali berwudhu’”. (HR. Malik, Syafi’i, Baihaqi
dan Hakim).

c. Membasuh kedua telapak tangan sampai ke pergelangan, sebanyak tiga kali. Kedua
telapak tangan adalah anggota wudhu yang membantu anggota wudhu lainnya.
Seperti membasuh wajah tidak akan sempurna kecuali dibantu dengan kedua
telapak tangan. Oleh karena itu dalam membersihkan wajah tentunya kedua telapak
tangan harus terlebih dahulu dibersihkan. Mencuci dua telapak tangan sebelum
wudhu ini didasarkan pada hadits Aus bin Aus ats-Tsaqfi r.a katanya:
)‫رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم توضأ فاستوكف ثالثا (رواه أحمد والنسائى‬
“Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu, maka dibasuhnya telapak tangannya tiga kali.”
(HR. Ahmad dan Nasa’i).

d. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Berkumur-kumur untuk


melengkapi siwak. Mungkin dengan siwak ada makanan yang nyangkut di gigi
tidak mampu dikeluarkan dengan berkumur-kumur dapat dikeluarkan. Atau dapat
menambah wangi aroma siwak atau pasta gigi. Sedangkan memasukkan air ke
dalam hidung adalah berfungsi membersihkan kotoran-kotoran yang mengganggu
terhirupnya udara dari lubang hidung. Lubang hidung terdapat bulu-bulu hidung
yang dapat menahan kotoran dan dibersihkan dengan menghirupkan air ke dalam
hidung. Memasukkan air ke dalam hidung ini juga dapat terhindar dari penyakit flu
atau filek. Adapun dasar berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung
adalah hadits dari Abdullah bin Zaed r.a:
‫ وفى‬،‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم تمضمض واستنشق من كف واحد فعل ذلك ثالثا‬
.‫ تمضمض واستنثر بثالث غرفات متفق عليه‬:‫رواية‬
“Bahwa Rasulullah Saw berkumur-kumur dan istinsyak dari satu tangan. Ia kerjakannya
tiga kali.” Dan menururt riwayat lain “berkumur-kumur dan menghembuskan air ke
hidung dari tiga saukan.” (Muttafaq ‘alaih).

e. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri. Sudah menjadi tradisi atau
kebiasaan baik yang dilakukan Rasulullah Saw yaitu selalu mendahulukan yang
kanan atas yang kiri. Anggota kanan selalu digunakan untuk perkara-perkara yang
baik, sebaliknya anggota kiri selalu digunakan untuk perkara yang tidak baik.
Seperti makan dengan tangan kanan dan membersihkan kotoran dengan tangan kiri.
Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri didasarkan pada hadits Aisyah r.a:
‫كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يحبّ التيامن فى تنعله وترجله وطهوره وفى شأنه كله‬
)‫(متفق عليه‬
“Nabi Saw menyukai mendahulukan yang kanan baik dalam mengenakan sandal, bersisir
atau bersucinya dalam semua urusan.” (Muttafaq ‘alaih).
‫ اذا لبستم واذا توضأتم فابدؤا بأيمانكم (رواه أحمد وابو‬:‫ان النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
)‫داود والترمذى والنسائى‬
“Jika kamu mengenakan pakaian atau berwudhu, mulailah dengan yang sebelah
kanan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa’i).

f. Menyela-nyela anggota wudhu seperti jenggot dan kuku. Tempat tumbuhnya


jenggot adalah di bagian wajah, dan kuku di bagian tangan. Wajah dan tangan
adalah anggota yang wajib dibasuh ketika wudhu’. Kumis atau kuku tidak boleh
menghalangi air dalam membasuh anggota wudhu tersebut. Hal ini didasarkan
kepada hadits Anas r.a:
،‫ان النبي صلى هللا عليه وسلم كان اذا توضأ أخذ كفا من ماء فأدخله تحت حنكه فخلل به‬
)‫ هكذا أمرنى ربي عز وج ّل (رواه ابو داود والبيهقى والحاكم‬:‫وقال‬
“Bahwa Nabi Saw bila berwudhu, disauknya air dengan telapak tangan, kemudian
dimasukkannya ke bawah dagunya lalu digosok-gosoknya seraya berabda: Beginilah cara
yang disuruh oleh Tuhanku ‘Azza wa jalla.” (HR. Abu Daud, Baihaqi dan Hakim).

g. Membasuh tiga kali. Kenapa tiga kali, karena Allah menyukai yang ganjil, kenapa
tidak lima, tujuh atau Sembilan, karena Islam membenci boros atau berlebih-
lebihan, kenapa tidak satu, karena dikhawatirkan kurang sempurna. Membasuh tiga
kali didasarkan kepada hadits:
)‫ان النبي صلى هللا عليه وسلم توضأ ثالثا ثالثا (رواه احمد ومسلم والترمذى‬
“Bahwa Nabi Saw berwudhu’ tiga kali-tiga kali.” (HR. Ahmad, Muslim dan Turmudzi).

h. Muwalat, artinya berturut-turut membasuh anggota demi anggota, jangan sampai


orang yang berwudhu itu menyela wudhunya dengan pekerjaan lain yang menurut
kebiasaan dianggap telah menyimpang daripadanya. (Sayid Sabiq:79).

i. Menyapu kedua telinga. Menurut Sunnah ialah menyapu bagian dalamnya dengan
kedua telunjuk, serta bagian luar dengan kedua ibu-jari, yakni dengan memakai air
untuk kepala, karena ia termasuk bagian daripadanya. Sebagaimana deterima dari
al-Miqdam bin Ma’diyakriba r.a:
‫ى هللا عليه وسلم مسح فى وضوءه رأسه واذنيه ظاهرهما وباطنهما‬ ّ ‫أن رسول هللا صل‬
)‫وأدخل اصبعيه فى صماخى اذنيه (رواه ابو داود والطحاوى‬
“Bahwa ketika berwudhu, Rasulullah Saw menyapu kepala serta kedua telinganya baik
luar maupun dalam, dan memasukkan dua buah jarinya ke dalam lobang telinganya.”
(HR. Abu Daud dan Thahawi).

j. Menggosok-gosok anggota wudhu ketika membasuhnya, agar lebih bersih.

k. Selesai berwudhu, menghadap kiblat dan berdoa:


‫ الله ّم اجعلنى من‬،‫اشهد ان ال اله اال هللا وحده الشريك له واشهد ان محمدا عبده ورسوله‬
‫التوابين واجعلنى من المتط ّهرين‬
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, yang tiada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusannya. Ya
Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk
dalam orang-orang yang bersuci.”
3) Perkara Yang Membatalkan Wudhu:
a. Sesuatu yang keluar dari dubur atau kubul. Seperti air kencing, madzi, wadi dan
mani dan kotoran lainnya.
b. Tidur nyenyak hingga tidak sadar dan tidak tetap tempat duduknya.
c. Hilang akal, baik karena gila, pingsan, mabuk, atau disebabkan minum obat-
obatan, baik kadar obat tersebut sedikit maupun banyak. Karena hilangnya
kesadaran yang diakibatkan oleh minum obat-obatan lebih dahsyat berbanding
sewaktu tidur. Inilah pendapat yang telah disepakati para ulama.
d. Menyentuh kemaluan tanpa alas karena berdasarkan hadits Basrah binti Shafwan
r.a
‫ من‬:‫ قال‬،‫عن يسرة بنت صفوان رضي هللا عنهما أن النبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫مس ذكره فال يص ّل حتى يتوضأ‬
“Nabi Saw bersabda, ‘Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah
ia mengerjakan shalat sehingga ia wudhu terlebih dahulu.” (HR. Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, dan Tirmidzi seraya menyatakan kesahihan hadits ini.).
Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah.

4) Sesuatu yang sering dianggap membatalkan wudhu


Di atas telah dibahas sesuatu yang membatalkan wudhu, namun ada beberapa hal
yang sering kali disangka membatalkan wudhu padahal tidak membatalkan wudhu. Antara
lain:
a. Keluar darah tidak melalui dua jalan dubur dan kubul, seperti karena luka, mimisan
dan berbekam. Demikian pula muntah baik sedikit ataupun banyak, tidak
membatalkan wudhu. Hal ini bukan berarti darah dan muntah boleh dibawa shalat,
darah dan muntah termasuk benda najis yang tidak boleh dibawa ketika shalat,
sehingga orang yang berwudhu kemudian berdarah atau muntah, tetap harus
membersihkan pakaian atau anggota tubuhnya yang terkena darah dan ia tidak
perlu mengulangi wudhunya. Oleh karena darah dan muntah harus dibersihkan
ketika hendak shalat, maka golongan Hanafiyah menganggap keluarnya darah
melalui apapun juga, demikian pula muntah, dapat membatalkan wudhu.
b. Memandikan mayat tidak membatalkan wudhu. Bagi orang yang memandikan
mayit hanya dianjurkan untuk berwudhu. Hal ini bukan berarti, membatalkan
wudhunya. Karena sesuatu yang membatalkan wudhu telah jelas ketentuannya.
c. Menyentuh isteri tanpa pembatas atau penghalang. Karena berdasarkan hadits
Aisyah r.a
ّ ‫عن عائشة رضي هللا عنها‬
:‫أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قبلها وهو صائم وقال‬
ّ
‫إن القبلة ال تنقض الوضوء وال تفطر الصائم‬
“Rasulullah Saw pernah menciumnya, sedangkan pada saat itu beliau berpuasa. Nabi
Saw bersabda, ‘Sesungguhnya ciuman ini tidaklah membatalkan wudhu dan tidak pula
membatalkan puasa.” (HR. Ishak bin Ruwaih)5

5) Perkara yang Wajib dilakukan dengan Berwudhu


Seseorang diwajibkan berwudhu untuk mengerjakan tiga perkara, yaitu sebagai
berikut:
Pertama, shalat apapun juga bentuknya, baik shalat fardhu maupun shalat sunat, termasuk
juga bila ingin mengerjakan shalat jenazah. Dengan demikian, tidak sah shalat tanpa
wudhu. Karena itu, ulama menjadikan wudhu sebagai syarat sah shalat. Hal ini didasarkan
pada sabda Rasulullah saw: "salat orang yang berhadas tidak diterima sebelum dia
berwudu"seorang laki-laki dari Hadhramaut bertanya" hai Abu Hurairah !apa hadas itu?
Abu Hurairah menjawab "kentut bersuara atau tidak"(hadis riwayat Al-Bukhari ra )
Kedua, thawaf di Baitullah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:

5
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 1.
‫ الطواف صالة إال أن‬: ‫عن ابن عباس رضي هللا عنهما أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
)‫ فمن تكلّم فال يتكلّم إالّ بخير (رواه الترمذى‬،‫هللا أح ّل فيه الكالم‬
“Nabi Saw bersabda, Thawaf itu merupakan shalat, hanya saja Allah menghalalkan
berbicara sewaktu mengerjakannya. Oleh karenanya, barangsiapa yang ingin berbicara
ketika mengerjakan thawaf, maka hendaklah ia membicarakan hal-hal yang baik-baik.”

Berdasarkan hadits di atas, thawaf disyaratkan untuk berwudhu. Karena thawaf


pada prinsipnya adalah ibadah seperti halnya shalat. Bahkan thawaf diserupakan seperti
shalat tahiyatul masjid.
Ketiga, menyentuh mushaf al-Quran berdasarkan riwayat Abu Bakar bin
Muhammad bin Ammar bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya r.a:

‫عن ابن حزم عن أبيه عن جدّه رضي هللا عنهم أن النبي صلى هللا عليه وسلم كتب الى‬
)‫ ال يمس القران إالّ طاهر‬: ‫اهل اليمن كتابا وكان فيه‬
“Nabi Saw menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman yang diantara isinya adalah:
al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang sudah suci.” (HR. Nasai,
Daruquthni, Baihaqi, dan AlAtsram).

b. Mandi
Mandi yang dikenal dengan mandi junub adalah mandi yang bertujuan
menghilangkan hadats besar seperti, keluar mani/ sperma, setelah jimak dan keluar darah
haid/nifas. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt:
‫وان كنتم جنبا فاطهروا‬
“Dan jika kamu junub, maka mandilah.” (Al-Maidah:6).
‫ويسألونك عن المحيض قل هو اذى فاعتزلوا النساء فى المحيض وال تقربوهن حتى‬
ّ
‫ ان هللا يحب التوابين ويحب المتط ّهرين‬،‫فأتوهن من حيث أمركم هللا‬ ‫ فاذا تطهرن‬،‫يطهرن‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, jawablah bahwa itu adalah kotoran, karena itu
jauhi istrimu di waktu haid, dan jangan dekati mereka hingga suci. Maka bila mereka
telah suci, boleh kamu mencampuri mereka, sebagaimana diperintah oleh Allah. Sungguh
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suci”. (QS.
Al-Baqarah:223).

1) Perkara yang Mewajibkan Mandi


Mandi menjadi wajib disebabkan adanya lima perkara, yaitu sebagai berikut:
pertama, keluar mani disertai syahwat, baik pada waktu tidur maupun ketika bangun, laki-
laki maupun wanita. Disini ada beberapa persoalan yang sering terjadi sebagai berikut:
a. Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia tidak
mewajibkan mandi.6
b. Jika seorang bermimpi, tetapi tidak menemukan bekas air mani maka ia tidak wajib
mandi.
c. Bila seorang bangun tidur, lalu menemukan basah tetapi tidak ingat bahwa ia
bermimpi, maka ia wajib mandi jika ia yakin bahwa itu adalah mani. Karena pada
zhahirnya, air mani itu keluar disebabkan mimpi.
d. Jika seorang merasakan hendak keluarnya mani pada saat memuncaknya syahwat,
tetapi ia menahan kemaluannya hingga ia tidak keluar, maka orang tersebut tidak
wajib mandi.

6
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 1. Hal 82.
e. Jika melihat mani pada kainnya, tetapi tidak mengetahui waktu keluarnya dan
kebetulan sudah shalat, maka ia wajib mengulangi shalat dari waktu tidurnya yang
terakhir, kecuali bila ada keyakinan bahwa keluarnya sebelum itu sehingga ia harus
mengulangi dari waktu tidur yang terdekat di mana mani itu mungkin keluar.
Kedua, hubungan kelamin, yaitu memasukan alat kelamin pria ke dalam alat
kelamin wanita, walau tidak sampai keluar mani, karena berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan jika kamu junub, maka mandilah....” (QS. al-Maidah [5]:6)
Menurut Syafi’i, bahwa hakikat junub adalah hubungan kelamin antara laki-laki
dan perempuan, walaupun tanpa disertai orgasme.”
Ketiga, haid dan nifas jika sudah berhenti, berdasarkan firman Allah SWT:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.
‘Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintah Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
(QS. al-Baqarah [2]:222).
Keempat, mati. Jika seorang menemui ajal kematiannya, maka ia wajib dimandikan
berdasarkan ijma’ ulama. Dan kelima, orang kafir jika sudah masuk Islam. Ia juga wajib
mandi sebagai awal dari penyucian dirinya.

2) Fardhu (Rukun) Mandi


Menurut al-Jaziri (2004:100-102) bahwa para ulama mazhab berbeda pendapat
dalam menetapkan fardhu/rukun mandi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa fardhu
mandi ada tiga. Pertama berkumur-kumur, kedua, memasukkan air ke hidung dan ketiga,
membasuh seluruh badan dengan air. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa fardhu mandi
ada lima, pertama, niat, kedua, meratakan badan (zhahir) dengan air, ketiga, muwalat.
Keempat, menggosok-gosok seluruh badan dengan air, dan kelima menyela-nyela anggota
badan seperti rambut.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa fardhu mandi ada dua. Pertama, niat. Dan
kedua meratakan seluruh anggota badan dengan air. Sedangkan ulama Hanabilah
berpendapat bahwa fardhu mandi cukup meratakan seluruh badan dengan air termasuk
berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.

3) Sunnah-Sunnah Mandi
Seseorang yang mandi harus memperhatikan perkara-perkara yang pernah
dilakukan Rasulullah Saw., pada saat mandi, yaitu sebagai berikut:
a) Mulai dengan mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali.
b) Kemudian membasuh kemaluan.
c) Lalu berwudhu secara sempurna seperti halnya wudhu pada saat ingin mengerjakan
shalat. Ia juga boleh menangguhkan membasuh kedua kaki hingga selesai mandi,
bila ia mandi di tempat tembaga dan sebagainya.
d) Kemudian menuangkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyela-nyela
rambut agar air dapat membasahi urat-uratnya.
e) Lalu mengalirkan air ke seluruh badan dengan memulai sebelah kanan, lalu sebelah
kiri tanpa mengabaikan dua ketiak, bagian dalam telinga, pusar, dan jari-jari kaki
serta menggosok anggota tubuh yang dapat digosok.

4) Pendapat Ulama Madzhab terhadap hal yang diharamkan bagi yang


berjunub.
Menurut mayoritas ulama seorang yang berhadats besar (junub) diharamkan
melakukan shalat dan thawaf di sekitar ka’bah, memegang dan membawa mushaf al-
Quran. Kecuali dalam keadaan darurat; untuk menyelamatkannya atau mengembalikannya
ke tempatnya semula, setelah terjatuh dan sebagainya.
Namun al-Jaziri mengungkapkan perbedaan para ulama madzhab berkaitan dengan
membaca al-Quran dan berdiam diri di masjid bagi orang yang berhadats besar sebagai
berikut:
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub tidak boleh membaca
al-Quran kecuali dua syarat. Pertama: membaca suatu yang mudah dan kedua: membaca
dalam dua situasi, pertama: dengan tujuan menjaga dari musuh, kedua: untuk
menunjukkan hokum syara’. Juga tidak dibolehkan masuk masjid, kecuali dua keadaan:
pertama: tidak air untuk mandi kecuali di masjid tetapi diharuskan bertayammum sebelum
masuk masjid. Kedua: tidak ada tempat penampungan dari bahaya kecuali di masjid.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan membaca
al-Quran sedikit atau banyak. Kecuali dalam dua keadaan: pertama: untuk mengawali
setiap urusan dengan membaca basmalah. Kedua: membaca ayat-ayat pendek untuk
berdoa. Juga diharamkan bagi yang berjunub masuk masjid kecuali dharurat. Seperti tidak
ada air untuk mandi kecuali di masjid, tetapi diharuskan bertayammum terlebih dahulu.
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan membaca
al-Quran sekalipun satu hurup jika bermakud untuk membaca. Tetapi jika bermaksud
untuk berdzikir tidak diharamkan. Juga tidak dibolehkan diam di masjid kecuali hanya
sekedar lewat itupun jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang yang berjunub dibolehkan membaca al-Quran
pada ayat-ayat pendek tidak boleh lebih dari itu. Boleh juga diam di masjid jika dirasa
aman untuk tidak mengotori masjid.
Pada intinya pendapat para ulama madzhab di atas adalah untuk menjaga kesucian
kitab suci dan tempat ibadah, sehingga orang yang berjunub tidak dibolehkan membaca al-
Quran dan diam di masjid. Adapun dalil yang mereka gunakan adalah sabda Rasulullah
Saw:

‫ هكذا لمن ليس‬:‫رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم توضأ ثم قرأ شيئا من القرأن ثم قال‬
‫ (رواه أحمد وابو يعلى وهذا لفظه قال البيهقى رجاله‬.‫ وال أية‬.‫ فاما الجنب فال‬،‫بجنب‬
.)‫موثقون‬
“Saya melihat Rasulullah Saw berwudhu kemudian membaca sesuatu dari al-Quran. Lalu
ia bersabda: “Ini adalah bagi orang yang tidak berjunub. Adapun orang yang berjunub,
maka tidak boleh, bahkan satu ayat pun.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan beginilah susunan
kata-katanya. Menurut Hatami: perawi-perawinya dapat dipercaya).
Dalam sabda yang lain:
‫ ان المسجد‬:‫دخل رسول هللا صلى هللا عليه وسلم صرحة هذا المسجد فنادى باعلى صوته‬
.)‫ال يح ّل لحائض وال لجنب (رواه ابن ماجه والطبرانى‬
“Rasulullah Saw masuk ke halaman masjid dan berseru sekeras suaranya:
“Sesungguhnya masjid tidak dibolehkan bagi orang haidh maupun junub.” (HR. Ibnu
Majah dan Thabrani).
Jika tujuan diharamkan masuk masjid untuk menjaga kebersihan masjid, maka jika
dirasa aman tidak akan mengotori masjid dibolehkan berdiam di masjid, karena jaman
sekarang sudah banyak alat-alat pengaman seperti softek dan lainnya. Pendapat ini
menurut penulis hanya didasarkan pada logika tanpa pertimbangan dalil naqli. Orang
junub bukan hanya wanita yang haid atau nifas, tetapi lelaki yang keluar mani juga disebut
junub juga sama tidak dibolehkan untuk masuk masjid. Jelasnya adalah bagi orang yang
junub baik karena haid atau keluar mani sama-sama tidak dibolehkan masuk masjid.
Sekalipun mereka merasa yakin tidak akan mengotori masjid.

5) Permasalahan mandi wajib


Ada beberapa hal yang sering dipertanyakan sekitar mandi wajib, antara lain
sebagai berikut:
a. Seorang yang telah melaksanakan mandi wajib, tidak perlu lagi berwudhu
sesudahnya. Karena niat menghilangkan hadats besar dianggap sudah meliputi
hadats kecil. Pada hakikatnya Rasulullah Saw telah menyarankan sebelum mandi
wajib untuk berwudhu terlebih dahulu, berwudhu di sana tentunya untuk
menghilangkan hadats kecil, kemudian mandi junub untuk menghilangkan hadats
besar. Sehingga tidak perlu lagi berwudhu setelah mandi. Sekalipun jika tidak
berwudhu sebelum mandi, tidak diharuskan mandi dengan syarat tidak melakukan
yang membatalkan wudhu seperti menyentuh kemaluan. Tetapi menurut penulis
sebaiknya berwudhu lagi setelah mandi. Dengan alasan firman Allah Swt yang
mengharuskan berwudhu setiap kali keluar dari WC atau kamar mandi dan wudhu
adalah sesuatu yang baik yang harus sering dilaksanakan.
b. Cukup mandi satu kali saja, meliputi mandi janabat, mandi hari Jumat, dan mandi
hari raya, apabila ia meniatkan itu semua ketika memulai mandinya tersebut.
Berbeda kondisinya, jika mandi junub dilakukan di pagi hari, kemudian di siang
hari dalam keadaan bau yang akan mengganggu orang di sekitarnya, hendaknya
mandi lagi yang ke dua kalinya untuk menunaikan shalat Jum’at.
c. Tidak ada larangan aas seorang junub atau wanita yang sedang haid, memotong
kuku, menghilangkan bulu atau rambut, keluar rumah dan sebagainya.7

c. Tayammum
Tayammum secara bahasa adalah al-Qashd, sebagaimana firman Allah Swt:
AlBaqarah:267
‫وال تيمموا الخبيث منه تنفقون‬
“Janganlah kamu bermaksud terhadap perkara yang buruk untuk kamu infakkan.”
Sedangkan secara istilah adalah : menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu
yang suci atas jalan yang tertentu. Sebagaimana firman Allah Swt: (QS. Al-Maidah: 6)
‫وان كنتم مرضى او على سفر او جاء احد منكم من الغائط او لمستم النساء فلم تجدوا ماء‬
‫فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم منه ما يريد هللا ليجعل عليكم من حرج‬
‫ولكن يريد ليط ّهركم وليت ّم نعمته عليكم لعلكم تشكرون‬
“Dan apabila kamu sekalian sakit atau dalam perjalanan, atau sehabis buang air besar,
atau bercampur dengan perempuan (isteri), kemudian kamu tidak mendapatkan air (untuk
bersuci), maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci). Sapulah muka dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Maidah:6)

1) Sebab dilakukan tayammum


Adapun sebab-sebab disyariatkannya tayammum adalah:
a. Tidak ada air sama sekali atau ada air tetapi tidak cukup untuk dipakai bersuci,
berdasarkan hadits Imran bin Husein ra katanya:
‫ فقال ما يمنعك يا‬، ‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم رأى رجال معتزال لم يصل مع القوم‬

7
Sa yid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 1, hal 65.
‫ فقال عليك بالصعيد‬.‫فالن ان تصلى فى القوم؟ فقال يا رسول هللا اصابتنى جنابة وال ماء‬
.)‫ (رواه بخارى ومسلم‬.‫فانه يكفيك‬
“Bahwa Rasulullah saw melihat seorang laki-laki yang memencil dan tidak shalat
bersama kaumnya. Kemudian Rasul bertanya: Kenapa Anda tidak shalat? Ujarnya:
“Saya dalam keadaan junub, sedang tidak ada air.” Maka Nabi bersabda:
“Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi Anda.” (HR. Bukhari dan Muslim).

b. Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit, dan ia khawatir dengan memakai
air itu penyakitnya jadi bertambah atau lama sembuhnya, baik hal itu diketahuinya
sebagai hasil pengalaman atau atas nasihat dokter yang dapat dipercaya berdasarkan
hadits Jabir r.a katanya:
“Suatu ketika kami pergi untuk perjalanan. Kebetulan salah seorang diantara kami
ditimpa sebuah batu yang melukai kepalanya. Kemudian orang itu bermimpi, lalu
menanyakan kepada teman-temannya: “Menurut tuan-tuan, dapatkah saya ini
keringanan untuk bertayammum?” ujar mereka: “Tak ada bagi Anda keringanan,
karena anda bisa mendapatkan air.” Maka orang itupun mandilah dan kebetulan
meninggal dunia. Kemudian setelah kami berada di hadapan Rasulullah saw kami
sampaikan peristiwa itu kepadanya. Maka ujarnya: “Mereka telah membunuh orang
itu, tentu mereka dibunuh pula oleh Allah! Kenapa mereka tidak bertanya jika tidak
tahu?
Obat bodoh tidak lain hanyalah dengan bertanya! Cukuplah bila orang itu
bertayammum dan mengeringkan lukanya, atau membalut lukanya dengan kain lalu
menyapu bagian atasnya, kemudian membasuh seluruh tubuhnya.” (HR. Abu Daud,
Ibnu Majah dan Daruquthni serta dishahihkan oleh Ibnu Sikkin).

c. Jika air terlalu dingin dan keras dugaannya akan timbul bahaya disebabkan
menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut, walau
hanya dengan jalan diupahkan. Atau jika seseorang tidak mudah masuk kamar mandi,
berdasarkan hadits Amar bin ‘Ash ra bahwa tatkala ia dikirim dalam pertempuran
berantai, maka katanya, “Pada waktu malam yang amat dingin saya bermimpi. Saya
khawatir akan mati jika saya terus juga mandi, maka sayapun bertayammum lalu
shalat shubuh bersama para sahabat lainnya.

Kemudian tatkala kami telah pulang kepada Rasulullah saw hal itupun mereka
sampaikan kepadanya. Maka Rasulullah Saw bersabda:
‫يا عمرو صليت باصحابك وانت جنب؟ فقلت ذكرت قول هللا عز وجل (وال تقتلوا انفسكم‬
‫ فضحك رسول هللا ولم يقل شيئا (رواه احمد‬.‫ان هللا كان بكم رحيما) فتيممت ثم صليت‬
)‫وابو داود والحاكم والدارقطنى وابن ماجه وابن حبان وعلقه البخارى‬
“Hai Amar! Betulkah anda melakukan shalat bersama para sahabat padahal ketika
itu Anda dalam keadaan junub?”
Jawabku: “Aku teringat akan firman Allah Azza wa jalla: “Janganlah kamu sekali
membunuh dirimu! Sungguh allah maha penyayang terhadap kamu sekalian (An-
Nisa:29). Maka akupun bertayammum lalu shalat.” Rasulullah hanya tertawa dan
tidak mengatakan apa-apa." (HR. Ahmad, Abu Daud, Hakim, Daruquthni, dan Ibnu
Hibban, sementara Bukhari mengatakan hadits ini muallaq).

d. Apabila air yang tersedia hanya sedikit sekali, dan diperlukan di waktu sekarang atau
masa depan yang dekat-untuk minumnya atau minum orang lain, atau binatang
(walaupun seekor anjing) atau untuk memasak makanannya, atau mencucui pakaian
shalatnya yang terkena najis.

2) Rukun-Rukun Tayammum
a. Niat
b. Debu yang suci, menurut pendapat empat madzhab yang diuraikan oleh al-Jaziri
(139) adalah:Menurutu ulama Syafi’iyah yang dimaksud al-sha’id al-thahur
adalah debu yang memiliki ghibar (ngebul).Ulama Hanabilah adalah sha’id
adalah jenis debu yang suci. Ulama Hanafiyah adalah segala macam yang
termasuk dari jenis bumi. Seperti pasir, batu, kerikil dan lain sebagainya.
Sedangkan ulama Malikiyah adalah segala yang ada di atas bumi.
c. Menyapu seluruh wajah
d. Menyapu kedua tangan sampai siku, menurut ulama Malikiyah dan hanabilah
wajib menyapu tangan hanya sampai pergelangan. Adapun sampai ke dua siku
adalah Sunnah.

3) Kaifiyat Tayammum
Menurut Sayid Sabiq (139) Hendaklah orang yang bertayammum berniat lebih
dahulu, kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah
yang suci, lalu menyapukannya ke muka, begitupun kedua belah tangannya sampai
pergelangan tangan. Mengenai hal ini tak ada keterangan yang lebih sah dan lebih tegas
dari hadits Umar ra, katanya:
“Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku bergelimang dengan tanah lalu shalat,
kemudian kuceritakan hal itu kepada Nabi Saw, maka beliau bersabda: “Cukup bila Anda
lakukan seperti ini: dipukulkannya kedua telapak tangannya ke tanah, lalu dihembusnya
dan kemudian disapukannya ke muka dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Menurut Sayid Sabiq (140) bahwa tayammum sama dengan wudhu, tidak disyaratkan
masuknya waktu, serta bagi orang yang telah bertayammum dibolehkan melakukan
beberapa shalat baik fardhu maupun sunnah sebanyak yang dikehendaki. Hal ini
didasarkan dari Abu Dzar ra:
“Bahwa Nabi saw bersabda: “Tanah itu mensucikan orang Islam, walau ia tidak
mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka seandainya ia telah mendapatkan air,
hendaklah dibasuhkannya ke kulitnya, karena demikian lebih baik.” (HR. Ahmad dan
Turmudzi yang menyatakannya shahih).
Tayammum menjadi batal oleh sesuatu yang membatalkan wudhu’. Begitupun ia
batal disebabkan adanya air. Tetapi bila seseorang melakukan shalat dengan tayammum
kemudia ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya walaupun waktu
shalat masih ada. Hal ini didasarkan dari Abu Said al-Khudri r.a katanya:
“Dua orang laki-laki pergi melakukan suatu perjalanan. Maka datanglah waktu shalat
sedang mereka tidak membawa air, maka mereka bertayammum dengan tanah yang baik
kemudiann mengerjakan shalat. Kemudian tidak lama, mereka menemukan air. Maka yang
seorang mengulangi wudhu dan sembahyang, sedang yang seorang lagi tidak
mengulangnya. Lalu mereka dating kepada Nabi Saw dan menceritakan peristiwa itu. Nabi
Saw pun bersabda kepada orang yang tidak mengulang: “Anda telah berbuat sesuai dengan
Sunnah, dan shalat Anda telah terpenuhi”.
Dan bersabda pula kepada orang yang mengulang wudhu dan shalatnya: “Anda
mendapat ganjaran dua kali lipat.” (HR. Abu Daud dan Nasai).
Tetapi bila menemukan air itu, atau dapat menggunakannya setelah mulai shalat
tapi belum selesai, maka tayammum jadi batal dan ia harus mengulangi bersuci dengan
memakai air. Dan seandainya orang junub atau perempuan haid bertayammum kemudian
shalat, tidaklah wajib ia mengulangnya. Hanya ia wajib mandi bila telah dapat menemukan
air.

4) Mengusap di atas pembalut (Perban atau Plaster)


a) Seorang penderita luka yang khawatir jika menggunakan air dalam wudhu atau
mandi akan menambah parah lukanya itu atau memperlambat kesembuhannya,
dibolehkan mengusap (dengan tangan yang basah) anggota tubuhnya yang
terluka. Apabila hal itu membahayakan, hendaknya ia menutup luka itu dengan
perban atau pembalut lain. Sebagai pengganti bagian tubuhnya yang tertutup
pembalut dan tidak terkena air, hendaklah ia bertayammum. Boleh juga ia
mendahulukan tayammumnya sebelum wudhu atau mandi.
b) Cara bersuci di atas pembalut seperti ini menjadi batal, apabila ia dibuka atau
luka itu telah sembuh. Segera setelah sembuh, pembalut harus dibuka dan sejak
itu harus bersuci kembali secara sempurna.
c) Apabila yang dibalutkan itu sekitar anggota wudhu, maka dibolehkan
mengusapkan di atas pembalutnya itu dengan air, sekalipun tidak terkena
anggota wudhu, tetapi shalatnya harus diulangi. Jika sebelum dibalutkan ia
dalam keadaan tidak berwudhu. Tetapi jika sebelum dibalutkan dalam keadaan
berwudhu, maka shalatnya tidak harus diulang.8

Fiqh MI Kelas IV Semester Genap


KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR
3. Memahami pengetahuan faktual dengan 3.1 Memahami ketentuan shalat Idain
cara mengamati dan menanya berdasarkan 3.2 Mengamalkan ketentuan shalat Jum’at
rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk 3.3 Menghargai orang yang menjalankan
ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda- shalat Idain.
benda yang dijumpainya di rumah, di
sekolah dan tempat bermain.
4. menyajikan pengetahuan faktual dalam 4.1 Mendemonstrasikan tata cara shalat
bahasa yang jelas, sistematis dan logis Idain.
dalam karya yang estetis, dalam gerakan 4.2 Mensimulasikan tata cara shalat Jum’at.
yang mencerminkan anak sehat, dan dalam
tindakan yang mencerminkan perilaku anak
beriman dan berakhlak mulia.

5. Ketentuan shalat Idaian


Shalat Dua Hari Raya. Shalat dua hari raya, idul fitri dan idul adha dilaksanakan
dua rakaat, dengan dua khutbah. Waktu pelaksanaan Hari Raya adalah mulai terbit
matahari setinggi kira-kira tiga meter dan berakhir apabila telah tergelincir matahari.
Selain itu, ada beberapa ketentuan dalam shalat dua hari raya adalah, disunatkan mandi,
memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian yang terbaik, makan terlebih dahulu
sebelum shalat Idul Fitri dan sebaliknya pada Idul Adha, keikutsertaan wanita dan anak-
anak, menempuh jalan yang berbeda.
Tata Cara Shalat ‘Ied
Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya
adalah sebagai berikut.
Pertama, Niat, adapun lafaz niatnya adalah sebagai berikut:

8
Fiqh Sunnah Juz 1. Hal 69.
‫أصلى سنة عيد الفطر ركعتين مأموما هلل تعالى‬
‫أصلى سنة عيد األضحى ركعتين مأموما هلل تعالى‬
“Saya niat shalat Iedul fithri dua rakaat karena Allah SWT.
Kedua, Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.
Ketiga, Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain
takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika
takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim
mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]
Keempat: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir
tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap
takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa
sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
ْ ‫ الله ُه هم ا ْغ ِف ْر ِلي َو‬. ‫َّللاُ أ َ ْكبَ ُر‬
‫ار َح ْمنِي‬ ‫َّللاُ َو َ ه‬ ِ ‫َّللاِ َو ْال َح ْمد ُ ِ ه‬
‫َلِل َو َال إلَهَ هإال ه‬ ‫س ْب َحانَ ه‬
ُ
“Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk
disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku.”

Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh
juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Kelima, Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat
lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada
raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al
Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun
menjawab,
‫عةُ َوا ْنش هَق ْالقَ َمر‬
َ ‫سا‬ ِ ‫آن ْال َم ِجيدِ) َو (ا ْقت َ َر َب‬
‫ت ال ه‬ ِ ‫َكانَ َي ْق َرأ ُ ِفي ِه َما‬
ِ ‫ب (ق َو ْالقُ ْر‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat
Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]

Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah
pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca
surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat
‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫س ِبّحِ اس َْم‬
َ (‫ب‬ ِ ‫ َي ْق َرأ ُ ِفى ْال ِعيدَي ِْن َو ِفى ْال ُج ُم َع ِة‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫َكانَ َر‬
ُ ‫اح ٍد يَ ْق َرأ‬
ِ ‫اجت َ َم َع ْال ِعيد ُ َو ْال ُج ُم َعةُ ِفى َي ْو ٍم َو‬
ْ ‫ِيث ْالغَا ِشيَ ِة) قَا َل َو ِإذَا‬ َ َ ‫َر ِب َّك األ َ ْع َلى) َو (ه َْل أَت‬
ُ ‫اك َحد‬
‫صالَتَي ِْن‬‫ضا فِى ال ه‬ً ‫بِ ِه َما أ َ ْي‬.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat
Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah”
(surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied
bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing
shalat.[30]
Keenam, Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku,
i’tidal, sujud, dst).
Ketujuh, Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
Kedelapan, Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -
selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Kesembilan, Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang
telah disebutkan di atas.
Kesepuluh, Mengerjakan gerakan lainnya seperti pada rakaat pertama hingga salam.

Khutbah Setelah Shalat ‘Ied


Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
َ‫صلُّون‬
َ ُ‫ع َم ُر – رضى هللا عنهما – ي‬ُ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – َوأَبُو بَ ْك ٍر َو‬ ُ ‫َكانَ َر‬
‫سو ُل ه‬
ْ ‫ْال ِعيدَي ِْن َق ْب َل ْال ُخ‬
‫ط َب ِة‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan
shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]
Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied
dengan dua kali khutbah seperti khutbah jum’at. Khutbah ied selalu dimulai dengan
sembilan kali takbir pada khutbah pertama dan tujuh kali takbir pada khutbah kedua.
Takbir inilah yang menjadi ciri khutbah shalat ied dengan khutbah jum’at. Meskipun
demikian menurut Ibnul Qayyim bahwa, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang
menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbah ‘iednya dengan
bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah
khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah
‘iednya dengan bacaan takbir.”

6. Ketentuan Shalat Jum’at


Shalat jumat adalah shalat dua rakaat yang dilakukan setelah dua khutbah, disebut
shalat jumat karena dilaksanakan pada hari Jumat. Shalat jumat ini diwajibkan bagi setiap
umat Islam dan dikecualikan bagi hamba sahaya, kaum wanita, anak-anak, orang sakit dan
orang yang sedang berhalangan/udzhur seperti sakit atau bepergian. Hal ini ditegaskan
oleh sabda Rasulullah Saw: “Jumat adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap orang
Islam dalam jamaah/kelompok, terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya,
perempuan, kanak-kanak, orang yang sakit”. (HR. Abu Daud dan Hakim).
Shalat Jumat itu hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf yang mampu dan
memenuhi syarat-syaratnya. Waktu shlat Jum’at adalah sama dengan waktu shalat Zhuhur,
yaitu dari tergelincirnya matahari hingga ukuran bayangan sesuatu sama dengannya,
setelah bayangan istiwa’, sesuai dengan kesepakatan Hanafiyah dan Syafi’iyah.

a. Perselisihan Ulama dalam masalah Shalat Jumat


1) Khutbah dengan bahasa Arab
Para ulama madzhab berbeda pendapat dalam masalah khutbah, apakah khutbah
harus disampaikan dengan bahasa arab? Dalam hal ini mereka berpendapat; Hanafiyah
mengatakan bahwa khutbah dengan selain bahasa Arab adalah dibolehkan. Baik ia mampu
berbahasa Arab ataupun tidak, jamaahnya orang Arab ataupun bukan Arab. Hanabilah
mengatakan bahwa khutbah itu tidak sah selain bahasa Arab bagi orang yang mampu
berbahasa Arab, baik jamaahnya orang Arab atau bukan Arab. Tetapi jika seorang khatib
tidak mampu berbahasa Arab, maka dibolehkan. Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-
rukun khutbah harus disampaikan dengan bahasa Arab, adapun tambahan dari rukun-rukun
tersebut boleh menggunakan selain bahasa Arab. Malikiyah mengatakan bahwa khutbah
harus disampaikan dengan bahasa Arab sekalipun jamaahnya bukan orang Arab yang tidak
mengerti bahasa Arab. Jika tidak ada yang bisa bahasa Arab, maka gugurlah kewajiban
shalat Jumat dari mereka.
2) Adzan Jumat
Dalam fiqh Islam, Sulaiman Rasyid (1995:128) mengungkapkan bahwa berdasar
pendapat yang mu’tamad bahwa adzan jumat hanya satu kali, yaitu sewaktu khatib sudah
duduk di atas mimbar. Berdasarkan keterangan dari Imam Syafi’i, bahwa ia berkata:
“Seorang yang saya percaya mengabarkan kepada saya bahwa adzan jumat itu di masa
Nabi Saw dan masa khalifah Abu Bakar dan Umar adalah satu kali. Maka setelah khalifah
ketiga (Utsman), ketika itu orang sudah bertambah banyak, maka disuruh adzan sebelum
imam duduk di mimbar. Sejak waktu itu, terjadilah keadaan adzan seperti sekarang.
3) Jumlah orang yang hadir pada shalat jumat.
Para Imam Madzhab sepakat bahwa shalat Jum’at itu tidak sah dilakukan kecuali
dengan berjama’ah. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang jumlah jama’ah yang
sah untuk shalat Jum’at. Menurut Malikiyah batas minimal jumlah jama’ah yang sah untuk
shalat Jum’at adalah dua belas orang laki-laki selain imam. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at adalah tiga orang selain imam sekalipun
mereka tidak menghadiri khutbah Jum’at. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at adalah empat puluh orang yang memenuhi
syarat Jum’at sekalipun dengan imamnya.
4) Makmum yang Masbuq pada shalat Jum’at
Menurut madzhab Syafi’i, Maliki dan Ahmad bin Hanbal bahwa jika seorang
tertinggal pada shalat Jum’at dan mendapati imam sudah memulai shalat Jum’at,
hendaknya segera bertakbirat al-ihram. Jika sempat ruku’ bersama imam, maka ia dihitung
mendapat satu raka’at. Tetapi jika ia sempat ruku’ bersama imam pada rakaat kedua saja,
maka ia diharuskan menambah satu rakaat lagi setelah salamnya imam. Adapun jika
makmum datang sedangkan imam telah mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat
kedua, maka hilanglah kesempatannya untuk memperoleh shalat Jum’at. Walaupun
demikian ia diharuskan segera untuk shalat bersama imam dengan niat shalat Dzhuhur
empat rakaat. Tetapi berbeda menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf bahwa barangsiapa
mendapati imam tasyahud akhir, maka ia hanya menambahkan dua rakaat setelah
salamnya imam. (Sayid Sabiq, Fiq As-Sunnah I/265)
5) Hari Raya pada hari Jumat
Apabila hari raya seperti Idul Fitri atau Idul adha bertepatan pada hari Jumat, maka
kewajiban shalat Jum’at menjadi gugur bagi mereka yang telah ikut bershalat Ied. Akan
tetapi kewajiban shalat zhuhur mereka tidak menjadi gugur. Artinya mereka tetap
diharuskan melaksanakan shalat Zhuhur. Namun ada sebagian pendapat meski tidak
populer dan hanya berdasarkan pendapat seorang sahabat yang menyatakan bahwa barang
siapa telah ikut bershalat ‘Ied pada hari Jum’at, maka tidak ada lagi kewajiban shalat
Jum’at maupun shalat Zhuhur. Mereka berpegang pada ucapan Ibnu Az-Zubair yang
dirawikan oleh Abu Daud: “ Dua hari raya berhimpun pada hari ini. “ lalu ia (Ibnu Zubair)
melaksanakan shalat Ied dua rakaat di pagi hari, dan tidak menambahkan apa pun
selainnya, sampai saat ia melaksanakan shalat ashar. (Sayid Sabiq: Fiqh As-Sunnah I/267).
Bagaimana pun juga, penyelenggaraan shalat Jum’at tetap dianjurkan, agar dapat
dihadiri oleh mereka yang bershalat Ied terlebih kepada yang tidak sempat bershalat Ied.
Hal ini didasarkan oleh riwayat dari Zaed bin Arqam bahwa Rasulullah Saw shalat id
kemudian meringankan (meninggalkan) shalat jumat dan bersabda: Barang siapa yang
menghendaki shalat jumat, maka hendaklah shalat jumat. (Hadits Riwayat Khamsah dan
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim.).
Tetapi dalam riwayat lain menyatakan bahwa boleh meninggalkan shalat jumat
karena telah menunaikan shalat ‘Id tetapi kebanyakan para sahabat tetap menunaikan
shalat Jumat. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah berkata: “Telah berkumpul pada hari
kamu ini dua ‘id, barang siapa yang menghendaki shalat jumat, maka shalat jumat sudah
dianggap cukup, tetapi kami termasuk orang-orang yang menunaikan shalat jumat juga.”
Fiqh MI Kelas VI Semester Genap
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR
3. Memahami pengetahuan faktual dan 3.1. Memahami ketentuan jual beli
konseptual dengan cara mengamati, 3.2. Memahami tatacara pinjam-meminjam
menanya dan mencoba berdasarkan
rasa ingin tahu tentang dirinya,
makhluk ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan benda-benda yang
dijumpainya di rumah, di sekolah dan
tempat bermain.

4. Menyajikan pengetahuan faktual dan 4.1. Menyimulasikan jual beli yang halal
konseptual dalam bahasa yang jelas, 4.2. Menyimulasikan pinjam-meminjam
sistematis dan logis, dalam karya yang
estetis, dalam gerakan yang
mencerminkan anak sehat, dan dalam
tindakan yang mencerminkan perilaku
anak beriman dan berakhlak mulia.

7. Ketentuan Jual Beli


Bai’ atau jual beli menurut Sayid Sabiq9 secara bahasa adalah al-mubadalah yaitu
saling bertukar. Sedangkan secara istilah adalah saling bertukar harta dengan harta lain
dengan jalan saling ridha atau berpindahnya pemilikan dengan cara saling tukar dengan
jalan saling mengizinkan.
Dengan demikian pertukaran pemilikan harta antara dua belah pihak disyaratkan
harus saling ridha, keikhlasan dan telah saling merelakan. Seorang penjual telah merelakan
barang jualannya kepada pembeli, sedangkan pembeli telah merelakan hartanya menjadi
milik penjual. Oleh karena itu, antara penjual dan pembeli harus lebih berorientasi kepada
keikhlasan dan keridhaan, bukan semata keuntungan. Karena jika seorang penjual lebih
berorientasi kepada keuntungan, dia tidak akan berpikir barang yang dijualnya itu baik
atau tidak, yang penting laku dan habis terjual. Sehingga ia melakukan cara-cara yng tidak
dibenarkan seperti menjual barang imitasi, curian, tipuan dan lain sebagainya. Begitu juga,
pembeli yang berorientasi kepada keuntungan bagi dirinya, ia hanya akan memikirkan
bagaimana mendapatkan keutungan keuntungan sebesar-besarnya, melebihkan timbangan
dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, prinsip saling ridha ini harus menjadi orientasi setiap penjual dan
pembeli. Karena jika tidak, Allah mengancam kepada mereka (penjual dan pembeli)
dengan neraka wail (kecelakaan). Sebagaimana firam Allah Swt:
‫ويل للمطففين الذين اذا اكتالوا على الناس يستوفون وإذا كالوهم أو وزنوهم‬
‫يخسرون‬
“Celakalah bagi orang-orang muthaffifin, yaitu orng yang apabila membeli sesuatu,
meminta untuk melebihkan timbangan (khusus untuk pembeli); dan ketika dia menimbang
timbangan (sebagai penjual) ia mengurangi timbangannya”.10
Dalil nash tentang kebolehan jual beli ini secara tegas tercantum dalam firman Allah SWT:
‫ياايها الذين أمنوا ال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجارة عن تراض بينكم‬

9
Sayid Sabiq ha 126
10
Lihat QS. Al-Muthaffifin. 1-3
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu” (QS. An-Nisa : 29).
Dan ayat lain, Allah berfirman:
‫واحل هللا البيع وحرم الربا‬
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275)

a. Rukun dan syarat jual beli


Jual beli tidak akan sah tanpa terpenuhinya rukun dan syarat jual beli. Diantara
rukun jual beli adalah pertama, adanya ijab qabul dari kedua belah pihak yang
menunjukan saling keikhlasan dan keridhaan antara dua belah pihak, tidak ada saling
penghinaan dan cacian diantara mereka. Bahkan ijab qabul cukup ditandai dengan saling
bertukarnya antara dua belah pihak, pembeli menerima barang yang dibelinya dan penjual
menerima harga yang telah disepakati. Sayid Sabiq tidak mengharuskan ijab qabul melalui
kata-kata yang tegas seperti saya jual barang ini atau saya beli barang ini. Inti dari ijab
qabul tersebut adalah saling ridha dengan transaksi antara dua belah pihak ditunjuki
dengan cara menerima dan menyerahkan.
Kedua, terlaksananya ijab-qabul tersebut tentunya ada dua belah pihak, yaitu antara
penjual dan pembeli. Rukun berikutnya adalah penjual dan pembeli. Adapun syarat yang
harus dipenuhi bagi penjual dan pembeli adalah berakal, kehendak sendiri (bukan paksaan)
dan baligh. Ketiga syarat tersebut agar kesempurnaan jual-beli dapat dilaksanakan. Jika
salah satu penjual atau pembeli tidak berakal, maka akan mudah dibohongi atau ditipu,
atau jika jual-beli itu karena keterpaksaan, maka akan hilan unsur keridhaan yang menjadi
sarat penting dalam akad jual beli.
Ketiga, ma’qud ‘alaih adalah barang atau benda yang dijadikan objek jual beli.
Adapun syarat-syarat benda yang menjadi objek akad adalah suci, memiliki manfaat, tidak
dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain seperti jika ayahku pergi, ku jual motor ini
kepadamu. Barang tersebut miliki sendiri, diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau
ukurannya (betul-betul jelas kondisi barang yang dijual).

b. Macam-macam Jual-Beli
1) Jual Beli Salam
Menurut bahasa, salam adalah menyegerakan atau mendahulukan modal. Secara
istilah adalah jual beli sesuatu yang disebutkan sifatnya pada suatu perjanjian dengan
membayar di muka. Atau pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan
pembayaran dilakukan di muka. Jual beli salam ini didasarkan dalam al-Quran dan hadits:
‫ياايها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين الى أجل مسمى فاكتبوه‬
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (QS. Al-
Baqarah:282)
Juga didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah
saw datang ke Madinah yang penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan
(untuk jangka waktu satu, dua, tiga tahun. Beliau bersabda:
‫من أسلف فى شيء ففى كيل معلوم ووزن معلوم الى أجل معلوم (أخرجه االئمة‬
)‫الستة‬
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang
diketahui.” (Ditakhrijkan oleh imam yang enam).
Adapun rukun bai’ salam adalah meliputi, muslam atau pembeli, muslam ilaih atau
penjual, modal atau uang, muslam fih atau barang dan shigat atau ucapan.
Akad salam mengakibatkan tertetapkannya hak milik barang salam bagi pembeli
(rabbus salam) yang ditangguhkan, dan sebaliknya tertetapkannya hak milik modal salam
yang tertentu atau dijelaskan sifatnya bagi penjual (muslam ilaih).
Dalam perbankan, jual beli salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi
petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh
bank adalah barang seperti padi, jagung dan cabai, dan bank tidak berniat untuk
menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan, maka dilakukanlah bai’ salam
kepada pembeli kedua, seperti Bulog, pedagang pasar induk atau grosir. Inilah yang dalam
perbankan Islam dikenal dengan bai’ salam (jual beli salam).

2) Jual Beli Istishna’ (minta dibuatkan)


Dalam istilah para fuqaha, istishna’ didefinisikan sebagai akad meminta seseorang
untuk membuat sebuah barang tertentu dalam bentuk tertentu sesuai keinginan yang
dimaksud. Dalam jual beli istishna’ ini bahan baku dan pembuatan dari pengrajin. Jika
bahan baku berasal dari pemesan, maka akad yang dilakukan adalah akad ijarah (sewa)
bukan istishna’.
Kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini,
pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Kedua belah pihak bersepakat atas harga
serta system pembayaran; apakah dimuka, melalui cicilan atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang. Menurut jumhur fuqaha, bai’ istishna’ merupakan
suatu jenis khusus dari akad bai’ salam. Dengan demikian, ketentuan bai’ istishna
mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ salam.
Akad istishna’ ini menurut Wahbah Zuhaili11 menyerupai akad salam (membeli
barang dalam tanggungan dengan dengan harga kontan), karena akad ini merupakan jual
beli barang yang tidak ada (ma’duun) saat akad. Dalam akad ditetapkan bahwa barang
yang dipesan berada dalam tanggungan pembuat (penjual). Akan tetapi, akad istishna’
memiliki perbedaan dengan akad salam dari sisi ketidakharusan penyerahan harga barang
(modal) secara kontan, penjelasan masa pembuatanataupun waktu penyerahan. Begitu pula
tidak disyaratkan bahwa barang yang dipesan merupakan salah satu barang yang dapat
dijumpai di pasar.
Akad istishna’ juga menyerupai akad ijarah (sewa), tetapi memiliki perbedaan dari
sisi bahwa pembuat menyediakan bahan baku dari hartanya.

3) Jual Beli Murabahah


Jual beli murabahah adalah menjual barang dengan harga yang jelas, sehingga
boleh dipraktekkan dalam transaksi jual beli ini. Bahkan sahnya jual beli murabahah
disyaratkan bahwa pembeli kedua hendaknya mengetahui harga pertama dan keuntungan
yang diminta penjual harus jelas.
Murabahah merupakan jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ murabahah, penjual harus memberi tahu harga
produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Misalnya, pedagang eceran membeli pakaian dari grosir dengan harga Rp. 10. 000,00,
kemudian ia menambah keuntungan sebesar Rp. 5000,00 dan ia menjual kepada si pembeli
dengan harga Rp. 15.000,00. Pada umumnya, si pedagang eceran tidak akan memesan dari
grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang
jumlah pakaian, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya
angsuran kalau memang akan dibayar secara angsuran.

11
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj Abdul Hayyi, Jilid 5, Depok, Gema Insani. 2007.
Dengan demikian, jual beli murabahah adalah jual beli yang didasarkan pada rasa
saling percaya, karena pembeli percaya pada pengakuan penjual mengeni harga pertama,
tanpa bukti apapun dan juga tanpa sumpah. Untuk itu, kedua belah pihak tidak boleh ada
yang berkhianat (berdusta). Sebagaimana firman Allah tentang larangan khianat.
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad),
dan juga janganlah kamu mengkhianati amanah-amanat yang dipercayakan kepadamu
sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfaal:27).

c. Permasalahan jual beli


1) Mempermainkan harga
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa prinsip jual beli adalah adanya saling
keridhaan antara dua belah pihak. Keridhaan ini harus menjadi orientasi baik bagi para
penjual maupun pembeli. Jika orientasi ini hilang, maka penjual ada kemungkinan
melakukan sesuatu yang melanggar prinsip jual beli dalam Islam. Seperti yang banyak
dilakukan para pedagan curang adalah mempermainkan harga barang.
Mempermainkan harga barang dengan tujuan memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya adalah tidak dibenarkan dalam Islam. Misalnya ada penimbunan oleh
sementara pedagang, sehingga ia dapat beralasan untuk meninggikan harga barang dengan
kesewenang-kesewenganan.
Menurut Yusuf12 Qardhawi bahwa menetapkan harga itu ada yang bersifat zalim
dan terlarang dan ada pula yang bijaksana dan halal. Jika penetapan itu mengandung
unsur-unsur kezaliman yaitu dengan menetapkan suatu harga yang tidak dapat diterima,
maka jelas penetapan harga semacam itu adalah haram. Sama saja ia mempermainkan
harga. Sedangkan jika penetapan harga itu penuh dengan keadilan artinya penuh dengan
kewajaran, maka hal ini dipandang halal, bahkan hukumnya wajib.
2) Membeli dan Menjual barang curian
Diantara syarat jual beli bahwa barang yang dijual adalah harus milik sempurna,
artinya barang tersebut bukan curian atau ghasab. Jika ternyata barang yang dijual tersebut
adalah hasil dari curian maka akad jual belinya menjadi tidak sah.
Oleh karena itu, agar tidak berkembang secara luas pencurian, maka barang curian
tidak dibolehkan untuk diperjual belikan. Sebagaimana ungkapan Yusuf Qardhawi13
bahwa diantara cara Islam memberantas kriminalitas dan membatasi keleluasaan pelanggar
oleh si pelanggar, ialah tidak halalnya seorang muslim membeli sesuatu yang sudah
diketahui bahwa barang tersebut adalah hasil rampok atau curian atau sesuatu yang
diambil dari orang lain dengan jalan tidak benar. Sebab jika dia berbuat demikian, sama
dengan membantu perampok, pencuri, dan pelanggar hak untuk merampok, mencuri dan
melanggar hukum.
Rasulullah Saw secara tegas dalam sabda beliau:
“Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia mengetahui bahwa barang
tersebut adalah curian, maka dia bersukutu dalam dosa yang cacat”. (Riwayat Baihaqi).
Dengan demikian, diantara sebab maraknya pencurian adalah karena
berkembangnya transaksi jual beli barang hasil pencurian. Beberapa toko (black market)
menerima secara khusus jual-beli barang-barang hasil curian. Mereka mengetahui dengan
jelas dan terang-terangan bahwa barang tersebut adalah barang curian, kemudian mereka
beli dengan harga sangat murah. Praktek seperti ini jelas sangat bertentangan dalam hukum
jual beli dan akan berdampak buruk bagi masyarakat kita. Meskipun telah terjadi saling
ridha antara dua belah pihak, tetapi ada beberapa orang yang dirugikan, karena yang dijual

12
Yusuf Qardhawi, Halal-Haram, hal 261.
13
Yusuf Qardhawi, Halal-Haram, hal 268
tersebut adalah bukan barang miliknya.
3) Menjual kredit dengan menaikkan harga
Praktek yang sering dilakukan oleh masyarakat kita adalah jual beli dengan cara
kredit. Jual beli terkadang dapat dilakukan dengan cara kontan atau kredit. Jika dengan
kontan harga sekian, dan dengan kredit harga sekian lebih tinggi daripada harga kontan.
Menurut Yusuf Qardhawi14 bahwa ulama memandang hukum jual beli melalui kredit ini
terbagi kepada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengharamkannya dengan dasar,
bahwa tambahan harga itu justru berhubung masalah waktu. Kalau begitu sama dengan
riba. Tetapi menurut jumhur ulama membolehkan, karena pada dasarnya boleh dan dan
tidak ada nash yang mengharamkannya dan tidak dapat dipersamakan dengan riba dari
segi manapun.
Jika dilihat pula bahwa menaikkan harga dengan cara kredit karena ada beberapa
aktivitas yang menyita penjual yang perlu dibayar secara wajar. Karena prinsipnya,
menaikan harga dibolehkan bagi para pedagang menurut yang pantas dan wajar selama
tidak sampai kepada batas pemaksaan dan kezaliman.
4) Jual beli melalui media internet
Transaksi jual beli pada umumnya dilakukan dengan hadirnya dua orang penjual
dan pembeli dan adanya kerelaan kedua belah pihak yang dibuktikan dengan ijab dari
penjual dan qabul dari pembeli. Seiring perkembangan teknologi, terdapat beberapa alat
yang bisa digunakan dari jarak jauh seperti jual beli melalui internet.
Menurut Majma’ Fiqh Islami dalam Muktamarnya yang keenam di Jeddah
menetapkan bolehnya mengadakan transaksi dengan alat-alat komunikasi modern.
Transaksi ini dinilai sebagaimana transaksi dua orang yang berada dalam satu tempat
asalkan syarat-syaratnya terpenuhi. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
a) Adanya kejelasan tentang siapa pihak-pihak yang mengadakan transaksi supaya
tidak ada salah sangka, kerancuan dan pemalsuan dari salah satu pihak atau dari
pihak ketiga.
b) Bisa dipastikan bahwa alat-alat yang digunakan memang sedang dipakai oleh
orang dimaksudkan. Sehingga semua perkataan dan pernyataan memang berasal
dari orang yang diinginkan.
c) Pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama, penjual atau semisalnya) tidak
membatalkan transaksi sebelum sampainya qabul dari pihak kedua. Ketentuan
ini berlaku untuk alat-alat yang menuntut adanya jeda untuk sampainya qabul.
d) Transaksi dengan alat-alat ini tidak menyebabkan tertundanya penyerahan salah
satu dari dua mata uang yang ditukarkan karena dalam transaksi sharf/tukar
menukar mata uang ada persyaratan bahwa dua mata uang yang dipertukarkan
itu telah sama-sama diserahkan sebelum majelis transaksi bubar. Demikian juga
tidak menyebabkan tertundanya penyerahan modal dalam transaksi salam karena
dalam transaksi salam disyaratkan bahwa modal harus segera diserahkan.
e) Berbeda dengan jual beli, Tidak sah akad nikah dengan alat-alat tersebut (hp,
internet dll) karena adanya saksi adalah syarat sah akad nikah.

8. Ketentuan Pinjam-Meminjam
‘Ariyah atau pinjam-meminjam berasal dari ‘ara-ya’ri-‘iryah, yang memiliki arti
datang dan pergi. Berdasarkan pada makna bahasa tersebut, maka sifat ‘ariyah adalah
sesaat (datang dan pergi). Yaitu bahwa barang yang dipinjam harus digunakan seperlunya
dan segera dikembalikan jika telah digunakan.
Para ahli fiqh mendefinisikan ‘ariyah adalah pembolehan untuk memanfaatkan

14
Yusuf Qardhawi. Halal-haram hal 274
barang tanpa pengganti.
Berdasarkan pada definisi tersebut bahwa ‘ariyah adalah meminjam suatu barang
untuk dapat dimanfaatkan tanpa pengganti. Jika diberikan pengganti dengan sejumlah uang
maka disebut ijarah (sewa-menyewa).
Dasar hukum ‘ariyah adalah firman Allah Swt:
‫وتعاونوا على البر والتقوى وال تعاونوا على اإلثم والعدوان‬
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa.” (QS. Al-Maidah : 2)
Dalam hadis Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW
telah meminjamkan kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendaraiya.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang jayyid
dari Shafwan Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai
dari Shafwan bin Umayyah pada waktu perang hunaian. Shafwan bertanya, “Apakah
engkau ingin memilikinya ya Muhammad?” Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan aku
bertanggung-jawab.”

Rukun dan syarat ‘ariyah


a.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat,
yaitu: Mu’ir (orang yang meminjamkan); Musta’ir (peminjam); Mu’ar (barang yang
dipinjamkan) dan Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil
manfaat.
Menurut Sayid Sabiq15 bahwa sahnya ‘ariyah ditunjukan dengan perkataan dan
perbuatan antara peminjam (musta’ir) dan pihak dipinjamkan (mu’ir). Adapun syarat-
syarat yang harus dipenuhi meliputi bahwa: mu’ir ikhlas untuk memberikan pinjaman,
barang yang dipinjamkan dapat memberikan manfaat dan tidak mengurangi (tetap utuh),
dan kebermanfaatan tersebut bersifat mubah bukan untuk sesuatu yang haram seperti
meminjam pisau untuk melukai atau membunuh.
Sayid Sabiq mensyaratkan ‘ariyah pada tiga hal, sebagai berikut :
1) Orang yang meminjamkan (mu’ir) adalah pemilik yang berhak untuk
menyerahkannya.
2) Bahwa barang yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan
3) Bahwa pemanfaatan itu dibolehkan.
Ketentuan lain yang perlu diperhatikan dalam akad ‘ariyah adalah bahwa apabila
barang yang dipinjam sudah selesai digunakan, maka harus segera dikembalikan kepada
mu’ir (pemberi pinjaman). Sebagaimana firman Allah Swt:
)58 ‫إن هللا يأمركم أن تؤدّوا االمانات الى أهلها (النساء‬
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk memenuhi amanat kepada ahlinya.” (QS. Al-
Nisa: 58).
Sabda Rasulullah Saw :
: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن ابى هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫أد االمانة الى من ائتمنك وال تخن من خانك‬
“Penuhi amanat kepada orang yang telah memberi kepercayaan kepada Anda, dan jangan
berkhiatan terhadap orang yang telah mengkhianati Anda.”
Karena jika tidak segera dikembalikan, dan terbukti hilang, maka peminjam harus
bertanggung jawab penuh. Tetapi jika barang pinjaman tersebut digunakan dengan cara
wajar dan ternyata rusak, maka itu menjadi tanggung jawab pemilik barang. Hal ini
didasarkan pada hadits Rasulullah Saw :
‫على اليد ما أخذت حتى تؤدي‬
15
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3. Dar al-Fikr. Hal 232
“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia telah terima, sampai dengan ia
mengembalikannya.”
Dalam hadits yang lain:
‫ليس على المستعير غير المغل ضمان وال المستودع غير المغل ضمان (أخرجه‬
)‫الدارقطنى‬
“Peminjam yang tidak khiyanat tidak berkewajiban mengganti kerugian, dan juga orang
yang dititipi yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugia.” (HR. Daruqutni).
Berdasarkan hadits tersebut, peminjam tidak diwajibkan mengganti barang yang dipinjam
kecuali kerusakan tersebut karena kecerobohan peminjam, seperti meminjam gunting
untuk kertas digunakan untuk menggunting baja, dan lain sebagainya.

FIQH MTs Kelas VIII Semester Ganjil


KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR
3. Memahami dan menerapkan 3.4. Menganalisis Ketentuan Pelaksanaan
pengetahuan (faktual, konseptual, dan Zakat
prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya terkait
fenomena dan kejadian tampak mata
4. Mengolah, menyaji dan menalar dalam 4.4 Menyajikan Ketentuan Pelaksanaan
ranah konkret (menggunakan, Zakat
mengurai, merangkai, memodifikasi,
dan membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca, menghitung,
menggambar, dan mengarang) sesuai
dengan yang dipelajari di sekolah dan
sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori

9. Ketentuan Islam tentang zakat dan hikmahnya


Zakat terdiri dari zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah adalah zakat yang
ditunaikan pada bulan Ramadhan untuk menyempurnakan ibadah puasa. Sedangkan zakat
mal adalah zakat harta (kekayaan) yang telah mencapai nishab dan haul.
a. Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim laki-laki,
perempuan, besar atau kecil, merdeka atau buak pada awal bulan Ramadhan sampai orang-
orang selesai shalat idul fitri dengan ukuran sebanyak dua setengah kilogram bahan
makanan pokok untuk setiap orangnya. Dasar kewajiban zakat fitrah adalah sabda
Rasulullah Saw:
“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan, sebanyak satu sha’
(3,1) liter dari makanan kurma atau syair (gandum) atas tiap tiap orang merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar
r.a).
Adapun cara mengeluarkan zakat fitrah adalah Jika seorang kepala keluarga
memiliki isteri, 3 anak laki-laki dan seorang anak perempuan, seorang ibu yang menjadi
tanggungannya dan seorang pembantu. Harga bahan pokok beras yang terbaik Rp. 7000 /
kg. Berapa zakat fitrah yang dikeluarkan oleh seorang kepala keluarga?
Jumlah seluruh orang yang wajib mengeluarkan zakat adalah 8 (delapan). Sehingga
cara penghitungannya adalah 8 x 2,5 x 7000= 8 x 17.500 = Rp. 140. 000. (untuk perorang
dibayar Rp. 17.500. dan kepala keluarga harus membayarkan 7 orang dengan dirinya (8)
sejumlah Rp. 140. 000.
Jika anak-anak tersebut tidak lagi menjadi tanggungan orang tuanya, maka orang
tua tidak kewajiban membayarkan zakat mereka, begitu juga jika orang tua menjadi
tanggungan anak-anaknya, anak-anaknya berkewajiban membayarkan zakat mereka.
b. Zakat Mal
Zakat mal adalah zakat harta atau kekayaan yang harus dikeluarkan setelah
terpenuhinya syarat-syarat. Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
a) Milik Sempurna, yaitu bahwa harta itu benar-benar miliknya, yang mempunyai
kekuasaan untuk mengelolanya, memang pada hakikatnya harta yang dimiliki itu
adalah harta Allah. Namun Allah telah memberikan kepercayaan kepadanya
untuk digunakan di jalan-Nya dengan baik. Sehingga tidak wajib mengeluarkan
zakat Mal dari harta pinjaman, juga tidak wajib mengeluarkan harta dari harta-
harta yang diperoleh dari cara-cara yang tidak baik seperti ghasab atau mencuri,
korupsi, menipu dan lain-lain. (Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat juz 1, hal 133-134).
b) Harta kekayaan yang berharga, harta yang dimiliki tentunya yang bernilai atau
berharga, dalam hal ini adalah Emas dan Perak, Hewan ternak, Hasil tanaman,
harta perniagaan. Hasil tambang, Harta temuan dan ditambah dengan Zakat
Profesi.
c) Nishab, adalah kadar atau ukuran minimal wajib zakat.
d) Haul, adalah waktu pemilikian harta selama satu tahun. Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw:
“Tidak ada (wajib) zakat pada harta seseorang sebelum sampai satu tahun
dimilikinya.” (HR. Daruquthni).

Adapun bentuk-bentuk zakat mal yang disyariatkan oleh Islam meliputi zakat
emas, zakat perak, zakat peternakan meliputi unta, sapi/kerbau dan kambing/domba, zakat
pertanian, zakat perniagaan. Sebagaimana dijelaskan berikut ini:
1) Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak adalah salah satu jenis harta kekayaan yang bernilai tinggi,
sehingga wajib dikeluarkan zakatnya jika telah mencapai nishab dan haul. Adapun nishab
emas seberat 85 gram dan zakatnya adalah 2,5 %. Sedang nishab perak ialah seberat 200
dirham atau 5 awaq atau 672 gram perak murni, zakatnya adalah lima dirham atau 2,5 %.
Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
“Tidak ada kewajiban sesuatu apapun bagimu –yakni mengenai emas- sehingga
engkau memiliki dua puluh dinar. Jikalau milikmu telah sampai dua puluh dinar, dan
cukup masa satu tahun, maka zakatnya setengah dinar. Dan kelebihannya diperhitungkan
seperti itu, dan tidak wajib zakat pada sesuatu harta sampai menjalani masa satu tahun”.
(HR. Ahmad, Abu Daud, Baihaqi, dishahihkan oleh Bukhari dari Ali ra.).
Adapun tentang uang kertas, sesungguhnya uang itu dapat digunakan untuk
membeli emas, maka bila jumlahnya telah mencapai nilai 85 gram, maka wajiblah
dikeluarkan zakatnya. Adapun cara penghitungan zakat emas dan perak adalah sebagai
berikut: Seorang muzakki memiliki emas seberat 150 gram, berapa gram yang harus
dikeluarkan zakatnya dan berapa rupiah yang dikeluarkan zakatnya, jika harta satu gram
emas Rp 110.000?
Jika dibayarkan dengan emas maka zakat yang dikeluarkannya adalah 150 gram x
2,5 % = 3,75 gram. Dan jika dikeluarkan dengan uang rupiah adalah 150 gram x 110. 000
= Rp. 16.500.000 x 2,5 % = Rp. 412500.
Seorang muzakki memiliki perak seberat 750 gram, harga satu gram perak
misalnya Rp. 20.000. berapa gram perak atau rupiah yang harus dikeluarkan zakatnya?
Berdasarkan masalah di atas, kewajiban zakat perak sebanyak 750 gram x 2,5 % =
18.75 %. Maka kewajiban mengeluarkan zakat peraknya adalah 18,75 gram perak.
Sedangkan jika dikeluarkan dengan rupiah adalah 750 gram x Rp. 20.000 = Rp.
15.000.000= Rp. 15.000.000 x 2.5 % = 375.000
2) Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak yang wajik dikeluarkan zakatnya adalah sapi, kambing/domba dan
unta. Pertama, sapi atau kerbau; Sapi atau kerbau adalah jenis binatang ternak yang cukup
bernilai tinggi, orang yang memiliki binatang ternak ini tentunya memiliki kekayaan harta
yang bernilai tinggi. Sehingga wajib mengeluarkan zakatnya. Setiap memiliki 30 ekor sapi
atau kerbau dikenai zakat seekor anak sapi atau anak kerbau umur satu tahun, dan tiap 40
ekor dikenai zakat seekor anak sapi/kerbau umur dua tahun. Ketentuan seperti ini
didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
“Menilik hadits Muadz bin Jabl ketika diutus ke negeri Yaman, bahwa ia
diperintah untuk memungut dari tiap 30 ekor sapi, seekor anak sapi yang berumur satu
tahun dan 40 ekor sapi, seekor anak sapi yang berumur dua tahun”. (HR. Ibnu Majah,
Abu Dawud, Turmudzi).
Nishab sapi lebih besar dari nishab emas, jika satu ekor sapi seharga Rp. 7000.000
maka 30 ekor sapi Rp. 21.000.000. sedangkan nishab emas 85 gram. Jika harga pergram
emas murni 150.000 hanya 12.750.000.
Kedua, Kambing/Domba. Nishab kambing/domba dari mulai jumlah 40 ekor
kambing sampai dengan jumlah 120 ekor wajib mengeluarkan zakatnya adalah seekor
kambing. Dan mulai 121 ekor sampai 200 ekor wajib mengeluarkan zakatnya dua ekor
kambing. Selebihnya di atas 300 ekor maka setiap pertambahan 100 ekor dikenai satu ekor
kambing. Ketentuan ini didasarkan kepada sabda rasulullah saw:
“Dan tentang zakat kambing gembala, bila ada 40 ekor sampai 120 ekor dikenakan
zakat seekor kambing. Jika kambing itu lebih dari 120 sampai 200 dikenakan zakatnya
dua ekor kambing. Dan jika kambing itu lebih dari 200 sampai dengan 300 ekor
dikenakan zakatnya tiga ekor. Jika lebih dari 300 ekor, maka setiap 100 ekor dikenai zakat
seekor kambing. Kalau kambing gembala itu kurang dari 40 ekor walaupun hanya kurang
seekor saja, maka tidaklah dikenakan zakat, kecuali dari kehendak yang pemiliknya…(HR.
Tsamamah bin Abdullah bin Anas dari Anas).
Ketiga, Onta. Binatang seperti ini sangat jarang ditemukan di Negara kita, tetapi
kita pun perlu mengetahui jika sewaktu-waktu kita memilikinya. Nishab onta adalah:
5 – 9 wajib mengeluarkan zakatnya adalah seekor kambing umur 1 tahun lebih.
10 – 14 ekor unta, wajib mengeluarkan zakat dua ekor kambing umur 1 tahun lebih
15 – 19 ekor unta, wajib mengeluarkan zakat tiga ekor kambing umur 1 tahun lebih
20 – 24 ekor unta, wajib mengeluarkan zakat empat ekor kambing umur 1 tahun lebih
25 – 35 ekor onta, wajib mengeluarkan zakat seekor anak onta umur 1 tahun lebih.
36 – 45 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya seekor anak unta umur 2 tahun lebih.
46 – 60 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya seekor anak unta umur 3 tahun lebih.
61 – 75 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya seekor anak unta umur 4 tahun lebih.
76 – 90 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya 2 ekor unta umur 2 tahun lebih .
91 – 120 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya 2 ekor unta umur 3 tahun lebih.
120 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya 3 ekor unta umur 2 tahun lebih.
Mulai dari 121 ini dihitung tiap-tiap 40 ekor unta zakatnya 1 ekor unta umur 2
tahun lebih, dan tiap-tiap 50 ekor unta zakatnya 1 ekor unta yang berumur 3 tahun lebih.
Jadi, 130 ekor unta zakatnya 2 ekor unta umur 2 tahun dan 1 ekor unta umur 3 tahun, dan
140 ekor unta zakatnya 1 ekor unta umur 2 tahun dan 2 ekor unta umur 3 tahun. Kalau 150
ekor unta, zakatnya 3 ekor unta umur 3 tahun, dan seterusnya.
Hal ini didasarkan kepada keterangan surati Abu Bakar kepada penduduk Bahrain.
Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak ada zakat unta sebelum sampai lima ekor. Maka apabila sampai 5 ekor
zakatnya satu ekor kambing, 10 ekor zakatnya dua ekor kambing, 15 ekor zakatnya tiga
ekor kambing, 20 ekor zakatny empat ekor kambing. 25 ekor zakatnya seekor anak unta,
36 ekor zakatny satu anak unta yang lebih besar, 46 ekor zakatnya satu anak unta yng
lebih besar, 61 ekor zakatnya satu anak unta yang lebih besar lagi, 76 ekor zakatnya dua
ekor anak unta, 91 ekor zakatnya dua ekor anak unta yang lebih besar, 121 ekor zakatnya
tiga ekor anak unta, kemudian tiap-tiap 40 ekor zakatnya satu ekor anak unta umur 2
tahun lebih, dan tiap-tiap 50 ekor zakatny satu ekor anak unta umur 3 tahun. (Riwayat
Bukhari dari Anas r.a)
3) Zakat Hasil Tanaman
Segala macam hasil tanaman semacam padi, gandum, kentang, jagung dan
sebangsanya yang sifatnya menjadi bahan makanan pokok bagi penduduk negeri wajib
dikeluarkan zakatnya. Berbeda dengan jenis zakat mal lainnya, zakat hasil tanaman
dikeluarkan tidak harus menunggu haul (satu tahun) tetapi setiap kali panen. Hal ini
sebagaimana firman Allah Swt:
‫وأتوا حقه يوم حصاده‬
“Dan keluarkanlah zakat biji makanan itu paa hari memetiknya”. (QS. Al-An’am:141).
Adapun nishab zakat hasil tanaman adalah 5 wasaq dan wajib mengeluarkan
zakatnya 5 % jika hasil panennya diusahakan oleh manusia; dan 10 % jika tanpa usaha
manusia (hanya mengandalkan dari air hujan). Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Tidaklah dikenakan zakat atas biji makanan dan tidak pula terhadap kurma
sehingga sampai lima (5) wasaq (HR. Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri).
“Terhadap tanaman yang disiram hujan dari langit dan dari mata air atau yang
digenangi air selokan, dikenakan zakatnya sepersepuluhnya (10%), sedang terhadap
tanaman yang disiram dengan sarana pengairan, seperduapuluh (5%). (HR. Bukhari dan
Ahmad serta Ahli Sunan dari Ibnu Umar r.a).
Menurut Sulaeman Rasyd dalam Fiqh Islam (204) bahwa Ukuran satu wasaq sama
dengan 60 sha’, 5 wasaq berarti 300 sha’. Satu sha’ sama dengan 3,1 liter. Sehingga 300
sha’ sama dengan 930 liter. Zakat yang dikeluarkan antara 10 % dan 5 %.
Di Indonesia, nishab untuk hasil tanaman ini adalah 1050 liter atau 840 kg. Adapun
contoh cara penghitungan. Misalnya seorang petani menghasilkan hasil panennya seberat
1500 liter. Hasil panen itu membutuhkan irigasi, berapa zakat yang harus dikeluarkannya:
1500 liter x 5% = 75 liter. Hasil panen yang wajib dikeluarkan adalah 75 liter.
4) Zakat Harta Perniagaan
Harta perniagaan adalah harta keuntungan dari perdagangan. Nishab harta
perniagaan sama dengan nishab emas, yaitu 85 gram. Zakat yang harus dikeluarkannya
adalah 2,5 %.
Tentang zakat harta perniagaan ini tidak dapat dijumpai satu nash pun, baik dalam al-
Quran maupun hadits. Jumhur ulama sepakat bahwa harta perniagaan harus dikeluarkan
zakatnya.
5) Zakat Hasil Tambang
Hasil tambang adalah sesuatu yang dihasilkan dari kekayaan ala mini seperti emas,
perak dan hasil tambak ikan. Nishabnya adalah sama dengan nishab emas atau perak dan
zakatnya adalah 2,5 %. Hasil tambang ini wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan sabda
Rasulullah Saw;
“Bahwa sanya Rasulullah Saw telah mengambil shadaqah atau zakat dari hasil
tambang di negeri Qabaliyah”. (HR. Abu Daud dan Hakim).
6) Zakat Rikaz (hasil Temuan)
Rikaz adalah harta temuan berupa barang-barang berharga seperti emas dan perak.
Jika kita menemukan harta ini, wajib kita keluarkan zakatnyanya sebanyak 20 %. Hal ini
sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda:
Zakat rikaz adalah seperlima (20%).
Rikaz tidak disayaratkan sampai satu tahun (haul). Tetapi apabila didapat, segera
wajib dikeluarkan zakatnya pada waktu itu juga, seperti zakat hasil panen. Adapun
nishabnya, sebagian ulama seperti Imam Maliki, Abu Hanifah serta Imam Ahmad tidak
ada nishabnya seperti halnya tidak diperlukan haul. Seperti contoh. Seorang menemukan
harta karun sebesar 1.000.000,00 maka wajib mengeluarkan zakatnya 20 %. Yaitu Rp
200.000,00.
Rikaz dapat diserupakan dengan bonus atau hadiah. Seperti seseorang mendapatkan
hadiah dari suatu kuis, bernilai 50. 000.000, 00, maka wajib mengeluarkan zakatnya
sebesar 20%. Yaitu Rp. 10. 000.000,00
7) Zakat profesi.
Zakat profesi muncul baru-baru ini, sejak profesi zaman sekarang ini berbagai
macam. Pada zaman Rasul Saw, mungkin profesi tidak sebanyak profesi zaman sekarang,
tetapi bukan berarti profesi yang tidak ada zaman Rasul tidak ada zakatnya, karena nash al-
Quran dan Sunnah mengancam orang-orang yang senang mengumpulkan harta mereka.
Para ulama pun menetapkan zakat profesi adalah wajib berdasarkan firman Allah Swt:
“Hai orang-orang beriman, infaqkanlah dari sebaik-baiknya harta yang kalian
peroleh dan dari sesuatu yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi ini. Janganlah
kalian sengaja memberikan dari apa yang jelek, yang sama sekali kalian tidak sudi
mengambilnya (menggunakannya) kecuali dengan memejamkan mata terhadapnya.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-
Baqarah 267).
Zakat profesi dapat dikeluarkan zakatnya setiap kali menerima gaji, nishabnya
sama dengan nishab perak. Hal ini diqiyaskan dengan zakat hasil tanaman. Juga dapat
dikeluarkan setahun sekali dan nishabnya adalah emas. Hal ini diqiyaskan dengan zakat
perdagangan. Adapun cara menghitung zakat profesi pertahun menurut Mushtafa Kamal
dkk adalah:
Seorang memperoleh gaji Rp. 500.000,00 per bulan atau Rp 6.000.000,00 pertahun.
Kebutuhan pokok sewajarnya Rp. 275.000,00 perbulan atau Rp. 3.300,00 pertahun. Nilai
kekayaan Rp 6000.000,00 – Rp 3.300.000,00 = Rp. 2.700.000,00. Apabila telah melebihi
nishab maka besarnya zakat yang harus dibayarkan Rp 2.700.000,00 x 2,5 % = Rp
67.500,00.

Fiqh MA Kelas XI
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR
3. Memahami, menerapkan, dan 3.3 Menganalisis Ketentuan hukum
menganalisis pengetahuan faktual, mawaris dan wasiat
konseptual, prosedural, dan metakognitif
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian,
serta menerapkan pengetahuan prosedur al
pada bidang kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah
4) Mengolah, menalar, menyaji, dan 4.3. Menyajikan ketentuan hukum
mencipta dalam ranah konkret dan ranah mawaris dan wasiat
abstrak terkait dengan pengembangan
dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri serta bertindak secara efektif dan
kreatif, mampu menggunakan metode
sesuai kaidah keilmuan

10. Ketentuan Hukum Mawaris dan Wasiat dalam islam


Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian waris. Rukun pembagian
waris ada tiga: pertama, al-Muwarrits, yaitu orang yang memiliki harta atau mayit yang
meninggalkan hartanya. Syaratnya muwarrits benar-benar telah meninggal dunia. Kedua,
al-warits atau ahli waris, yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan
baik karena hubungan darah atau karena perkawinan atau akibat memerdekakan budak.
Dan ketiga, Al-mauruts atau al-mirats yaitu harta peninggalan si mayit setelah dikurangi
biaya perawatan jenzah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.
a. Sebab-sebab Mendapatkan Waris
Ada beberapa sebab yang menyebabkan seseorang dapat saling mewarisi, yaitu
terdapat tiga hal yaitu sebagai berikut:
1) Hubungan kekerabatan (al-qarabah)
Kekerabatan yang menjadi sebab mewarisi adalah hubungan yang dekat dengan
muwarrits, seperti anak, cucu, bapak, ibu dan lain sebagainya, atau kerabat jauh seperti
paman, saudara sekandung, sudara sebapak atau saudara seibu. Hubungan yang paling
dekat dialah yang paling banyak mendapatkan harta muwarrits. Hubungan kekerabatan ini
tidak dibatasi untuk pihak laki-laki saja, tetapi juga pihak wanita sama-sama mendapatkan
harta warisan.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan
yang mewarisi, kerabat-kerabat itu dapat digolongkan kepada tiga golongan, yaitu:
a) Furu’ yaitu anak turunan si mayit
b) Ushul yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya mayit
c) Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mayit melalui garis
menyamping seperti saudara sekandung, seayah dan seiibu.
2) Hubungan perkawinan (al-musaharah)
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi
antara suami dan istri. Hak saling mewarisi tersebut selama hubungan perkawinan masih
berlangsung. Jika mereka telah bercerai, maka tidak ada lagi hak saling mewarisi. Tetapi
jika istri dalam keadaan ditolak raj’i (yang masih memungkinkan untuk rujuk) selama
masih iddah, suaminya meninggal dunia, maka istri tersebut berhak mendapatkan warisan
dari suaminya.
3) Hubungan sebab al-wala
Al-wala adalah orang yang memerdekakan budak. Adapun bagi orang yang
memerdekakan budak, maka berhak menerima waris dari budak tersebut 1/6 dari harta
peninggalannya.

b. Hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum waris dibagi kepada ahli waris.
Ada hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli
waris, sebagi berikut:
1) Biaya perawatan jenazah
Biaya perawatan yang diperlukan oleh orang yang meninggal seperti biaya-biaya
untuk memandikan, mengkafani, mengusung, dan menguburkannya. Semuanya itu
ditanggung dari harta muwarrits secara tidak berlebih-lebihan atau terlalu dibatasi. Sebab
jika berlebih-lebihan akan mengurangi hak ahli waris dan jika terlalu dibatasi akan
mengurangi hak si mayit.
2) Pelunasan utang
Utang adalah suatu tanggungan yang wajib dilunasi. Utang dapat diklasifikasikan
kepada dua macam, pertama dainullah (hutang kepada allah) seperti puasa, zakat dan lain
sebaginya. Kedua dainu l-‘ibad (hutang kepada manusia) semua hutang ini harus
dibayarkan terlebih dahulu sebelum harta warisan dibagikan, sebagaimana firman Allah
SWT yang artinya:
“Setelah diambil untuk wasiat yang diwasiatkan dan atau sesudah dibayar utang-
utangnya...”. (Q.S. An-Nisa. [04]:11).
3) Pelaksanaan wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang
lain yang berlaku apabila yang menyerahkan itu meninggal dunia. Wasiat merupakan
tindakan yang semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaannya kepada suatu
badan atau orang lain. Wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi oleh ahli
warisnya. Orang yang berhak menerima wasiat adalah bukan ahli waris. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw:
“tidak ada hak menerima wasiat bagi ahli waris yang menerima warisan kecuali
apabila ahli waris lain membolehkannya”. (HR Druqutniy).
Ahli waris berhak menerima wasiat, tetapi harus ada izin dari ahli waris lain,
karena akan mengurangi hak-hak mereka. Sedangkan menurut Ibnu Hazam dan Fuqaha
Malikiyah tidak boleh sama sekali berwasiat kepada ahli waris, sekalipun ahli waris lain
mengizinkan.

c. Furudhul-Muqaddarah
Furudhl-Muqaddarah adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh Syari’
secara pasti. Furudhul muqaddarah terdiri atas enam macam, yaitu:
Furudul
No Ahli Waris
Muqaddarah
a. 2 anak perempuan atau lebih
b. 2 cucu perempuan atau lebih
1 2/3
c. 2 saudara perempuan sekandung atau lebih
d. 2 saudara perempuan seayah atau lebih
a. Ibu jika tidak ada anak/cucu atau tidak ada dua saudara
2 1/3 perempuan atau lebih
b. Dua saudara laki-laki/perempuan seibu atau lebih
a. Ibu jika ada anak/cucu
b. Ayah jika ada anak/cucu laki-laki
c. Nenek jika tidak ada ibu dan setiap keadaan.
d. Cucu perempuan jika ada satu anak perempuan (pelengkap
3 1/6
2/3)
e. Saudara perempuan seayah jika ada satu saudara perempuan
sekandung
f. Seorang saudara perempuan/laki-laki seibu jika sendirian
a. Suami jika tidak ada anak atau cucu
b. Seorang anak perempuan jika sendirian
4 1/2
c. Seorang cucu perempuan jika sendirian
d. Seorang saudara perempuan sekandung jika sendirian
e. Seorang saudara perempuan seayah jika sendirian
a. Istri jika tidak ada anak/cucu
5 1/4
b. Suami jika ada anak/cucu
6 1/8 a. Istri jika ada anak/cucu

d. Ashabul-Furudh
Ashabul-Furudh adalah orang-orang yang berhak menerima waris dengan jumlah
yang telah ditentukan oleh syari’. Ashabul-Furudh terdiri dari:
1) Ashabul-Furudh Sababiyah yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan
disebabkan karena hubungan pernikahan. Ashabul-Furudh Sababiyah ini terdiri dari
suami-istri.
a) Suami berhak mendapatkan bagian:

Bagian Ketentuan
1/2 Jika tidak ada anak atau cucu
1/4 Jika bersama anak atau cucu

b) Istri berhak menerima bagian:


Bagian Ketentuan
1/4 Jika bersama anak atau cucu
1/8 Jika bersama anak atau cucu

Dapat dilihat dalam bagan suami-istri sebagai berikut:


Ahli waris Bagian Syarat
Suami 1/2 Jika tidak ada anak atau cucu mayit
1/4 Jika bersama anak atau cucu mayit
Istri 1/4 Jika tidak ada anak atau cucu mayit
1/8 Jika bersama anak atau cucu mayit

Ketentuan tersebut berdasarkan firman Allah SWT yang artinya:


ُّ ‫ف َما ت َ َر َك أ َ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم َي ُك ْن لَ ُه هن َولَد ٌ َفإ ِ ْن َكانَ لَ ُه هن َولَد ٌ فَلَ ُك ُم‬
‫الربُ ُع ِم هما‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
ُّ ‫ُوصينَ ِب َها أ َ ْو دَي ٍْن َولَ ُه هن‬
‫الربُ ُع ِم هما ت َ َر ْكت ُ ْم ِإ ْن لَ ْم َي ُك ْن لَ ُك ْم َولَد ٌ فَإ ِ ْن‬ ِ ‫صيه ٍة ي‬ ِ ‫ت َ َر ْكنَ ِم ْن َب ْع ِد َو‬
‫صونَ ِب َها أ َ ْو دَي ٍْن‬ ُ ‫صيه ٍة تُو‬ِ ‫َكانَ لَ ُك ْم َولَد ٌ فَلَ ُه هن الث ُّ ُم ُن ِم هما ت َ َر ْكت ُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta-harta yang ditinggalkan oleh istri-
istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau sudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau sesudah dibayar hutang-hutangnya.” (Q.S. An-
Nisaa:12).
2) Ashabul-Furud Nasabiyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan
disebabkan karena nasab atau keturunan. Ashabul-Furudh Nasabiyah terdir dari:
a) Anak perempuan berhak menerima bagian:
1/2 jika sndirian tidak bersama anak laki-laki
2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anka laki-laki
Hal ini didasarkan kepada firman Allah:
ُ ‫اح َدةً فَلَ َها النِص‬
‫ْف‬ ِ ‫سا ًء فَ ْوقَ اثْ َنت َ ْي ِن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت َ َركَ َوإِ ْن كَانَتْ َو‬
َ ِ‫فَ ِإ ْن ك َُّن ن‬
“...dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu sendirian, maka ia
memperoleh separuh harta.” (Q.S.An-Nisa:11).
Anak perempuan tidak pernah bisa dihalangi oleh ahli waris lain, tetapi ia dapat
menghalangi ahli waris untuk menerima waris, yaitu saudara perempuan/laki-laki seibu.
b) Cucu perempuan, berhak menerima bagian:
1/2 jika sendiri, tidak bersama cucu laki-laki
2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama cucu laki-laki.
1/6 jika bersama satu anak perempuan .
Mahjub (terhalang) jika ada satu anak laki-laki atau dua anak perempuan.
Bagian anak perempuan dan cucu perempuan dapat dilihat dalam bagan sebagai
berikut:
Ahli waris Bagian Ketentuan
Anak perempuan ½ Jika sendirian
2.3 Jika berdua atau lebih
Cucu perempuan ½ Jika sendirian dan tidak ada anak laki-laki
2/3 Jika berdua atau lebih dan tidak ada anak laki
1/6 Jika bersama seorang anak perempuan
Mahjub Jika ada anak laki atau dua orang anak perempuan

c) Ibu berhak menerima bagian:


1/3 jika tidak ada anak/cucu atau tidak ada saudara dua atau lebih.
1/6 jika ada anak/cucu atau bersama dua saudara atau lebih.
1/3 sisa, dalam masalah Garrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari suami/istri,
ibu dan bapak.
d) Bapak berhak menerima bagian:
1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki
1/6 + sisa, jika bersama anak peremuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
Asobah jika tidak ada anak laki-laki.
Jika bapak bersama ibu:
Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua
orang atau lebih.
Berkaitan dengan ketentuan ibu bapak, Allah berfirman yang artinya:
“Dan untuk dua orang ibu bapak bagi mereka masing-masing seperenam dari
harta yang didtinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak. Jika yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai saudara, maka ibu mendapat
seperenam.” (Q.S. An-Nisa.[04]:11)
Ketentuan bagian tersebut dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut :
ahli waris Bagian Ketentuan
Ibu 1/3 Jika tidak ada anak atau cucu atau dua saudara
1/6 Jika bersama anak atau cucu atau dua saudara
1/3 sisa Masalah gharrawain/umaryatain
Ayah 1/6 Jika bersama anak atau cucu laki-laki
1/6 sisa Jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan
Asobah Jika tidak ada anak laki-laki

e) Nenek berhak menerima bagian:


1/6 dalam setiap keadaan
Mahjub jika ada ibu
f) Kakek berhak menerima bagian:
1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki
1/6 sisa, jika bersama anak atau cucu permpuan tanpa ada anak laki-laki
1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah
diambil untuk ahli waris lain.
1/3 atau muqasamah saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris
lain. (dibahas dalam bab khusus). Mahjub jika ada ayah.

Bagian nenek dan kakek dapat dilihat dari bagan berikut ini:
Ahli waris Bagian Ketentuan
Nenek 1/6 Dalam setiap keadaan
Mahjub Jika ada ibu
Kakek 1/6 Jika bersama anak laki-laki
1/6 sisa Jika bersama anak perempuan
1/6 atau Jika bersama saudara
muqasamah
1/3 atau Jika bersama saudara
muqasamah
Asobah Jika tidak ada anak laki-laki
mahjub Ada anak laki-laki atau cucu laki-laki atau ada
ayah

g) Sauadara perempuan sekandung (seayah seibu) berhak menerima bagian:


1/2 jika seorang, dan tidak bersam saudara laki-laki sekandung.
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
Ashabah bi l-ghar jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan
Ashabah maal ghair jika ada anak perempuan atau cucu perempuan
Mahjub jika ada ashal atau furu’ dari laki-laki. (ayah atau anak laki-laki)
h) Saudara perempuan seayah, berhak menerima bagian:
1/2 jika seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
2/3 jika berdua atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
1/6 jika bersama dengan satu saudara perempuan sekandung sebagai pelengkap
2/3
Ashabah bil-ghair jika bersama saudara laki-laki seayah
Ashabah ma’a l-ghair jika bersama anak perempuan atau cucu permpuan
Mahjub jika ada ashal atau furu’ dari laki-laki (ayah atau kakek dan anak atau
cucu)
Mahjub juga jika ada dua saudara permpuan sekandung.
i) Saudara perempuan/laki-laki seibu, berhak menerima bagian:
1/6 jika sendirian
1/3 jika dua orang atau lebih
Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung ketika bersama-sama dengan
ahli waris suami dan ibu (musyarakah). Mahju jika ada ashal atau furu’ dari laki-
laki.
Bagian tersebut dapat disimpulkan dalam bagan sebagai berikut:
Ahli waris Bagian Ketentuan
Saudara pr 1/2 Jika sendirian
sekandung 2/3 Jika dua orang atau lebih
Asobah Jika bersama muasib (asobah bil ghair) atau
jika ada anak atau cucu perempuan (asobah
Ahli waris Bagian Ketentuan
ma’al ghair).
Mahjub Jika ada anak laki-laki (cucu lk), atau ayah
Sdr pr seayah 1/2 Jika sendirian
2/3 Jika dua orang atau lebih
1/6 Jika ada seorang sdr pr sekandung
Asobah Jika bersama muasib (asobah bil ghair) atau
jika ada anak atau cucu pr (asobah ma’al ghair)
Mahjub Jika ada anak lk atau cucu laki-laki atau ayah
Sdr pr seibu 1/6 Jika sendirian
1/3 Jika dua orang atau lebih
Mahjub Jika ada anak perempuan atau cucu atau ayah

e. Ashabah
Ashabah menurut bahasa berarti kekerabatan seorang laki-laki dengan ayahnya.
Dinamakan ashabah karena mereka mengelilinginya. Kata Ashaba artinya mengelilingi
untuk melindungi dan membela. Sekelompok orang yang kuat dinamakan Ushbah.
Sebagaimana firman Allah swt:
َ‫صبَةٌ إِنها إِذًا لَخَا ِس ُرون‬ ُ ْ‫قَالُوا لَئِ ْن أ َ َكلَهُ ال ِذّئ‬
ُ ‫ب َون َْح ُن‬
ْ ‫ع‬
“Mereka berkata: jika ia benar-benar dinamakan serigala, sedang kami golongan
(orang-orang kuat), sungguh kalau demikian kami adalah orang-orang yang merugi”
(Q.S.Yusuf [12]:14).
Adapun menurut istilah yang digunakan dalam ilmu waris, ashabah adalah ahli
waris yang tidak mempunyai bagian tertentu dalam Alquran dan Nash. Karena ia sangat
tergantung dengan sisa setelah diambil oleh ahli waris ashabul furudh.
Adapun macam-macam ashabah ada tiga:
1) Ashabah bin-Nafsihi
Ashabah bin nafsih yaitu kerabat laki-laki yang bernisbah kepada mayit tanpa
diselingi oleh orang perempuan. Ketentuan ini mengandung dua pengertian, yaitu bahwa
antara mereka dengan si mati tidak ada perantara sama sekali, seperti anak laki-laki dan
ayah, dan terdapa perantaranya bukan perempuan. Seperti cucu laki-laki dari anak laki-
laki.
Adapun dasar yang dijadikan dalam penetapan ashabah bin-nafsih ini ialah hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
)‫الحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فالولى رجل ذكر (متفق عليه‬
“berikan harta pusaka kepada orang-orang yang berhak, sesudah sisanya, untuk orang-
orang laki-laki yang lebih utama.”
Ashabah bi n-nafsih mempunyai 4 jalur berurutan sebagai berikut:
a) Jalur anak: meliputi anak laki-laki dari mayit, kemudian cucu laki-laki dari anak
laki-laki dan terus kebawah.
b) Jalur ayah: meliputi ayah mayit, kemudian kakek dan seterusnya ke atas.
c) Jalur saudara: meliputi saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki
seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah seibu, kemudian dari
laki-laki seayah seterusnya ke bawah.
d) Jalur paman: meliputi saudara laki-laki ayah sebapak seibu, saudara laki-laki ayah
sebapak, putra saudara laki-laki ayah sebapak seibu dan putra saudara laki-laki
ayah sebapak dan seterusnya.
Contoh Ahli waris terdiri dari ayah, anak laki-laki. Berapa bagian mereka masing-masing
jika harta peninggalan Rp.120 juta?
Ayah 1/6 karena ada anak.
Anak laki-laki ashabah (sisanya) yaitu 5/6.
Harta warisan Rp. 120 juta.
Ayah mendapatkan Rp.20 juta.
Anak laki-laki mendapat Rp.100 juta.

2) Ashabah bil-Ghair
Ashabah bil-ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk
menjadikan orang lain ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushbah.
Ashabah bil-ghair itu ada empat orang wanita yang bagian mereka 1/2 bila sendirian
dan 2/3 bila lebih dari seorang. Mereka itu ialah:
a) Anak perempuan sekandung bersama anak laki-laki sekandung.
b) Cucu perempuan bersama cucu laki-laki sekandung.
c) Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
d) Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
Apabila salah seorang ahli waris dari perempuan-perempuan tersebut bersama
muashibnya yang sama derajat dan kekuatannya, ia menjadi ashabah bi l-ghair. Ia
bersama –sama dengan muashibnya menerima sisa harta peninggalan dari ashabu l-furudh
atau seluruh harta peninggalan bila tidak ada ashabu l-furudh yang lain, dengan ketentuan
orang yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian orang perempuan. Sebagaimana
firman Allah SWT:
‫ظ ْاأل ُ ْنثَيَيْن‬
ّ ِ ‫َّللاُ فِي أ َ ْو َال ِد ُك ْم ِللذه َك ِر ِمثْ ُل َح‬
‫ُوصي ُك ُم ه‬
ِ ‫ي‬
“Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang anak laki-laki sama
dengan dua orang anak perempuan...” (Q.S. Al-Nisa [04]:11)
‫ظ ْاأل ُ ْنثَيَي ِْن‬
ّ ِ ‫سا ًء فَ ِللذه َك ِر ِمثْ ُل َح‬
َ ‫َو ِإ ْن َكانُوا ِإ ْخ َوة ً ِر َج ًاال َو ِن‬
“...Jika mereka beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang
laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan...” (Q.S. Al-Nisa [04]:176)

 Ketentuan Ashabah bi l-Ghair


Ashabah bil-ghair tidak terwujud, kecuali dengan ketentuan sebagai berikut:
pertama, Pewaris perempuan harus tertentu bagiannya. Pewaris perempuan yang tertentu
bagaimana seperti 1/2 jika sendirian 2/3 jika lebih dari dua, maka mereka itu berhak
mendapat ashabah bi l-ghair. Di luar dari itu, tidak berhak mendapat ashabah bi l-ghair,
seperti anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung. Kedua, yang menjadi muashib
harus sederajat dengannya. Seperti anak laki-laki menjadi ashabah bersama dengan anak
perempuan dan tidak menjadi ashabah bersama cucu perempuan, karena mereka tidak
sederajat. Dan ketiga, yang menjadi muashibnyaharus sama kuat dengan perempuan yang
sudah tertentu bagiannya itu. Maka saudara laki-laki seayah tidak menjadi ashabah dengan
saudara perempuan seayah seibu, karena kerabatnya lebih kuat dari pada saudara seayah.
3) Ashabah ma’al-Ghair
Ashabah ma’al-ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk
menjadikan ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima sisa
harta warisan. Orang yang menjadikan ashabahnya tetap menerima bagian menurut
fardhnya sendiri. Ahli waris yang mendapat ashabah ma’al-ghair ini kemungkinan tidak
mendapatkan harta waris karena menunggu sisa harta yang telah dibagikan terlebih
dahulu, kepada ashabu l-furudh yang lain. Mereka itu ialah:
a) Saudara perempuan sekandung.
b) Saudara perempuan seayah.
Kedua orang tersebut dapat menjadi ashabah ma’al-ghair dengan syarat-syarat
sebagai berikut: pertama, Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang anak
perempuan atau cucu perempuan. Dan kedua, Tidak berdampingan dengan saudaranya
yang menjadi muashibnya.
Pewarisan ashabah ma’a l-ghair adalah didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang seorang anak
perempuan, cucu perempuan dan seorang saudara perempuan. Maka ia menjawab: anak
perempuan mendapat separuh dan saudara perempuan separuh. Kemudian dia berkata
kepada penanya: pergilah kepada Ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud ditanya, lalu ia menjawab:
“Aku akan memutuskan tentang ini dengan keputusan Rasulullah SAW.: anak
perempuan mendapat separuh, cucu perempuan seperenam untuk menggenapi dua pertiga
dan sisanya adalah bagi saudara perempuan.” (HR. Jamaah Ahli Hadis selain Muslim
dan Nasai).
Kemudian kami mendatangi Abu Musa dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka
ia berkata: “Janganlah bertanya kepadaku selama orang alim ini adaa diantara kalian.”
(HR. Bukhari).

Peminatan Fiqh-Ushul Fiqh MA Kelas XI Semester Ganjil

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR


3. Memahami, menerapkan, dan a. Memahami lafal ‘Amm dan khas
menganalisis pengetahuan faktual, 3.8 Memahami lafal mutlaq dan
konseptual, prosedural, dan metakognitif muqayyad
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang 3.10 Menelaah manthuq dan mafhum
ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
budaya, dan humaniora dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait penyebab
phenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian yang spesifik sesuai dengan
bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah
4. Mengolah, menalar, menyaji, dan 4.4Mendemontrasikan kaidah amm dan
mencipta dalam ranah konkret dan ranah khas dalam kehidupan
abstrak terkait dengan pengembangan dari 4.3 Memberikan contoh penetapan hukum
yang dipelajarinya di sekolah secara dari mutlaq dan muqayyad
mandiri serta bertindak secara efektif dan 4.10 Memberikan contoh penetapan
kreatif, mampu menggunakan metode hukum dari manthuq dan mafhum
sesuai kaidah keilmuan

11. Kaedah Amm dan Khass


a. Lafazh Amm dan Contoh Penerapannya
Lafazh ‘Amm adalah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup
seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Seperti ulama Hanafiyah
mendefinisikan ‘amm dengan:
‫ك ّل لفظ ينتظم جمعا سواء أكان باللفظ او بالمعنى‬
“Setiap lafazh yang meancakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”
Sedangkan ulama Syafi’iyah diantaranya al-Ghazali mendefinisikan:
‫اللفظ الواحد الدا ّل من جهة واحدة على شيئين فصاعدا‬
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.”
Sighat ‘amm ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Abu Hasan al-
As’ari dan pengikutnya berpendapat bahwa tidak ada sighat tertentu untuk menunjukkan
‘amm. Bahwa lafaz yang patut untuk dijadikan ‘amm atau khusus baru dapat dilafazkan
untuk maksud ‘amm atau untuk maksud khusus bila ada yang memberi petunjuk untuk
salah satu diantaranya. Sebelum ada petunjuk, kita harus tawaquf dengan menangguhkan
dulu keumuman dan kekhususannya sampai menemukan dalil. Pendapat ini disetujui oleh
Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan oleh ulama kalam Murji’ah.
Jumhur ulama fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri) berpendapat
bahwa untuk menunjukkan ‘amm itu memang ada lafaz tertentu yang mengikutinya, tanpa
ada petunjuk dari luar yang menunjukkkan keumumannya. Diantara lafaz-lafaz yang
menunjukkan ‘amm adalah:
Pertama, Lafaz ‫جميع‬،‫من‬،‫حيثما‬،‫متى‬،‫أي‬،‫التى‬،‫الذي‬،‫كل‬
Kedua, Lafaz jamak yang menggunakan alif lam yang menunjukkan jinsiyah, seperti
‫المؤمنون‬
Ketiga, Lafaz mufrad (kata tunggal) yang menunjukkan alif lam jinsiyah seperti lafaz
‫السارق‬
Keempat, Lafaz nakirah dalam bentuk meniadakan atau nakirah fi siyaqin nafyi, seperti la
rajula.
Contoh Penerapan Amm (Umum)
Bila bertemu sebuah lafaz ‘amm yang menunjukkan secara mutlak bahwa ia
mencakup semua afradnya, apakah boleh langsung menetapkan hukum atas keumumannya
itu. Kemudian, apakah wajib berpegang pada kebenaran yang bersifat amm tersebut dan
mengamalkan apa yang dituntut oleh lafaz ‘amm itu. Atau harus mencari dalil takhsis yang
akan menjelaskannya sebelum mengamalkan lafaz ‘amm itu. Persoalan ini menjadi
perbincangan di kalangan ulama.
Ulama Hanbali terdapat dua versi, pertama, wajib mengamalkan apa yang dituntut
keumuman lafaz itu. Kedua, tidak wajib mengamalkan dengan lafaz ‘amm secara langsung
di saat itu juga menurut keumumannya.
Ulama Syafiiyah mayoritas berpendapat bahwa harus menunggu dan mencari dalil
takhsis dan sebelum itu tidak wajib beramal dengan apa yang dituntut dalil ‘amm.
Menurut pendapat jumhur ulama ushul, bahwa lafaz umum al-Quran dapat
ditakhsis oleh hadits ahad. Mereka beralasan antara lain dengan merujuk kepada
kesepakatan para sahabat untuk mentakhsis ayat-ayat al-Quran dengan hadits ahad. Contoh
firman Allah QS. Al-Nisa:23-24
‫حرمت عليكم امهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعماتكم وخاالتكم وبنات األخ وبنات األخت‬
‫وأمهاتكم الالتى أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة وأمهات نساءكم وربائكم الالتى فى‬
‫حجوركم من نساءكم الالتى دخلتم بهن فإن لم تكونوا دخلتم بهن فال جناح عليكم وحالئل‬
‫أبنائكم الذين من أصالبكم وأن تجمعوا بين األختين إال ما قد سلف إن هللا كان غفورا‬
)23 ‫رحيما (النساء‬
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara-
saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu (menantu) dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
dan (diharamkaan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.”
(QS. Al-Nisa:23).
Selanjutnya Allah berfirman:
‫وأحل لكم ما وراء ذلكم ان تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحين فما استمتعتم به منهن‬
)24 ‫ (النساء‬.... ‫فأتوهن أجورهن فريضة‬
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban;...(QS. Al-Nisa:24).
Ayat yang disebut terakhir ini bersifat umum karena mencakup bolehnya memadu istri
dengan bibinya atau tantenya. Namun demikian, keumuman ayat tersebut oleh para
sahabat telah ditakhsis dengan hadits ahad yang artinya:
‫عن أبى هريرة رضي هللا عنها قال نهى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أن تنكح المرأة‬
)‫على عمتها أو خالتها (رواه البخارى‬
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw melarang untuk menikahi (memadu) wanita
bersama bibinya dan tidak boleh pula bersama tantenya. (HR. Bukhari).
b. Pengertian Khass dan Contoh Penerapannya
Al-Bazdawi mendifinisikan khass adalah:
‫ك ّل لفظ وضع لمعنى واحد على اإلنفراد وانقطاع المشاركة‬
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari
makna lain yang musytarak.”
Al-Amidi mendefinisikan khass adalah:
‫هو اللفظ الواحد الذى ال يصلح الشتراك كثيرين فيه‬
“Satu lafaz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.”
Atau
‫هو اللفظ الموضوع لمعنى واحد معلوم على اإلنفراد‬
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan
manunggal.”
Lafaz khas itu ditentukan untuk menunjukkan satu satuan secara perorangan seperti
si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti laki-laki; atau beberapa satuan yang
jumlahnya tidak terbatas seperti ‘kaum’; atau lafaz lain dalam bentuk satuan yang tak
terbatas, tetapi tidak menunjukkan seluruh satuannya (yang masuk dalam pengertian
‘amm).
Khusus adalah keadaan lafaz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya
dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khas dengan khusus,
meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan.
Pengertian khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang
dikandung oleh lafaz. Sedangkan pengertian khusus adalah apa yang dikhususkan menurut
ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa khas itu adalah apa yang mencapai kepada
sesuatu yang tertentu melalui ketentuan bahasa, sedangkan khusus adalah apa yang
mencapai sesuatu bukan yang lainnya, namun boleh mencapai yang lainnya itu.
Ketentuan lafaz khas dalam garis besarnya adalah:
1) Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ (teks hukum), ia menunjukkan
artinya yang khas secara qath’i al-dalalah (penunjukkan yang pasti dan
meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum yang berlaku
pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i. Seperti firman Allah Swt
dalam surat al-Maidah (5):89.
‫فكفارته إطعام عشرة دراهم‬
Maka kaffarahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin.
Hukum yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan
makan sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
2) Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu kepada
arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh
dalil itu. Seperti sabda Rasulullah Saw:
‫فى ك ّل اربعين شاة شاة‬
Untuk setiap empat puluh ekor kembing zakatnya satu ekor kambing.
Oleh ulama Hanafi zakat kambing dalam hadits itu dita’wilkan kepada yang
lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya.
3) Bila dalam suatu khusus hukumnya bersifat ‘amm dan ditemukan pula hukum yang
khusus dalam kasus lain, maka lafaz khas itu membatasi pemberlakuan hukum
‘amm itu. Seperti firman Allah Swt:
‫والمطلقات يتربصن بانفسهن ثالثة قروء‬
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah beriddah tiga kali quru’.
Keharusan menjalani ‘iddah selama tiga quru’ itu berlaku ‘amm, mencakup semua
perempuan yang bercerai dari suaminya dalam keadaan apapun. Kemudian ada
ketentuan iddah yang berlaku secara khusus bagi perempuan yang hamil dalam
firman Allah,
ّ
‫حملهن‬ ‫واوالت االحمال أجلهن ان يضعن‬
“Perempuan-perempuan yang hamil, iddahnya bila telah lahir anaknya.” (QS.
al-Thalaq (65):4).
Adanya ketentuan khusus ini menjelaskan bahwa perempuan bercerai yang harus
beriddah 3 quru’ sebagaimana ditetapkan dalam surat al-Baqarah (2):228 itu adalah
perempuan-perempuan yang ditalak dalam keadaan tidak sedang hamil; karena
bagi yang sedang hamil sudah diatur secara tersendiri dengan lafaz khas (surat al-
Thalaq (65):4).
Lafaz khas dalam hal ini membatasi atau mengurang afrad lafaz ‘amm. Inilah yang
dinamakan ‘takhsis’.
4) Bila ditemukan perbenturan antara dalil khas dengan dalil ‘amm, terdapat
perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiya, seandainya kedua dalil itu
bersamaan masanya, maka dalil yang khass mentakhsiskan yang ‘amm, karena
tersedianya persyaratan untuk takhsis. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya di
sini ada dua kemungkinan; (1) bila lafaz ‘amm terkemudian datangnya, maka lafaz
‘amm itu menasakh lafaz khas; (2) bila lafaz khas yang terkemudian datangnya,
maka lafaz khas itu menasakh lafaz ‘amm dalam sebagian afradnya.
Sedangkan menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya perbenturan antara dalil
‘amm dengan dalil khusus karena keduanya bila datang dalam waktu bersamaan
maka yang khas memberi penjelasan terhadap yang ‘amm, karena yang umum itu
adalah dalam bentuk zhahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima
penjelasan di samping untuk diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui
adanya dalil khas. Lafaz khas itulah yang menjelaskan lafaz ‘amm.
Menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) dilalah ‘amm
kemungkinan besar ditakhsis, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas:
ّ ‫ليس فى القرأن عام إالّ وخ‬
‫ وهللا بك ّل شيء عليم‬: ‫صص إال قوله تعالى‬
“Dalam al-Quran semua lafazh umum itu ada takhsisnya, kecuali
firman Allah SWT., Dan Allah Maha Mengetahui atas segala
sesuatu”.
Sesuatu yang menjadi perselisihan para ulama, apakah lafazh ‘amm dalam al-
Quran dapat ditakhsis dengan dalil zhanni (hadits). Menurut ulama Syafi’iyah dan
Ahmad apabila pertentangan antara lafazh khas yang terdapat pada khabar ahad
dengan lafazh ‘amm al-Quran, maka khabar ahad itu dapat mentakhsis lafazh ‘amm
al-Quran.

c. Macam-macam Takhsis
Takhsis terdiri dari:
1) Takhsis al-Quran dengan al-Quran
Ulama telah sepakat menetapkan bolehnya al-Quran mentakhsis al-Quran. Seperti
firman Allah Swt:
‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء‬
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah beriddah
sampai 3 quru’. (QS. al-Baqarah (2):229).
Ayat ini ditakhsis dengan firman Allah Swt:
‫والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا‬
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan isteri
hendaknya iddah mereka menunggu sampai 4 bulan sepuluh hari.” (QS. al-
Baqarah (2):234).
2) Takhsis al-Quran dengan Sunnah
Untuk sunnah yang kekuatannya mutawatir, para ulama tidak berbeda pendapat
tentang bolehnya Sunnah itu mentakhsis al-Quran. Tetapi untuk Sunnah yang
kekuatannya Ahad, para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mentakhsis
al-Quran. Imam mazhab yang empat (Syafii, Maliki, Hanafi dan Hanbali)
berpendapat bolehnya mentakhsis al-Quran dengan khabar ahad. Seperti lafazh
‘amm dalam firman Allah SWT:
‫وال تأكلوا مما ّ لم يذكر اسم هللا عليه وانّه لفسق‬
“Janganlah kamu semua makan (binatang sembelihan) yang belum disebut
bismillah terhadap binatang tersebut (ketika disembelih), karena itu adalah
perbuatan dosa.” (QS. Al-An’am:121).
Ayat tersebut ditakhsis dengan khabar ahad sebagai berikut:
‫المسلم يذبح على اسم هللا س ّمي او لم يس ّم‬
“Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah bismillah atau
tidak.” (HR. Abu Daud).
Sedangkan menurut mayoritas ulama Hanafiyah bahwa khabar ahad tersebut tidak
dapat mentakhsis lafazh ‘amm al-Quran di atas. Oleh karena itu, mereka tetap
mengharuskan sekalipun kepada seorang muslim harus membaca bismillah ketika
menyembelih hewan.
3) Takhsis Sunnah dengan al-Quran
Contoh:
Sabda Rasulullah Saw:
‫البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة‬
“Perempuan yang berzina dengan bujangan hukumannya adalah dipukul 100 kali
dan dibuang setahun.”
Pengertian ‘amm hadits di atas ditakhsis oleh ayat al-Quran yang menjelaskan
bahwa sanksi untuk hamba sahaya hanya separoh yang dikenakan kepada orang
yang merdeka, firman Allah Swt:
ّ
‫فعليهن نصف ما على المحصنات من العذاب‬
“Atas mereka ditimpakan hukuman separoh dari apa yang dibebankan kepada
perempuan muhsonat.” (QS. al-Nisa:25).
4) Takhsis Sunah dengan Sunnah
Contoh lain ‘amm yang ditakhsis adalah:
‫فيما سقت السماء والعيون او كان عثريا العشر وفيما سقى بالنضخ نصف العشر‬
“Zakat hasil bumi yang diairi sumber air atau air hujan adalah 10% sedangkan
zakat yang diairi irigasi adalah 5%.” (HR. Bukhari dan Ashab al-Sunan).
Ditakhsis dengan sabda Rasulullah SAW:
‫ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة‬
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausuq.”
Menurut jumhur lafazh takhsis disini sebagai penjelas terhadap ‘amm.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada
nishab, baik sedikit ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang kepada hadits
yang ‘amm. Sedangkan pada hadits yang khas, mereka menyatakan bahwa hadits tersebut
berlaku pada zakat perdagangan.

12. Muthlaq dan Muqayyad


Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan
yang dapat mempersempit keluasan artinya. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan kata
muthlaq dengan:
‫ما د ّل على فرد غير مقيد لفظا بأي قيد‬
“Lafadz yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu
ketentuan.”
Seperti lafazh raqabah yang terdapat padaf firman Allah SWT:
‫سا‬
ّ ‫فتحرير رقبة من قبل ان يتما‬
“Wajib memerdekakan budak sebelum kedua isteri itu bercampur.” (QS. Al-Mujadalah:3).
Lafazh raqabah (budak) merupakan lafazh muthlaq karena tidak dibatasi dengan
sifat atau keadaan lainnya.
Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu
dengan dibatasi oleh sifat, keadaan atau jumlah. Seperti firman Allah SWT:
‫ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلّمة الى أهله‬
“….Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena salah, hendaklah ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya… “(QS. An-Nisa:92).
Lafazh raqabah di atas adalah muqayyad karena dibatasi dengan sifat yaitu wajib
memerdekakan budak yang beriman.

a. Macam dan Hukum Muthlaq-Muqayyad


Muthlaq dan Muqayyad memiliki berbagai macam bentuknya, para ulama pada
prinsipnya sepakat bahwa hukum muthlaq wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak
ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga lafazh muqayyad wajib diamalkan
berdasar pada kemuqayyadannya. Adapun macam-macam Muthlaq dan Muqayyad adalah:
1) Apabila hukum dan sebabnya sama, para ulama sepakat bahwa wajib mengamalkan
muthlak kepada muqayyad. Seperti contoh firman Allah Swt:

‫حرمت عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزير‬


ّ
“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi.” (QS. Al-Maidah:3).
Darah (Dam) yang diharamkan oleh Surat al-Maidah di atas disebutkan dengan lafazh
muthlak, tanpa dijelaskan sifat-sifat dari darah itu. Kemudian di dalam Surat al-
An’am:145 Allah menerangkan bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang
bersifat mengalir. Firman-Nya:
‫محرما على طاعم يطعمه إالّ أن يكون‬
ّ ‫ي‬ّ ‫قل ال أجد فيما أوحي إل‬
‫ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير‬
“Katakanlah, ‘Tidak aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” (QS. Al-
An’am:145)
2) Apabila hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajib
memberlakukan masing-masing, muthlaq pada kemuthlakannya dan muqayyad pada
kemuqayyadannya.
3) Hukum berbeda sedangkan sebabnya sama, ulama sepakat bahwa muthak harus
dipahami pada kemuthalakannya dan muqayyada pada kemuqayyadannya. Contoh,
hukum wudhu dan tayammum, dan sebabnya sama yaitu karena hadats. Sebagaimana
firman Allah Swt:
‫فتي ّمموا صعيدا طيّبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه‬
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih, sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah:6).
Akan tetapi pada hukum wudhu Allah Swt berfirman:
‫يا أيها الذين أمنوا إذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم الى المرافق‬
“Hai orang-orang beriman, jika hendak mendirikan shalat, maka basuhlah muka
mu dan kedua tanganmu sampai kedua siku. (QS. Al-Maidah:6)
4) Hukum sama sedangkan sebabnya berbeda, dalam hal ini ulama berselisih pendapat ada
yang mengharuskan muthlaq dibawa kepada muqayyad dan ada yang mengharuskan
muthlak dibawa kepada kemuthlakannya dan muqayyad juga dibawa kepada
kemuqayyadannya.Contoh harus mendatangkan dua orang saksi dalam soal hutang
piutang sebagaimana firman Allah Swt:
‫واستشهدوا شيهدين من رجالكم‬
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki” (QS. Al-
Baqarah: 282).
Dua orang saksi tersebut disebutkan secara mutlak, akan tetapi dalam merujuk istri,
harus mendatangkan dua orang saksi yang adil. Sebagaimana firman Allah Swt:
‫وأشهدوا ذوى عدل منكم‬
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.” (QS. Al-
Thalaq:2).

13. Manthuq-Mafhum dan Contoh Penerapannya


Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalalah (bentuk ungkapan lafazh) terbagi kepada
manthuq dan mafhum. Manthuq adalah petunjukan lafazh pada hukum yang disebut oleh
lafazh itu sendiri. Manthuq dalam istilah ini sama dengan dalalah ibarah menurut
pandangan Hanafiyah. Adapun dalalah mafhum ialah petunjukan lafazh pada suatu hukum
yang tidak disebutkan oleh lafazh itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman.
Mafhum terbagi kepada dua bagian:
a. Mafhum muwafaqah, dalam istilah Hanafiyah disebut dengan dalalah nash, yaitu suatu
penunjukan lafazh pada hukum yang tertulis pada lafazh itu berlaku pada masalah yang
tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis
karena ada persamaan dalam illatnya (alasan). Mafhum muwafaqah terbagi kepada
fahwal khitab dan lahn al-khitab, apabila hukum yang tidak tertulis lebih utama
daripada hukum yang tertulis, maka disebut fahwal khitab. seperti hukum memukul
orang tua (tidak tertulis) dengan hukum mengatakan ah (hukum yang tertulis) ada unsur
yang sama yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua. Adapun lahnul khitab apabila
hukum yang tidak tertulis sama atau lebih rendah dari hukum yang tertulis. Seperti
hukum membakar harta anak yatim (tidak tertulis) dengan hukum memakan harta anak
yatim (tertulis).
b. Mafhum mukhalafah, adalah petunjukan lafazh pada hukum yang lahir dari lafazh
berlaku bagi hukum yang tidak disebut dalam lafazh, yang hukum tersebut bertentangan
dengan hukum yang lahir dari manthuqnya, karena tidak ada batasan yang berpengaruh
dalam hukum.
Mafhum mukhalafah ada lima macam, yaitu:
1) Mafhum Mukhalafah Laqab
Mafhum laqab adalah menyebutkan suatu hukum yang ditentukan (ditakhsis)
dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang
terdapat pada nash, dan negative (manfi) bagi masalah yang tidak disebutkan.
Misalnya sabda Rasulullah Saw:
‫ي الواجد ظلم يح ّل عقوبته‬
ّ ‫ل‬
“Memperlambat pembayaran hutang bai orang yang telah mampu membayarnya,
adalah suatu perbuatan zalim yang halal (boleh) dikenakan sangsi (hukuman).
Hadits tersebut dapat diambil mafhum mukhalafah bahwa orang yang
memperlambat pembayaran hutang karena belum mampu membayarnya, tidak
termasuk dalam kategori zhalim yang boleh untuk dikenakan sanksi (hukuman).

2) Mafhum Mukhalafah Sifat


Mafhum sifat ialah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang
dibatasi (qayid) dengan sifat yang terdapat dalam lafazh, dan jika sifat tersebut
telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut, misalnya firman Allah
Swt::
‫ومن لم يستطع منكم طوال ان ينكح المحصنات المؤمنات فمن ماملكت‬
‫أيمانكم من فتياتكم المؤمنات‬
“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka yang beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki”. (QS. Al-Nisa:25).
3) Mafhum Mukhalafah Syarat
Mafhum syarat adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada
syarat. Seperti firman Allah Swt::
ّ
‫حملهن‬ ‫ى يضعن‬ ّ
ّ ‫عليهن حت‬ ّ ‫وإن‬
‫كن اوالت حمل فأنقوا‬
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan.” (QS. Al-
Thalaq:6).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada isteri
yang telah dicerai dan tengah menjalani masa iddah itu dibatasi dengan keadaan
hamil bagi isteri yang dicerai, maka suami wajib memberi nafkah kepada mereka.
Dengan demikian dapat diambil mafhum mukhalafah, bahwa jika isteri yang
dicerai tidak hamil, maka suami tersebut tidak wajib memberikan nafkah
kepadanya.
4) Mafhum Mukhalafah Ghayah
Mafhum ghayah adalah menetapkan hukum yang berbeda di luar tujuan nash
(ghayah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghayah), misalnya firman
Allah Swt:
‫وقاتلوهم حتى التكون فتنة ويكون الدين هلل فإن انتهوا فال عدوان‬
‫إال على الظالمين‬
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga agama
itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka
tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim”. (QS. Al-
Baqarah:193).
Ayat tersebut menjelaskan, bahwa peperangan diperbolehkan, karena ada tujuan
yaitu mencegah timbulnya fitnah dalam agama. Jika fitnah dalam agama tersebut
sudah tidak ada, maka peperangan tidak diperbolehkan lagi.
5) Mafhum Mukhalafah ‘adad
Mafhum ‘Adad adalah penetapan kebalikan hukum dari suatu hukum yang dibatasi
dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi. Seperti firman Allah
Swt:
‫الزانية والزانى فاجلدوا ك ّل واحد منهما مائة جلدة‬
“Wanita dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing mereka
sebanyak seratus pukulan”. (QS. Al-Nur:2).
Dalam hukuman ini ditetapkan pukulan seratus kali, tidak boleh lebih atau kurang.
Imam Abu Hanifah menolak keras adanya mafhum mukhalafah ini sebagai salah
satu penafsiran nash-nash syara’. Mereka beralasan bahwa banyak nash syara’ yang
apabila diambil mafhum mukhalafahnya akan rusak pengertiannya, antara lain
firman Allah Swt:
ّ
‫إن عدة الشهور عند هللا اثنا عشر شهرا فى كتاب هللا يوم خلق‬
‫السموات واألرض منها أربعة حرم‬
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas, dalam ketetapan
Allah- waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam yang empat bulan itu.” (QS. Al-Taubah:36).
Apabila ayat tersebut diambil mafhum mukhalafahnya akan mempunyai arti bahwa
berbuat zhalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja, sedangkan di
luar itu tidak haram. Padahal berbuat zhalim itu diharamkan pada setiap saat.
Contoh lain, firman Allah Swt:
‫ى فاعل ذلك غدا االّ أن يشاء هللا‬
ّ ‫وال تقولو لشيء ان‬
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘sesungguhnya
aku pasti mengerjakan itu besok pagi’ kecuali dengan menyebut Insya Allah." (QS.
Al-Kahf:23-24).
Larangan untuk mengatakan ‘aku pasti mengerjakan itu’ dalam ayat tersebut
dibatasi dengan waktu besok pagi, sehingga bila menggukanakan mafhum mukhalafah,
maka seseorang boleh mengatakan ‘aku pasti mengerjakan itu dua hari besok lagi, atau
tiga hari lagi, atau bulan depan tanpa diikuti ucapan insya Allah, padahal larangan
tersebut adalah berlaku sepanjang masa, tidak hanya terbatas pada besok pagi saja.
H. Rangkuman
Materi Fiqh di Jenjang Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah
Aliyah meliputi ruang lingkup pembahasan Fiqh pada umumnya, meskipun dalam
beberapa hal masih terbatas.Secra umum materi-materi fiqh dapat dikalsifikasikan
sebagai berikut:
1. Ubudiyah
2. Muamalah
3. Ahwal al-Syahsiyah
4. Jinayah wa Uqubah
5. Ahkam al-Dusturiyah
6. Ahkam al-Dualiyah
I. Latihan Soal
1. Jelaskan bagaimana nisab, prosentase dan pengeluaran zakat profesi!
2. Apakah kredit sepeda motor termasuk praktek riba, jelaskan?!
3. Salah satu bentuk jual beli adalah salam. Apakah yang dimaksud dengan salam?
4. Tulislah dasar Qurban dalam Al-Qur’an surat al-Syaffah ayat 102 – 107!
5. Sebutkan rukun shalat mayit!

J. Daftar Pustaka

Abdur Rahman al-Juzairi, 2001. Tt. Fiqh ala madzahibil arba’ah. Alih Bahasa Chatibul
Umam. Jakarta: Darul Ulum Press.
Ahmad Syafi’i MK, Drs. 1987. Pengantar Shalat yang Khusu’. Bandung: Remaja Karya
CV.
Ahmad, Muhaimin. 2001. Kumpulan Doa Lengkap. Semarang CV Aneka Ilmu.
Al-Asqolani, al-Hafiz bin Hajar. t.t. Bulughul Maram. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Al-Bahraisy, Salim. 1981. Riyadus Shalihin. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Al-Mubarak, Abdul Aziz. 1986. Nailul Authar (Himpunan Hadits Hukum). Surabaya:
Tanpa Tahun. Al-Azhar. Beirut, Lebanon: Darul Fikr.
Anwar, Muhammad. t.t Kumpulan Doa-doa Pilihan. Bandung: Husaini.
Hasbiyallah, 2012 Fiqh-Ushul Fiqh, Bandung: Rosda.
_______, 2007. Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: Rosda.
Ibrahim Muhammad al-Jamal. t.t. Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Alih bahasa Anshari Umar
Sitanggal. 1981. Semarang: CV. Asy Syifa.
Kementerian Agama RI. 2014. Draft Kurikulum Madrasah 2013 Mapel PAI dan Bahasa
Arab.
Rasyid Sulaiman. 1996. Fiqh Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo.
Sabiq Sayyid. 1996. Fiqh Sunnah Cet.17. Alih Bahasa Mahyuddin Syaf. Bandung:
alMa’arif.
Sabiq Sayyid. tt. Fiqh Sunnah. Terjemahan Salim Nabhan. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai