PENDAHULUAN
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan
1.Tujuan umum
2.Tujuan khusus
D.Manfaat
A. Syariah
Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang
merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan
vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesame manusia.
2. Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah,
dan lain-lain.
6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar,
tawadlu, (rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah
(berani), birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
1. Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan
merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan
rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Ra’yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk
menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
Tujuan utama yang hendak dicapai dari mempelajari syari’ah adalah untuk
mengetahui hukum syara’ (syariah) berkaitan dengan perbuatan manusia yang
mukallaf (yang dibebani hukum) sehingga akan diperoleh ketentuan apakah suatu
perbuatan itu dikehendaki, dibolehkan, atau dilarang, atau bagaimana suatu
perbuatan itu dianggap sah atau tidak [4]. Setelah memahami tentang hukum
syariah diharapkan nantinya umat Islam akan mengamalkan syariah Islam dalam
kehidupan sehari-harinya dengan baik sehingga memperoleh kesejahteraan,
kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
Tujuan syariah erat kaitannya dengan tujuan agama Islam itu sendiri yang
ingin mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi manusia, baik
di dunia maupun di akhirat. Secara khusus, setidaknya ada lima tujuan dari
syariah, yaitu sebagai berikut:
Salah satu bentuk tanda syukur yang harus kita lakukan adalah berusaha
semaksimal mungkin untuk menjadi muslim sejati dengan mamahami dan
mengamalkan syariah Islam. Dalam konteks memelihara agama, para Rasul diutus
oleh Allah swt dan kita sekarang berkewajiban melanjutkan tugas Rasul itu
dengan cara mengamalkan syariah Islam, apapun kendala dan tantangan yang
akan kita hadapi
Memiliki akal yang sehat dan cerdas merupakan sesuatu yang amat penting,
karena dari akal yang sehat itulah akan lahir pemikiran yang cemerlang dan
manusia bisa bersikap dan berprilaku yang baik. Karena itu akal harus dipelihara
dan jangan dirusak dengan hal-hal yang memabukkan hingga hilang daya pikirnya
serta dengan hal-hal yang tidak rasional, semua ini menjadi perkara yang
menjauhkan kita dari keberuntungan di dunia dan akhirat.
Manusia dicipta oleh Allah swt sebagai makhluk yang mulia dan terhormat,
karenanya syariat Islam amat menekankan kepada manusia untuk menjaga
kehormatannya agar tidak jatuh dan amat rendah melebihi rendahnya martabat
binatang. Salah satu yang membuat martabat manusia bisa amat rendah adalah
dalam kaitan hubungan lelaki dan wanita, karenanya Islam mensyariatkanlah
kepada manusia untuk menikah agar hubungan seksual yang dilakukannya
membuatnya menjadi mulia, bukan malah menjadi hina.
Setiap orang pasti memiliki banyak kebutuhan mulai dari makan, minum,
berpakaian, bertempat tinggal, pengembangan diri, kendaraan dan sebagainya.
Berbagai kebutuhan itu harus dapat dipenuhi dengan harta yang dimiliki,
karenanya kebutuhan terhadap harta ada pada setiap orang sehingga mencarinya
dengan cara yang halal menjadi suatu keharusan. Sesudah harta diperoleh, maka
menjadi hak seseorang untuk memilikinya sehingga syariat Islam menekankan
pemeliharaan terhadap harta dan amat tidak dibenarkan bagi orang lain untuk
mencurinya. Pemeliharaan terhadap harta juga harus ditunjukkan dalam bentuk
membelanjakan atau menggunakannya untuk segala kebaikan, sebab bila tidak hal
itu termasuk dalam kategori tabzir atau boros, yakni menggunakan harta untuk
sesuatu yang tidak benar menurut Allah SWT dan Rasul-Nya, karena pemborosan
merupakan kebiasaan syaitan yang sangat merugikan manusia, harta akan cepat
habis sementara kebiasaan berlebihan menjadi sangat sulit untuk ditinggalkan
meskipun dia tidak memiliki harta yang cukup, karenanya sikap ini harus dijauhi.
Terdapat empat hal yang menjadi dasar penetapan hukum syariah, yaitu :
B.Ibadah
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan
para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan
tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai
Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun
yang bathin.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.
Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi
sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58].
Allah SWT. memberitahukan hikmah penciptaan jin dan manusia adalah
agar mereka agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.dan Allah
SWT. Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi mereka yang
membutukan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah SWT. maka
mereka menyembah-Nya sesuai aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak
ibadah kepada Allah SWT. ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya
tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan maka ia adalah mubtadi (pelaku
bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka
dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa
khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakal (ketergantungan),
raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah qalbiyah (yang berkaitan dengan
hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah
(fisik dan hati).
Ibadah berasal dari kata ‘abd yang artinya abdi, hamba, budak, atau pelayan. Jadi
ibadah berarti, pengabdian, penghambaan, pembudakan, ketaatan, atau
merendahkan diri. Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta
tunduk. Ibadah dapat juga diartikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan langsung (ritual) antara manusia dengan Allah Swt. Selain itu juga
terdapat berbagai definisi ibadah lainnya, yaitu:
(1) Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui
tutunan
atau contoh dari para Rasul-Nya.
(2) Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Swt, yaitu rasa tunduk dan
patuh yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi.
Pembagian Ibadah
Ada begitu banyak buku, artikel, dan karya yang membahas tentang pembagian
ibadah. Yaitu:
2) Ibadah Ghairu Mahdlah, yaitu ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut
hubungan dengan Allah, tetapi juga menyangkut hubungan sesama makhluk
(Hablum Minallah Wa Hablum Minannas), atau di samping hubungan ke atas,
juga ada hubungan sesama makhluk. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya
sebatas pada hubungan sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan
lingkungan alamnya (hewan dan tumbuhan).
3) Ibadah Dzil-Wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu
ibadah mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah, seperti nikah.
Dalam melakukan ibadah tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan
kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Agar dapat diterima, ibadah
disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan
adanya dua syarat:
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah,
karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Melakukan ibadah dengan ikhlas dan menjalankannya dengan
sepenuh hati, bukan karena / untuk dilihat orang atau dipuji orang
Rukun-rukun ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri
dari tiga hal. Yaitu:
1. Cinta ( Al-Hubb )
Cinta adalah rukun ibadah yang terpenting, karena cinta adalah pokok ibadah. Arti
cinta disini tidak hanya terbatas hanya pada hubungan kasih antara dua insan
semata, akan tetapi lebih luas dan dalam. Kecintaan yang paling tinggi dan mulia
di dalam kehidupan kita ini adalah rasa kecintaan kita kepada Allah Swt. Dimana
jika seorang umat mencintai Allah (tuhannya), maka dia akan melakukan dan
menjalankan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang
oleh-Nya.
2. Takut ( Al-Khouf )
Rukun ibadah berikutnya adalah Rasa Takut. Dimana dengan adanya rasa takut,
seorang hamba (umat) akan termotivasi untuk mencari ilmu dan beribadah kepada
Allah Swt agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang
juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat dan perbuatan
buruk lainnya.
Yang dimaksud Rasa Takut seorang muslim disini memang terdiri dari banyak
hal. Namun yang utama ada dalam hati seorang muslim adalah rasa takut akan
pedihnya sakaratul maut, rasa takut akan adzab kubur, rasa takut terhadap siksa
neraka, rasa takut akan mati dalam keadaan yang buruk, rasa takut akan hilangnya
iman dan lain sebagainya.
3. Harap ( Ar-Roja’ )
Rukun Ibadah yang berikutnya adalah Harap. Yang dimaksud dari harap disini
adalah (rasa) Harapan yang kuat atas rahmat dan balasan berupa pahala dari Allah
Swt.
Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fikih menyebutkan beberapa sifat
yang menjadi ciri-ciri ‘ibadah yang benar adalah:
1. Bebas dari perantara. Dalam beribadah kepada Allah Swt, seorang muslim
tidak memerlukan perantara, akan tetapi harus langsung kepada Allah.
2. Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus. Secara umum ajaran Islam
tidak mengharuskan penganutnya untuk melakukan ‘ibadah pada tempat-tempat
khusus, kecuali ‘ibadah haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai
tempat ‘ibadah.
3. Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan, sebab Allah Subhanahu wa
ta’ala senantiasa menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak
menghendaki kesulitan.
C. Muamalah
Pembagian Mu’amalah
Prinsip Muamalah
Ibn Abidin adalah salah seorang yang mendefinisikan muamalah secara luas
sehingga munakahat termasuk salah satu bagian fiqh muamalah, padahal
munakahat diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu fiqh munakahat.
Pendahuluan Tujuan penciptaan manusia dan jin hanya tiada lain adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT. Penciptaan itu bukan sekedar main-main atau hal
yang percuma. Di balik penciptaan itu, Allah SWT mempunyai rencana yang
sungguh-sungguh. Setiap makhluk diberi kesempatan untuk berkembang maju ke
arah suatu tujuan itu, yaitu keridhaan-Nya. Allah SWT adalah sumber dan pusat
segala kekuasaan dan kesempurnaan. Kemajuan yang kita capai tergantung
kepada cara kita mendapatkan diri sesuai dengan kehendak-Nya. Inilah sebaik-
baik ibadah kita kepada-Nya. Gambaran tentang kemampuan syari'at Islam dalam
menjawab segala persoalan modern dapat diketahui dengan mengemukakan
beberapa prinsip syari'at Islam mengenai tatanan hidup secara vertikal (antara
manusia dengan Tuhannya) dan secara horizontal (antara sesama manusia).
kebanyakan ahli fiqh teah menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu
dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu'amalat) adalah
boleh, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dilarang.
Kaidah di atas berlawanan dengan kaidah hukum dalam bidang ibadah. Dalam
bidang ibadah, syari'at Islam menetapkan sendiri garis-garisnya.
Di sini dikemukakan nash yang tidak dapat ditafsirkan lain, sehingga terjaga
dari kesimpangsiuran. Dalam bidang yang disebut terakhir ini terdapat kaidah
bahwa ibadah tidak dapat dilakukan kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan
bahwa sesuatu itu telah diperintahkan oleh Allah SWT dan atau dicontohkan oleh
Rasulullah. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Syathibi, ibadah memiliki
maksud asli dan maksud sekunder, maksud asli adalah semata-mata menuju Allah
SWT dengan tujuan tunduk, taat, mencintai dan menuju kepada Allah SWT dalam
setiap kondisi, kemudian diikuti dengan bukti berupa beribadah untuk
mendapatkan derajat di akhirat atau menjadi kekasih Allah SWT dan lain-lain.
Sedangkan maksud sekunder dalam ibadah adalah seperti meluruskan diri dan
mendapatkan keutamaan. Apabila makna-makna ibadah yang diberikan oleh
masing-masing ahli ilmu diperhatikan baik, nyatalah bahwa takrif yang diberikan
oleh suatu golongan berpaut untuk menyempurnakannya dengan takrif yang
diberikan oleh golongan yang lain.
Jelasnya, tidaklah dipandang seorang mukallaf telah beribadah (sempurna
ibadahnya) kalau ia hanya mengerjakan ibadah-ibadah dalam pengertian fuqaha,
atau ahli ushul saja. Di samping ia beribadah dengan ibadah yang dimaksudkan
oleh ahli tauhid, ahli hadits dan ahli tafsir. Dan perlu pula ia beribadah dengan
yang dimaksudkan oleh ahli akhlak, yaitu memperbaiki budi pekerti. Maka
apabila pengertian-pengertian tersebut telah menyatu, barulah terdapat hakikat
ibadah dan ruhnya : barulah rangka ibadahnya mempunyai motor yang
menggerakkan. Al-Qur'an dan Al-Sunnah yang menjadi sumber dan pedoman
bagi umat untuk beribadah mengandung ajaran-ajaran yang oleh Mahmud Syaltut
dibagi kepada dua bagian, yaitu : ajaran tentang akidah dan ajaran tentang
syari'ah, kemudian syari'ah itu sendiri terdiri atas ibadah dan mu'amalah.
Ajaran tentang akidah berkaitan dengan persoalan keimanan dan keyakinan
seseorang terhadap eksistensi Allah SWT, para malaikat, Rasul, kitab suci yang
diturunkan Allah SWT, tentang hari akhirat, dan lain sebagainya. Ajaran tentang
akidah bersifat permanen, pasti dan tidak berubah disebabkan terjadinya
perubahan sosial-kultural Ajaran tentang ibadah berkaitan dengan persoalan-
persoalan pengabdian kepada Allah SWT dalam bentuk-bentuk yang khusus
seperti shalat, puasa, haji, zakat dan sebagainya. Ajaran tentang ibadah ini bersifat
permanen dan ditetapkan secara rinci baik oleh Al-Qur'an maupun oleh Al-
Sunnah, sikap seorang Muslim dalam persoalan ibadah adalah melaksanakannya
sesuai dengan petunjuk dalil yang ada dalam Al-Qur'an yang dijelaskan oleh
Rasulullah SAW melalui sunahnya. Ajaran tentang mu'amalah berkaitan dengan
persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi
kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang
dikandung oleh Al-Qur'an dan Al-Sunnah, itulah sebabnya bahwa bidang
muamalah tidak bisa dipisahkan sama sekali dengan nilai-nilai ketuhanan.
Dengan demikian, akidah, ibadah, muamalah merupakan tiga rangkaian yang
sama sekali tidak bisa dipisahkan. Al-Syatibi mencoba mengembangkan lebih
lanjut prinsip-prinsip di atas, ia sebagaimana ahli fiqh lainnya, membedakan
materi hukum Islam menjadi dua bagian, bagian pertama, materi hukum Islam
yang menyangkut ibadah daan bagian kedua materi hukum Islam yang
menyangkut muamalah (adat). Ia secara filosofis telah merumuskan kaidah
sebagai berikut : "Prinsip dalam persoalan ibadat bagi mukallaf adalah ta'abbud
tanpa perlu melihat kepada nilai atau hikmah, sedangkan prinsip dalam persoalan
adat (muamalat) adalah melihat kepada nilai atau hikmah" Perlu segera
ditambahkan, bahwa Al-Syatibi sendiri mengakui adanya beberapa bentuk
muamalat yang mempunyai nilai ta'abbudi.
Kelihatannya yang dimaksud dengan ta'abbudi di sini adalah hukum yang
ditetapkan berdasarkan dalil yang terperinci. Berdasarkan prinsip di atas dapat
dipahami bahwa modernisasi, dalam arti meliputi segala macam bentuk
muamalat, diizinkan oleh syari'at Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip
dan jiwa syari'at Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan
manusia selalu berkembang dan berubah, syari'at dalam bidang muamalat, pada
umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum.
Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka
berada.
Tentu prinsip dan jiwa syari'at Islam. Dapat dikatakan bahwa jiwa dan
prinsip hukum Islam bersifat konstant, permanen dan stabil, tidak berubah
sepanjang masa, betapa pun kemajuan peradaban manusia. Sementara itu
peristiwa hukum, teknis, dan cabang-cabang mengalami perubahan, berkembang
sejalan dengan perkembangan zaman. Dengan tetap teguhnya jiwa dan prinsip
hukum, dibarengi oleh terbuka lebarnya perubahan dan kemajuan ilmu
pengetahuan secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh norma hukum yang ketat
dan kuat.
Dengan adanya perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang
hukum Islam di bidang muamalat semakin bertambah materi hukumnya, semakin
banyak perbedaannya dan semakin sempurna pembahasannya. Berbeda dengan
bidang muamalat, hukum Islam dalam bidangibadah mahdah tidak terbuka
kemungkinan adanya modernisasi, melainkan materinya harus berorientasi kepada
nash Al-Qur'an dan Hadits yang mengatur secara jelas tentang tata cara
pelaksanaan ibadah tersebut. Namun demikian, modernisasi dalam bidang sarana
dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.
BAB III
KESIMPULAN
Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang
merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan
vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesama manusia.
Muamalah adalah Hukum Islam yang berkaitan dengan hak dan harta yang
muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain , atau antara seseorang
dengan badan hukum , atau antara badan hukum yang satu dengan badan hukum
yang lainnya .
Semoga Ibadah yang kita perbuat dapat merendahkan diri kepada Allah Azza wa
Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan
rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan
diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir
maupun yang bathin.
Syariah Islam memberikan tuntunan hidup khususnya pada umat Islam dan
umumnya pada seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Muamalah dalam syariah Islam bersifat fleksibel tidak kaku. Dengan
demikian Syariah Islam dapat terus menerus memberikan dasar spiritual bagi
umat Islam dalam menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masyarakat
dalam semua aspek kehidupan.
Syariah Islam dalam muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi
semua pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan
kesewenangan dari pihak yang kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan
dikembangkannya muamalah berdasarkan syariah Islam akan lahir masyarakat
marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.
DAFTAR PUSTAKA
________________________________________
[1] Ibrahim, Muslim. 1996. Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa. Hlm 15
[2] Abu Ahmadi. Noor Salimi. 2008. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam
Untuk Perguruan Tinggi. Hlm 237
[3] Mukni’ah. 2011. Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi
Umum. Hal. 96-98
[4] Ibid. Hal. 98
[5] Ahmad Yani. 2011. Tujuan Syariat. www.nuansaislam.com
[6] Ahmad Hanafi. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Hlm 26-35
[7] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam/
[8] http://dedykusnaedi.wordpress.com/2009/12/05/ibadah/
[9] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam/
[10] http://muslim.or.id/aqidah/cinta-takut-harap-kepada-allah.html
[11] http://dedykusnaedi.wordpress.com/2009/12/05/ibadah/