Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Kehidupan manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT.


Dengan segala pemberian-Nya manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang
bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi dengan anugerah tersebut kadangkala manusia
lupa akan dzat Allah SWT yang telah memberikannya. Untuk hal tersebut
manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam kehidupannya
dapat berbuat sesuai dengan bimbingan Allah SWT. Hidup yang dibimbing
syariah akan melahirkan kesadaran untuk berprilaku yang sesuai dengan tuntutan
dan tuntunan Allah dan Rasulnya yang tergambar dalam hukum Allah yang
Normatif dan Deskriptif (Quraniyah dan Kauniyah).
Sebagian dari syariat terdapat aturan tentang ibadah, baik ibadah khusus
maupun ibadah umum. Sumber syariat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah,
sedangkan hal-hal yang belum diatur secara pasti di dalam kedua sumber tersebut
digunakan ra’yu (Ijtihad). Syariat dapat dilaksanakan apabila pada diri seseorang
telah tertanam Aqidah atau keimanan. Semoga dengan bimbingan syariah hidup
kita akan selamat dunia dan akhirat.

B.Rumusan Masalah

A. Apakah yang dimaksud dengan Syariah


B. Apakah yang dimaksud dengan ibadah
C. Apakah yang dimaksud dengan Muamalah

C.Tujuan

1.Tujuan umum

Secara umum pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan


memahami Hukum Islam tentang Muamalah

2.Tujuan khusus

Tujuan khusus pembuatan makalah ini yaitu untuk mengikuti prosedur


pengajaran dalam mata pelajaran Agama Islam .

D.Manfaat

Menambah pengetahuan Hukum Islam tentang Syariah,Muamalah dan Ibadah.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Syariah

Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang
merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan
vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesame manusia.

Ada dua pendekatan dalam mendefinisikan Syari’ah, yaitu antara lain:


Dari segi tujuan, Syari’ah memiliki pengertian ajaran yang menjaga kehormatan
manusia sebagai makhluk termulia dengan memelihara atau menjamin lima hal
penting, yaitu:

a) Menjamin kebebasan beragama (Berketuhanan Yang Maha Esa)


b) Menjamin kehiupan yang layak (memelihara jiwa)
c) Menjamin kelangsungan hidup keluarga (menjaga keturunan)
d) Menjamin kebebasan berpikir (memelihara akal)
e) Menjamin kehidupan dengan tersedianya lapangan kerja yang pantas (memelihara
harta)
Lima hal pemeliharaan itu akan menjadi ukuran dari lima hukum Islam,
seperti wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah.
Ditinjau dari segi klasifikasi.
Untuk memahami hal ini, ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui arti
dari Ibadah dan Muamalah itu sendiri. Ibadah.
Berikut di bawah ini adalah pengertian dari Ibadah, menurut Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas.

B. Perbedaan Syari’ah dan Fiqih

Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks


hukum Islam, makna syari'ah adalah aturan yang bersumber dari nash yang qat'i
sedangkan fiqih adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang
zanni[3]. Penjelasan singkat ini membawa kita harus memahami apa yang disebut
qat'i dan apa pula yang disebut zanni.

C. Ruang Lingkup Syariah


Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :

1. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan


Allah SWT (ritual), yang terdiri dari :
a. Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan
haji.
b. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rumun Islam.

1. Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan


menghilangkan najis, peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat,
umroh, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayit, dan lain-lain.

2. Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah,
dan lain-lain.

2. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang


lainnya dalam hal tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya :
dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan,
penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan,
wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.

3. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang


lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya),
diantaranya : perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan,
memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin, berkabung dari suami yang
wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan lain-lain.

4. Jinayat, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat,


kifarat, pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan,
kesaksian dan lain-lain.

5. Siyasa, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik),


diantaranya : ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah
(keadilan), ta’awun (tolong menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah
(tanggung jawab sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.

6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar,
tawadlu, (rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah
(berani), birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.

7. Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu,


nazar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah,
perang, dan lain-lain.
D. Sumber-Sumber Syariah

1. Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan
merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan
rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Ra’yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk
menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

Tujuan dan Fungsi Mempelajari Syari’ah

Tujuan utama yang hendak dicapai dari mempelajari syari’ah adalah untuk
mengetahui hukum syara’ (syariah) berkaitan dengan perbuatan manusia yang
mukallaf (yang dibebani hukum) sehingga akan diperoleh ketentuan apakah suatu
perbuatan itu dikehendaki, dibolehkan, atau dilarang, atau bagaimana suatu
perbuatan itu dianggap sah atau tidak [4]. Setelah memahami tentang hukum
syariah diharapkan nantinya umat Islam akan mengamalkan syariah Islam dalam
kehidupan sehari-harinya dengan baik sehingga memperoleh kesejahteraan,
kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat
kelak.

Tujuan Syari’ah (muqhoshidus syar’i)

Tujuan syariah erat kaitannya dengan tujuan agama Islam itu sendiri yang
ingin mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi manusia, baik
di dunia maupun di akhirat. Secara khusus, setidaknya ada lima tujuan dari
syariah, yaitu sebagai berikut:

1. Memelihara agama (hifzhud din)

Salah satu bentuk tanda syukur yang harus kita lakukan adalah berusaha
semaksimal mungkin untuk menjadi muslim sejati dengan mamahami dan
mengamalkan syariah Islam. Dalam konteks memelihara agama, para Rasul diutus
oleh Allah swt dan kita sekarang berkewajiban melanjutkan tugas Rasul itu
dengan cara mengamalkan syariah Islam, apapun kendala dan tantangan yang
akan kita hadapi

2. Memelihara jiwa (hifzhun nafsi)

Memperoleh kesempatan hidup merupakan karunia yang besar bagi kita,


karenanya kesempatan yang amat berharga ini harus kita gunakan untuk selalu
mengabdi kepada Allah swt. Dalam konteks inilah, hak hidup seseorang menjadi
hak yang paling asasi sehinga harus dijaga dan dipelihara. Disinilah sebabnya
mengapa Islam amat melarang kita untuk menghilangkan nyawa orang lain tanpa
alasan yang bisa dibenarkan sehingga biloa ini dilakukan dosanya amat besar
seperti dosa membunuh semua manusia.
3. Memelihara akal (hifzhul aqli)

Memiliki akal yang sehat dan cerdas merupakan sesuatu yang amat penting,
karena dari akal yang sehat itulah akan lahir pemikiran yang cemerlang dan
manusia bisa bersikap dan berprilaku yang baik. Karena itu akal harus dipelihara
dan jangan dirusak dengan hal-hal yang memabukkan hingga hilang daya pikirnya
serta dengan hal-hal yang tidak rasional, semua ini menjadi perkara yang
menjauhkan kita dari keberuntungan di dunia dan akhirat.

4. Memelihara kehormatan (hifzhud ardh)

Manusia dicipta oleh Allah swt sebagai makhluk yang mulia dan terhormat,
karenanya syariat Islam amat menekankan kepada manusia untuk menjaga
kehormatannya agar tidak jatuh dan amat rendah melebihi rendahnya martabat
binatang. Salah satu yang membuat martabat manusia bisa amat rendah adalah
dalam kaitan hubungan lelaki dan wanita, karenanya Islam mensyariatkanlah
kepada manusia untuk menikah agar hubungan seksual yang dilakukannya
membuatnya menjadi mulia, bukan malah menjadi hina.

5. Memelihara harta (hifzhul mal)

Setiap orang pasti memiliki banyak kebutuhan mulai dari makan, minum,
berpakaian, bertempat tinggal, pengembangan diri, kendaraan dan sebagainya.
Berbagai kebutuhan itu harus dapat dipenuhi dengan harta yang dimiliki,
karenanya kebutuhan terhadap harta ada pada setiap orang sehingga mencarinya
dengan cara yang halal menjadi suatu keharusan. Sesudah harta diperoleh, maka
menjadi hak seseorang untuk memilikinya sehingga syariat Islam menekankan
pemeliharaan terhadap harta dan amat tidak dibenarkan bagi orang lain untuk
mencurinya. Pemeliharaan terhadap harta juga harus ditunjukkan dalam bentuk
membelanjakan atau menggunakannya untuk segala kebaikan, sebab bila tidak hal
itu termasuk dalam kategori tabzir atau boros, yakni menggunakan harta untuk
sesuatu yang tidak benar menurut Allah SWT dan Rasul-Nya, karena pemborosan
merupakan kebiasaan syaitan yang sangat merugikan manusia, harta akan cepat
habis sementara kebiasaan berlebihan menjadi sangat sulit untuk ditinggalkan
meskipun dia tidak memiliki harta yang cukup, karenanya sikap ini harus dijauhi.

Dasar-Dasar Penetapan Syari’ah Islam

Terdapat empat hal yang menjadi dasar penetapan hukum syariah, yaitu :

1. Tidak Memberatkan dan Tidak Banyaknya Beban


Dalam menetapkan syariah, selalu diusahakan aturan-aturan tersebut tidak
memberatkan manusia dalam menjalankannya dan mudah untuk dilaksanakan.
Contohnya adalah perintah wajib berpuasa. Allah hanya mewajibkan kita
berpuasa tiga puluh hari dalam setahun karena apabila lebih dari itu pasti akan
memberatkan. Selain itu bagi mereka yang tidak sanggup berpuasa karena suatu
hal seperti sakit atau bepergian jauh dapat membatalkan puasanya dan
menggantinya di hari lain. Contoh lainnya adalah bagi orang yang tidak sanggup
shalat dengan berdiri diperbolehkan shalat dengan duduk. Ini merupakan bukti
bahwa syariah tidak semakin memberatkan umat Muslim.

2. Berangsur-angsur dalam Penentuan Hukum


Tiap masyarakat pasti memiliki adat istiadat yang berlaku di daerahnya, baik
yang bersifat positif maupun negatif. Pada awal mula turunnya Islam masyarakat
Arab juga memiliki berbagai kebiasaan yang sukar dihilangkan, apabila
dihilangkan sekaligus tentu akan mengalami banyak kendala.
Karena faktor kebiasaan yang sudah berlangsung lama dan sulit diubah
tersebut Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan ayat demi ayat dan surat
demi surat, terkadang ayat turun sesuai peristiwa yang terjadi saat itu. Cara seperti
ini dilakukan agar mereka dapat bersiap-siap meninggalkan ketentuan lama dan
menerima hukum baru.
Contohnya adalah kebiasaan minum minuman keras dan berjudi yang banyak
dilakukan oleh masyarakat Arab pada masa itu. Kemudian turunlah ayat untuk
memperingatkan keburukan dari minuman keras dan judi sebagai berikut:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya". Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
Kemudian setelah mereka bisa menerima pertimbangan untung rugi minuman
keras dan judi, turun lagi firman Allah untuk melarang minuman keras dan judi
dalam QS Al Maidah ayat 90:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah], adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”

3. Sejalan dengan Kebaikan Orang Banyak


Ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai dengan
kepentingan-kepentingan yang baik bagi pemeluknya. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika pada suatu waktu aturan-aturan hukum yang ada dibatalkan
apabila keadaan menghendaki. Selama kepentingan orang banyak menjadi
pedoman dalam pembatalan hukum tersebut maka boleh jadi hukum yang baru
menjadi lebih berat atau lebih ringan dari sebelumnya. Namun pembatalan hukum
ini hanya dilakukan pada masa Rasul. Sesudah Rasul wafat dan ketentuan hukum
Islam sudah lengkap tidak ada lagi pembatalan hukum.
Contoh untuk kasus ini adalah ketika ketika qiblat shalat masih mengarah
pada Baitul Maqdis di Palestina kemudian dibatalkan dengan mengarah pada
Ka’bah di Mekkah, seperti dalam firman Allah QS. Al Baqarah ayat 144 :
Artinya: “Kami kadang-kadang melihat pulang baliknya muka engkau ke arah
langit. Maka benar-benar kami akan memberikan kepadamu suatu qiblat yang
engkau sukai. Maka arahkan muka engkau ke arah Masjidil Haram.”

4. Dasar Persamaan dan Keadilan


Bagi syariah Islam semua orang dipandang sama dengan tidak ada kelebihan
di antara mereka satu sama lain. Semua berkedudukan sama di mata Allah SWT.
Kedudukan yang sama tersebut diperintahkan Al-Quran dalam QS Al-Maidah
ayat 8.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”

B.Ibadah

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.


Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi,
tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan
para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan
tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai
Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun
yang bathin.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.
Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi
sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58].
Allah SWT. memberitahukan hikmah penciptaan jin dan manusia adalah
agar mereka agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.dan Allah
SWT. Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi mereka yang
membutukan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah SWT. maka
mereka menyembah-Nya sesuai aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak
ibadah kepada Allah SWT. ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya
tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan maka ia adalah mubtadi (pelaku
bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka
dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa
khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakal (ketergantungan),
raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah qalbiyah (yang berkaitan dengan
hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah
(fisik dan hati).

Pengertian dan Pembagian Ibadah dalam Islam


Pengertian Ibadah

Ibadah berasal dari kata ‘abd yang artinya abdi, hamba, budak, atau pelayan. Jadi
ibadah berarti, pengabdian, penghambaan, pembudakan, ketaatan, atau
merendahkan diri. Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta
tunduk. Ibadah dapat juga diartikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan langsung (ritual) antara manusia dengan Allah Swt. Selain itu juga
terdapat berbagai definisi ibadah lainnya, yaitu:

(1) Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui
tutunan
atau contoh dari para Rasul-Nya.

(2) Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Swt, yaitu rasa tunduk dan
patuh yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi.

Pembagian Ibadah

Ada begitu banyak buku, artikel, dan karya yang membahas tentang pembagian
ibadah. Yaitu:

(1) Ibadah Hati


Ibadah ini ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati) berupa rasa khauf (takut),
raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah
(senang), dan rahbah (takut).

(2) Ibadah Lisan dan Hati


Ibadah ini adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati) berupa tasbih, tahlil,
takbir, tahmid dan syukur.

(3) Ibadah Badan (Fisik) dan Hati


Ibadah ini adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati) berupa shalat, zakat,
haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati).

Ada juga yang membagi ibadah menjadi: [8]

1) Ibadah Mahdlah. Semua perbuatan ibadah yang pelaksanaannya diatur


dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan sunnah. Contoh,
salat harus mengikuti petunjuk Rasulullah saw dan tidak dibenarkan untuk
menambah atau menguranginya, begitu juga puasa, haji dan yang lainnya. Ibadah
mahdlah ini dilakukan hanya berhubungan dengan Allah saja (hubungan ke atas/
Hablum Minallah), dan bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah
Swt. Ibadah ini hanya dilaksanakan dengan jasmani dan rohani saja, karenanya
disebut ‘ibadah badaniyah ruhiyah.

2) Ibadah Ghairu Mahdlah, yaitu ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut
hubungan dengan Allah, tetapi juga menyangkut hubungan sesama makhluk
(Hablum Minallah Wa Hablum Minannas), atau di samping hubungan ke atas,
juga ada hubungan sesama makhluk. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya
sebatas pada hubungan sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan
lingkungan alamnya (hewan dan tumbuhan).

3) Ibadah Dzil-Wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu
ibadah mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah, seperti nikah.

Syarat dan Rukun Ibadah dalam Islam


Syarat Ibadah Dalam Islam

Dalam melakukan ibadah tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan
kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Agar dapat diterima, ibadah
disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan
adanya dua syarat:

(1) Ikhlas karena Allah semata

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah,
karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Melakukan ibadah dengan ikhlas dan menjalankannya dengan
sepenuh hati, bukan karena / untuk dilihat orang atau dipuji orang

(2) Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.

Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia


menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan
bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Rasulullah merupakan utusan-Nya
yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan
mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya.

Rukun Ibadah Dalam Islam

Rukun-rukun ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri
dari tiga hal. Yaitu:

1. Cinta ( Al-Hubb )

Cinta adalah rukun ibadah yang terpenting, karena cinta adalah pokok ibadah. Arti
cinta disini tidak hanya terbatas hanya pada hubungan kasih antara dua insan
semata, akan tetapi lebih luas dan dalam. Kecintaan yang paling tinggi dan mulia
di dalam kehidupan kita ini adalah rasa kecintaan kita kepada Allah Swt. Dimana
jika seorang umat mencintai Allah (tuhannya), maka dia akan melakukan dan
menjalankan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang
oleh-Nya.

2. Takut ( Al-Khouf )

Rukun ibadah berikutnya adalah Rasa Takut. Dimana dengan adanya rasa takut,
seorang hamba (umat) akan termotivasi untuk mencari ilmu dan beribadah kepada
Allah Swt agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang
juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat dan perbuatan
buruk lainnya.
Yang dimaksud Rasa Takut seorang muslim disini memang terdiri dari banyak
hal. Namun yang utama ada dalam hati seorang muslim adalah rasa takut akan
pedihnya sakaratul maut, rasa takut akan adzab kubur, rasa takut terhadap siksa
neraka, rasa takut akan mati dalam keadaan yang buruk, rasa takut akan hilangnya
iman dan lain sebagainya.

3. Harap ( Ar-Roja’ )

Rukun Ibadah yang berikutnya adalah Harap. Yang dimaksud dari harap disini
adalah (rasa) Harapan yang kuat atas rahmat dan balasan berupa pahala dari Allah
Swt.

Sifat dan Ciri Ibadah dalam Islam

Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fikih menyebutkan beberapa sifat
yang menjadi ciri-ciri ‘ibadah yang benar adalah:
1. Bebas dari perantara. Dalam beribadah kepada Allah Swt, seorang muslim
tidak memerlukan perantara, akan tetapi harus langsung kepada Allah.
2. Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus. Secara umum ajaran Islam
tidak mengharuskan penganutnya untuk melakukan ‘ibadah pada tempat-tempat
khusus, kecuali ‘ibadah haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai
tempat ‘ibadah.
3. Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan, sebab Allah Subhanahu wa
ta’ala senantiasa menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak
menghendaki kesulitan.

C. Muamalah

Secara Etiomologi Muamalah berasal dari kata (‫ )العمل‬yang merupakan


istilah yang digunakan untuk mengungkapkan semua perbuatan yang dikehendaki
mukallaf. muamalah mengikuti pola (‫ ) ُمفَا َعلَة‬yang bermakna bergaul (‫)التَّ َعا ُمل‬.
Secara Terminologi Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk
permasalahan selain ibadah.
Menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang
memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal
muamalah adalah jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, pinjam meminjam,
urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain.
Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah,
yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad SAW.
Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atas haram). Ibadah ini
antara lain meliputi shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah
(hubungan kita dengan sesame manusia dan lingkungan), masalah-masalah dunia,
seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi, berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan
yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya.
Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi Muhammad SAW
mengatakan:
“Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya. Tapi, dalam
urusan dunia Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda.”
Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah ada suruhan atau
contoh tatacara, atau aturan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Apabila
hal itu tidak ada, maka tindakan yang kita lakukan dalam ibadah itu akan jatuh
kepada bid’ah, dan setiap perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat). Sebaliknya
dalam mu’amalah yang harus dan penting untuk diketahui adalah apakah ada
larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena apabila tidak ada, hal tersebut
boleh saja dilakukan.
Dalam hal ini, Dr. Kaelany juga menjelaskan adanya dua prinsip yang
perlu kita perhatikan, yaitu:
Pertama: Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan
tata caranya, karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan
para Rasul-Nya yang ditugasi menyampaikan agama itu kepada masyarakat.
Maka menciptakan agama dan ibadah adalah bid’ah. Sedang setiap bid’ah
adalah sesat.
Kedua: Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan
dalam masyarakat dan lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat
manusia (Bani Adam) dengan batasan atau larangan tertentu yang harus dijaga.
Sebaliknya melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya
adalah bid’ah.
Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk mengingat dua
prinsip di atas. Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati kita karena
semua ketentuan dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta
contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya.
Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT, dan
ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat.
Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus diperhatikan sesuai
dengan perkembangan zaman. Di sini lah implikasi dari mu’amaah itu sendiri.
Selama tidak ada larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hal yang
dipertimbangkan itu boleh dilakukan. Hal ini telah diterangkan oleh Rasul dalam
sabdanya yang sudah ditulis di atas. Sebagai contoh adalah dalam kehidupan
sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah, masyarakat yang mengadakan
perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan binatang Unta sebagai
kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan zaman
modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan
karena tidak ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang
tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah).
Syariat Islam adalah ajaran islam yang membicarakanamal manusia baik
sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah.
Terkait dengan susunan tertib Syari’at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36
mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu
perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh
sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang
Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat
menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat
dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak
dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkanAllah.

Pembagian Mu’amalah

Ada beberapa pembagian muamalah, diantaranya:


1. Muamalah Madiyah : muamalah yang mengkaji obyeknya ; benda yang halal,
haram dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang memadaratkan dan
benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta segi-segi yang
lainnya.
2. Muamalah adabiyah : muamalah yang mengkaji subyeknya; ditinjau dari segi
tukar menukar benda yang bersumber dari panca indra manusia yang unsur
penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban misalnya keridhaan kedua
belah pihak, ijab qabul, dusta, menipu dll.

Prinsip Muamalah

Ada beberapa prinsip Muamalah, diantaranya:


1. Bolehnya segala bentuk usaha.
2. Haramnya segala kezaliman dengan memakan harta secara bathil, seperti :
riba, ghasab, korupsi, monopoli, penimbunan , dll.
3. Jujur dan saling menasehati.
4. Asas manfaat yang diakui syara’ dalam setiap akad.
5. Tidak ada penipuan & manipulasi, MAGHRIB ( Maysir, Ghoror, dan Riba ).
6. Tidak melalaikan dan meninggalkan kewajiban atau bertentangan dengan
manhaj Allah.
7. Asas akuntabilitas.
D. Macam – macam Ibadah dan Mu’amalah

Persamaan pengertian muamalah dalam arti sempit dengan muamalah dalam


arti luas ialah sama sama mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
kaitan dengan pengaturan harta.
Pembagian Muamalah
Menurut Ibn Abidin, fiqh muamarah terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
a. Mu'awadlah Matiyah (Hukum Kebendaan),
b. Munakahat (Hukum Perkawinan),
c. Muhasanat (Hukum Acara),
d. Amanat dan ‘Aryah (pinjaman),
e. Tirkah (Harta Peninggalan).

Ibn Abidin adalah salah seorang yang mendefinisikan muamalah secara luas
sehingga munakahat termasuk salah satu bagian fiqh muamalah, padahal
munakahat diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu fiqh munakahat.

E. Perkara yang Dihadapi Umat Islam

Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani


hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori,
yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara’
dan perkara yang masuk dalam kategori Furu’ Syara’.
1. Asas Syara’
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadits. Kedudukannya sebagaiPokok Syari’at Islam dimana Al Quran itu Asas
Pertama Syara’ dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara’. Sifatnya, pada
dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan
Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang
memungkinkan umat Islamtidak mentaati syari’at Islam, ialah keadaan yang
terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan
keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya,
demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika
keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari’at yang
berlaku.
2. Furu’ Syara’
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran
dan Al Hadist.Kedudukannya sebaga Cabang Syari’at Islam.Sifatnya pada
dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil
Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam
wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu’ syara’ ini juga disebut sebagai
perkara ijtihadiyah.

F. Filsafat Ibadah dan Muamalah

Pendahuluan Tujuan penciptaan manusia dan jin hanya tiada lain adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT. Penciptaan itu bukan sekedar main-main atau hal
yang percuma. Di balik penciptaan itu, Allah SWT mempunyai rencana yang
sungguh-sungguh. Setiap makhluk diberi kesempatan untuk berkembang maju ke
arah suatu tujuan itu, yaitu keridhaan-Nya. Allah SWT adalah sumber dan pusat
segala kekuasaan dan kesempurnaan. Kemajuan yang kita capai tergantung
kepada cara kita mendapatkan diri sesuai dengan kehendak-Nya. Inilah sebaik-
baik ibadah kita kepada-Nya. Gambaran tentang kemampuan syari'at Islam dalam
menjawab segala persoalan modern dapat diketahui dengan mengemukakan
beberapa prinsip syari'at Islam mengenai tatanan hidup secara vertikal (antara
manusia dengan Tuhannya) dan secara horizontal (antara sesama manusia).
kebanyakan ahli fiqh teah menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu
dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu'amalat) adalah
boleh, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dilarang.
Kaidah di atas berlawanan dengan kaidah hukum dalam bidang ibadah. Dalam
bidang ibadah, syari'at Islam menetapkan sendiri garis-garisnya.
Di sini dikemukakan nash yang tidak dapat ditafsirkan lain, sehingga terjaga
dari kesimpangsiuran. Dalam bidang yang disebut terakhir ini terdapat kaidah
bahwa ibadah tidak dapat dilakukan kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan
bahwa sesuatu itu telah diperintahkan oleh Allah SWT dan atau dicontohkan oleh
Rasulullah. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Syathibi, ibadah memiliki
maksud asli dan maksud sekunder, maksud asli adalah semata-mata menuju Allah
SWT dengan tujuan tunduk, taat, mencintai dan menuju kepada Allah SWT dalam
setiap kondisi, kemudian diikuti dengan bukti berupa beribadah untuk
mendapatkan derajat di akhirat atau menjadi kekasih Allah SWT dan lain-lain.
Sedangkan maksud sekunder dalam ibadah adalah seperti meluruskan diri dan
mendapatkan keutamaan. Apabila makna-makna ibadah yang diberikan oleh
masing-masing ahli ilmu diperhatikan baik, nyatalah bahwa takrif yang diberikan
oleh suatu golongan berpaut untuk menyempurnakannya dengan takrif yang
diberikan oleh golongan yang lain.
Jelasnya, tidaklah dipandang seorang mukallaf telah beribadah (sempurna
ibadahnya) kalau ia hanya mengerjakan ibadah-ibadah dalam pengertian fuqaha,
atau ahli ushul saja. Di samping ia beribadah dengan ibadah yang dimaksudkan
oleh ahli tauhid, ahli hadits dan ahli tafsir. Dan perlu pula ia beribadah dengan
yang dimaksudkan oleh ahli akhlak, yaitu memperbaiki budi pekerti. Maka
apabila pengertian-pengertian tersebut telah menyatu, barulah terdapat hakikat
ibadah dan ruhnya : barulah rangka ibadahnya mempunyai motor yang
menggerakkan. Al-Qur'an dan Al-Sunnah yang menjadi sumber dan pedoman
bagi umat untuk beribadah mengandung ajaran-ajaran yang oleh Mahmud Syaltut
dibagi kepada dua bagian, yaitu : ajaran tentang akidah dan ajaran tentang
syari'ah, kemudian syari'ah itu sendiri terdiri atas ibadah dan mu'amalah.
Ajaran tentang akidah berkaitan dengan persoalan keimanan dan keyakinan
seseorang terhadap eksistensi Allah SWT, para malaikat, Rasul, kitab suci yang
diturunkan Allah SWT, tentang hari akhirat, dan lain sebagainya. Ajaran tentang
akidah bersifat permanen, pasti dan tidak berubah disebabkan terjadinya
perubahan sosial-kultural Ajaran tentang ibadah berkaitan dengan persoalan-
persoalan pengabdian kepada Allah SWT dalam bentuk-bentuk yang khusus
seperti shalat, puasa, haji, zakat dan sebagainya. Ajaran tentang ibadah ini bersifat
permanen dan ditetapkan secara rinci baik oleh Al-Qur'an maupun oleh Al-
Sunnah, sikap seorang Muslim dalam persoalan ibadah adalah melaksanakannya
sesuai dengan petunjuk dalil yang ada dalam Al-Qur'an yang dijelaskan oleh
Rasulullah SAW melalui sunahnya. Ajaran tentang mu'amalah berkaitan dengan
persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi
kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang
dikandung oleh Al-Qur'an dan Al-Sunnah, itulah sebabnya bahwa bidang
muamalah tidak bisa dipisahkan sama sekali dengan nilai-nilai ketuhanan.
Dengan demikian, akidah, ibadah, muamalah merupakan tiga rangkaian yang
sama sekali tidak bisa dipisahkan. Al-Syatibi mencoba mengembangkan lebih
lanjut prinsip-prinsip di atas, ia sebagaimana ahli fiqh lainnya, membedakan
materi hukum Islam menjadi dua bagian, bagian pertama, materi hukum Islam
yang menyangkut ibadah daan bagian kedua materi hukum Islam yang
menyangkut muamalah (adat). Ia secara filosofis telah merumuskan kaidah
sebagai berikut : "Prinsip dalam persoalan ibadat bagi mukallaf adalah ta'abbud
tanpa perlu melihat kepada nilai atau hikmah, sedangkan prinsip dalam persoalan
adat (muamalat) adalah melihat kepada nilai atau hikmah" Perlu segera
ditambahkan, bahwa Al-Syatibi sendiri mengakui adanya beberapa bentuk
muamalat yang mempunyai nilai ta'abbudi.
Kelihatannya yang dimaksud dengan ta'abbudi di sini adalah hukum yang
ditetapkan berdasarkan dalil yang terperinci. Berdasarkan prinsip di atas dapat
dipahami bahwa modernisasi, dalam arti meliputi segala macam bentuk
muamalat, diizinkan oleh syari'at Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip
dan jiwa syari'at Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan
manusia selalu berkembang dan berubah, syari'at dalam bidang muamalat, pada
umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum.
Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka
berada.
Tentu prinsip dan jiwa syari'at Islam. Dapat dikatakan bahwa jiwa dan
prinsip hukum Islam bersifat konstant, permanen dan stabil, tidak berubah
sepanjang masa, betapa pun kemajuan peradaban manusia. Sementara itu
peristiwa hukum, teknis, dan cabang-cabang mengalami perubahan, berkembang
sejalan dengan perkembangan zaman. Dengan tetap teguhnya jiwa dan prinsip
hukum, dibarengi oleh terbuka lebarnya perubahan dan kemajuan ilmu
pengetahuan secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh norma hukum yang ketat
dan kuat.
Dengan adanya perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang
hukum Islam di bidang muamalat semakin bertambah materi hukumnya, semakin
banyak perbedaannya dan semakin sempurna pembahasannya. Berbeda dengan
bidang muamalat, hukum Islam dalam bidangibadah mahdah tidak terbuka
kemungkinan adanya modernisasi, melainkan materinya harus berorientasi kepada
nash Al-Qur'an dan Hadits yang mengatur secara jelas tentang tata cara
pelaksanaan ibadah tersebut. Namun demikian, modernisasi dalam bidang sarana
dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.

BAB III
KESIMPULAN

Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang
merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan
vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesama manusia.

Syariah adalah hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,


sedangkan fiqih merupakan ilmu yang memperdalam tentang hukum syariah,
yaitu tentang tata cara ibadah secara lebih detil. Karena itulah syariah dan fiqih
memiliki hubungan yang sangat erat. Dalam menjalani ibadah haruslah dilandasi
oleh perasaan ikhlas, cinta, takut, dan harap pada Allah semata dan sesuai
tuntunan Rasullullah. Dengan begitu diharapkan kita dapat memperoleh
kesejahteraan, kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun
diakhirat kelak.

Muamalah adalah Hukum Islam yang berkaitan dengan hak dan harta yang
muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain , atau antara seseorang
dengan badan hukum , atau antara badan hukum yang satu dengan badan hukum
yang lainnya .
Semoga Ibadah yang kita perbuat dapat merendahkan diri kepada Allah Azza wa
Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan
rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan
diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir
maupun yang bathin.

Syariah Islam memberikan tuntunan hidup khususnya pada umat Islam dan
umumnya pada seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Muamalah dalam syariah Islam bersifat fleksibel tidak kaku. Dengan
demikian Syariah Islam dapat terus menerus memberikan dasar spiritual bagi
umat Islam dalam menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masyarakat
dalam semua aspek kehidupan.
Syariah Islam dalam muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi
semua pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan
kesewenangan dari pihak yang kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan
dikembangkannya muamalah berdasarkan syariah Islam akan lahir masyarakat
marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.

DAFTAR PUSTAKA

- Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fakta Keagungan Syari'at Islam, Tintamas,


Jakarta, 1992 - Harun Nasution "Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam",
Pustaka Pajimas, Jakarta, 1985. - Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah
Ibadah, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000 - DR. H. Fathurrahman Djamil, MA,
Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1999 - Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Maqashid
Syari'ah, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2007 - DR. H. Nasruh Haroen, MA, Fiqh
Mua'malah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000 .
www.2012/08/makalah-hukum-islam-tentang-muamalah.html

Abu Ahmadi, N. S. (2008). Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk


Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafi, A. (1970). Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . Jakarta: Bulan Bintang.
Ibrahim, M. (1996). Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa . Jakarta:
Gramedia.

________________________________________
[1] Ibrahim, Muslim. 1996. Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa. Hlm 15
[2] Abu Ahmadi. Noor Salimi. 2008. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam
Untuk Perguruan Tinggi. Hlm 237
[3] Mukni’ah. 2011. Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi
Umum. Hal. 96-98
[4] Ibid. Hal. 98
[5] Ahmad Yani. 2011. Tujuan Syariat. www.nuansaislam.com
[6] Ahmad Hanafi. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Hlm 26-35
[7] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam/
[8] http://dedykusnaedi.wordpress.com/2009/12/05/ibadah/
[9] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam/
[10] http://muslim.or.id/aqidah/cinta-takut-harap-kepada-allah.html
[11] http://dedykusnaedi.wordpress.com/2009/12/05/ibadah/

Anda mungkin juga menyukai