Anda di halaman 1dari 17

Maqam, Ahwal yang dijumpai dalam Suufi dan Metode Irfani

Alfiatu Rochmah1, Indah Safitri2, Nafsiah3


Jurusan Tadris Biologi
Institut Agama Islam Negeri Metro

Abstrak
Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi
untuk memperolehnya. Hal adalah sebuah pemberian Allah SWT dan bukan
sesuatu yang diusahakan seperti maqamat. Ahwal sering diperoleh secara spontan
sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang sering disebut adalah: takut,
syukur, rendah hati, ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang diberikan
sering berlawanan makna, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal
dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar
usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan
sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah (divine flashes), yang biasa disebut “lama’at”.
Ada beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi harus untuk mencapai
tuhannya, para sufi berbeda pendapat dengan hal ini.
Diantara tingkatan maqamat yaitu At-taubat,Az-zuhud, Al-wara', Al-faqr,
At-tawakkul, Ar-ridho. ada beberapa ahwal yang dijumpai dalam perjalanan sufi,
yaitu Al-muqarabat, Al-mahabbah, Al-khauf wa al-raja', Al-syawq, Al-uns, Al-
thuma'ninat, Al-musyahadat, Al-yaqin. Metode irfani adalah model metodologi
yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spritual
keagamaan, berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik
irfani adalah bagian esoteris(batin) teks, karena itu rasio berperan sebagai alat
untuk menjelaskan berbagai pengalaman spritual tersebut. Pengetahuan irfani
diperoleh dengan oleh ruhani, dimana dengan kesucian hati, Tuhan akan
melimpah pengatahuan langsung kepadanya

PENDAHULUAN
Dalam pembahasan tasawuf pastinya nanti akan membahas mengenai
Maqam dan Ahwal. Keduanya ajaran ini dapat dikatakan sebagai fondasi tasawuf.
Jelas banyak sekali hal yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam menjalankan
maqamat itu, jiwanya akan berkelana mencari tentang hakikat hidup, manusia dan
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pengertiannya maqamat bisa diartikan sebagai
kedudukan seorang hamba menuju kejalan Allah melalui ibadah.
Dalam prosesnya untuk mendekati Tuhan yag dilakukan melalui beberapa
maqamat(fase). Kemudian pada saat yang sama, seorang sufi akan mengalami
ahwal; yaitu merasakan nikmatnya berada di puncak spiritual yang tak terkatakan
dan tak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak kenikmatan dan keindahan ruhani
itu- secara terbatas- oleh Abu Yazid disebut ijtihad, al-Hallaj menyebutkan hulul,
al-Gazali menamainya ma’rifat, al-Sarraj menyebutnya musyahadah, Rabi’ah dan
Jalaluddin Rumi menamainya dengan mahabbah.

PEMBAHASAN
Maqam
Maqam dalam terminologi tasawuf sangat berbeda dengan makam dalam
istilah umum yang berarti kuburan. Definisi maqam dengan bentuk jama’
maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti
kedudukan spiritual (English: Station). Maqam arti dasarnya adalah “tempat
berdiri”. Kaum sufi telah merumuskan teori-teori tentang jalan menuju Allah
SWT, yakni menuju ke suatu tahap ma’rifaullah (mengenal Allah SWT dengan
hati). Secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqam
(jama’ maqamat) yang berahir dengan ma’rifah kepada Allah SWT.1
Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi untuk
memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual
yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia
yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju
Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk berpindah dari satu
maqam ke maqam lain memerlukan waktu bertahun-tahun.2
Jika seseorang belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam
suatu maqam, ia tidak boleh naik ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam pandangan
1
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Madkhul Ila Al-Tashawwuf Al- Islami,
Terj. Ahmad Rifa’i Usmani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1985), 35.
2
Zulkifli, H, Jamaluddin, Akhlak Taswuf : Jalan Lurus Mensucikan Diri (Yogyakarta:
Kalimedia, 2018), 83.
Ath-Thusi sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar dan M. Alfatih bahwa
maqamat adalah kedudukan hamba (salik) dalam perjalanannya menuju Allah
SWT melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan (almujahadat), dan latihan-
latihan rohani.
Ahwal
Ada banyak definisi yang berkaitan dengan ahwal, diantaranya seperti pandangan
al-thusi yaitu:
“Ahwal adalah keadaan hati yang selalu berzikir, dan bukanlah hal itu dilihat
dari metodologi mujahadah dan latihan-latihan seperti yang telah disebutkan
sebagaimana terdahulu. Ahwal tersebu seperti: merasa diawasi Allah SWT,
perasaan dekat dengan Allah SWT, rasa cinta, takut, harap, rindu. tenang, yakin
dan lainnya.”
Kutipan di atas menerangkan bahwa ahwal adalah suatu kondisi jiwa yang
diperoleh lewat kesucian hati. Hal adalah sebuah pemberian Allah SWT dan
bukan sesuatu yang diusahakan seperti maqamat. 3 Ahwal sering diperoleh secara
spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang sering disebut adalah:
takut, syukur, rendah hati, ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang
diberikan sering berlawanan makna, namun kebanyakan mereka mengatakan
bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh
bukan atas dasar usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat,
melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah (divine flashes), yang biasa disebut
“lama’at”.4
Ahwal merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk
suatu keadaan tertentu yang bersifat tidak permanen. Hal masuk kedalam hati
sebagai anugrah dan karunia Allah yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal
datang dan pergi tanpa diduga duga.

Macam-macam maqam dalam tasawuf

3
Ibid. 112.
4
Ibid., 113.
Ada beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi harus untuk
mencapai tuhannya, para sufi berbeda pendapat dengan hal ini. Diantara tingkatan
maqamat sebagai berikut:
1) At-taubat (Taubat)
Taubat merupakan maqam pertama dan paling utama yang harus
ditempuh oleh seorang sufi dalam menapakai jalan menuju Allah SWT.
Dalam bahasa Indonesia, tobat bermakna “sadar dan menyesal akan dosa
(perbuatan yang salah atau jahat) dan beniat akan memperbaiki tingkah laku
dan perbuatan”. Maqam tobat (al-taubah) merupakan maqam pertama yang
harus dilewati setiap salik dan diraih dengan menjalankan ibadah, mujahadah,
dan riyadhah.
Hampir semua sufi sepakat bahwa tobat adalah maqam pertama yang
harus dilalui setiap salik. Istilah tobat berasal dari bahasa Arab, taba, yatubu,
tobatan, yang berarti kembali, dan disebut Alquran sebanyak 87 kali dalam
berbagai bentuk.5 Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah
dengan bertafakkur dan berkhalwat.Sedang tafakkur itu sendiri adalah
hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya
di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan
kepada Allah SWT, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya.
Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa
kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-
Nya. Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan
mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah SWT meliputi segala sesuatu
yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan
nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya. Adapun hal yang dapat
membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon)
kepada-Nya.6
Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya
ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga
menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.

5
Miswar, Maqamat (Tahapan yang harus ditempuh dalam proses Bertasawuf), Jurnal
Ansiru Pai Vol. 1 No. 2, Juli-Des 2017
6
Zulkifli, H, Jamaluddin, Akhlak Taswuf ., 88.
2) Az-zuhud
Zuhud secara literal berarti meninggalkan, tidak tertarik dan tidak
menyukai. Dalam al-Qur’an, misalnya disebutkan dalam surat Yusuf [12]: 20,
“Dan mereka tidak tertarik (min al-Zahidin).” Yang dimaksud dengan al-
Zahidin dalam ayat tersebut mengandung makna, “tidak tertarik hatinya’
kepada harga jual Yusuf. Kata zuhud (z, h, dan d) menurut Abu Bakr
Muhammad al-Warraq mengandung arti tiga hal yang mesti ditinggalkan.
Huruf z berarti zinah (perhiasan, kehormatan), huruf h berarti hawa
(keinginan), dan huruf d menunjk pada dunya (dunia materi).7
Dalam erspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati
terhadap hal ikhwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena takut
kepada Allah, padahal terdapat kesempatan untuk memperolehnya. Dari
definisi tersebut timbul pertanyaan, apakah sebenarnya yang dimaksud
dengan hal ikhwal keduniaan itu? Jawaban dari pertanyaan tersebut tersirat
dalam surah ali imran: 14 dan al-hadid: 20. Mengisyaratkan bahwa hal ikhwal
keduniaan itu berupa kesenangan material yang bersifat sementara dan tidak
pernah memberi kepuasan kepada manusia.
Segala bentuk keduniaan senantiasa mengacu pada kepuasan semu dan
terbatas. Oleh sebab itu, orang yang hanya bertujuan hidup untuk mencapai
hasrat keduniaan adalah orang yang tertipu, karena ia hanya mengarahkan
hidupnya pada tujuan jangka pendek, yang akan habis oleh kematian. Di balik
kehidupan dunia terdapat kehidupan abadi di akhirat. Manusia harus
mengarahkan tujuannya pada kehidupan abadi itu, karena di sanalah manusia
akan mencapai kesenangan dan kepuasan yang sebenarnya.8
Zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan
dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia
dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan
karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah belaka.
Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu,
kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
7
Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, (Jakarta: Prenada, 2005), 57.
8
Ibid., 57-58.
Menurut al-sarraj, zuhud yang sesungguhnya di dunia ini adalah
menahan jiwa dari segala kesenangan duniawi, karena ia harus bersikap
zuhud terhadap kesenangan, pujian, penghormatan dari manusia. Siapa yang
mampu bersikap zuhud terhadap kesenangankesenangan ini, ia sesungguhnya
telah mencapai realitas (haqiqat) zuhud sejati. Kelompok inilah menurut al-
Sarraj para ahli hakikat dalam berzuhud. Ketiga, adalah kelompok yang
mengetahui dan meyakini, seandainya dunia ini dan seisinya menjadi harta
milik mereka dan menjadi halal bagi mereka, tidak dihisab di akhirat nanti,
juga tidak mengurangi kedudukan mereka di sisi Allah sedikitpun jua, namun
kemudian mereka tetap bersikap zuhud semata karena Allah.9
3) Al-wara’
Maqam ketiga adalah wara’, secara literal wara’ berarti menjauhkan diri
dari dosa dan menahan dari hal-hal yang syubhat dan maksiat. Dalam
perspektif tasawuf, wara’ bermakna menahan diri dari hal-hal yang tidak
pantas, sia-sia dan menjauhkan diri dari hal-hal haram (terlarang), meragukan
(syubhat). Abu Ali Daqaq menjelaskan wara’ adalah meninggalkan segala
sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti. 10 Jadi, wara’
berarti meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat: berupa ucapan,
penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan
seorang muslim.
Semua itu jika tidak bermanfaat, tidak dilakukannya. Karena itu, orang
yang birsifat wara’ adalah yang terus berusaha agar setiap ucapannya
memberi manfaat bagi diri sendiri atau orang lain. Jika tidak, ia memilih
diam. Demikian juga penglihatan, pendengaran, perbuatan atau ide, sekiranya
memberi manfaat akan dilakukannya.11 Jika dilihat dari pengertiannaya, wara’
tidak dapat dipisahkan dengan zuhud, karena wara’ disini adalah sebagai
pondasi dari zuhud.
Menjadi seorang sufi yang wara’ akan selalu menjaga kesucian jasmani
ataupun rohaninya dengan mengendalikan semua perilaku dan aktifitas
sehariharinya. Seorang sufi hanya akan mengerjakan sesuatu jika sesuatu itu

9
Ibid., 63.
10
Ibid., 51.
11
Ibid., 52.
memiliki rmanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain di
sekitarnya. Seorang sufi tidak akan pernah menggunakan sesuatu hal yang
belum jelas statusnya. Sehingga jiwa dan raganya selalu terjaga dari sesuatu
hal yang tidak di ridhai oleh Allah (Hasyim Muhammad, 2002: 32).
4) Al-faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat,
butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak
meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. 12 Dengan demikian,
seseorang yang faqr selalu merasa berkecukupan dan merasa puas dalam
menjani kehidupan. Sikap ini sangat penting sehingga manusia dapat
terhindar dari sifat serakah dan rakus. Ini merupakan lanjutan dari zuhud,
karena dengan zuhud kehidupan didunia tidak akan terperdaya oleh tipu daya
dunia, seseorang akan merasa puas dan cukup dengan apa yang sudah
diperolehnya.13 Al-faqr (kefakiran) menurut para sufi merupakan tidak
memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa
yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer; bisa juga diartikan
tidak punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa selain Allah Swt.14
Al-faqr adalah golongan yang telah memalingkan setiap pikiran dan
harapan yang akan memisahkan dari Allah swt. atau penyucian hati secara
keseluruhan terhadap apapun yang membuat jauh dari Allah swt.15
5) At-tawakkul (berserah diri)
Secara umum pengertian tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan
secara bulat kepada Allah setelah seseorang membuat rencana dan melakukan
usaha atau ikhtiar. Jadi, tawakkal adalah sikap pasrah terhadap Allah dalam
menjalani setiap urusan. Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap hati untuk
menyerahkan diri kepada qada’ dan qadar Allah.16 Syekh Sahal
12
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, 30.
13
Anonim, “Makalah maqamat dan ahwal dalam tasawuf”. Makalah. Dalam
http://ekonomisyariahclasse.blogspot.com/2017/12/makalah-maqamat-dan-ahwal-dalam-
tasawuf.html diuduh pada 15 April 2020
14
Miswar, dkk., Akhlak Tasawuf: membangun Karakter Islam, 177.
15
Ahmad Bangun dan Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman,
dan Pengaplikasiannya, 50.
16
Anonim, “Makalah maqamat dan ahwal dalam tasawuf”. Makalah. Dalam
http://ekonomisyariahclasse.blogspot.com...
menambahkan bahwa setiap keadaan mempunyai sisi depan dan sisi belakang
kecuali tawakal, karena sesungguhnya tawakal itu hanya mempunyai sisi
depan saja dan tidak mempunyai sisi belakang. Maksudnya, seseorang
hendaknya bertawakal hanya karena Allah SWT bukan yang lainya. Lebih
lanjut lagi inti yang terdalam bahwa tawakal adalah meninggalkan segala
usaha yang bukan karena Allah SWT.17
6) Ar-ridho (kerelaan)
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya
“senang, puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima”. Dalam
kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan
rahmat”18
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri.
Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah SWT. Jika maqam
ridha sudah ada dalam diri sâlik, maka sudah pasti maqâm tawakkal juga
akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqâm ridha
dan maqâm tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian
Allah SWT, dia akan menjadikan Allah SWT sebagai penuntun dalam
segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa
Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.19

Ahwal yang dijumpai dalam Perjalanan Sufi


Sebagaimana telah disinggung bahwa hal-hal (ahwal) sering dijumpai
dalam perjalanan kaum sufi. Dibawah ini adalah hal-hal yang sering dijumpai
dalam perjalanan sufi:

1. Al-muraqabat (Rasa selalu diawasi oleh Tuhan)


Muraqabah dalam tradisi tasawuf ialah kondisi kejiwaan yang
sepenuhnya berada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala
daya pikir dan imajinasinya fokus pada satu kesadaran yaitu tentang dirinya.

17
Ibnu Farhan. “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perspektif Para Sufi” Yaqzhan
Volume 2, Nomor 2, Desember 2016
18
Ja’far, Gerbang Tasawuf , 80.
19
Zulkifli, H, Jamaluddin, Akhlak Taswuf : Jalan Lurus Mensucikan Diri
(Yogyakarta: Kalimedia, 2018), hal.97
Selanjutnya muraqabah yaitu penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya
sendiri sebagai manusia (Amstrong, 1996: 197).20
Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah). Waspada
(muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala
pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi
hormat, takut dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (muraqabah)
adalah meneliti dengan cermat apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau
malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.21
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat.
Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan
mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan
perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan
amarah.22
2. Al-mahabbah (Rasa cinta kepada Tuhan)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi
segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi
kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang
menjadi dasar pijakan bagi segenap hal. Kaum sufi menyebutnya sebagai
anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk
memperhatikan keindahan atau kecantikan.23
Kondisi spiritual (hal) hubb bagi seorang hamba adalah melihat dengan
kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan
dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah dengannya, segala
perlindungan, penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya.
Dengan keimanan dan hakikat keyakinannya, ia melihat perlindungan
(inayah), petunjuk (hidayah), dan cinta-Nya yang tercurahkan kepadanya,

20
Muhammad hasyim. “Maqâmât dan ahwâl dalam Tafsir al-Jilani”. 46.
21
Anonim. “Kerangka Berfikir Irfani: Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat”.
Makalah. Dalam http://ippnuteni.blogspot.com diunduh pada 25 Maret 2020
22
Tiara kusuma32. “Al-Ahwal: Al-Muraqabah, Al-Khauf, Al-Raja’ dan Al-Syauq”.
Makalah. Dalam http://tiarakusuma32.blogspot.com diunduh pada 25 Maret 2020
23
Anonim. “Kerangka Berfikir Irfani: Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat”.
Makalah. Dalam http://ippnuteni.blogspot.com ...
yang seluruhnya sudah ditetapkan sejak zaman azali. Oleh karena itu, ia
mencintai Allah azza wa jalla.24
3. Al-Khauf wa al-raja’(Rasa pengharapan kepada Tuhan)
Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Raja’ berarti berharap atau optimisme, yakni perasaan senang
hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ menuntut
tiga perkara, yaitu:25
a. Cinta kapada apa yang diharapkannya.
b. Takut harapannya itu akan hilang
c. Berusaha untuk mencapainya
Raja’ yang tidak dibarengi oleh 3 perkara itu hanyalah ilusi atau
khayalan. Khauf menurut ahli sufi adalah suatu sikap mental merasa takut
kepada Allah karena khawatir kurang sempurna pengabdiannya. Dalam
hubungan ini Al-Ghazali membagi khauf membagi menjadi dua macam,
yaitu: pertama, khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Inilah yang
mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada
tempatnya, dan kedua, khauf karena siksaan sebagai akibat perbuatan
kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah yang mendorong orang untuk
menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.26
4. Al-syawq (Rasa rindu)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa
rindu hidup dengan subur, yakni rasa rindu ingin segera bertemu dengan
Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang
benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut. Bagi sufi yang
rindu kepada Tuhan, mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sedangkan
hidup merintangi pertemuan ’abid dengan ma’budnya.27
5. Al-uns (Rasa berteman)

24
Anonim, “Makalah maqamat dan ahwal dalam tasawuf”. Makalah. Dalam
http://ekonomisyariahclasse.blogspot.com...
25
Anonim. “Kerangka Berfikir Irfani: Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat”.
Makalah. Dalam http://ippnuteni.blogspot.com ...
26
Ibid.
27
Ibid.
Menurut pandangan kaum sufi, uns adalah sifat merasa selalu berteman,
tak pernah merasa sepi.28 Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns, ”Ada
orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu
memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang
pemuda-pemudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia
adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya
semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun berada.
Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, srtinya engkau selalu
berada dalam pemeliharaan Allah.” Ungkapan di atas melukiskan keakraban
atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya. Sikap keintiman tersebut
banyak dialami oleh kaum sufi.
6. Al-Thuma’ninat (Rasa tentram)
Al-Thuma’ninat adalah merasa tenteram setelah bersama dengan
Tuhannya, kemudian merasakan ketergantungan terus-menerus dengan-Nya.
7. Al-musyahadat (Perasaan menyiksa Tuhan dengan mata hati)
Al-Musyahadat adalah kehadiran yang berarti kedekatan yang dibarengi
ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya.
8. Al-yaqin (Rasa yakin)
Al-yaqin ialah mantapnya pengetahuan sehingga tidak berpaling dan
tidak berubah. Keyakinan sejati ini tidak lain adalah mukasyafah
(tersingkapnya apa yang ghaib). Mukasyafah dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu:
a. Mukasyafah ayan (tersingkapnya tutup mata) sehingga di hari kiamat
nanti, ia melihat dengan mata kepala.
b. Mukasyafatul qulub (tersingkapnya tutup hati) untuk memahami hakikat-
hakikat keimanan secara langsung dengan yakin yang tidak bisa
dibayangkan cara memperolehnya dan tidak bisa ditentukan.
c. Mukasyafatul ayat (tersingkapnya tanda-tanda kebesaran-Nya) dengan
ditampakkannya kekuasaan Allah kepada para nabi dengan mukjizat dan
untuk selain para Nabi, dengan karamah (kemuliaan) dan dikabulnya do’a.

28
Prof. DR. Rosihon Anwar, Akhlak Taswuf. 205.
Keyakinan sejati merupakan kondisi spiritual yang tinggi. Para pelakunya
dibedakan menjadi tiga kondisi:29

Metode irfani
Metode irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan
dan pengalaman langsung atas realitas spritual keagamaan, berbeda dengan
sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik irfani adalah bagian
esoteris(batin) teks, karena itu rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan
berbagai pengalaman spritual tersebut. Pengetahuan irfani diperoleh dengan oleh
ruhani, dimana dengan kesucian hati, Tuhan akan melimpah pengatahuan
langsung kepadanya.30
Secara metodologis, pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga
tahapan:
1. Persiapan
2. Penerimaan
3. Pengungkapan baik secara lisan atau tulisan.
Tahap pertama, persiapan.
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang yang
biasan disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-
jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah yang
harus dilalui. Namun, setidaknya ada tujuh tahapan yang dijalani, yang semua ini
berangkat dari tingkatan paliang dasar menuju pada tingkatan puncak.
a. Taubat meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan
yang mendalam untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan
baru yang terpuji. Perilaku taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan
pertama, taubat dari perbuatan dosa dan makanan haram, kemudian taubat
dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan), dan puncaknya taubat dari klaim bahwa
dirinya telah melakukan taubat.
b. Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya(subhat).
Dalamtasawuf, wara’ ini terdiri atas dua tingkatan, yaitu lahir dan batin.
29
Anonim. “Kerangka Berfikir Irfani: Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat”.
Makalah. Dalam http://ippnuteni.blogspot.com ...
30
Harun alrasyid leutuan. “Epistemologi Al-Irfani”. Makalah. Dalam
https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com diunduh pada 25 Maret 2020
Wara’ lahir berarti tidak melakukan sesuatu kecuali untuk beribadah kepada
Tuhan, sedang wara’ batin adalah tidak memasukkan sesuatu apapun dalam
hati kecuali Tuhan.
c. Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Namun
demikian, zuhud bukan berarti meninggalkan harta sama sekali. Menurut Al-
Syibli seseorang tidak dianggap zuhud jika hal itu terjadi lantaran ia memang
tidak mempunyai harta. Zuhud adalah bahwa hati tidak tersibukkan oleh
sesuatu apapun kecuali Tuhan (meski disana ada banyak kekayaan).
d. Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini
dan masa akan datang, dan tidak menghentikan sesuatu apapun kecuali Tuhan
SWT, sehingga ia tidak terikat dengan apapun dan hati tidak menginginkan
sesuatu apapun. Tingkat faqir merupakan realisasi dari upaya pensucian hati
secara keseluruhan dari segala yang selain Tuhan (tathhir al-qalbi bi al-
kulliyah ‘anma siwa Allah).
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela. Ini
tahapan lebih lanjut setelah seseorang mencapai tingkat faqir.
f. Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan Tuhan. Tahap awal dari
tawakkal adalah menyerahkan diri pada Tuhan laksana mayat dihadapan
orang yang memandikan.
g. Ridla, hilangnya rasa ketidak senagan dalam hati sehingga yang tersisa hanya
gembira dan sukacita. Ini adalah puncak dari tawakkal.31

Tahap kedua, tahap penerimaan.32


Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap seseorang akan
mendapatkan realitas kesadaran dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang
diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, karena
bukan objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan
eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran
yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad). Dalam persepektif
epistemologis, pengetahuan irfani ini tidak diperoleh melalui representasi atau

31
Ibid.
32
Ibid.
data-data indera apapun,bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam
pembentukan gagasan umum pengetahuan ini.
Tahap ketiga, pengungkapan. 33
Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian pengetahuan irfani,
dimana pengetahuan mistik diinterpresentasikan dan diungkapkan kepada orang
lain lewat ucapan atau tulisan.
Konsep Metode Irfani34
Apabila dalam epistemologi bayani terdapat konsep lafadz dan makna,
dalam irfani terdapat konsep dzahir dan bathin sebagai kerangka dasar atas
pandangannya terhadap dunia (world view) dan cara memperlakukannya. Pola
pikir yang pakai kalangan irfaniyun adalah berangkat dari yang bathin menuju
yang dzahir, dari makna yang menuju lafadz. Bathin, bagi mereka merupakan
sumber pengetahuan, karena bathin adalah hakekat, sementara dzahir teks (al-
qur’an dan al-Hadist) sebagai perlindungan dan penyinar. Irfaniyyun berusaha
menjadikan dzahir nash sebagai bathin.
Pola pikir seperti itu dikalangan irfaniyun telah banyak ditunjukkan al-
jabiri. Al-Ghozali misalnya menegaskan bahwa makna yang dimiliki oleh al-
qur’an adalah batinnya, bukan dzahirnya. Agar hakekat dapat disingkap, makna
harus dijadikan asal, sedang lafadz mengikutinya. Demikian halnya al-Muhasibi,
sebagaimana dikutib al-Jabiri, menjelaskan bahwa yang dzahir adalah bacaannya
(tilawah) dan yang bathin adalah ta’wilnya. Ta’wil disini diartikan sebagai
transportasi ungkapan dzahir ke bathin dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk
bathin). Apabila dalam ta’wil bayani memerlukan susunan bayan seperti wajh
syibh (illat) ataupun adanya pertalian lafadz dan makna (qarinah lafdziyah an al-
ma’nawiyyah) maka ta’wil irfani tidak memerlukan persyaratan dan perataraan.
Takwil irfani tidak berpedoman padadzahir lafadz, tetapi justru mengalihkannya
pada wilayah pengetahuan yang, menurut mereka, disebut dengan hakekat melalui
isyarat. Dalam pola pikir seperti ini, pemahaman dihasilkan melalui al-iyan atau
al- irfani, dan karenanya bersifat langsung.
Demikian, konsep dualisme dzohir dan batin dalam memahami teks tidak
memiliki dimensi kemanusian. Bagi irfaniyyu, baik makna yang dzahir dan batin
33
Ibid.
34
Ibid.
sama-sama berasal dari tuhan, yang dzahir adalah turunnya (tanzil) kitab dari
tuhan melalui para nabinya, sedang yang batin adalah turunnya pemahaman (al-
fahm) dari tuhan lewat kalbu sebagian kaum ini, dalam hal ini kaum irfaniyyun.
Allah menciptakan segala sesuatu terdiri dari dzahir dan batin, termasuk
menciptakan al-qur”an. Yang dzahir adalah bentuk yang dapat di indra (al-shurah
al-hissiyah), sementara yang batin sesuatu yang bersifat ruhiyah. Dengan
demikian firman tuhan secara batin sama dengan hukum yang terdapat pada
dzahir yang terindra. Ruh(spirit) maknawi yang bersifat ketuhanan, yang hadir
dalam bentuk teks yang dapat di indra inilah oleh ibn-arabi di sebut sebagai I’tibar
al-bathin.35

Kesimpulan
Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi
untuk memperolehnya. Ahwal merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin
tasawuf untuk suatu keadaan tertentu yang bersifat tidak permanen. Hal masuk
kedalam hati sebagai anugrah dan karunia Allah yang tidak terbatas pada hamba-
Nya. Macam pembagian maqamat yaitu at-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-
tawakkal, al-ridla.
Adapun ahwal-ahwal yang dijumpai dalam perjalanan sufi, Al-muraqabat,
Al-mahabbah, Al-Khauf wa al-raja’, Al-syawq,Al-uns, Al-Thuma’ninat, Al-
musyahadat, Al-yaqin. Metode irfani adalah model metodologi yang didasarkan
atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spritual keagamaan,
berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik irfani adalah
bagian esoteris(batin) teks, karena itu rasio berperan sebagai alat untuk
menjelaskan berbagai pengalaman spritual tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Wafa al-Ghamini. 1985. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Terj. Ahmad
Rofi Utsmani, Sufi dari zaman ke zaman. Bandung: Pustaka.

35
Lailatuz Zuhriyah. “Maqamat dan Ahwal dalam Kerangka Berfikir ‘Irfani” dalam
http://elzuhriya.blogspot.com diunduh pada 20 Maret 2020
Anonim, “Makalah maqamat dan ahwal dalam tasawuf”. Makalah. Dalam
http://ekonomisyariahclasse.blogspot.com/2017/12/makalah-maqamat-
dan-ahwal-dalam-tasawuf.html diuduh pada 15 April 2020
Anonim, 2017. Makalah maqamat dan ahwal dalam tasawuf.
http://ekonomisyariahclasse.blogspot.com/2017/12/makalah-maqamat-
dan-ahwal-dalam-tasawuf.html
Anonim. “Kerangka Berfikir Irfani: Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat”.
Makalah. Dalam http://ippnuteni.blogspot.com diunduh pada 25 Maret
2020
Anwar, rosihin. 2010. Akhlak taswuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Badrudin, H. 2013. Akhlak Tasawuf. Serang: IAIB Press.
Bahri, Media Zainul. 2005. Menembus Tirai Kesendirian-Nya. Jakarta: Prenada
Bangun, Ahmad dan Royani Hanum. 2013. Akhlak Tasawuf: Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya. Jakarta: Rajawali Pers
Farhan, Ibnu. “Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perspektif Para Sufi” Yaqzhan
Volume 2, Nomor 2, Desember 2016
Hasyim, Muhammad. 2014. Maqamat dan ahwal dalam Tafsir al-Jilani.
Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf.Medan: Perdana Publishing.
Leutuan, Harun Alrasyid. “Epistemologi Al-Irfani”. Makalah. Dalam
https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com diunduh pada 25 Maret 2020
Miswar, dkk. 2014. Akhlak Tasawuf: membangun Karakter Islam. Medan:
Perdana Publishing
Miswar. Maqamat (Tahapan yang harus ditempuh dalam proses Bertasawuf),
Jurnal Ansiru Pai Vol. 1 No. 2, Juli-Des 2017
Syukur, M Amin. 2002. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tiara kusuma32. “Al-Ahwal: Al-Muraqabah, Al-Khauf, Al-Raja’ dan Al-Syauq”.
Makalah. Dalam http://tiarakusuma32.blogspot.com diunduh pada 25
Maret 2020
Zuhriya, Lailatuz. “Maqamat dan Ahwal dalam Kerangka Berfikir ‘Irfani” dalam
http://elzuhriya.blogspot.com diunduh pada 20 Maret 2020
Zuhriyah, Lailatuz. 2012. Maqamat Dan Ahwal Dalam Kerangka Berfikir ‘Irfani.
http://elzuhriya.blogspot.com
Zulkifli, H, Jamaluddin. 2018. Akhlak Taswuf : Jalan Lurus Mensucikan Diri
Yogyakarta: Kalimedia.
Zulkifli, Jamaluddin H. 2018. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Kalimedia

Anda mungkin juga menyukai