Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Maqamat dan Ahwal adalah dua istilah penting dalam tasawuf.
Keduanya merupakan sarana dan pengalaman bagi seseorang dalam
berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu
yang ada di jagad raya ini. Dengan itu Maqam dan Ahwal merupakan cara
untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap
kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Maka dari itu, para
sufi telah menciptakan jalan spiritual untuk merangkai hubungan dengan sang
Tuhan yang disebut Maqamat.
Pada sisi lain Ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan
ditengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui Maqam
tertentu. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih
manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya. Selain itu,
mereka juga pastiakan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati
merasa dekat (Qurb), rasa cinta (Mahabbah), harap-harap cemas (Raja’),
tentram (Tuma’ninah) dan rasayakin (Yaqin). Kondisi-kondisi kejiwaan
tersebut dinamakan Ahwal.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep dan pembagian maqamat?
2. Bagaimana konsep dan pembagian ahwal?

C. TUJUAN
1. Mengetahui konsep dan pembagian maqamat
2. Memahami konsep dan pembagian ahwal

BAB II
PEMBAHASAN

1
A. Konsep dan Pembagian Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam,yang secara bahasa
berarti pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan
istilah station atau stage. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat
adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan
melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spiritual serta
(berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah Swt.1
Secara historis konsep maqamat diduga muncul pada abad pertama
hijriyah ketika para sahabat Nabi masih banyak yang hidup. Sosok yang
memperkenalkan konsep tersebut adalah menantu Rasulullah saw yaitu
sahabat Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditemukan dalam satu informasi
bahwa suatu ketika para sahabat bertanya kepadanya mengenai soal Iman, Ali
bin Abi Thalib menjawab bahwa iman itu dibangun atas empat pondasi yaitu
kesabaran (as-sabr), keyakinan (al-yaqinu), keadilan (al-‘adl) dan perjuangan
(al-jihadu). Dan masing-masing pondasi tersebut mempunyai sepuluh
tingkatan (maqamat). Hal ini setidaknya menjadi bukti kuat bahwa sumber
tasawuf sudah dapat dilihat pada masa Nabi Muhammad saw.2
Dalam perkembangan selanjutnya konsep maqamat mendapat
perhatian yang serius dari para Sufi. Para Sufi kemudian membuat beberapa
definisi dan tingkatan maqamat yang berbeda-beda. Adapun tujuan dari
pembuatan konsep maqamat oleh para Sufi adalah sebagai gerakan atau
prilaku untuk mencapai kesempurnaan menuju Tuhan secara sistematik.
Maqamat dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion, tempat seorang
calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar
dapat melanjutkan perjalan ke stasion berikutnya. Tentang berapa jumlah

1
Dr. H. Syamsun Ni’am, M.Ag., Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf, Yogyakarta,
Ar-Ruzz Media, 2014, hlm. 137.
2
Ibnu Farhan, Konsep Maqamat Dan Ahwal Dalam Perspektif Para Sufi, hlm.158, diakses
dari https://www.syekhnurjati.ac.id , pada tanggal 30 Maret 2019 pukul 19.23

2
stasion atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai
menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya.
Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl
al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa
maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-
faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-
ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’
menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-
zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Dalam pada itu Imam al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada
delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-
ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan
maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka
disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal
dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh
mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut
terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma rifah) terkadang para ahli
tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai
hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).3

a) Al-Taubah
Kata al-Taubah adalah muradif (padanan kata) dari al-Inabah dan al-
Aubah yang terjemahan lunghawi-nya adalah kembali (al-Ruju). Sufi
dalam mengartikan taubat memiliki perbedaan pandangan. Pertama,
taubat dalam pengertian meninggalkan segala kemaksiatan menuju
3
Miswar, Maqamat (Tahapan Yang Harus Ditempuh Dalam Proses Bertasawuf ), hlm.10,
diakses dari https://www.jurnal.uinsu.ac.id , pada tanggal 30 Maret 2019 pukul 20:17

3
kebaikan secara terus-menerus. Kedua, taubat keluar dari kejahatan dan
memasuki kebaikan karena takut murka Allah. Ketiga, taubat dengan
terus-menerus bertaubat walupun sudah tidak pernah lagi berbuat dosa,
hal ini disebut taubat abadi (taubat al-dawam) atau pelakunya berada
pada maqam al-taubah.
Para sufi menjelaskan bahwa taubat bukan hanya menghapus dosa, akan
tetapi lebih dari itu yakni menjadi syarat mutlak mendekatkan diri kepada
al-Haqq. Oleh karena itu, dia menetapkan jumlah bacaan istighfar dengan
jumlah yang banyak, bisa ratusan kali, sampai dia merasa bisa
berhubungan lagi hatinya dengan al-Haqq. Sebagaimana hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, rasul bersabda:
“Demi Allah saya beristighfar kepada-Nya serta bertaubat sebanyak
tujuh puluh kali setiap hari” (HR. Bukhari).

b) Al-Istiqamah
Al-Istiqamah dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan terus-
menerus (ajeg-kontinu). Al-Istiqamah adalah ajeg secara lahiriah di
dalam bertakwa, maka dengan ajeg ini Allah akan memberikan
kenikmatan yang besar.
Dalam kaitan ini, ada beberapa ayat Alquran yang dapat dijadikan
petunjuk untuk ber-istiqamah, yaitu:
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, Tuhan kami adalah
Allah” kemudian mereka menenguhkan pendirian mereka maka
malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata),
“Janganlah kami merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati;
dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan kepadamu”(Q.S. Fushshilat (41 : 30).
Sebagian sufi menjelaskan bahwa kadar istiqamah dapat terjadi dalam diri
seseorang dalam mengamalkan amalan tertentu bila dia bisa

4
melakukannya 40 (empat puluh) hari tanpa putus, maka dia akan bisa
melaksankan amal itu secara berlanjut.4

c) Al-Wara’
Kata warak berasal dari bahasa Arab, wara a, yari u, wara an yang
bermakna berhati-hati, tetapi dalam kamus bahasa Indonesia warak
bermakna patuh dan taat kepada Allah. Di dunia tasawuf, kata warak
ditandai dengan kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi.
Secara graduasi, dalam tasawuf warak merupakan langkah kedua sesudah
tobat. Hal ini menunjukkan bahwa di samping merupakan pembinaan
mentalitas keislaman, juga warak sebagai tanggal awal untuk
membersihkan hati dari ikatan keduniaan.
Menurut para sufi warak itu ada dua macam yaitu:
1. Warak lahiriah, yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk
hal yang tidak diridai Allah swt.
2. Warak batin, yaitu tidak mengisi hatinya kecuali hanya Allah swt.

d) Al-Zuhd
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ansyai in wa tarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya,
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Kata Zuhud berasal dari bahasa Arab, zahada, yazhudu, zuhdan yang
artinya menjauhkan diri, tidak menjadi berkeinginan, dan tidak tertarik.
Dalam bahasa Indonesia, zuhud berarti perihal meninggalkan
keduniawian pertapaan.
Menurut dari pengertiannya Zuhud dapat dipahami bahwa tingkatan
zuhud pada dasar nya ada tiga yaitu:

4
Dr. H. Dahlan Tamrin, M.Ag., Tasawuf Irsani, Malang , UIN-Maliki Press, 2010, hlm. 34-
38

5
1) Orang yang zuhud terhadap dunia, padahal ia suka padanya, hatinya
condong padanya dan nafsunya selalu menoleh kepadanya kendati
demikian, dilawannya hawa nafsu dan keinginan terhadap kenikmatan
duniawi itu. Orang ini disebut mutazzahid (yang berusaha untuk hidup
zuhud).
2) Orang yang zuhud terhadap dunia dengan mudah, karena ia
menganggap terhadap perkara keduniaan itu sepele (sedikit sekali
manfaat dan gunanya), meskipun demikian ia menginginkannya.
Tetapi ia melihat kezuhudannya dan berpaling padanya.
3) Orang yang zuhud terhadap dunia,tetapi zuhud terhadap ke-zuhud-
annya itu, sehingga tidak terasa bahwa dirinya telah meninggalkan
jubah keduniannya. Orang yang demikian setingkat dengan orang yang
meninggalkan tembikar dan memungut intan permata.

e) Al-Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat butuh
atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak
meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
Al-faqr (kefakiran) menurut para sufi merupakan tidak memaksakan diri
untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa yang telah
dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer bisa juga diartikan tidak
punya apa-apa serta tidak dikuasai apa-apa selain Allah Swt.
Dapat disimpulkan Al-faqr adalah golongan yang telah memalingkan
setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan dari Allah swt. atau
penyucian hati secara keseluruhan terhadap apapun yang membuat jauh
dari Allah swt.

f) Al-Shabr
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran,
maknanya adalah mengikat, bersabar, menahan dari laranangan hukum,
dan menahan diri dari kesedihan. Kata ini disebutkan di Alquran

6
sebanyak 103 kali. Dalam bahasa Indonesia, sabar bermakna “tahan
menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asah, tidak lekas
patah hati), dan tabah, tenang, tidak tergesah-gesah, dan tidak terburu
nafsu.
Dikalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah
perintah Allah Swt dalam menjauhi segalah laranganNya dan dalam
menerima segalah percobaan-percobaan yang ditimpahkan-Nya pada diri
kita.

g) Al-Tawakkul
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti
mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung,
istilah tawakal disebut di dalam Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak
70 kali. Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah pasrah diri kepada
kehendak Allah percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam
penderitaan dan sebagainya), atau sesudah berikhtiar baru berserah
kepada Allah.
Al-Ghazali mengemukakan gambaran orang bertawakal itu adalah
sebagai berikut:
1. Berusaha untuk memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat
kepadanya.
2. Berusaha memelihara sesuatu yang dimilikinya dari hal-hal yang tidak
bermanfaat.
3. Berusaha menolak dan menghindari dari hal-hal yang menimbulkan
mudarat.
4. Berusaha menghilangkan yang mudarat.

h) Al-Ridha
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya
senang, puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima. Dalam

7
kamus bahasa Indonesia, rida adalah rela, suka, senang hati, perkenan,
dan rahmat”.
Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak
menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan hati
senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di
dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima
malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak
meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak
berusaha sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit
sesudah turunnya kada dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di
waktu turunnya bala (cobaan yang berat).
Setelah mencapai maqam tawakal, dimana nasib hidup salik bulat-bulat
diserahkan pada pemeliharaan Allah, meninggalkan serta membelakangi
segala keinginan terhadap apapun selain Tuhan, maka harus segera di
ikuti menata hatinya untuk mencapai maqam ridha.

i) Al-Mahabbah
Menurut Al-Ghazali, al-mahabbah adalah maqam sebelum rida. Kaum
sufi mendasari ajaran mereka tentang cinta dengan Alquran, hadis, dan
atsar (perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat). Antara lain dalilnya
adalah QS. Al-Maidah 5: 54; Q. S. Al-Shaff 61: 4; dan Q. S. Ali Imran
3:31.
Dalam Q. S. Ali Imran/3:31, Allah swt. berfirman
Artinya: “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

8
Menurut Ibn Qudamah, tanda cinta kepada Allah swt adalah senantiasa
berzikir kepada Allah gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat
kepada-Nya seperti membaca Alquran dan tahajud, merasa rugi bila
meewatkan waktu tanpa menyebut nama-Nya dan menyayangi semua
hamba Allah, mengasihani mereka dan bersikap tegas terhadap musuh-
musuh-Nya.5

B. Konsep dan Pembagian Ahwal


Ahwal adalah bentuk jamak dari kata hal, yang secara bahasa berarti
kondisi, keadaan. Menurut istilah ilmu tasawuf (ind al-mutashawwifin), hal
berarti perasaan yang menggerakkan dan mempengaruhi hati yang disebabkan
karena bersihnya dzikir.
Ahwal tidak sama dengan maqamat, karena hal diperoleh bukan
lantaran usaha maksimal (seperti: mujahadat, riyadlah, dan ibadah). Menurut
Abd Karim al-Qusyairy, pengertian ahwal adalah kalau hal diperoleh tanpa
ada kesengajaan, upaya dan usaha dari seseorang, dan dia datang dalam
bentuk tersendiri serta orang yang memiliki hal tersebut dipengaruhi oleh
situasi-situasi tertentu, misalnya keadaan sedih, gelisah, suka, gembira, rindu,
segan, dan sebagainya.6
Salah satu sufi yang menjelaskan mengenai ahwal adalah al-Qusyairi
(w. 1027 M), hal dimaknai sebagai suatu keadaan yang dirasakan oleh hati
seorang sufi tanpa adanya kesengajaan dan usaha dari para sufi tersebut. Hal
merupakan anugerah dari Allah SWT kepada hamba-Nya yang ia kehendaki.
Oleh karena itu, sifat ahwal itu mudah datang, pergi, dan temporer.
Dalam ilmu tasawuf dikenal beberapa ahwal, sebagai berikut:
a) Muraqabah
5
Ibid, Miswar, Maqamat (Tahapan Yang Harus Ditempuh Dalam Proses Bertasawuf),
hlm.14-18
6
Ibid., Dr. H. Syamsun Ni’am, M.Ag., Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf, hlm.137-
138

9
Muraqabah dalam tradisi tasawuf ialah kondisi kejiwaan yang
sepenuhnya berada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga
segala daya pikir dan imajinasinya fokus pada satu kesadaran yaitu
tentang dirinya. Al-Jauziyah mendefinisikan muraqabah sebagai
pengetahuan manusia secara terus menerus dan keyakinannya bahwa
Allah mengetahui zhahir dan batinnya.
Konsistensi diri terhadap perilaku yang baik adalah kunci utama untuk
mencapai muraqabah. Konsistensi ini mampu dipenuhi dengan senantiasa
mawas diri, dan menjaga dari perilaku yang tidak sesuai dengan perintah
Allah. Sehingga perlu kedisiplinan tinggi untuk mencapai muraqabah.
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa seorang sufi bisa sampai pada ahwâl
muraqabah jika ia telah sepenuhnya melaksanakan perhitungan terhadap
perilakunya di masa lalu yang telah dilakukannya dan melakukan
perubahanperubahan menuju perilaku yang lebih baik. Pada prinsipnya
perilaku beribadah merupakan suatu gambaran perilaku muraqabah atau
mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karenanya, muraqabah dapat berarti sebuah kondisi kejiwaan
seseorang yang senantiasa merasakan kehadiran Allah dengan menyadari
bahwa Allah selalu mengawasi setiap perilaku hamba-Nya.

b) Muhabbah
Mahabbah (cinta) berarti keteguhan dan kemantapan. Dikatakan, cinta
dari kata habb (biji-bijian) yang merupakan jamak dari habbat. Dan
habbatul qalb adalah sesuatu yang menjadi penopangnya. Dengan
demikian cinta dinamakan hubb dikarenakan ia tersimpan dalam kalbu.
Dikatakan juga, cinta berasal dari kata hibb, tempat yang di dalamnya ada
air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat bagi lainnya. Demikian
pula manakala hati diluapi cinta, tak ada tempat lagi selain sang kekasih.

10
Mahabbah adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang
menyebabkan seseorang merasa hatinya penuh kepada apa yang ia
dicintainya dengan semangat dan kasih sayang. Cinta terbagi menjadi tiga
susunan, yaitu cinta biasa, cinta spiritual, dan cinta Ilahi.

c) Khauf
Menurut al-Qusyari definisi khauf (takut) berkaitan dengan kejadian yang
akan datang. Takut kepada Allah bermakna takut terhadap hukum-hukum
Allah di dunia maupun di akhirat . Terdapat berbagai macam perbedaan
mengenai pengertian khauf, diantaranya: khauf merupakan kegundahan
hati karena takut akan sesuatu. Selanjutnya, khauf merupakan upaya hati
untuk menghindar dari datangnya sesuatu dari yang tidak disukainya.
Menurut pendapat al-Wasithi perasaan takut dan harap bermakna sebagai
pengendali bagi diri seseorang dari perbuatan yang sia-sia, sebab ia akan
senantiasa menjaga diri agar senantiasa mengerjakan sesuatu yang terbaik
dengan tanpa keraguan dan merasa yakin bahwa usaha yang baik akan
menghasilkan kebaikan pula.
d) Raja’
Definisi yang hampir sama dengan khauf (takut), raja (harapan) adalah
terikatnya hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang
akan datang. Menurut al-Qusyairi, ia telah membedakan antara harapan
(raja) dengan angan-angan (tamanni). Yang membedakan ialah raja’
sifatnya aktif dan tamanni sifatnya pasif. Hal ini jelas berbeda, seseorang
yang menginginkan sesuatu agar keinginannya terpenuhi maka akan
melakukan segala sesuatu sampai semua terpenuhi, berbeda dengan orang
yang hanya memiliki angan-angan. Harapan (raja) akan menjadikan
seorang pada perasaan yang optimis dalam mengerjalan segala
aktifitasnya, serta menghilangkan semua keraguan yang menyertainya.

11
e) Shaud
Definisi tentang shauq menurut Ibnu Khafif ialah ketenangan hati yang
disebabkan oleh cinta dan keinginan untuk berjumpa serta saling
mendekat. Rindu merupakan perjalanan hati menuju kekasih dalam
berbagai keadaan. Cinta lebih tinggi daripada rindu, hal ini dikarenakan
rindu ada karena cinta. Kadar kuat dan lemahnya rindu adalah berasal dari
cinta.
Berbeda dengan pendapat Abu Utsman bahwa tanda rindu ialah menyukai
mati asalkan menjadikan jiwa tenang, seperti Nabi Yusuf saat dimasukkan
ke dalam sumur. Beliau hanya berbicara, matikanlah aku dalam keadaan
berserah diri.
Seorang manusia yang sedang dilanda kerinduan pada Tuhannya maka ia
akan terlepas semua hasratnya dari selain Tuhannya. Dengan demikian
perasaan rindu merupakan terbebasnya diri seseorang dari belenggu hawa
nafsu.

f) Uns
Uns (sukacita) merupakan kondisi kejiwaan seseorang ketika merasakan
dekat dengan Tuhannya. Pendapat lain menjelaskan bahwa uns ialah
kegembiraan yang ada pada hati sebab mengetahui yang dicintai dan
memperoleh apa yang diinginkan. Seseorang yang sedang pada kondisi
uns akan merasakan kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan yang besar.
Kondisi seperti inilah yang dirasakan para sufi ketika ia merasa dekat
dengan Allah.

g) Thuma ninah

12
Thuma’ninah merupakan ketentraman hati terhadap sesuatu, tidak merasa
cemas dan gelisah. Thuma ninah hanya akan dijadikan Allah ke dalam
hati dan jiwa orang-orang yang beriman, dalam firman-Nya,
Hai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Rabbmu. Dalil tersebut
menjelaskan jiwa manusia tidak akan kembali kepada Allah kecuali dalam
keadaan thuma’ninah.
Ibnu Qayyim menukil sebuah hadits yang menjelaskan, “Kebenaran
adalah indentik dengan keterntraman sedangkan kebohongan adalah
identik dengan keraguan. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan:
Pertama, hati yang tenang karena mengingat Allah dan ketentraman
seorang hamba yang takut kepada Allah. Kedua, ketentraman jiwa pada
kasyf, ketentraman diri pada batas penantian, dan keterntraman
perpisahan pada pertemuan. Ketiga, ketentraman karena
melihatkelembutan kasih Allah, ketentraman pertemuan dengan baqa’
(keabadian) dan ketentraman maqam pada cahaya keabadian.

h) Musyahadah
Musyahadah sering kali dikaitkan dengan muhadharah dan mukasyafah.
Muhadharah adalah kehadiran kalbu, lalu mukasyafah adalah kehadiran
kalbu dengan sifat nyatanya, sedangkan musyahadah ialah merasa akan
kehadiran Allah tanpa dibayangkan.
Dalam psikologi, seseorang yang sedang musyahadah, seisi hatinya
diliputi rasa senang dan bahagia sepanjang waktu. kondisi yang seperti
inilah dapat muncul karena didasari oleh perasaan menyatu dengan alam
semesta, ia telah merasa bahwa ia telah menjadi bagian alam.

i) Yaqin
Yaqin dalam terminologi sufi merupakan perpaduan dari beberapa
kosakata yang bermakna sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang

13
menyertai keadaannya. Menurut Dzun-Nun yaqin mengajak untuk tidak
terlalu berharap. Menurut al-Junaid yaqin adalah kemantapan ilmu yang
tidak dapat diubah dan tidak diganti serta tidak berubah apa yang ada di
dalam hati. Selanjutnya menurut Ibnu Atha, seberapa jauh kedekatan
mereka dengan takwa maka sejauh itu pula mereka bisa mengetahui
yakin.
Dzun-Nun membagi yaqin dalam tiga tanda yaitu tidak banyak bergaul
dengan manusia, tidak memuji mereka jika mendapat pemberian, dan
tidak mencela mereka jika tidak memperoleh pemberiannya. Sedangkan
tanda yang lainnya, yaitu: memandang kepada Allah dalam segala
sesuatu, kembali kepada-Nya dalam segala sesuatu, dan memohon
pertolongan kepada-Nya dalam keadaan bagaimanapun.7

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba
di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat
dan lain-lain, latihan spiritual serta (berhubungan) yang tidak putus-
putusnya dengan Allah Swt.
2. Ahwal adalah bentuk jamak dari kata hal, yang secara bahasa berarti
kondisi, keadaan. Menurut istilah ilmu tasawuf (ind al-mutashawwifin),

7
Hasyim Muhammad, Ahwal dan Maqamat dalam Tafsir al-Jilani, diakses dari
https://www.eprints.walisongo.ac.id , pada tanggal 31 Maret 2019 pukul 16.53

14
hal berarti perasaan yang menggerakkan dan mempengaruhi hati yang
disebabkan karena bersihnya dzikir.
3. Variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat
yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr,
al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah,
dan al-marifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap
tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-
marifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan
terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan
wujud rohaniah dengan Tuhan)

B. Saran

Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal,


hendaknya tidak hanya tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu
makalah ini semoga menjadi pemacu penyusun khususnya dan penyusun
berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami ilmu tasawwuf, sehingga
apa yang sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-sehari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan ilmu tasawuf itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Farhan, Ibnu. "Konsep Maqamat dan Ahwal dalam Perspektif Para Sufi",
https://www.syekhnurjati.ac.id diakses pada 30 Maret 2019 pukul 19:23.

Miswar. "Maqamat(Tahapan Yang Harus Ditempuh Dalam Proses


Bertasawuf)", https://www.jurnal.uinsu.ac.id diakses 30 Maret 2019 pukul 20:17.

15
Muhammad, Hasyim. "Ahwal dan Maqamat dalam Tafsir Al-Jilani",
https://www.eprints.walisongo.ac.id diakses pada 31 Maret 2019 pukul 16:53.

Ni'am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf.


Yogyakarta:Ar-Ruzz Media.

Tamrin, Dahlan. 2010. Tasawuf Irsani. Malang:UIN Maliki Press.

16

Anda mungkin juga menyukai