MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tasawuf
yang dibina oleh Duki, MA
Disusun Oleh:
11520015
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kelancaran dalam membuat
makalah ini. Sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu. Tak lupa shalawat serta
salam selalu kita junjung untuk Nabi besar kita Nabi Muhamad SAW yang mana telah
memberikan syafaatnya kepada kita semua.
Tak ubahnya kehidupan yang selalu berproses, begitu juga yang akan dibahas dalam
makalah ini. Yaitu, mengenai proses yang terdiri dari tingkatan-tingkatan untuk bisa semakin
dekat dengan Allah SWT. Tingkatan-tingakatan yang dilalui seorang sufi nantinya.
Selengkapnya akan dibahas lebih dalam pada makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak begitu juga dengan makalah yang dibuat oleh kami.
Maka dari itu kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Tak
lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam terselesaikannya makalah ini. Akhir kata kami mengucapkan,
Wassalamualaikum wr wb
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian
pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan
diri serta mengamalkannya secara benar. Tinjauan terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para
sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju
Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah, lalu secara bertahap menempuh
berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir
dengan mengenal kepada Allah. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan
dan metode tertentu yang disebut jalan untuk menemukan pengenalan Allah.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan secara rohaniah yang benar
terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila
belum melakukan perjalanan menuju Allah, walaupun ia adalah orang yang beriman secara
aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah dan iman
secara rasa.
Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuan
mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti memperbanyakkan zikir, beramal
soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti
menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan maqamat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan maqamat dalam tasawuf?
2. Apa saja maqamat yang dimaksud dalam tasawuf tersebut?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui makna dari maqamat dalam tasawuf.
2. Mengetahui penjelasan tentang maqamat dalam tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Maqamat dalam Tasawuf
Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam. Maqam secara bahasa berarti tempat
berdiri, stasiun, tempat, lokasi posisi, atau tingkatan. Sedangkan menurut istilah, para ahli
sufi memiliki pandangan yang berbeda akan pengertian maqam. Namun secara substansi
memiliki pemahaman yang relatif sama. Dalam pandangan al-Qusyairi, maqam adalah
tahapan etika seorang hamba dalam rangka sampai kepada-Nya dengan berbagai upaya,
diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam
tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta latihan-latihan spiritual menuju
kepada-Nya.
Menurut al-Hujwiri menunjuk maqam kepada keberadaan seseorang di jalan Allah,
yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta
menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya, sejauh berada dalam kekuatan manusia.
Sehingga dapat disimpulkan maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui
seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban
yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai
maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Maqamat sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari thariqah atau thariq yang
berati jalan. Dalam al-Mausuah al-Arabiyyah al-Muyassarah diterangkan bahwa thariqah
adalah tingkah laku yang khusus dilakukan oleh orang-orang sufi yang berjalan menuju
Allah, dengan menempuh secara sungguh-sungguh maqamat dan mendaki ahwal. Jadi,
maqamat bisa menjadi bagian dari thariqah dalam pengertiannya yang umum, dapat pula
berarti thariqah itu sendiri dalam pengertiannya yang khusus.
Secara lebih jauh, al-Qusyairi melihat bahwa setiap maqam adalah upaya yang
tentunya diperoleh dari upaya perjuangan. Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri
berpendapat bahwa istilah maqam menunjuk kepada jalan sang pencari. Oleh karenanya,
maqam termasuk dalam kategori tindakan. Dengan kata lain, maqam adalah sebuah upaya
dengan perjuangan yang sungguh-sungguh. Dapat diartikan pula, maqam itu menunjuk
kepada sebuah kerja aktif.
Maqamat ini sendiri memiliki hubungan yang sangat erat dengan ahwal (bentuk
jamak dari hal). Menurut al-Sarraj, maqam adalah usaha sang hamba demi mendapat
kedudukan istimewa di hadapan Allah yang dicapai melalui serangkaian ibadah, latihanlatihan rohani, dan berjuang melawan penyakit hati. Sedang hal adalah anugerah Allah yang
diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam
menempuh maqamat.
Jika diruntut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan juga tentang ahwal ini
sesungguhnya telah ada pada masa awal-awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang
dua konsep ini adalah Ali bin Abi Thalib: ketika ditanya tentang iman, ia menjawab bahwa
iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran, keyakinan, keadilan, dan perjuangan, dan tiap
pondasi memiliki sepuluh maqamat.
2.2 Maqamat dalam Tasawuf
Sebagaimana telah dibahas dalam subbab sebelum ini, maqamat adalah tingkatantingkatan yang harus dilalui para sufi agar bisa berada lebih dekat dengan Allah secara
rohaniah. Kaum sufi berbeda pandangan perihal jumlah maqam. Abu Thalib al-Makki
membagi maqamat kepada sembilan tahapan, sedangkan Abu Said ibn Abi al-Khayr
menyebut 40 jumlah maqamat. Al-Hujwiri menyebut jumlah maqamat sebanyak jumlah
kenabian, sedang al-Anshari dalam Manazil-nya menyebut seratus maqamat dengan sepuluh
klasifikasi. Bahkan, Abu Bakar al-Kattani menyebut jumlah hingga ribuan maqamat Cahaya
dan Kegelapan.
Sebagaimana telah disebutkan diatas jumlah tingkatan-tingkatan (maqamat) yang
harus dilalui oleh seorang sufi menurut masing-masing ahli sufi yang terdiri dari beberapa
tahapan. Namun, pada umumnya, maqamat hanya berjumlah tujuh tahapan, yang ini
mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya. Dan pada
puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia. Adapun maqamat
yang dimaksud diantaranya sebagai berikut:
1. Taubat
Dalam beberapa literatur ahli sufi ditemukan bahwa maqam pertama yang
harus ditempuh oleh salik adalah taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini.
Beberapa diantara mereka memandang bahwa taubat merupakan awal semua
maqamat yang kedudukannya laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi
bangunan tidak dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang tidak akan dapat menyucikan
jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah. Dalam ajaran tasawuf konsep
taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat
berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari perbuatanperbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali
kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan
Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan
menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan
Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini
merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh
lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat
tidak dapat dilakukan hanya sekali, tetapi harus berkali-kali. Dalam hal ini Dzu alNun al-Mishry membagi taubat pada dua bagian yaitu taubatnya orang awam dan
orang khawas. Ia mengatakan:
Lebih lanjut al-Daqqaq membagi taubat dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu
taubat kemudian inabah (kembali) dan tahap terakhir yaitu awbah. Menurut al-Sarraj
tobat terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang
berkehendak (Muridin), mutaarridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli
haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosadosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka
senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli marifat (khusus al-khusus).
Adapun taubatnya ahli marifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
Kelompok ketiga ini bisa juga disebut kaum arifin (orang-orang yang
mengetahui Allah). Mereka jika melakukan riya sama nilainya dengan ikhlasnya
orang-orang yang berkehendak. Bagi mereka, kedekatan dan ketaatan seorang arif
kepada Allah atas motivasi kedekatan dan ketaatan an sich, maka hal itu sudah
termasuk dosa. Maqam tobat ini, menurut al-Sarraj membutuhkan maqam wara.
2. Wara
Kata wara secara etimologi mengarah pada kata yang berarti
menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf wara bermakna
menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat).
Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
:
Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan
sesuatu yang tidak penting baginya.
Adapun makna wara secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak
bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas
lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara
sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan
memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
Wara, merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga kesucian
jiwa raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara subhat apalagi sampai
perrkara yang bersifat haram. Sehingga, ketika seorang salik memang benar-benar
berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi larangan
Allah dari segala hal yang masih meragukan dengan benteng sifat wara, niscaya sifat
yang mulia ini akan menjadi karakter dan kepribadian luhur yang mendarah daging
sampai anggota tubuhnya pun akan menjadi benteng yang tangguh bagi dirinya untuk
menjaga dari segalah kemaksiatan. Sehingga, hati dan pikiranya akan menjadi
jernih,segala ucapan,tingkah laku, ide dan kreativitasnya mengandung hikmah dan
manfaat untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain.
Dilihat dari jenisnya wara terbagi menjadi dua, yakni wara lahir dan wara
batin. Wara lahir adalah tidak menggerakkan anggota tubuh, melainkan hanya untuk
sesuatu yang diridhoi Allah. Sedangkan wara batin adalah tidak memasukkan kepada
ingatan dan kenangan kecuali kepada Allah.
Al-Sarraj membagi wara menjadi tiga tingkatan : 1) memelihara diri dari yang
syubhat, 2) memelihara diri dari yang halal yang akan membawa kepada maksiat dan
3) memlihara diri dari sesuatu yang halal yang akan membawa lupa kepada Allah.
Dengan wara seorang sufi dapat menghilangkan segala rintangan yang akan
menghalangi diri dari dekat kepada Allah. Maqam wara, menurut al-Sarraj
membutuhkan maqam zuhud.
3. Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu
tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang
sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali mengurangi keinginan
kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran, adapula yang
mendefenisikannya dengan makna berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak
menginginkannya , kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang
diridhai, serta martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik yang
berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT. Menurut Haidar Bagir konsep
zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr.
Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung
tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau
kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia
(materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap
hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena
semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.
rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti telah membebaskan
rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya. Ali
Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang mengatakan
Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan
dirinya hampa dari nafsu rendah. Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym
bahwa Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri dan jiwanya terjaga
dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.
Selanjutnya menurut Abi Nasr As-Saraaj Ath-Thusiy,derajat fuqara di
klasifikasikan menjadi tiga yaitu
1) Golongan yang tidak memiliki sesuatu, dan secara zahir batin ia memang tidak
meminta dan menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi ia tidak mau
2)
dengan
ungkapan
pengaduanya
tersebut.
Maka,
sesungguhnya
Dalam konteks tasawuf, tawakal merupakan refleksi dari tawhid yang murni,
sebab jika masih ada ketakutan atau ketergantungan pada sesuatu makhluk berarti ia
masuk dalam syirik khafi (mempersekutukan Allah secara sembunyi). Semakin
sempurna tingkat pengetahuan seorang hamba maka akan semakin sempurna pula
tingakt tawakal-Nya. Menurut Suhrawardi, ketidaksempurnaan twakal disebabkan
pengaruh jiwa yang rendah, sedang kesempurnaannya akan tercapai dengan hilangnya
jiwa yang rendah itu.
Al-Ghazali memandang bahwa tawakal terdiri atas tiga tingkatan. Pertama,
menyerahkan diri kepada Allah, seperti seseorang yang menyerahkan kekuasaan
kepada wakilnya, setelah meyakini kebenaran, kejujuran, dan kesungguhan wakilnya
dalam menangabi urusan itu. Kedua, menyerahkan diri kepada Allah, seperti seorang
anak kecil menyerahkan segala persoalannya kepada ibunya. Ketiga, menyerahkan
diri kepada Allah laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.
Orang-orang yang tawakal menurut al-Sirraj terdiri atas tiga tingkatan.
Pertama, tawakalnya orang-orang yang beriman. Kedua, tawakalnya kaum khusus.
Ketiga, tawakalnya kaum istimewa, yaitu orang-orang yang menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah semata dan sebuah kesadaran bahwa sesungguhnya kita
tiada memiliki dan tak punya eksistensi.
Tawakal yang berarti memasrahkan, mempercayakan dan menyerahkan
segenap masalah kepada Allah sepenuhnya dengan ikhlas hanya bisa dicapai dengan
sempurna melalui sikap ridha, yakni rela dan menerima dengan senang dan lapang
dada segala keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang hamba. Selebihnya akan
dibahas dalam maqam yang terakhir.
7. Ridha
Dalam perspektif tasawuf, ridha atau kerelaan yakni rela dan menerima
dengan senang dan lapang dada segala keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang
hamba, entah itu
keyakinan bahwa ketetapan Allah terhadap sang hamba lebih baik daripada keputusan
hamba itu bagi dirinya sendiri. Keridhaan sang hamba kepada Allah dan perkenan
Allah terhadap hamba-Nya hanya dapat diraih melalui tahapan penyucian jiwa,
sehingga memperoleh ketentraman batin.
Ridha menurut al-Sarraj merupakan gerbang Allah yang teragung dan surga
dunia. Maksudnya adalah bahwa siapa yang mendapat kehormatan dengan ridha,
berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan dihormati dengan
pnghormatan tertinggi. Dalam pandangan al-Junaid, ridha adalah mengangkat dan
menghapus ikhtiar. Maksudnya, jika Allah telah memberikan ketetapan kepada sang
hamba, maka ikhtiar sang hamba itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan
kesenangan hati menerima keputusan Allah, dan ikhtiar sendiri hakikatnya adalah
anugerah Allah.
Menurut al-Sarraj, ahli ridha itu terbagi atas tiga keadaan. Pertama, adalah
mereka yang tetap beramal pada saat-saat susah hingga hatinya kemudian serasi
dengan Allah terhadap apa-apa yang terjadi atas dirinya dengan sebab ketetapan Allah
dari musibah, hal-hal yang dibenci, penolakan dan pemberian. Kedua, adalah mereka
yang meloncat dari pandangan keridhaannya terhadap Allah menuju kepada
pandangan ridha Allah terhadap dirinya. Mereka ini bisa disebut kaum khusus, yakni
mereka yang senantiasa menyambut dengan baik dan gembira takdir yang menimpa
mereka. Ketiga, adalah mereka yang melewati kondisi ahli ridha kedua di atas.
mereka telah meloncat dari pandangan ridha Allah terhadap dirinya dan keridhaannya
terhadap Allah, d engan sebuah pengetahuan bahwa Allah telah ridha terhadap seluruh
makhluk-Nya sejak azali.
Maqam ridha ini, merupakan akhir dari seluruh rangkaian maqamat.
Selanjutnya maqamat ini membutuhkan ahwal orang-orang yang ahli meneliti
keadaan-keadaan kalbu, mengkaji hal-hal ghaib, menggali rahasia-rahasia dengan cara
zikir yang tulus dan menemukan realitas-realitas ahwal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Maqamat adalah tingkatan-tingkatan yang harus dilalui para sufi agar bisa berada
lebih dekat dengan Allah secara rohaniah.
2. Maqamat dalam tasawuf terdiri dari tujuh maqam:
a. Taubat, adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan
penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang
dianjurkan oleh Allah.
b. Wara, adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan,
penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan
seorang muslim.
c. Zuhud, adalah kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan
diri darinya karena taat kepada Allah, padahal terdapat kesempatan untuk
memperolehnya.
d. Faqr, berarti senantiasa merasa butuh kepada Allah, orang yang bersih atau
kosong hatinya dari keinginan duniawi.
e. Sabar, adalah adab dihadapan musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam
menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta tabah pula dalam
menghadapai setiap peristiwa tanpa memperlihatkan keputusasaan.
f. Tawakal, adalah mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada
Allah sepenuhnya dan menyandarkan kepada-Nya penanganan bernagai
masalah yang dihadapi.
g. Ridha, adalah rela dan menerima dengan senang dan lapang dada segala
keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang hamba, entah itu
menyenangkan atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Fauziah Ahmad. http://thkhusus.wordpress.com/2010/01/03/maqamat-dan-ahwal/ diakses
pada Sabtu, 5 September 2013 06:00.
Mahdun Adun. http://mahdunspi.blogspot.com/2013/05/al-maqomqt-wal-ahwal.html diakses
pada Minggu, 6 September 2013 23:07.
Bahri, Media Zainul. Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan
Ahwal Dalam Tradisi Suf. Jakarta: Prenada Media. 2005.