Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan
penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak
sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting
untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.

Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak


dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah
melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan
berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits
ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas
sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan
ini hnya akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi
kualitas hadits saja.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah:
1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi
2. Pembagian hadits dari segi kualitas

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-macam hadits dari segi kuantitas perawi
2. Untuk mengetahui macam-macam hadits dari segi kualitas

1
2

BAB II
KLASIFIKASI HADITS
DARI SEGI JUMLAH PERAWI

A. HADITS MUTAWATIR
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Menurut bahasa, kata mutawatir berarti mutatabi yakni yang
datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain
tidak ada jaraknya.
Sedangkan pengertian hadits mutawatir menurut istilah, Hadits
Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak dan yang
menurut akal yang tidak mungkin mereka bersepakat dusta serta
disampaikan melalui indera.1
Nur ad-Din ‘Atar mendefinisikan Hadits Mutawatir adalah hadits
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari
kesepakatan merka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir
sanad dengan didasarkan pada panca indra.2
Diantara ulama, ada yang tidak mensyaratkan penerimaan
periwayatan itu melalui pancaindera. Pada uraian berikut, dijelaskan
tentang maksud periwayatan dengan pancaindera tersebut.

2. Syarat-syarat Hadits Mutawatir


Dengan melihat kepada pengertian istilah tentang Hadits
Mutawatir, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Hadits itu diperoleh dari Nabi atas dasar pancaindera yang yakin.
Maksudnya, bahwa perawi dalam memperoleh Hadits Nabi haruslah
benar-benar dari hasil pendengaran atau pengelihatan sendiri. Jadi,

1
K.H.E. Mutofa, Dasar-dasar Islam, CV. Angkasa, Bandung, 2009, Hal: 124
2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hal: 97

2
3

bukanlah atas dasar pemikiran, atau perkiraan, atau hasil istimbath


daru suatu dalil dengan dalil yang lain.

b. Bilangan perawinya, dilihat dari segi banyaknya, telah mencapai


jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih
dahulu untuk berdusta. Dengan demikian, walaupun suatu berita
telah memfaidahkan yakin, tetapi tidak diriwayatkan oleh orang
banyak, maka tidaklah dapat dikategorikan sebagai Hadits
Mutawatir.
Adapun tentang jumlah bilangan perawi yang harus berjumlah
banyak itu, para ulama berpendapat:
 Abu Thayyib menetapkan, minimal empat orang. Alasannya
dengan mengqiyaskan terhadap ketentuan bilangan saksi yang
diperlukan dalam suatu perkara.
 Sebagian golongan Syafi’i menetapkan, minimal lima orang.
Alasannya, dengan mengqiyaskan terhadap jumlah lima orang
Nabi yang bergelar “Ulul’Azmi” yakni:
 Nuh as
 Ibrahim as
 Musa as
 Isa as
 Muhammad Saw

 Sebagian ulama ada yang menetapkan, minimal 20 orang.


Alasannya, dengan mengqiyaskan bilangan 20 orang yang disebut
dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 65:

3
4

Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin


untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara
kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu,
niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena
orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti.

 Sebagian ulama ada yang menetapkan menimal 40 orang, ada


yang menyatakan menimal 10 orang, 12 orang, 17 orang dan lain-
lain.

c. Ada keseimbangan jumlah perawi antara thabaqah masing-masing.


Dengan demikian, bila jumlah perawi pada thabaqah pertama sekitar
10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah lainnya juga harus sekitar
10 orang.

Disamping ketiga syarat di atas, Al-Qasimy masih menetapkan


syart-syarat lainnya lagi sehingga Hadits itu berstatus Mutawatir. Yakni,
harus diriwayatkan oleh orang Islam, yang bersifat dalil dan dlabit.
Pendapat A-Qasimy ini, dibantah oleh Ulama lainnya dengan
mengatakan:
 Dengan ketiga syarat diatas, telah menghasilkan khabar yang yakin
berasal dari Rasulullah.
 Tujuan membuat persyaratan itu, adalah untuk memperoleh
keyakinan bahwa berita yang disampaikan oleh para perawi tiu,
benar-benar memang berasal dari Rasulullah.
 Tentang perawi harus beragama Islam, ternyata Rasulullah sendiri
pernah menerima berita dari seorang Baduwi tentang datangnya

4
5

tanggal 1 Ramadhan. Argument ini, memang agak lemah. Sebab,


keadaan orang Baduwi yang waktu itu masih “polos” yang
membawa berita tentang 1 Ramadhan, tentu berbeda dengan berita
yang dibawa oleh orang sesudah zaman Nabi, tentang apa yang
berasal dari Nabi. Karena itu, untuk Hadits Ahad, syarat beragama
Islam ini, diperlukan.

Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi


dua, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga
yang membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadits mutawatir
‘amali.
1. Hadits Mutawatir Lafdzy
Yakni, Hadits Mutawatir yang diriwayatkan dengan lafadz dan
makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama pula.
Contoh:
Rasulullah Saw bersabda Barang siapa yang sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah dia siap untuk menduduki tempatnya di
api neraka.

Menurut Al-Bazzar, Hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.


An-Nawawy menyatakan, diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.

2. Hadits Mutawatir Ma’nawy


Yakni, Hadits Mutawatir yang berasal dari berbagai Hadits yang
diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi apabila
dikumpulkan mempunyai makna umum yang sama.
Contoh:
 Hadits tentang mengangkat tangan waktu berdo’a di luar shalat.
Ada sekitar 100 Hadits yang bila dikumpulkan dapat
disimpulkan, bahwa Nabi bila berdo’a di luar shalat, beliau
selalu angkat tangan. Diantara Hadits tersebut adalah:

5
6

1. Yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim


Rasulullah Saw tidak pernah mengangkat tangan dalam
berdo’a sampai Nampak keputihan kedua ketiaknya, kecuali
pada saat melakukan do’a dalam shalat Istisqa’.
2. Yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim
(Pada saat berdo’a) Rasulullah mengangkat kedua
tangannya, sejajar dengan kedua pundaknya.

 Hadits-hadits tentang Syafa’ah Rasulullah, tentang bermimpi


melihat Rasulullah, tentang terbitnya air di antara jari-jari
Rasulullah dan sebagainya.

3. Hadits Mutawatir Amaly


Yakni, amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw,
kemudian diikuti oleh para Shabat, lalu diikuti oleh para Tabi’in dan
seterusnya diikuti oleh generasi demi generasi, sampai saat kita
sekarang ini.
Prof. Hasbi berpendapat bahwa segala rupa amal ibadah yang telah
menjadi ijma’ di kalangan Ulama dikategorikan sebagai Hadits
Mutawatir Amaly.

Mengingat syarat-syarat Hadits Mutawatir sengat ketat, terlebih-


lebih untuk Hadits Mutawatir Lafdy, maka Ibnu Hibban dan Al-Hazimy
menyatakan, bahwa Hadits Mutawatir Lafdsy tidak mungkin ada.
Pendapat ini dibantah oleh Ibnu Shalah. Dia menyatakan bahwa Hadits
Mutawatir (termasuk yang lafdzy) memang ada, hanya saja jumlahnya
sangat sedikit.
Adapun kitab-kitab Hadits yang memuat (khusus) Hadits-hadits
Mutawatir, antara lain:
1. Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah, susunan
Imam Suyuthy

6
7

Kitab ini menurut Dr. Muhammad Ajjaj Al-Khathib, memuat 1513


Hadits
2. Nadzmu al-Mutanatsirah min al-Hadits al-Mutawatir, susunan
Muhammad bin Ja’far Al-Kattany (1345 H)

3. Kedudukan Hadits Mutawatir


Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa keyakinan yang diperoleh
dari Hadits Mutawatir, sama kedudukannya dengan keyakinan yang
diperoleh dengan mata atau penyaksian sendiri. Karenanya, Hadits
Mutawatir memfaidahkan ilmu dlarury (pengetahuan yang harus
diterima) hingga membawa kepada keyakinan yang qathi’i (keyakinan
yang kuat, yang tidak diragukan lagi).
Dengan demikian, maka Hadits Mutawatir dari segi wurud dan
kandungannya, berkedudukan sama dengan Al-Qur’an. Karenanya,
mengingkari Hadits Mutawatir, sama dengan mengingkari Al-Qur’an.
Karena Hadits Mutawatir berkedudukan sama dengan Al-Qur’an, maka
petunjuk dari Hadits Mutawatir dapat dipergunakan sebagai dalil yang
berkenaan dengan aqidah, disamping untuk dalil tentang masalah hukum
dan sebagainya.

B. HADITS AHAD
1. Pengertian Hadits Ahad
Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau
satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang
disampaikan oleh satu orang.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits ahad menurut istilah
adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak
sampai kepada tingkat masyhur maupun mutawatir.3 Para ulama banyak
mendefinisikan Hadits Ahad menurut istilah diantaranya adalah:

3
K.H.E. Mustofa. loc. cit

7
8

a. Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadits ahad adalah hadits


yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi
jumlhnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir
keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai
perawi terakhir.4
b. Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan bahwa hadits ahad adalah
tiap-tiap khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih
diterima dari Rasulullah Saw dan tidak memenuhi persyaratan hadits
masyhur.
c. Ada juga ulama yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat
yakni hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.5

Kecendrungan para ulama mendefinisikan hadits ahad seperti


tersebut di atas, dengan kata lain hadits ahad adalah hadits yang jumlah
perawinya tidak sampai kepada tingkat jumlah mutawatir.

2. Macam-macam Hadits Ahad


Ulama ahli secara garis besarnya membagi hadits ahad menjadi
dua yaitu masyhur dan ghair masyhur.
a. Hadits Masyhur
Menurut istilah adalah sesuatu yang sudah tersebar atau sudah
populer. Sementara dari segi istilah:
1. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalany, Hadits Masyhur ialah hadits
yang diriwayatkan oleh lebih dari dua orang perawi tetapi belum
mencapai derajat mutawatir.
2. Menurut sebagian ulama, Hadits Masyhur adalah Hadits yang
pada thabaqah (tingkatan) perawi pertama dan kedua, terdiri dari
orang-seorang, kemudian pada thabaqah sesudahnya, barulah

4
Munzier Suparta, op. cit, hal: 109
5
Munzier Suparta, op.cit. hal: 108

8
9

tersebar luas, yang disampaikan oleh orang banyak yang


mustahil mereka sepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
3. Menurut Imam Ahmad, bahwa Hadits Masyhur adalah Hadits
yang populer di kalangan Tabi’in ataupun Tabi’it-Tabi’in.
Hadits yang populer hanya pada thabaqah setelah Tabi’it-
Tabi’in, tidaklah termasuk Hadits Masyhur.
4. Menurut sebagian Ulama Ushul, Hadits Masyhur adalah Hadits
yang pada thabaqah pertama (tingkat Shabat) diriwayatkan oleh
orang banyak tetapi belum sampai ketingkat mutawatir,
kemudian pada thabaqah-thabaqah berikutnya diriwayatkan oleh
orang banyak yang jumlahnya menyamai dengan periwayatan
mutawatir.
5. Sebagian ulama lagi ada yang menyatakan, bahwa hadits
Masyhur adalah Hadits yang populer dengan tidak mensyaratkan
di thabaqah yang mana terjadi populernya itu, bahkan dapat saja
kepopulerannya itu terjadi di kalangan ulama bukan perawi
Hadits ataupun di kalangan awam.

Ada juga yang berpendapat bahwa hadits masyhur adalah hadits


yang diriwayatkan oleh orang banyak pada khalayak ramai, tetapi
tidak sampai kepada derajat mutawatir, baik karena jumlahnya
maupun karena tidak dengan indera.6
Dari kelima definisi Hadits Masyhur diatas, ternyata antara pendapat
ulama itu, tidaklah sepakat. Hal ini akan membawa perbedaan
pendapat dalam menempatkan status kehujjahan dan kualitas dari
Hadits Masyhur tersebut. Sedikitnya ada dua alasan yang
menyebabkannya, yaitu:
1. Golongan yang ketat dalam memberikan persyaratan terhadap
Hadits Masyhur (misalnya dari Ulama Ushul) karena:

6
K.H.E. Mustofa, loc. cit

9
10

 Mereka menempatkan Hadits Masyhur berada antara Hadits


Mutawatir dengan Hadits Ahad.
 Mereka mengukur, kemasyhuran suatu hadits itu berkaitan
dengan jumlah perawi pada thabaqah tertentu.

2. Golongan yang tidak ketat dalam memberikan persyaratan


Hadits Masyhur, disebabkan:
 Mereka menempatkan Hadits Masyhur sebagai bagian dari
Hadits Ahad
 Kemasyhuran, mereka ukur dari segi jumlah banyak orang
yang mengenalnya, dengan tidak mensyaratkan pada
thabaqah tertentu.

Apabila dilihat dari kalangan mana hadits tersebut menjadi masyhur


(populer), maka Hadits Masyhur dapat dibedakan kepada:
1. Hadits Masyhur di kalangan Ulama Hadits saja
Contoh:
Hadits yang menerangkan, bahwa Rasulullah Saw membaca
do’a qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh, berdo’a atas
golongan Ri’il dan Zakwan.7
2. Hadits Masyhur di kalangan Ulama Hadits dan Ulama lainnya
Contoh:
Orang Islam (yang sempurna) itu adalah orang-orang Islam
lainnya selamat dari lidah dan tangannya. (HR. Bukhari-
Muslim)8
3. Hadits Masyhur dikalangan Ulama yang bukan Ulama Hadits
(misalnya Ulama Fiqih, Ulama Ushul, dan sebagainya)
Contoh:

7
Munzier Suparta, op. cit, hal: 113
8
Munzier Suparta, op. cit, hal: 114

10
11

Rasulullah Saw melarang jual-beli yang di dalamnya terdapat


tipu daya. (HR Muslim)9

4. Hadits Masyhur di kalangan masyarakat awam


Contoh:
Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup
selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu
akan mati besok pagi.

Bertitik tolak dari pengertian dan macam-macam Hadits Masyhur di


atas, maka dengan sendirinya tidak semua yang dikatakan sebagai
Hadits Masyhur itu berkualitas Shahih (valid). Mengapa demikian?
Karena tentang keshahihan suatu Hadits diukur bukan dari
popularitasnya semata, tetapi juga dari segi bagaimana kualitas
perawi yang meriwayatkan Hadits itu, disamping keadaan sanad dan
matannya.

Dengan demikian Hadist Masyhur ini ada yang berstatus sahih,


hasan dan dha’if. Yang dimaksud dengan hadits masyhur sahih
adalah hadits Masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan
hadits sahih, baik pada sanad maupun matannya, seperti hadits Ibnu
‘Umar Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat Jum’at,
hendaknya ia mandi. (HR. Bukhari)10

Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah


hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits
hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda

9
Munzier Suparta, loc.cit
10
Munzier Suparta, op.cit, hal: 111

11
12

Rasulullah Saw Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi


diri dan orang lain).11

Adapun yang dimaksud dengan hadits masyhur dha’if adalah hadits


masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits sahih dan hasan,
baik pada sanad maupun ada matannya, seperti hadits Menurut ilmu
wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan.

b. Hadits Ghairu Masyhur


Hadits Ghair Masyhur ini oleh ulama ahli hadits digolongkan
menjadi Aziz dan Gharib
1. Hadits Aziz
Aziz berasal dari azza-ya’izzu yang berarti la yakadu yujadu
atau qalla wa nadir (sedikit atau jarang adanya), dan bisa berasal
dari azza ya’azzu berarti qawiya (kuat).12
Adapun pengertian istilahnya, kalangan ulama berpendapat
sebagai berikut:
a. Sebagai ulama menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan
Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang
dari dua orang. Maksudnya sanad hadits tersebut pada
thabaqah pertama sampai thabaqah terakhir, masing-masing
terdiri dari dua orang.

b. Sebagian ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan


Hadits Aziz adalah Hadits yang diriwayatkan oleh dua
orang pada sebagian thabaqahnya dan pada thabaqah
lainnya ada yang lebih dari dua orang.

11
Munzier Suparta, op.cit, hal: 113
12
Munzier Suparta, op.cit hal: 116

12
13

Dari pemahaman seperti ini, bisa saja terjadi suatu hadits yang
pada mulanya tergolong sebagai hadits aziz, karena hanya
diriwayatkan oleh dua rawi, tetapi berubah menjadi hadits
masyhur, karena perawi pada thabaqat lainnya berjumlah
banyak.
Contoh:
Tidaklah beriman seseorang diantara kamu, hingga aku lebig
dicintai dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya dan semua
manusia.(HR. Bukhari-Muslim)

Hadits tersebut diterima oleh Anas bin Malik dari Rasulullah,


kemudian ia riwayatkan kepada Qatadah dan ‘Abd Al-‘Aziz bin
Suhaib. Selanjutnya kepada Qatadah meriwayatkan kepada dua
orang pula, yaitu syu’bah dan Husain Al-Mu’allim. Sedangkan
dari Abd Al-‘Aziz diriwayatkan oleh dua orang yaitu Abd Al-
Waris dan Ismail bin ‘Ulaiyyah dan seterusnya sampai kepada
Bukhari dan Muslim.

Hadits Aziz yang sahih, hasan dan dha’if tergantung kepada


terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan hadits sahih, hasan dan dha’if.

2. Hadist Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munafarid (menyendiri) atau
al-ba’id an aqaribihi (jauh dari kerabatnya).13
Menurut pengertian istilah, Ibnu Hajar menyatakan bahwa
hadits Gharib ialah Hadits yang diriwayatkan oleh orang-
seorang, dengan tidak dipersoalkan apakah rawi yang orang-
seorang itu berada di thabaqah pertama taukah pada thabaqah
lainnya.

13
Munzier Suparta, op.cit hal: 118

13
14

Pengertian yang diberikan oleh Ibnu Hajar ini, sesungguhnya


belumlah mencakup kemungkinan keghariban dari perawi itu.
Pada kenyataannya, keghariban perawi pad asana Hadits, ada
dua kemungkinan. Pertama keghariban dari segi kuantitasnya
dan kedua keghariban dari segi kualitasnya.

Dengan alasan ini, maka akan lenih tepat bila pengertian Hadits
Gharib dinyatakan sebagai berikut: Hadits Gharib adalah Hadits
yang dalam thabaqah sanadnya ada perawi yang menyendiri
yang terdiri dari satu orang atau karena perawi itu mempunyai
sifat atau keadaan tertentu.

Sesungguhnya, keghariban suatu Hadits bukan hanya


berkemungkinan terletak pada sanad (perawi) saja, tetapi juga
pada matan. Akan tetapi, dalam kitab-kitab Hadits, istilah yang
dipakai berbeda antara gharib pada sanad (perawi) dengan yang
gharib pada matan.

Dengan penjelasan di atas, maka suatu Hadits yang mengandung


keghariban dapat dibedakan kepada tiga kemungkinan.
a. Hadits yang gharib pada matan
Hadits yang gharib pada matan saja, dapat berupa:
1. Seluruh matan hadits itu, sama sekali tidak dikenal oleh
para Ulama hadits
2. Sebagian lafadz dari matan Hadits itu sulit difahami
karena dalam masyarakat lafadz itu tidak popular di
gunakan.
3. Sebagian lafadz dari Hadits itu, tidak termuat dalam
matan yang semakna di sanad-sanad lainnya.

14
15

b. Hadits yang gharib pada sanad


Adapun Hadits yang gharibnya pada sanadnya, ulama
Haditd membaginya kepada dua macam:
1. Hadits Gharib Mutlak
Yakni, apabila keghariban perawi yang seorang itu
terjadi pada ashal sanad (Tabi’i) atau pada tabi’it-
tabi’in, atau dapat juga pada seluruh rawinya di setiap
thabaqah. Contoh:
Nabi Saw bersabda: Imam itu berbilang 70 cabang.
Dan rasa malu, merupakan salah satu cabang iman.
Hadits ini, ditakhrijkan oleh Bukhari dan Muslim.
Sanad yang dipakai oleh Bukhari, sama dengan yang
dipakai oleh Bukhari, sama dengan yang dipakai oleh
muslim, kecuali pada sanad pertama. Yakni, untuk
Bukhari adalah Abdullah bin Mahmud, sedangkan
untuk muslim adalah Abdullah bin Humaid dan
Ubaidillah bin said. Untuk sanad-sanad lainnya, baik
yang dipakai oleh Bukhari maupun muslim adalah
sama orangnya dan masing-masing thabaqah sama
berdirisendiri.

2. Hadits Gharib Nisbi


Yakni, hadits yang perawinya memiliki sifat-sifat atau
keadaan tertentu. Jadi keghariban disini bukanlah
karena kesendirian dalam jumlah, tetapi dalam sifat
atau keadaan.
Keadaan atau sifat tertentu perawi yang menyebabkan
Hadits yang diriwayatkannya berstatus gharib, ada 3
kemungkinan yakni dari segi keadilan dan
kedlabitannya, dari segi tinggalnya dan dari segi
periwayatannya.

15
16

Contoh:
Yang berkenaan dengan sifat keadilan dan kedlabitan
rawi: Nabi saw pada hari raya Adha dan Fitri
membaca surat Qaf dan Qomar. (Riwayat Muslim)

Yang berkenaan dengan tempat tinggal rawi:


Rasulullah saw telah menyuruh kami untuk membaca
surat Al-Fatihah dan surat yang mudah dari Al-Qur’an
(dalam shalat). (Riwayat Abu Daud)

Yang berkenaan dengan periwayatan daru nama perawi


tertentu: Bahwa Nabi saw mengadakan walimah untuk
Shafiyah dengan jamuan makan yang terbuat daru
tepung gandum dan kurma.

Dengan demikian, maka bila kita menjumpai suatu


Hadits yang oleh Ulama dinyatakan gharib, maka kita
perlu lebih dahulu melihat di mana letak
kegharibannya, kemudian kita lihat bagaimana kualitas
pada perawinya, termasuk yang dinyatakan gharibnya
itu. Sesudah itu, barulah dapat dinyatakan kualitas yang
bersangkutan.

c. Hadits yang gharib pada matan dan sanad

3. Kedudukan Hadits Ahad


Hadits ahad yang maqbul (antara lain yang berkualitas shahih),
apa bila berhubungan dengan msalah hukum, maka menurut jumhur
Ulama, wajib diamalkan.
Untuk masalah yang berkaitan dengan soal aqidah, maka ulama
berselisih pendapat. Diantara mereka ada yang menyatakan, bahwa

16
17

Hadits Ahad dapat saja digunakan sebagai dalail untuk menetaokan


masalah aqidah. Alasannya karena hadits ahad yang shaih, menfaidahkan
ilmu dan yang memfaidahkan ilmu wajib di amalkan. Dapun pendapat
yang kedua, untuk hadits ahad, walaupun memenuhi syarat, tetap tak
dapat dijadikan landasan (dalil) pokok terhadap penetapan aqidah.
Alasannya hadits ahad berstatus menfaidahkan dhanny. Sedang soal
aqidah adalah soal keyakinan. Maka, yang yakin tak dapat didasarkan
dengan petunjuk yang masih dhanny atau dugaan.
Ada golongan yang agak moderat yang menyatakan bahwa hadits
ahad yang telah memenuhi syarat, dapat saja di jadikan hujjah (dalil)
untuk masalah aqidah, sepanjang Hadits tersebut tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits lain yang lebih kuat, serta tidak
bertentangan dengan akal uang sejahtera.

17
18

BAB III
KLASIFIKASI HADITS
DARI SEGI DITERIMA DAN DITOLAKNYA

A. METODE PENELITIAN KUALITAS HADITS


Dalam rangka meneliti kualitas Hadits, metode penelitian yang
dipergunakan oleh ulama, terbagi menjadi golongan yakni:
1. Golongan yang menitikberatkan penelitiannya kepada sanad (termasuk
rawi) saja. Metode ini disebut Metode Isnad atau Metode Sanad
2. Golongan yang menitikberatkan penelitiannya kepada matan (materi)
saja. Metode ini disebut Metode Matan
3. Golongan yang selain meneliti sanad (termasuk rawi), juga meneliti
matannya. Metode ini disebut Metode Isnad dan Matan
Adapun hadits yang menjadi objek penelitian, para Ulama
mebatasinya hanya terhadap hadits ahad saja. Dalam Metode Isnad, yang
diteliti bukanlah hanya apakah rangkaian perawi yang terdapat dalam sanad
hadits itu bersambung ataukah tidak, bercacat ataukah tidak, tetapi juga
diteliti tentang apakah perawi hadits itu memiliki sifat-sifat adil ataukah
tidak, sempurna hafalannya ataukah tidak terhindar dari kejanggalan
ataukah tidak.
Untuk kepentingan penelitian Metode Inad ini, para Ulama Hadits
telah menyusun berbagai ilmu (ulumul hadits). Jumlah ilmu-ilmu Hadits itu,
menurut Al-Hakim Abu Abdillah An-Naisabury, ada 52 macam, menurut
Ibnu Shalah, ada 65 macam.
Menurut Ulama Hadits sejak zaman Imam Turmudzi dan
sesudahnya, pembagian kualitas Hadits secara garis besar ada tiga macam
yaitu:
1. Hadits Shahih
2. Hadits Hasan

18
19

3. Hadits Dha’if

Adapun pada masa sebelum Turmudzi, hanya dibagi kepada dua


macam saja, yakni:
1. Hadits Shahih
2. Hadits Dha’if

Hal ini terjadi karena istilah Dha’if sebelum zaman Turmudzi


dengan sesudahnya ada perbedaan kategori. Istilah Dha’if sebelum zaman
Turmudzi, dibagi kepada dua macam yakni:
1. Hadits kualitas Dha’if yang tidak dilarang mengamalkannya dan
2. Hadits kualitas Dhaif yang tidak dilarang mengamalkannya, sama
kualitasnya dengan istilah Hasan untuk macam kualitas hadits sesudah
zaman Turmudzi.

Adapun untuk Metode Matan, maka kaidah yang dipergunakan


untuk meneliti matan hadits ialah apakah matan tersebut sesuai atau tidak
dengan petunjukan/ ketentuan-ketentuan umum dari:
1. Al-Qur’an
2. Hadits Mutawatir
3. Ijma’ Ulama
4. Logika yang sejahtera

Dr. Musthafa As-Siba’iy dalam bukunya menyatakan bahwa suatu


matan Hadits dinilai berkualitas palsu (tidak berasal dari Rasul), apabila
matan tersebut:
1. Susunan gramatikanya sangat jelek
2. Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal
3. Menyalahi Al-Qur’an yang telah tegas maksudnya
4. Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi

19
20

5. Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya, sedang


orang tersebut terkenal sangat fanatik terhadap mazhabnya
6. Megandung suatu perkara, yang seharusnya perkara tersebut diberitakan
oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya diriwayatkan oleh seorang
saja.
7. Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk
perbuatan yang kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap suatu
perbuatan yang tidak berarti.

Jalan yang lebih hati-hati dalam menilai suatu hadits adalah dengan
menggunakan metode gabungan yakni Metode Isnad dan Matan.

B. HADITS SHAHIH
1. Pengertian dan Syarat-syarat Hadits Shahih
Menurut bahasa shahih berarti sehat, selamat dari aib, benar atau berul.
Menurut istilah hadits sahih adalah hadits yang sehat dan diriwayatkan
oleh saleh dan kuat hafalannya, materi dan persambungan sanadnya
dapat di pertanggungjawabkan.14

Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian sahih sebagai


berikut Hadits shahih yaitu hadits musnad yang bersambung sanadnya
dengan periwayatannya oleh orang yang adil-dhabith dari orang yang
adil lagi dhabit juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang
kejanggalan dan cacat.15
Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi Hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit,
tidak syaz dan tidak ber’illat.16

14
K.H.E. Mustofa. loc. cit
15
Munzier Suparta, op.cit hal: 129
16
Munzier Suparta, ibit

20
21

Ajjaj Al-Khathib memberikan pengertian hadits shahih yang merupakan


hasil ramuan dari pengertian-pengertian yang diajukan para ulama ahli
hadits yang hidup pada masa sebelumnya menjadi: Yaitu yang
bersambung sanadnya dengan riwayat yang dapat dipercaya dari yang
bisa dipercaya dari awal sanad hingga akhir sanad dengan tanpa ada
cela dan cacatnya.17

Berdasarkan pengertian ini, maka syarat-syarat hadits shahih ada lima


macam yakni:
1. Sanad hadits itu harus bersambung (ittishalui isnad)
Maksudnya, sanad hadits itu sejak dari mukharrijnya sampai
kepada Nabi tidak ada yang terputus.

2. Para perawi yang meriwayatkan hadits itu, haruslah orang yang


bersifat adil (kepercayaan). Arti adil disini adalah memiliki sifat-
sifat:
a. Istiqamah dalam agamanya (Islam)
b. Akhlaknya baik
c. Tidak fasiq (antara lain tidak banyak melakukan dosa-dosa
kecil apalagi dosa besar)
d. Memelihara muru;ahnya (memelihara kehormatan dirinya)

3. Para perawi yang meriwayatkan Hadits itu, haruslah bersifat


dlabith Arti dlabith disini adalah memiliki ingatan dan hafalan yang
sempurna.
4. Apa yang berkenaan dengan periwayatan Hadits itu, tidak ada
kejanggalan-kejanggalan (syudzuz)
5. Apa yang berkenaan dengan periwayatan Hadits itu tidak ada sama
sekali cacatnya.

17
Munzier Suparta, op.cit hal: 130

21
22

2. Pembagian Hadits Shahih


Para Ulama membagi hadits sahih menjadi dua bagian, yaitu:
a. Hadits Shahih Li-Dzatihi
Yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits
maqbul secara sempurna.18
Contoh:
Rasulullah bersabda: yang dimaksud dengan orang Islam (Muslim)
ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya,
baik dengan lidahnya maupun dengan tangannya dan yang
dimaksud dengan orang yang berhijrah (Muhajir) adalah orang
yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah.

b. Hadits Shahih Li-Ghairihi


Yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat
tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul (a’la sifat al-qubul).
Hal ini terjadi karena ada beberapa hal, misalnya saja perawinya
sudah diketahui adil tapi dari sisi ke-dhabitannya, ia dinilai kurang.
Hadits ini menjadi shahih karena ada hadits lain yang sama atau
sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat
atau malah lebih shahih.19
Contoh:
Sekiranya tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya aku
perintahkan mereka untuk bersikat gigi menjelang shalat.

C. HADITS HASAN
1. Pengertian Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa adalah sesuatu yang disenangi dan dicondongi
oleh nafsu. Sedangkan menurut istilah yaitu hadits yang memenuhi

18
Munzier Suparta, op.cit hal: 134
19
Munzier Suparta, ibit

22
23

persyaratan hadits yang shahih, tetapi segi hafalan pembawanya kurang


akurat.20

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan ini.


Menurut Al-Tirmidzi hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dari
dua arah (jalur) dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak
mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits sahih.21

Sementara itu Ibnu Hajar mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut


Khabar ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna
ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berilat dan syadz
disebut hadits sahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh
(sempurna) disebut hasan li dzatih.22

Adapun syarat-syarat hadits hasan adalah:


a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya ‘adil
c. Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke dhabitannya di bawah ke
dhabitan perawi hadits sahih
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
e. Tidak ber’illat

2. Pembagian Hadits Hasan


a. Hasan li-dzatihi
Yakni, hadits sebagaimana yang telah dijelaskan pada pengertian
hadits hasan diatas. Jadi kehasanannya bukan karena adanya
petunjuk atau penguat lain, tetapi karena sebab dirinya sendiri.
Ibu Al-Shalah memberikan batasan hadits jenis ini dengan
Bahwasanya para perawinya masyhur/ terkenal dengan
20
K.H.E. Mustofa, loc. cit
21
Munzier Suparta, op.cit, hal: 142
22
Munzier Suparta, op.cit, hal: 144

23
24

kejujurannya, amanah, meskipun tidak mencapai derajat perawi


hadits shahih, karena keterbatasan kekuatan dan kebagusan
hafalan-nya. Meskipun demikian, hadits yang diriwayatkannya
tidak termasuk ke dalam golongan yang munkar.23

b. Hasan li-ghairihi
Yakni hadits yang sanadnya ada rawi yang tidak diakui keahliannya,
tetapi dia bukanlah orang yang terlalu banyak kesalahan dalam
meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad yang lain
yang bersesuaian dengan maknanya.
Dengan pengertian ini, maka sesungguhnya hadits hasan li-ghairihi
itu pada asalnya adalah hadits dha’if. Kemudian ada petunjuk lain
yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan.

D. HADITS DHAIF
1. Pengertian Hadits Dhaif
Kata dha’if menurut bahasa, berarti lemah sebagai lawan kata dari kuat.
Maka sebutan hadits dhaif, secara bahasa berarti hadits yang lemah atau
hadits yang tidak kuat.

Secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam


mendefinisikan hadits dha’if ini. Al-Nawawi mendefinisikan dengan
Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat-syarat hadits hasan.24

Menurut Nur Al-Din ‘Itr, bahwa definisi yang paling baik adalah Hadits
yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul
(hadits shahih atau yang hasan).25

23
Munzier Suparta, op.cit, hal: 146
24
Munzier Suparta, op.cit, hal: 150
25
Munzier Suparta, ibit

24
25

Dengan kaidah ini, sesungguhnya sesuatu hadits itu dianggap dha’if,


selama belum dapat dibuktikan kesahihan atau kehasannya. Sebab yang
diharuskan di sini untuk memenuhi syarat-syarat tertentu adalah hadits
shahih dan hadits hasan bukan hadits dha’if.

2. Pembagian Hadits Dha’if


a. Dilihat dari segi adanya sanad yang gugur
Suatu hadits yang sanadnya terputus, sudah jelas termasuk hadits
dha’if. Terputusnya atau gugurnya suatu sanad, mungkin berada di
awal sanad, mungkin di pertengahan, mungkin di akhirnya dan
mungkin seluruhnya, serta masih banyak lagi kemungkinan letak
terputusnya itu.
Macam-macam hadits yang terputus sanadnya adalah:
1. Hadits Mu’allaq
2. Hadits Munqathi
3. Hadits Mu’dlal
4. Hadits Mudallas
5. Hadits Mursal

Bagi kelima hadits ini, bila tidak ada keterangan-keterangan lain


yang mengangkat derajatnya, maka tetaplah kualitasnya sebagai
hadits yang dha’if, disebabkan pada sanadnya ada yang terputus.

b. Dilihat dari segi selain dari gugurnya sanad


1. Hadits Mudha’af
Yaitu hadits yang dinilai kuat oleh sebagian ulama, tetapi
ulama lainnya mendha’ifkannya, baik pada matannya atau
pada sanadnya. Hadits yang diperselisihkan kekuatannya ini,
ada dua kemungkinan jalan penyelesaiannya, yakni:

25
26

a. Ditarjihkan, dalam hal ini yang mendha’ifkan biasanya


ditetapkan sebagai rajihi, sedangkan yang menganggapnya
kuat dianggap sebagai yang marjuh.
b. Tidak tiarjihkan, dalam hal ini karena kedua pihak sama-
sama kuat argumennya. Maka, hadits yang diperselisihkan
kualitasnya itu, tetap sebagai hadits yang mudha’if.

Dr. Muhammad Ajjaj Al-Khathib menyatakan, bahwa hadits


mudha’af merupakan hadits yang tertinggi tingkatannya di
antara hadits-hadits dha’if yang ada. Ulama yang pertama-tama
menggunakan istilah hadits mudha’af ini adalah: Ibnul Jauzy.

2. Hadits Mudltharibi
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan berbagai jalan, tetapi
antara stau dengan lainnya saling bertentangan dan sulit untuk
dikompromikan. Pertentangan itu mungkin pada sanad dan
mungkin pada matannya.

3. Hadits Maqlub
Yaitu hadits yang terdapat didalamnya nama rawi atau bagian
sanad yang terbalik-balik atau bagian matannya. Terjadinya
keadaan yang terbalik-balik pada nama rawi, bagian sanad atau
bagian matan hadits itu, ataupun gabungan dari padanya,
disebabkan oleh empat kemungkinan:
a. Sebagaian rawi ada yang sengaja membalik-baliknya,
dengan maksud untuk memberikan kesan yang
bersangatan terhadap orang banyak.
b. Sebagian rawi ada yang sengaja menyandarkan suatu
matan yang lemah (dha’if) kepada sanad yang kuat, agar
matan tersebut dianggap kuat oleh orang banyak.

26
27

c. Diantara ulama ada yang sengaja membalik-balikkan


nama rawi atau sanad atau bagian matan itu dengan
maksud untuk menguji kepada seseorang atau kepada
muridnya untuk mengetahui sejauh mana kecakapan orang
yang diujinya.
d. Perawi tidak sengaja untuk memutar-balikkan nama rawi,
bagian sanad atau bagian matan, tetapi karena disebabkan
oleh lemahnya hafalan yang dimiliki oleh rawi yang
bersangkutan.

4. Hadits Syadz
Menurut Imam Suyuthy dalam kitabnya Tadribur Rawy,
bahwa Ulama yang terdahulu yang mengetahui tentang hadits
syadz adalah Imam Syafi’i. Dalam salah satu pernyataan Imam
Syafi’i mengatakan, bahwa tidaklah termasuk hadits yang
syadz, suatu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah
sedangkan tidak ada perawi (sanad) lain yang
meriwayatkannya. Barulah terjadi hadits itu syadz, bila ada
perawi yang tsiqah meriwayatkan suatu hadits, kemudian ada
orang lain yang tsiqah juga tetapi isi riwayatnya bertentangan.

5. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if (yang
tidak memenuhi syarat sebagai perawi hadits), kemudian hadits
itu riwayat dan isinya bertentangan dari yang diriwayatkan
oleh orang-orang tsiqah.

Apabila hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dha’if itu


tidak menyalahai dengan yang diriwayatkan oleh orang yang
tsiqah, maka hadits tersebut hanya disebut sebagai hadits

27
28

dha’if. Barulah disebut hadits mungkar, bila menyalahi dari


hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah.

Terhadap hadits yang berlawanan itu, maka untuk riwayat yang


berasal dari orang-orang yang tsiqah disebut hadits ma’ruf,
sedangkan yang berasal dari perawi dha’if disebut hadits
mungkar.

6. Hadits Matruk
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berteduh dusta
dalam meriwayatkan hadits, atau orang yang suka berdusta
dalam berbicara, atau orang yang nyata-nyata berbuat fasiq.
Apabila dibandingkan dengan hadits-hadits dha’if lainnya,
maka hadits matruk merupakan hadits dha’if yang paling
rendah.

E. KEHUJJAHAN HADITS SAHIH, HASAN DAN DHA’IF


Untuk hadits yang berkualitas shahih, para ulama sepakat dapat
dijadikan hujjah untuk masalah hukum dan lain-lainnya, terkecuali untuk
bidang aqidah.
Tentang hadits hasan, Imam Bukhari dan Ibnu Araby menolaknya
sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Tetapi Al-Hakim, Ibnu Hibban dan
Ibnu Khuzainah, dapat menerimanya sebagai hujjah, dengan syarat apabila
hadits hasan tersebut ternyata isinya bertentangan dengan hadits yang
berkualitas shahih, maka yang diambil haruslah hadits yang berkualitas
shahih.
Adapun tentang hadits dha’if ada dua pendapat tentang boleh atau
tidaknya diamalkan, atau dijadikan hujjah, yakni:
1. Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnul Arby
menyatakan, hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau

28
29

dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum


maupun untuk keutamaan amal.

2. Imam Ahmad bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar
Al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah
(diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan amal (fadla’il amal), dengan
syarat:
a. Para perawi yang meriwayatkan hadits itu, tidak terlalu lemah
b. Masalah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar
pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits shahih.
c. Tidak bertentangan dengan adil yang lebih kuat.

Prof. T.M. Hasbi mengingatkan, bahwa ang dimaksud dengan


“Fadla’ilul a’mal” atau keutamaan amal dalam hal ini, bukanlah dalam arti
untuk penetapan suatu hukum sunat, tetapi dimaksudkan dalam arti untuk
menjelaskan tentang faidah atau kegunaan dari sesuatu amal. Adapun yang
berhubungan dengan penetapan hukum, para ulama hadits sepakat tidak
membolehkan menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah atau dalilnya.
Dr. Muhammad Ajjaj Al-Khathib menyatakan, bahwa golongan
yang menolah hadits dha’if sebagai hujjah adalah golongan yang lebih
selamat. Diantara alasannya bahwa baik soal fadla’ilul a’mal maupun soal
makarimul akhlaq adalah merupakan bagian dari tiang agama, sebagaimana
halnya masalah hukum.

29
30

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir
juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir
‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian
yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul
terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang
shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif.

B. SARAN
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar
mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits
itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan
untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui
pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan
orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.

30
31

DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Angkasa.

Mustofa, K.H.E. 2009. Dasar-dasar Islam. Bandung: Angkasa.

Suparta, Munizer. 2008. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

31

Anda mungkin juga menyukai