Dosen pengampu:
Dra. Hj. Isnin Agustin Amalia, MA
Oleh:
Kelompok 4
KELAS BKI/2/B
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang.
Hadist merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran .Hadits
menurut istilah syara' ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Hadis secara kuantitas dibedakan menjadi 2 (dua)
jenis, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Klasifikasi yang demikian disesuaikan
dengan jumlah periwayat yang terlibat dalam periwayatan sebuah hadis. Perbedaan
jumlah tersebut juga turut membedakan kedudukan hadis dari aspek ke-hujjah-annya.
Hadist dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya
ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadis
(dapat diterima atau tidaknya hadis bersangkutan). Tidak seperti Al-Qur'an, dalam
penerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW banyak mengandalkan hafalan para
sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka. Adanya rentang waktu
yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salahsatu problem.
Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau
pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut
memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya
digunakan sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka
kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu
sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Dalam pembahasan klasifikasi hadist ini tentunya agar kita dapat memilah dan
memilih hadist mana yang shahih.
1. Hadist Mutawatir.
a. Definisi
Hadist mutawatir ialah hadist yang diriwayatkan oleh banyak orang,
berdasarkan panca indera, yang menurut adat, mustahil mereka terlebih dahulu
untuk sepakat berdusta.
b. Syarat.
1) Hadits itu diperoleh dari Nabi atas dasar pancaindera yang yakin.
Maksudnya, bahwa perawi dalam memperoleh Hadits Nabi, haruslah
benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Jadi,
bukanlah atas dasar pemikiran, atau perkiraan, atau hasil istim- bath dari
suatu dalil dengan dalil yang lain. Demikian pula tidaklah termasuk Hadits
Mutawatir, apabila berita itu diperoleh dari aksioma logika ataupun dalil-
dalil yang diciptakan para ahli filsafat. walaupun dalil-dalil itu diakui
kebenarannya oleh semua orang.
2) Bilangan perawinya, dilihat dari segi banyaknya, telah mencapai jumlah
yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta.
Dengan demikian, walaupun suatu berita telah menfaidahkan yakin.
tetapi tidak diriwayatkan oleh orang banyak, maka tidaklah dapat
dikategorikan sebagai Hadits Mutawatir. Adapun tentang jumlah bilangan
perawi yang harus berjumlah banyak itu, para ulama berbeda pendapat:
a. Abu Thayyib menetapkan, minimal empat orang. Alasannya, dengan
mengqiyaskan terhadap ketentuan bilangan saksi yang diperlukan
dalam suatu perkara. Misalnya, perkara penuduhan zina.
b. Sebagian golongan Syafi'i menetapkan, minimal lima orang Alasannya,
dengan mengqiyaskan terhadap jumlah lima orang Nabi yang bergelar
"Ulul "Azmi" yakni Nuh A.S, Ibrahim A.S, Musa A.S, Isa A.S, dan
Muhammad SAW.
c. Sebagian ulama ada yang menetapkan, minimal 20 orang. Alas-annya,
dengan mengqiyaskan bilangan 20 orang yang disebut dalam Al-Qur'an
surat Al-Anfal 65. Yang artinya: “Jika ada duapuluh orang yang sabar
di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh”.
d. Sebagian Ulama ada yang menetapkan minimal 40 orang, ada yang
menyatakan minimal 10 orang, 12 orang, 70 orang dan lain- lain.
3) Ada keseimbangan jumlah perawi antara thabaqah masing-masing.
Dengan demikian, bila jumlah perawi pada thabaqah pertama sekitar 10
orang, maka pada thabaqah-thabaqah lainnya juga harus seki-ar 10 orang.
Tetapi, bila di thabaqah pertama misalnya 10 orang, lalu di thabaqah
kedua 12 orang, kemudian di thabaqah lainnya sekitar 2 orang saja,
ataupun sebaliknya, maka Hadits yang demikian ini, tidaklah termasuk
Mutawatir.
Di samping ketiga syarat di atas, Al-Qasimy masih menetapkan sya-
rat-syarat lainnya lagi sehingga Hadits itu berstatus Mutawatir. Yakni,
harus diriwayatkan oleh orang Islam, yang bersifat adil dan dlabit. Pen-
dapat Al-Qasimy ini, dibantah oleh Ulama lainnya dengan menyatakan:
c. Hukum
Hadis mutawatir itu memberikan faidah pengetahuan yang pasti (ilmu al-dlarury
atau Qath’iy al-Tsubut). Artinya hadis tersebut benar-benar meyakinkan, manusia
harus betul-betul membenarkan secara pasti, sama halnya dengan menyaksikan
sendiri suatu perkara, maka seperti itulah gambarn nilai hadis mutawatir. Karenanya,
semua hadis mutawatir itu dapat diterima, dan tidak dibutuhkan lagi pembahasan
mengenai keadaan para rawi.
Hadis mutawatir terbagi menjadi dua macam, yaitu : Mutawatir lafdzi dan
mutawatir maknawi.
a) Mutawatir lafdzi yaitu suatu hadis yang lafadz dan maknanya bersifat
mutawatir. Seperti hadis
)من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من النار (رواه البخاري مسلم
Artinya : Barangsiapa sengaja berdusta kepadaku maka hendaklah bersiap-
siap menempati tempatnya di neraka.
Hadis ini diriwayatkan lebih dari tujuh puluh sahabat.
Karena Hadits Mutawatir berkedudukan sama dengan Al-Qur'an, maka petunjuk dari
Hadits Mutawatir dapat digunakan sebagai dalil yang berkenaan dengan aqidah, di samping
untuk dalil tentang masalah hukum, dan sebagainya.
1. Hadis Ahad
a. Definisi
Menurut bahasa, kata Ahad adalah bentuk jama’ dari kata ahada yang berarti
satu. Sedang arti hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang.
Sedang menurut istilah adalah
1) Hadis Masyhur
Menurut ulama fiqh, hadis masyhur itu adalah muradhif (sinonim) dengan
hadis mustafidl. Sedang ulama yang membedakannya. Artinya, suatu hadis
dikatakan mustafidl bila jumlah perawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak
dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir. Sedang hadis
masyhur lebih umum daripada hadis mustafidl. Artinya, jumlah perawi dalam
tiap-tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Karena
itu, dalam hadis msyhur, bisa terjadi jumlah perawi dalam thabaqah pertama
(sahabat), thabaqah kedua (tabi’in), thabaqah ketiga (tabi’i al Tabi’in), terdiri
dari seorang saja, baru kemudian jumlah perawi dalam thabaqah kelima dan
seterusnya banyak sekali. Misalnya hadis masyhur yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar bin Khattab r.a:
Artinya: Bahwasannya amal itu tergantung pada niat dan bagi tiap-tiap itu
akan memperoleh apa yang diniatkan … (H.R. Bukhari Muslim).
Hadis tersebut pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar
bin Khattab, pada thabaqah kedua hanya diriwayatkan oleh Alqamah bin
Waqas, pada thabaqah ketiga hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin
Ibrahim al-Taimi, dan pafa thabaqah keempat hanya diriwayatkan oleh Yahya
bin Sa’id. Dari Yahya bin Sa’id inilah hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi
yang banyak. Ditinjau dari segi klasifikas hadis Ahad yang lain, maka hadis
Umar tersebut dapat juga dikatakan dengan hadis gharib pada awalnya dan
masyhur pada akhirnya.
2) Hadis Aziz
Hadis Aziz ialah:
واحدة طبقةفي كانا ولو اثنان اهرو ما, جماعة ذالك بعد اهرو ثم
Artinya: Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang
tersebut terdapat pada suatau thabaqah saja, kemudia setealah itu orang-
orang pada meriwayatkannya.
Menurut definisi tersebut, yang dikatakn hadis Aziz itu, bukan saja yang
hanya diriwayatkan oleh dua orang perawi pada setiap thabaqah, yakni sejak
thabaqah pertama hingga thabaqah terakhir harud terdiri dari dua orang,
sebagaimana yang didefinisikan oleh sebagian muhadditsin. Tetapi selagi pada
salah satu thabaqah saja didapati dua orang perawi sudah bisa dikatakan hadis
Aziz.
Dengan demikian, hadis Aziz itu dapat berpadu dengan hadis masyhur, bila
misalnya, pada suatu hadis yang perawinya pada salah satu thabaqahterdidri
dari dua orang, sedang pada thabaqah yang lain, terdiri dari perawi yang
banyak jumlahnya.
3) Hadis Gharib
Yang dimaksud dengan hadis gharib adalah
السند من به التفرد وقع موضع أي فيشخص بروايته انفرد ما
Artinya: Hadis yang didalam sanadnya terdapat seorang perawi yang
menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.
Yang dimaksud dengan penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadis itu,
dapat mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan
selain perawi itu sendiri.juga dapat mengenai sifat atau keadaan perawi.
Artinya sifat atau keadaan perawi itu bebeda dengan sifat dan keadaan perawi-
perawi lain yang juga meriwayatkan hadis tersebut.
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian perawi seperti diatas, maka hadis
gharib itu terbagi kepada dua macam, yaitu gharib muthlaq dan gahrib nisby.
b) Gharib Nisby
(1) Tentang sifat ketsiqahan (adil dan dlabith), Misalnya hanya perawi
si A saja yang tsiqah yang meriwayatkan hadis, sedang yang lain
lemah.
(2) Tentang kota atau tempat tinggal tertentu. Misalnya tidak ada
perawi yang meriwayatkannya, selain perawi-perawi yang berasal
dari kota Basrah.
(3) Tentang meriawayatkannya dari perawi tertentu.
1. Hadis Shahih
Yang dimaksud dengan hadis shahih menurut muhadditsin ialah:
شاذ وال معلل غير السند متصل الضبط تام عدل نقله ما
Artinya: Hadis yang diriwayatkanperawi adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung, tidak berillat dan tidak janggal.
Melihat definisi muhadditsin tentang hadis shahih tersebut diatas, bahwa
suatu hadis dapat dinilai shahih, apabila telah memenuhi lima syarat:
a. Perawi bersifat adil
b. Sempurna ingatan (Dlabith)
c. Sanadnya bersambung
d. Tidak berillat
e. Tidak janggal
Arti adil dalam periwayatan apabila telah memenuhi lima syarat, yaitu:
(1) Islam. Karenanya periwayatan dari seorang kafir, tidak dapat diterima.
Sebab ia dianggap tidak dapat dipercaya. Lebih-lebih kedudukan
meriwayatkan hadis itu sangat tinggi lagi mulia.
(2) Baligh. Karenanya periwayatan dari anak yang belum dewasa, tidak
diterima. Sebab dia belum terjamin dari kedustaan.
(3) Berakal. Karenanya periwayatan dari orang gila, tidak diterima.
(4) Takwa. Selama dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasiq dari
sebab-sebab yang dapat mencacatkan kepribadian seseorang. Atau
dengan kata lain, tidak melakukan dosa besar atau dosa kecil secara
terus menerus.
(5) Muru’ah (harga diri yang agamis)
a) Tidak pelupa
b) Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya, bila ia
menyaimpaikan hadis dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari
kelemahan, bila ia menyampaikan hadisnya dari kitabnya.
c) Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan
mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia
meriwayatkan menurut maknanya saja.
شاذ وال معلل غير السند متصل الضبط تام عدل نقله ما
Hadis shahih terbagi menjadi dua bagian, yaitu shahih lidzatihi dan
shahih lighairihi yaitu hadis shahih seperti tersebut diatas. Hadis shahih
lighairihi yaitu hadis hasan yang dikuatkan dengan hadis hasan
lainnya, maka keduanya bisa naik derajatnya menjadi hadis shahih
lighairihi.
Artinya: Hadis yang diriwayatkan perawi adil, tidak sempurna
ingatannya, bersambung sanadnya, tidak terdapat illat serta tidak ada
kejanggalan.
Dari definisi ini tampak jelas bahwa perbedaan antara hadis shahih dan
hadis hasan adalah terletak pada syarat kedlabithan perawi. Yakni hadis
hasan, kedlabithannya lebih rendah (tidak begitu baik ingatannya), jika
dibandingkan dengan hadis shahih. Sedang syarat-syarat hadis shahih yang
lain masih diperlukan untuk hadis hasan.
Sebagaimana hadis shahih, hadis hasan juga terbagi menjadi dua, yaitu
hadis hasan lidzatihi dan hadis hasan lighairihi.
Hadis hasan lidzatihi yaitu hadis yang telah memenuhi syarat-syarat hadis
hasan tersebut diatas. Sedang hadis hasan lighairihi yaitu hadis dla’if yang
dikuatkan oleh hadis dla’if lainnya. Dengan syarat dla’if tersebut tidak
disebabkan perawi yang pelupa, banyak salah, dan fasik. Tetapi hadis
dla’if yang disebabkan perawinya buruk hafalan, tidak dikenal
identitasnya (mastur), dan mudallis (yang menyembunyikan cacat) dapat
naik menjadi hadis hasan lighairihi karena dibantu oleh hadis-hadis lain
yang semisal dan semakna atau karena banyak yang meriwayatkannya.
3. Hadis Dla’if
a) Definisi Hadis Dla’if
Yang dimaksud dengan hadis dla’if yaitu:
الحسنه أو الصحح شروط من أكثر أو شرطا فقد ما
Artinya: yaitu hadis yang hilang salah satu atau lebih syarat-syarat
hadis shahih atau hadis hasan.